Anda di halaman 1dari 14

Makalah

Tradisi Masyarakat Desa Trunyan, Bali "Mayat Tanpa Dikubur"


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar

DISUSUN OLEH : Bening Irsa Setara Bulan 3315111320 Pendidikan Kimia Reguler 2011

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA REGULER JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2012

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. atas segala nikmat dan karunia-Nya, sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Tradisi Masyarakat Trunyan Bali, Mayat Tanpa Dikubur, untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar. Dalam penulisan makalah ini, berbagai hambatan telah penulis alami. Oleh karena itu, terselesaikannya makalah ini tentu saja bukan karena kemampuan semata-mata penulis namun, karena adanya dukungan dan bantuan dari pihakpihak yang terkait. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Esty selaku dosen Ilmu Sosial Budaya Dasar yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan makalah ini. Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari pengetahuan dan pengalaman penulis masih sangat terbatas. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran dari berbagai pihak agar makalah ini lebih baik dan bermanfaaat.

Jakarta, Oktober 2012

Penulis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau dan memiliki berbagai macam suku bangsa, bahasa, adat istiadat atau yang sering kita sebut kebudayaan. Keanekaragaman budaya yang terdapat di Indonesia merupakan suatu bukti bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya. Tidak bisa dipungkiri bahwa kebudayaan daerah merupakan faktor utama berdirinya kebudayaan yang lebih global, yang biasa kita sebut dengan kebudayaan nasional. Maka atas dasar itulah segala bentuk kebudayaan daerah akan sangat berpengaruk terhadap kebudayaan nasional, begitu pula sebaliknya kebudayaan nasional yang bersumber dari kebudayaan daerah, akan sangat berpengaruh pula terhadap kebudayaan daerah / kebudayaan lokal. Kebudayaan merupakan suatau kekayaan yang sangat benilai karena selain merupakan ciri khas dari suatu daerah juga mejadi lambang dari kepribadian suatu bangsa atau daerah. Karena kebudayaan merupakan kekayaan serta ciri khas suatu daerah, maka menjaga, memelihara dan melestarikan budaya merupakan kewajiban dari setiap individu, dengan kata lain kebudayaan merupakan kekayaan yang harus dijaga dan dilestarikan oleh setiap suku bangsa. Dari sekian banyak budaya Indonesia, makalah kali ini akan membahas mengenai Tradisi Penguburan Mayat Di Desa Trunyan, sebuah desa di ujung Timur pulau Jawa, Bali. Desa Trunyan yang berlokasi di sebelah timur Danau Batur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali memiliki tradisi unik tidak mengubur mayat, melainkan meletakkan mayat tersebut di bawah pohon Taru

Menyan. Tradisi itu sudah dilakukan secara turun temurun. Menurut masyarakat desa trunyan, tradisi penguburan mayat ini berlaku hanya untuk warga yang meninggal biasa dan tidak cacat fisik. Jika ada warga yang mati tidak wajar (bunuh diri) mayatnya akan dikubur di Sema Bantas (kuburan bantas), sedangkan khusus untuk mayat bayi, dikubur di Sema Muda (kuburan muda). Tradisi ini tidak berlaku bagi warga yang keluar menikah dan tidak mau mengikuti tradisi itu. Jika menikah dengan orang luar, yang bersangkutan bisa tinggal di Desa Trunyan asalkan mengikuti tradisi itu. Oleh karena keunikan tradisi tersebut, maka dari itu penulis mengambil tema ini yang akan dibahas lebih lanjut. B. PerumusanMasalah Berbeda dengan umumnya masyarakat Bali lainnya, Trunyan memiliki tradisi upacara pemakaman jenazah yang sangat unik, bahkan tidak bakal pernah dijumpai dibelahan dunia manapun. Jika masyarakat bali pada umumnya melakukan Ngaben dengan cara jenasah tersebut dibakar, namun di trunyan jenazah tersebut tidak dibakar, melainkan hanya menggeletakkan jenasah tersebut di bawah pohon. Mengagumkannya meskipun jenazah diletakkan di atas tanah, jenazah tersebut tidak mengeluarkan bau yang menyengat walaupun telah tergeletak selama berbulanbulan. Oleh karena itu permasalahan yang akan diangkat pada makalah ini adalah : Apa tradisi Masyarakat Trunyan dalam ritual kematian yang membedakaannya dengan masyarakat Hindhu Bali pada umumnya ? Bagaimana tata cara penguburan mayat di Desa Trunyan ? Bagaimana kepercayaan masyarakat Desa Trunyan mengenai pengaruh pohon Taru Menyan dalam tradisi penguburan mayat di Desa Trunyan ?

Bagaimana pembagian tiga jenis kuburan di Desa Trunyan ? BAB II PEMBAHASAN A. Sejarah dan Tradisi Penguburan Mayat Desa Trunyan Bali, atau yang dikenal dengan sebutan Pulau seribu Pura, banyak memiliki daya tarik yang unik bagi para wisatawan. Keanekaragaman budayanya mampu menjadi magnet tersendiri untuk membuat para wisatawan terkagum kagum. Salah satu contoh yang mampu menjadi daya tarik adalah adalah desa Trunyan. Trunyan merupakan sebuah desa kecil yang terletak di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Desanya yang terpencil dan terletak di tepi danau batur, mengingatkan pada kondisi masayarakat Bali pada zaman Kuno yang masih berpegang teguh akan tradisi nenek moyang. Menurut sejarah, Desa Trunyan merupakan salah satu dari tiga suku asli di Bali dan bukan gelombang pengungsian dari Majapahit. Dua suku asli lainnya berada di Karangasem bernama Suku Telengan dan Suku Yeh Ketipat di Buleleng. Saat ini, bukti sejarah peninggalan suku asli Bali itu, masih ada diantaranya adanya pura kuno yang bernama "Pura Pancering Jagat. Seperti tercata dalam prasasti Trunyan disebutkan pada tahun saka 813 ( 891 Masehi) raja Singhamandawa memberikan izin kepada penduduk untuk mendirikan pura Turun Hyang atau Pura Pancering Jagat sebagai tempat pemujaan Betara Da Tonta (Hyang Pancering Jagat). Pura yan dilengkapi meru tumpang pitu (tujuh) ini dipercaya sebagai pura pertama di Bali. Desa Trunyan yang terpencil ini merupakan salah satu desa Bali Aga atau Bali kuno. Masyarakat Trunyan menyebut diri mereka sebagai Bali Turunan Ratu Sakti pancering Jagat, yaitu orang yang pertama kali turun dari langit dan menempati Pulau Bali. Sedangkan mereka menyebut penduduk Bali lainnya sebagai Bali Suku yaitu adalah keturunan dari penduduk kerajaan majapahit pada zaman dahulu yang tinggal dan menetap di bali. Meski masyarakat Trunyan menganut agama Hindhu, namun mereka memiliki kebudayaan yang berbeda

dengan masyarakat Hindhu Bali umumnya. Salah satu tradisi yang menarik perhatian budayawan dan wisatawan adalah ritus kematian. Meskipun sama-sama menganut Hindu, warga Trunyan tidak melakukan upacara pembakaran jenazah (Ngaben). Jenasah kerabat yang meninggal hanya dibaringkan di bawah pohon Taru Menyan tanpa menguburnya. Jenasah hanya ditutup kain putih dan dilindungi dengan pagar dari belahan bambu. B. Tata Cara Penguburan Mayat Desa Trunyan Penguburan mayat di Trunyan tidak dilakukan sebagaimana layaknya masyarakat di daerah lain menguburkan mayat. Ada yang dikubur, tapi ada juga yang tidak dikubur, melainkan hanya diletakkan di bawah pohon besar. Pohon tersebut adalah pohon Taru Menyan. Mayat-mayat disana cuma dibungkus kain kafan selajutnya ditaruh di atas tanah dengan dikelilingi oleh ancak saji atau anyaman dari bambu yang dibentuk sedemikian rupa, kemudian dipancangkan di sekeliling mayat. Tetapi ada syarat-syarat tertentu tentang pemakaman di desa trunyan. Ada dua cara pemakaman di desa trunyan, yaitu: 1. Meletakkan jenazah diatas tanah dibawah udara terbuka yang disebut dengan istilah mepasah. Orang-orang yang dimakamkan dengan cara mepasah adalah mereka yang pada waktu matinya termasuk orang-orang yang telah berumah tangga, orang-orang yang masih bujangan dan anak kecil yang gigi susunya telah tanggal. 2. Dikubur / dikebumikan. Orang-orang yang dikebumikan setelah meninggal adalah mereka yang cacat tubuhnya, atau pada saat mati terdapat luka yang belum sembuh seperti misalnya terjadi pada tubuh penderita penyakit cacar, lepra dan lainnya. Orang-orang yang mati dengan tidak wajar seperti dibunuh atau bunuh diri juga dikubur. Anakanak kecil yang gigi susunya belum tanggal juga dikubur saat meninggal. Tata cara penguburan mayat di desa Trunyan yang disebut dengan istilah mepasah adalah sebagai berikut, jenazah dibaringkan di atas lubang yang tak

terlalu dalam (kira-kira 10 - 20 cm). Tujuannya supaya tidak bergeser-geser, karena bidang tanah ditempat itu tidaklah dapat disebut datar. Bagian atas dibiarkan terbuka. Jumlah liang lahat di area kuburan utama ada sekitar 7 ancak saji atau liang yang digunakan secara bergantian untuk tiap jenasah. Jika semua liang terisi, sementara ada warga yang harus dimakamkan, maka salah satu rangka jenasah dalam liang harus diangkat dan diletakkan di sekitar liang. Tidaklah mengherankan jika di area Sema banyak berserakan tengkorak dan tulang-tulang. Selain itu juga terdapat anggapan, bahwa wanita dari Trunyan dilarang pergi ke pemakaman ketika mayat akan dikuburkan di sana. Ini mengikuti keyakinan berakar bahwa jika seorang wanita datang ke pemakaman sementara mayat sedang dikuburkan di sana, maka akan ada bencana di desa, misalnya tanah longsor atau letusan gunung berapi. Kejadian-kejadian tersebut sudah sering dalam sejarah desa, tapi apakah wanita ada hubungannya dengan itu adalah masalah pendapat antara orang-orang desa Trunyan. Meskipun jenazah orang Trunyan tidak dikubur dan dibiarkan terbuka, konon tidak menyebarkan bau busuk. Padahal secara alamiah, tetap terjadi penguraian atas mayat-mayat tersebut. Hal inilah yang menjadi daya tarik para wisatawan untuk mengunjungi lokasi wisata ini. Konon sebabnya, di areal pemakaman Desa Trunyan terdapat sebuah pohon besar, yang dikenal bernama Taru Menyan , yang diperkirakan berusia ribuan tahun. Pohon Taru Menyan ini berbau harum, sehingga masyarakat trunyan pun percaya, bahwa bau mayat itu dinetralisir oleh pohon Taru Menyan tersebut. Taru berarti pohon, sedangkan Menyan berarti harum. Pohon Taru Menyan, hanya tumbuh di daerah ini. Jadilah Tarumenyan yang kemudian lebih dikenal sebagai Trunyan yang diyakini sebagai asal usul nama desa ini. C. Tiga Jenis Kuburan Di Desa Trunyan Trunyan memiliki tiga jenis kuburan yang menurut tradisi desa trunyan ketiga jenis kuburan itu diklasifikasikan berdasarkan umur orang yang meninggal, keutuhan jenazah dan cara penguburan. Ketiga jenis kuburan (Sema) ini adalah sema wayah, sema muda, dan sema bantas.

Kuburan utama adalah yang dianggap paling suci dan paling baik. Jenazah yang dikuburkan hanyalah jenasah yang jasadnya utuh, tidak cacat dan jenasah yang proses meninggalnya dianggap wajar atau bukan bunuh diri serta kecelakaan. Seseorang yang meninggal secara wajar, jenazahnya akan ditutup dengan kain putih, disiapkan upacara, dan diletakkan tanpa dikubur di bawah pohon Taru Menyan. Nama tempat peletakkan jenazah ini adalah Sema Wayah. Cara pemakaman tanpa menguburnya dikenal dengan sebutan mepasah. Jadi, jenazah hanya diletakkan di atas tanah dan dibiarkan di udara terbuka. Kuburan yang kedua disebut kuburan muda (Sema Muda) yang khusus diperuntukkan bagi bayi dan orang dewasa yang belum menikah. Namun tetap dengan syarat jenazah tersebut harus utuh dan tidak cacat. Teknik pemakamannya bisa mepasah atau pun penguburan. Sedangkan kuburan yang ketiga disebut Sema Bantas. Kuburan ini khusus untuk jenazah yang cacat dan yang meninggal karena salah pati maupun meninggal karena tidak wajar misalnya dibunuh, bunuh diri, dan kecelakaan. Di Sema Bantas, penguburan dilakukan dengan penguburan atau dikebumikan. Untuk anak kecil yang gigi susunya belum tanggal juga dikenakan penguburan ini. Dari ketiga jenis kuburan itu, yang paling menarik adalah kuburan utama atau sema wayah. Dua kuburan pertama, Sema Wayah dan Sema Muda, letaknya agak berjauhan dengan desa, sedangkan Sema Bantas terletak di dekat Desa Trunyan. Menurut cerita masyarakat, zaman dahulu kala mayat sengaja tidak ditanam untuk menghalangi bau pohon taru menyan yang konon menyebar sampai ke Jawa. Karena raja yang berkuasa di Trunyan pada waktu itu takut daerahnya diserang lantaran harumnya pohon taru menyan, maka beliau berinisiatif menetralisir bau kelewat harum itu dengan tidak mengubur mayat masyarakat yang meniggal. Akhirnya sampai sekarang tradisi itu masih dipegang teguh oleh masyarakat

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN Masyarakat Trunyan memiliki adat pemakaman yang cukup unik. Dimana bila ada warga yang meninggal, jenazah ditaruh di atas batu besar yang memiliki cekungan 7 buah. Cekungan itu sendiri terbentuk secara alamiah saat Gunung Agung meletus. Jenazah diletakkan diatas cekungan batu dengan hanya dipagari bambu anyam secukupnya. Uniknya, meskipun sudah berharihari diletakkan di atas tanah dan tidak dibalsem, jenazah sama sekali tidak berbau. Rahasia mayat-mayat tidak menyebarkan bau busuk ternyata terletak pada pohon Taru Menyan yang dibiarkan tumbuh lestari dan rimbun di sekitar tempat pemakaman tersebut. Bau harum yang dikeluarkan oleh pohon Taru Menyan ini mengalahkan bau busuk yang dikeluarkan oleh jenazah yang membusuk sampai akhirnya tinggal kerangka tulang. Konon nama Desa Trunyan diambil dari nama pohon Taru Menyan ini. Meskipun beragama Hindu, mereka tidak pernah melakukan upacara kremasi seperti halnya orang Bali biasa lakukan. Upacara ngaben tidak berlaku bagi penduduk Trunyan. Di daerah ini, jenasah tidak dibakar (kremasi), melainkan hanya diletakkan di tanah pekuburan. Lokasi kuburan juga biasanya tidak terletak di dalam wilayah desa Trunyan, tetapi 500 meter di luar desa yang hanya bisa dicapai dengan perahu. Menurut tradisi, kuburan di daerah Trunyan dibagi dalam tiga klasifikasi berdasarkan umur orang yang meninggal, keutuhan jenasah dan cara penguburan. Kuburan utama (sema wayah) adalah kuburan yang dianggap paling suci dan paling baik. Jenasah yang dikuburkan pada kuburan suci ini hanyalah jenasah yang jasadnya utuh, tidak cacat, serta jenasah yang proses meninggalnya dianggap wajar, bukan karena bunuh diri atau kecelakaan. Kuburan yang kedua disebut Kuburan Muda (Sema Muda), yang

khusus diperuntukkan bagi bayi dan orang dewasa yang belum menikah. Namun tetap dengan syarat bahwa jenasah tersebut harus utuh dan tidak cacat. Sedangkan kuburan yang ketiga disebut Sema Bantas, khusus untuk jenasah yang cacat dan yang meninggal karena `salah pati` ataupun `ulah pati` (meninggal secara tidak wajar). Dari ketiga jenis kuburan tersebut yang paling unik dan menarik adalah kuburan utama atau kuburan suci (Sema Wayah). Kuburan ini berlokasi di sekitar 400 meter di bagian utara desa dan dibatasi oleh tonjolan kaki tebing bukit. Untuk membawa jenasah ke kuburan ini, mereka harus menggunakan sampan kecil khusus jenasah yang disebut Pedau. Meski disebut dikubur, namun cara penguburannya tergolong unik, yaitu dikenal dengan istilah mepasah. Jenazah yang telah diupacarai menurut tradisi setempat, diletakkan begitu saja di atas lubang sedalam 20 cm. Sebagian badannya, dari bagian dada ke atas, dibiarkan terbuka, tidak terkubur tanah. Jenasah tersebut cuma dibungkus kain kafan selajutnya ditaruh di atas tanah dengan dikelilingi oleh ancak saji atau anyaman dari bambu yang dibentuk sedemikian rupa dan digunakan untuk memagari jenazah. Jadi kebudayaan di desa Trunyan tidak akan punah. Sampai saat ini masyarakat Trunyan masih melakukan tradisinya yaitu menaruh mayat di bawah pohon Tura Menyan

B. SARAN Tradisi seperti di desa Trunyan tersebut merupakan salah satu contoh kearifan lokal yang harus dijaga kelestariannya. Keunikan tradisi itu memberi ciri bahwa masyarakat setempat sangat menghormati para leluhur. Oleh karena itu kita sebagai warga Negara Indonesia yang mecintai budaya dan tradisi-tradisi di Indonesia, sebaiknya tetap menjaga kebudayaan lokal tersebut. Jangan sampai kebudayaan tersebut tergerus oleh kemajuan zaman, serta jangan sampai kebudayaan tersebut juga dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, seperti pengambilan tengkorak sisa-sisa jenazah yang dapat dijual lagi. Selain itu kita juga harus menghargai perbedaan kebudayaan dan tradisi di yang begitu beragam di Indonesia. Karena dengan penghormatan dan penghargaan terhadap suatu kebudayaan, kebudayaan tersebut tikan akan punah dan bisa tetep menjadi cirri khas suatu daerah.

Lampiran Gambar fLayoutInCell1fAllowOverlap1fBehindDocument0fHidden0fLayoutInCell1 Pohon Taru Menyan

Mayat Digeletakkan Begitu Saja

Mayat Hanya Ditutupi Ancak Saji

Tengkorak yang diletakkan di Sekitar Kuburan

DAFTAR PUSTAKA

http://www.facebook.com/media/set/? set=a.486696131340978.116500.164991866844741&type=3 http://endahdolls.blogspot.com/2011/05/kebudayaan-bali-tradisi-masyarakatdesa.html http://vysnuvjaya.blogspot.com/2011/01/tradisi-penguburan-mayat-di-desa.html http://wahw33d.blogspot.com/2010/03/trunyan-bali-tradisi-penguburanmayat.html http://ladang-hijau.blogspot.com/2010/11/selak-beluk-desa-trunyan.html http://www.exelroze.info/2011/07/tradisi-pemakaman-jenasah-di-trunyan.html http://panduanwisatabali.wordpress.com/2012/03/05/tradisi-unik-pemakaman-didesa-trunyan/ http://wisatadewata.com/article/wisata/trunyan http://www.bluefame.com/topic/357397-tradisi-makam-di-bawah-pohon/ http://ajegbalidwipa.blogspot.com/2010/12/kebudayaan-trunyan-bangli.html

Anda mungkin juga menyukai