Anda di halaman 1dari 14

TUJUH UNSUR KEBUDAYAAN

“KAMPUNG PULO”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kebudayaan Sunda

Oleh Drs. Apip Ruhamdani,M.Pd.

Disusun Oleh:

Kelompok 8

1. Rere Fitria K. (163020096)


2. Sheilla Anggraeny (163020119)
3. R. Adnan Dwisesa P. (163020131)
4. Anisa Banawati (163020143)
5. Silmi Daffa Virgiana (163020159)

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS PASUNDAN
BANDUNG
2018/2019
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1. Sejarah Kampung Pulo
Kampung pulo merupakan sebuah kampung adat yang terletak di disebuah pulau kecil
Situ Cangkuang sekaligus berada di lokasi cagar budaya wisata Garut Candi Cangkuang.
Kampung Pulo berada di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut Provinsi Jawa
Barat. Jarak tempuh menuju lokasi ini kurang lebih sekitar 16,1 km dari terminal Garut dengan
jarak tempuh kurang lebih sekitar 36 menit perjalanan menggunakan kendaraan dan kurang lebih
sekitar 2,7 km dari alun-alun Leleles dengan jarak tempuh menggunakan kendaraan kurang lebih
sekitar 15 menit perjalanan. (http://digarut.com/kampung-pulo-cangkuang-garut.html)

Menurut cerita rakyat, masyarakat Kampung Pulo dulunya beragama Hindhu, laul Embah
Dalem Muhammad singgah di daerah ini karena ia terpaksa mundur karena mengalami
kekalahan pada penyerangan terhadap Belanda. Karena kekalahan ini Embah Dalem Arif
Muhammad tidak mau kembali ke Mataram karena malu dan takut pada Sultan Agung. Beliau
mulai menyebarkan agama Islam pada masyarakat kampong Pulo. Embah Dalem Arif
Muhammad beserta kawan-kawannya menetap di daerah Cangkuang yaitu Kampung Pulo.
Sampai beliau wafat dan dimakamkan di kampung Pulo. Beliau meninggalkan 6 orang anak
wanita dan satu orang pria. Oleh karena itu, dikampung pulo terdapat 6 buah rumah adat yang
berjejer saling berhadapan masing- masing 3 buah rumah dikiri dan dikanan ditambah dengan
sebuah mesjid. Jumlah dari rumah tersebut tidak boleh ditambah atau dikurangi serta yang
berdiam di rumah tersebut tidak boleh lebih dari 6 kepala keluarga. Jika seorang anak sudah
dewasa kemudian menikah maka paling lambat 2 minggu setelah itu harus meninggalkan rumah
dan harus keluar dari lingkungan keenam rumah tersebut.
(http://emmarachmatika.blogspot.com/2013/12/kampung-adat-pulo.html)
2.2. Sistem Religi dan Kepercayaan Kampung pulo
2.2.1 Ritual
Kampung Pulo adalah salah satu kampung adat di wilayah Garut yang masih
melestarikan adat dan kebudayaan. Banyak adat yang masih dilakukan oleh masyarakat
Kampung Pulo, selain itu ada juga larangan-larangan yang mereka percayai jika larangan
tersebut dilanggar maka akan membawa dampak yang buruk bahkan dapat menyebabkan hal-hal
yang buruk terjadi.
Dulu, jika akan datang ke Kampung Pulo, pengunjung harus dalam keadaan suci dengan
berwudhu, tidak sembarang pengunjung diperbolehkan masuk, tidak boleh memakai alas kaki
dan topi, khususnya perempuan tidak boleh datang jika sedang haid atau nifas. Tetapi adat ini
sudah hilang seiring dengan perkembangan zaman.
Di Kampung Pulo dan sekitarnya yaitu Kampung Ciakar ada beberapa kebiasaan atau
adat daerah yang masih dibudayakan, yaitu Mitembeuyan, Ngisung Pare, Rebo Kasan, nyambut
bulan Mulud (“Mulud‟= nama bulan berdasarkan agama Islam), tanggal 12 Mulud ada upacara
Ngariung Mulud , tanggal 14 Mulud ada upacara memandikan benda pusaka, akhir bulan Mulud
di minggu pertama setelah bulan Mulud yaitu Mileuleuyankeun, Ngadegkeun bangunan
(mendirikan bangunan), Ngalebeutan bumi (syukuran menempati rumah), saat hamil ada
upacara”empat bulanan‟ dan “tujuh bulanan‟ („empat bulanan‟ dilakukan saat umur kehamilan
empat bulan, begitu pula dengan „tujuh bulanan‟), marhabaan 40 hari setelah anak dilahirkan,
aqiqah.

Untuk ritual atau tata cara memandikan benda pusaka, masyarakat harus memperhatikan
bahan dan barang yang dibutuhkan saat proses memandikan benda pusaka. Tujuan memandikan
benda pusaka ini ada dua, yaitu secara ilmiah dan secara antropologi. Secara ilmiah bertujuan
untuk membersihkan benda pusaka dari karatan dan naskah-naskah akan lebih awet dengan bara
kemenyan. Secara antropologi, benda-benda pusaka tersebut adalah benda keramat yang ada
kekuatannya dan ada kodamnya (“kodam‟= jin penjaga), sehingga diharapkan yang memandikan
akan semakin kuat. Yang memiliki benda pusaka adalah warga Kampung Pulo. Untuk memenuhi
syarat-syarat upacara ini membutuhkan uang sebesar satu juta Rupiah, jika ingin semua syarat
terpenuhi paling tidak membutuhkan uang dua juta Rupiah. Maka dari itu jika ada orang yang
ingin menitipkan memandikan benda pusaka diizinkan dengan harus membayar mahar untuk
membeli syarat-syarat upacara tersebut. Syarat-syarat upacara ini yaitu:

 7 macam bunga
 7 macam rujak
 7 macam minyak wangi
 7 air dari 7 mata air atau dari 7 sumur berbeda
 Kopi hitam
 Kopi manis
 Susu
 „Bubur bodas‟ („Bubur bodas‟= bubur putih, bubur dari beras putih)
 „Bubur beureum‟ („Bubur beureum‟= bubur merah, bubur dari beras merah
ditambahkan gula merah)
 Nasi kuning
 Nasi putih
 Lauk pauk
 Makanan ringan
 Makanan berat
 Macam-macam rokok
 Macam-macam menyan

Syarat-syarat yang ada merupakan simbol, tetapi falsafah dari simbol syarat-syarat ini
belum diketahui. Yang mengikuti upacara memandikan benda pusaka adalah warga Kampung
Pulo dan masyarakat yang sudah „siap‟, biasanya anak-anak warga Kampung Pulo boleh
mengikuti upacara ini, sebagai upaya memperkenalkan adat dan budaya setempat. Upacara
dilaksanakan tengah malam. Proses upacara ini yaitu, pada pagi hari perempuan menyiapkan
dan memasak sesaji. Sedangkan laki-laki mencari air yang untuk syarat. Sesudah syarat lengkap,
lalu ziarah ke makam di Kampung Pulo. Upacara memandikannya berlangsung dari pukul 23.30
WIB hingga pukul 24.00 WIB harus sudah selesai. Upacara ini dipimpin oleh Pak Kuncen atau
wakilnya. Upacara mempunyai motto “Ngaibakan benda pusaka ieu lain rek migusti tapi
mupusti”.Dalam bahasa Indonesia berbunyi “Memandikan benda pusaka ini bukan untuk
mempertuhankan tapi untuk memelihara dan merawat benda ini”. Tempat diadakannya upacara
ini yaitu di rumah Pak Kuncen atau salah satu dari enam rumah adat Kampung Pulo atau bisa
juga di rumah adat Kampung Pulo yang terdapat banyak benda pusakanya. Benda-benda pusaka
ini tidak boleh disentuh oleh wanita yang sedang haid atau nifas. Saat upacara ini berlangsung,
tak ada makanan yang dilarang. Air bekas memandikan benda pusaka dimanfaatkan untuk
diminum, disiram ke padi, disimpan di tempat dagang, dan juga sebagai obat. Dengan anggapa
air tersebut dapat menimbulkan „karomah‟ („karomah‟= kebaikan). Dulu, pakaian yang
digunakan saat upacara ini adalah pakaian tradisional, tapi sekarang memakai baju bebas, khusus
Pak Kuncen harus memakai baju koko dan sarung. Jalannya upacara ini dan makan-makan
berlangsung satu jam. Makanan yang dijadikan sesaji, sesudahnya dimakan, jika ada sisa bisa
dibawa pulang untuk saudara di rumah yang tidak mengikuti upacara.

Rebo Kasan adalah suatu kegiatan untu tolak bala, Rebo Kasan ini bertujuan untuk
menolak bala atau menolak bala atau menolak 41 macam penyakit dan musibah. Sedangkan
untuk ritual Rebo Kasan syaratnya yaitu harus ada penolak bala. Penolak bala disini seperti
jampi-jampi, yang biasanya Kuncen mengetahui kalimat jampi-jampi tersebut. Syarat lainnya
yaitu kupat, menyan, air dari tujuh sumur atau tujuh mata air berbeda, dan lain-lain. Upacara ini
dilaksanakan langsung sehabis sholat Subuh dilaksanakan, dan tidak boleh kesiangan. Upacara
ini dilakukan setelah subuh dimaksudkan agar semua warga dapat mengikuti upacara Rebo
Kasan ini, karena saat setelah subuh hampir semua warga masih ada dirumah dan belum
menjalankan aktivitsnya di luar rumah. Selain itu, dilakukan setelah subuh karena agar waktu
yang digunakan untuk melakukan upacara dapat lebih panjang.

Untuk upacara-upacara adat saat kehamilan, biasanya paraji setempat sering dipanggil
untuk memimpin acara saat kehamilan seperti upacara 4 bulan. Dalam acara empat bulanan, ibu
dimandikan dan dibungkus dengan 4 helai kain sinjang itu melambangkan disempurnakannya
seorang manusia di dalam kandungan. Lalu ketika 7 bulan juga ibu hamil dimandikan, ada yang
minta untuk dipasangkan kalung dari bola yang dinamakan isim dan dikalungkan di sekitar
tangan dan leher ibu. Ada yang meminta diberikan panglai. Ada juga yang hanya ingin
dimandikan saja. Memandikan ibu hamil dilakukan dua kali pada bulan ke empat dan bulan ke
tujuh saja. Hal ini melambangkan sebagai penyempurnaan anak, sebagai rasa syukur ibu pada
sang pencipta. Ibu biasanya berharap agar anaknya bisa menjadi anak yang baik, shaleh,
berbakti kepada orang tua dan menjadi orang yang berilmu dan supaya dijauhkan dari sifat jelek.
Makanan untuk upacara 7 bulanan biasanya hahampangan, opak, rujak bebek, leupeut, kupat,
dan malamnya membuat tumpeng. Ada juga rujak, rujak buah itu dibeli dari hasil barter dengan
kenteng yang dibulatkan seperti uang sebagai simbol membeli rujak. Ibu yang sedang hamil
bisanya membawa kanjut kundang. Kanjut kundang biasanya terdiri dari uang, bola, jarum, mutu
kecil untuk membuat sambal, gunting, bawang putih, bawang merah, jawer kotok, dan padi. Lalu
kanjut kundang ditambah oleh puput puser jika anak yang dilahirkan sudah lepas tali pusatnya
dan disimpan sampai anak sudah besar. Sebagai syukuran bayi, setelah kelahiran 40 hari
diadakan marhabaan Lalu ada aqiqah memotong domba. Setelah bayi lahir, ayam dipotong dan
darahnya dibalurkan di dahi dan dadanya. Biasanya jika bayi yang sudah lepas tali pusatnya juga
diadakan ritual seperti ngedupi dari daun awi pakai beras lalu direbus. Lalu membuat kupat,
leupeut,dan gagaringan seperti kue, namun hal ini bukan termasuk syukuran karena biasanya
hanya sebagian orang melakukannya saja. Biasanya jika ibu tidak ingin pusat bayinya menonjol
menggunakan uang koin untuk dapat menenggelamkannya.

Pasca melahirkan ada upacara gunting rambut. Biasanya ada acara shalawatan dan
marhabaan, lalu ada adat menyimpan/menyisipkan uang 100 Rupiah sampai 100.000 Rupiah
yang ditusukkan di pohon kelapa, yang buah kelapanya sebelumnya dibentuk seperti bendera.
Hal ini dimaksudkan agar anaknya kelak sejahtera. Upacara-upacara tersebut kemungkinan
sudah dilaksanakan sejak jaman dahulu kala danan dilakukan secara turun temurun berdasarkan
kebiasaan.

Beberapa warga Kampung Pulo ada yang masih melakukan upacara syukuran padi yang
dilakukan apabila sudah ditanur, upacara tersebut biasanya disebut Miteumbeyan Syukuran
dilakukan secara individu, sesuai dengan lahannya masing-masing. Syukuran dilakukan di rumah
masing-masing. Jika petani ingin menuai dan memanen padi ada sesajen. Hal tersebut bertujuan
sebagai ucap syukur setelah tanur padi. Saat Miteumbeyan biasanya warga membuat nasi
tumpeng, nasi kuning, hahampangan seperti kue-kue, bubur merah, dan bubur putih.

Di Kampung Pulo ada juga ritual malam Selasa dan malam Jumat, ritual tersbeut disebut
dengan Nyuguh Yang harus disiapkan untuk ritual Nyuguh yaitu sesajen. Ritual ini dilakukan
oleh sebagian individu saja.

2.2.2. Larangan

Di Kampung Pulo ada lima larangan yang tidak boleh dilakukan, yaitu :

1. Tidak boleh berziarah kubur pada hari rabu Di Kampung Pulo, pada hari Rabu, dilarang
berziarah ke makam kramat. Hal ini dilakukan karena sebelum Mbah Dalem Arif
Muhammad meninggal, agama Hindu masih berdiri di Kampung Pulo dan hari Rabu
merupakan hari penyembahan Dewa Shiwa, yang merupakan dewa terbaik. Di Kampung
Pulo banyak orang yang berziarah ke makam dengan maksud yang salah seperti karena
ingin kaya, ingin naik pangkat, ingin dapat jodoh, dan ingin sembuh dari penyakit.
Dengan demikian tugas Kuncen atau Pak Kuncen adalah meluruskan, bahwa berziarah ke
makam Mbah Dalem Arif Muhammad bukan untuk meminta tapi untuk mendoakan. Jadi
meminta itu tetap kepada Alloh SWT., tetapi denga syariat ( syariat =usaha atau ikhtiar)
berziarah ke makam mbah Dalem Arif Muhammad.
2. Tidak boleh memukul gong besar
Alasan tidak diperbolehkannya karena dikaitkan dengan kejadian yang menimpa
anak laki-laki Mbah Dalem Arif Muhammad. Yakni, anak laki-laki Mbah Dalem Arif
Muhammad saat disunat, diadakan pesta besar yang mengundang sanak saudara Mbah
Dalem Arif Muhammad untuk berkumpul. Anak Mbah Dalem Arif Muhammad tersebut
sebelum disunat diarak dahulu, ditanggul menggunakan Jampana yang beratapkan jurei
yang saat ini dikenal dengan istilah sisingaanyang diiringi oleh gamelan besar dari
perunggu. Tiba-tiba datang musibah berupa angin besar, anak Mbah Dalem Arif
Muhammad terjatuh dari Jampana dan meninggal. Oleh sebab itu Mbah Dalem Arif
Muhammad memperingatkan kepada anak cucu beliau yang tinggal di situ maupun yang
sudah keluar untuk tidak menabuh gongbesar dari perunggu dan membangun rumah yang
beratapkan jurei.
3. Tidak boleh membangun rumah beratap jure/prisma, selamanya harus memanjang
Hal ini berkaitan dengan kisah anak laki-laki Embah Dalem Arief Muhammad yang
celaka dan meninggal saat diarak menggunakan tandu yang berbentuk prisma.
4. Tidak boleh memelihara hewan ternak berkaki empat
Alasan tidak boleh memelihara hewan ternak berkaki empat, karena masyarakat disekitar
sini bermatapencaharian sebagai petani, dan ditakutkan hewan-hewan tersebut merusak
hasil tani. Alasan lainnya adalah karena disini banyak makam kramat seperti makam
Mbah Dalem Arif Muhammad, ditakutkan kotoran hewan tersebut mengotori makam
kramat tersebut. Ditakutkan pula jika hewan ternak tersebut disembah lagi oleh
masyarakat kampung Pulo, karena patung Dewa Shiwa itu menunggangi sapi. Untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, maka di Kampung Pulo dilarang memelihara
hewan ternak berkaki empat
5. Tidak boleh menambah atau mengurangi kepala kelurga
Alasan untuk tidak boleh menambah atau mengurangi jumlah kepala keluarga karena
bangunan rumah adat Kampung Pulo merupakan simbol dari keturunan Mbah Dalem
Arief Muhammad.

2.2.3. Kepercayaan

Pada mulanya sekitar abad ke-8 masyarakat kampung Pulo menganut agama hindu, hal ini
ditandai dengan ditemukannya situs candi cangkuang yang merupakan tempat beribadah umat hindu.
Namun sekitar abad ke-17 Islam masuk melaui Embah Dalem Arif Muhammad yang waktu itu adalah
panglima perang dari Mataram yang ditugaskan melawan belanda di Batavia namun gagal. Setelah itu
beliau tinggal di Kampung pulo dan menyebarkan agama Islam, dan dan mulai saat itu masyarakat
kampung Pulo menganut agama islam sampai sekarang. Meskipun di kampung Pulo terdapat ritual-ritual
adat, namun ritual yang dilakukan tidak banyak bertentangan dengan agama Islam.

Di Kampung Pulo dan Kampung Ciakar, masih banyak kepercayaan atau kebiasaan yang
masih dipercayai memiliki makna tersendiri.

Penduduk Kampung Pulo masih percaya pada jangjawokan atau jampi-jampi baik untuk
kesembuhan atau keselamatan. Misalnya seperti jampi-jampi: “langit mendung direg-regan ku
ceker berse reepp...reepp...reepp”. Ada pula aktivitas Ngukus yang diadakan setiap malam Selasa
dan malam Jumat yaitu acara membakar kemenyan untuk keselamatan. Makanan untuk upacara
Ngukus itu biasanya kopi pahit, kopi manis, menyan, rujak, roti, dan seupah. Warga setempat
percaya dengan barang-barang yang harus dibawa pada saat ibu hamil seperti bawang putih
dipercaya untuk menjauhkan ibu hamil dari makhluk halus yang ghaib atau ilmu hitam. Ibu
hamil biasanya membawa gunting, hal ini bertujuan jika ibu tersebut melahirkan mendadak dapat
meggunting sendiri „perineum‟-nya. Ibu yang sedang hamil dilarang memakan makanan yang
pedas. Kemudian ibu yang sedang hamil juga tidak diperbolehkan membeli pakaian atau
peralatan bayi, karena ditakutkan terjadi sesuatu terhadap bayi dalam kandungannya. Ibu hamil
yang telah memasuki trimester tiga disarankan untuk minum yang berminyak, seperti menyeduh
bunga terompet dan minyak kletik supaya saat melahirkan diberikan kelancaran. Selain
meminum minuman yang mengandung minyak, ibu hamil juga biasanya meminta air doa ke
Kuncen agar melahirkannya lancar. Kemudian ibu yang telah menginjak usia kandungan delapan
bulan tidak boleh memakan tutut karena ditakutkan saat melahirkan ibu mengantuk. Dan jika
ibu ingin anak yang dilahirkannya bersih, ibu disarankan untuk memakan buah alpukat saat
hamil. Jika saat gerhana ada ibu yang sedang hamil, ibu harus dimandikan oleh suaminya di
golodog hal ini dilakukan karena masyarakat mempercayai jika ibu hamil saat gerhana tidak
dimandikan, maka anak yang dilahirkan akan memiliki tanda hitam ditubuhnya.

Masyarakat sekitar masih menganggap bahwa plasenta atau ari-ari merupakan kembaran
bayi, sehingga ketika akan dikuburkan plasenta tersebut dimandikan dahulu lalu diberi bumbu
seperti bunga, gula, garam, asam, kunyit, dan lain-lain. Mereka beranggapan bahwa dengan
memberikan bumbu tersebut akan berakibat kepada kehidupan sang bayi nantinya. Sewaktu ibu
melahirkan didampingi oleh keluarga, agar bayi lahir dengan selamat ibu sering
mengkonsultasikan kehamilannya kepada bidan. Setelah ibu melahirkan makanan yang tidak
diperbolehkan adalah salak, jambu, buah, dan ikan emas. Selain itu ibu nifas juga tidak
diperbolehkan memakan pisang tanpa sebab yang jelas, dan juga tidak diperbolehkan memakan
nangka karena dipercaya jika memakan nangka kulit perut akan membesar. Pada saat ibu nifas
ibu diberi jamu oleh paraji dan disarankan untuk merebus sirih ada yang diminum dan ada juga
yang dibasuhkan ke kemaluan wanita. Kemudian setelah ibu melahirkan, disarankan untuk
meminum air yang berasal dari genteng dan menduduki abu panas, hal tersebut dipercaya supaya
rahim yang sudah melahirkan bisa rapat kembali. Ibu yang telah melahirkan pun tidak boleh
memakan petai dan yang berbau amis seperti ikan, hal ini karena ditakutkan darah yang keluar
berbau amis. Untuk ibu yang ingin ASI-nya banyak disarankan untuk merebus labu dan papaya
yang belum matang, kemudian air rebusannya diminum dan buahnya dimakan. Kemudian untuk
ibu yang akan memberhentikan ASI bagi anaknya, ibu disarankan untuk mengoleskan batrawali
atau kopi kedaerah payudara sehingga saat anak akan meminta ASI merasa pahit dan anka tidak
mau untuk meminta ASI lagi. Masyarakat Kampung Pulo dan Kampung Ciakar mempercayai
akan adanya penyakit yang berasal dari mahluk halus atau mahluk gaib. Dan jika sakit kiriman
itu ada, masyarakat biasanya meminta pertolongan dari orang pintar untuk menyembuhkannya.

https://www.academia.edu/6048437/KELOMPOK_SISTEM_RELIGI_MASYARAKAT_DESA
_CANGKUANG
2.3. Sistem Sosial dan Organisasi Kemasyarakatan Kampung Pulo

Sruktur pemerintahan di daerah kampung pulo pada dasarnya mengikuti tata pemerintaha
daerah yang berlaku di wilayah pemerintahan Kab.Garut karena letak geografisnya berada di
wilayah pemeritah daerak Kab. Garut. Di kampung pulo terdapat struktur pemerintah seperti RT,
RW, Kepala desa, dan camat sebagai Kepala pemerintahannya kampung pulo juga ikut serta
melaksanakan program pemerintah seperti Pemilihan Umum, Program Keluarga berencana dan
sebagainya. Namun, Kampung adat sendiri di kepalai oleh seorang Juru Kunci atau kuncen yang
dituakan. Pemilihan Kuncen ini didasarkan pada musyawarah masyarakat Kampung Pulo. Masa
periode menjadi kuncen tidak ditentukan, sampai kuncen tersebut meninggal dunia. Dan apabila
ada kuncen yang ingin mengundurkan diri maka jabatan menjadi kuncen ini akan dilimpahkan
pada orang yang sudah dipilih oleh kuncen tersebut. Untuk struktur RT dan RW di kampung
pulo disatukan ke Kampung yang lain karena hanya ada 6 kepala keluarga yang ada di kampung
pulo.

Hukum yang berlaku di kampung pulo adalah hukum dzohir yaitu hukum negara dan hukum adat
yang bersifat Ghoib. Dalam hukum dzohir contohnya apabila ada yang melakukan tindak kriminal maka
pihak berwenang dapat membawa warga kampung pulo untuk diadili. Selain itu juga Hukum adat yang
berlaku di daerah kampung pulo. Hukum adat yang berlaku di kampung pulo bersifat ghoib dan akan
terjadi dengan sendirinya, jadi ketika seseorang melanggar peraturan yang berada dikampung tersebut
maka ia akan menerima ganjarannya. Contohnya, apabila didalam sebuah rumah terdapat 2 kepala
keluarga maka dalam rumah itu akan terjadi percekcokan yang besar.

http://emmarachmatika.blogspot.com/2013/12/kampung-adat-pulo.html

2.4. Sistem Ilmu Pengetahuan Masyarakat Kampung Pulo

Sistem pengetahuan berkaitan dengan pendidikan yang sudah ditetapkan pemerintah.


Misalnya wajar diknas 9 tahun.

Di Kampung Pulo biasanya pada saat usia 2 atau 3 tahun seorang anak tidurnya sudah
terpisah dari orang tuanya. Perlakuan atau cara mendidik anak itu sama saja baik laki-laki
maupun perempuan, tergantung masing-masing orang tua. Bahasa yang biasanya digunakan dan
diajarkan pada anak-anak yaitu bahasa Sunda. Anak pertama kali diajarkan cara berjalan dan
berbicara oleh ibunya, tata krama pun diajarkan pertama kali oleh orang tua dan ketika masuk
sekolah diajari oleh gurunya. Anak-anak di Kampung Pulo harus mengikuti adat istiadat di
Kampung Pulo yang sudah turun-temurun. Permainan anak-anak di Kampung Pulo itu seperti
bermain boneka, bersepedah, bermain boy-boyan, bermain karet, bermain layang- layang, bola,
kelereng, „ucing sumput‟ yang dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan petak umpet, ucing
lumpat, dan congklak.

http://emmarachmatika.blogspot.com/2013/12/kampung-adat-pulo.html

2.5. Sistem Bahasa Masyarakat Kampung Pulo

Bahasa yang digunakan masyarakat Kampung Pulo yaitu bahasa sunda .

2.6. Sistem Kesenian Masyarakat Kampung Pulo

Kesenian yang masih dipelihara di Kampung Pulo yaitu rudat ( pencak silat dengan
iringan musik rebana )

2.7. Sistem Pola Mata Pencaharian Masyarakat Kampung Pulo

Masyarakat Kampung Adat Pulo berada pada wilayah objek wisata namun pada dasaranya,
masyarakat Kampung Adat Pulo mempunyai mata pencaharian dan hidup sebagai petani. Profesi
bertani ini merupakan tradisi turun temurun yang ada di kampung pulo. Masyarakat kampung
pulo juga pada dasarnya tidak menjual hasil bertani keluar kampung. Mereka beranggapan
bahwa dari pada hasil tani mereka di jual ke pihak luar lebih baik diberikan kepada sanak
saudara yang membutuhkan.

2.8. Sistem Teknologi dan Peralatan Masyarakat Kampung Pulo

Masyarakat Kampung Kampung Pulo sudah mengenal teknologi. Untuk memasak pun
mereka masih menggunakan tungku atau kompor minyak. Sumber daya listrik untuk keperluan
penerangan dikawasan ini berasal dari PLN yang alirannya diambil secara tidak langsung melalui
salah satu rumah penduduk di kampong Cangkuang. Sumber air bersih dikawasan ini beraal dari
sumur dan air danau dengan kualitas air yang jernih, rasa yang tawar dan bau air yang normal.
Berhubung karena tidak boleh adanya bangunan lain yang dibangun di kampung pulo maka di
kampong Pulo tersebut tidak terdapat fasilitas Wisata Lainnya.
http://kuliahhukumonline.blogspot.com/2011/12/antropologi-budaya-hukum.html

Untuk peralatan-peralatan pertanian, masyarakat kampung pulo sudah menggunakan


yang manual dan tradisional maupun yang modern. Contohnya di kampung pulo banyak ada
sawah yang di rawa-rawa tanpa alat pun bisa dan ketika panen tinggal dicabut atau memakain
sabit maupun cangkul. Dan untuk sawah yang permukaan air nya sudah dangkal sekarang
memakai traktor dan ada juga yang pakai kerbau.

Anda mungkin juga menyukai