Anda di halaman 1dari 2

“Babarit”, Hari Jadi Kuningan Syukuri Hasil Bumi

Meski peradaban zaman sudah menggerus berbagai kebudayaan tradisional


masyarakat terdahulu yang berasal dari cengkeraman hegemoni asing, nilai-nilai tradisi
seakan terkikis menjadi suatu adat yang absolut, namun tidak untuk Kabupaten Kuningan.
Pada helatan acara “Babarit” berupa acara ritual tahunan atau hajat syukuran atas pencapaian
hasil dari pengelolaan kekaayaan sumber daya alamnya, juga merupakan ciri dari tradisi adat
Suku Sunda, termasuk Kuningan masih melestarikannya dengan menggelarnya di depan
Pendopo atau kantor Bupati, sebagai uparaca dan sekaligus membuka rangkaian perayaan
Hari Jadi Kabupaten Kuningan setiap tahunnya.

Upacara Babarit yang diawali dengan penyambutan kedatangan Bupati ke tempat


acara, dijemput dengan Aki Lengser, yakni laki-laki yang didandani menjadi sesepuh tua
dengan tampilan raut jenaka dan didampingi beberapa dayang-dayang berupa penari lengkap
memakai pakaian khas tradisi Sunda.

Sesampainya Bupati di tempat acara dan duduk di podium yang sudah


dipersiapkan khusus untuk acara Babarit ini semua pejabat daerah duduk secara lesehan
dalam hamparan karpet megah tepat di tengah-tengah masyarakat Kuningan yang begitu
sesak memadati halaman Pendopo untuk menyaksikan prosesi acara Babarit, dan tentunya
ingin untuk mendapatkan potongan tumpeng-tumpeng menjulang setinggi kurang lebih 2
meter, yang sudah dipersiapkan panitia untuk makan bersama dengan formasi ‘botram’.

Dalam acara tersebut, sambutan Bupati disampaikan dengan menggunakan


bahasa Sunda yang sangat halus atau dialek Krama Inggil layaknya bahasa yang
dipergunakan para priyayi kerajaan atau kalangan menak zaman dahulu.

Acara kemudian dilanjutkan dengan rajah atau upacara ritual yang dipimpin oleh
pemimpim adat untuk memberikan doa-doa dan penghormatan kepada ruh-ruh leluhur, juga
mengundang ruh-ruh leluhur untuk hadir dalam doa atau mantra yang disambatkan—dalam
doa/mantra tersebut ada sebuah komunikasi untuk menyiratkan pesan dari para leluhur yang
harus dijalankan dan juga sebagai penghubung permintaan perlindungan atau tolak bala
kepada Tuhan, Allah SWT. Selesai rajah, pemimpin adat atau yang disebut Pupuhu
Papayung Agung menyampaikan petuah-petuah dan nasihat kepada semua yang menghadiri
acara Babarit.

Sebelum pada puncak acara yaitu pemotongan dan pembagian nasi tumpeng,
terlebih dahulu disajikan hiburan tradisional berupa ibing atau tarian Sunda seperti tayub atau
tarian pergaulan secara berpasangan, yang diikuti seluruh pejabat daerah—nampak tarian
pasangan Bapak beserta Ibu Bupati begitu mesra dalam tariannya. Hal ini diikuti pula oleh
kaula muda yang menyaksikan Babarit, ada yang menari dengan pasangannya, ada pula yang
menari bersama rangkulan selendang para penari adat yang begitu gemulai dan lentik jari-
jemarinya, memukau meliak-liukan goyangan badan tubuhnya, sesaat membuat pandangan
mata para kaum adam terkesima. Semua, lengkap dengan memakai pakaian adat Sunda,
begitu menghayati dalam ke relung jiwanya, mereka menikmati tarian seakan begitu rindunya
mereka terhadap seni tradisi, riang gembira dalam perayaan hari jadi tanah kelahirannya.
Dari penjelasan Bupati Kuningan, H. Acep Purnama, Upacara seremoni Babarit
adalah, Babar artinya lahir, berarti ini perayaan hari kelahiran Kuningan. Babarit ada di
tingkat desa, ada Babarit tingkat kabupaten. Mengenai acara murak tumpeng, atau gelaran
botram makan tumpeng bersama di tengah-tengah masyarakat Kuningan, dengan
mengundang seluruh warga pada acara ini. Artinya, perayaan hari jadi Kuningan ini harus
dilakukan bersama-sama tanpa hirarki dan tanpa ada sekat.

“Para pejabat harus melayani masyarakat, begitu juga masyarakat harus


menghormati pejabatnya, selajan dengan budaya gotong royong warisan nenek moyang,
sebagai simbol persatuan dan kesatuan dalam bersyukur kehadirat Allah SWT,” tuturnya.

Anda mungkin juga menyukai