Anda di halaman 1dari 4

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT KUANTAN SINGINGI

“PACU JALUR”

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Lingkungan

Dosen Pengampuh :
Bapak Mahmud Alpusari M. Pd

Disusun Oleh :
Marvira Delvi
1805124399

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS RIAU
DESEMBER, 2020
KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT KUANTAN SINGINGI

“PACU JALUR”

Pacu Jalur merupakan kebanggaan masyarakat Kuansing yang pelaksanaannya


ditunggu setiap tahunnya. Sebelum menjadi sebuah jalur yang utuh dan dapat didayung serta
dilombakan di Sungai Kuantan, terdapat serangkaian prosesi adat istiadat dalam pembuatan
sebuah jalur. Pembuatan jalur akan dilakukan oleh masing-masing desa atau dusun atau
kampung. Prosesi adat istiadat ini tidak ditetapkan waktu dan tanggalnya, karena tiap desa
atau dusun atau kampung memiliki rencana yang berbeda-beda dalam proses pembuatannya.
Proses pembuatan jalur harus dilakukan secara berurutan.

Bukan hal yang mudah dalam mencari kayu yang akan digunakan sebagai bahan dasar
perahu atau jalur. Ada begitu banyak proses yang harus dilalui. Biasanya masyarakat bersam-
bersama untuk mencari kayu dihutan. Jika sudah mendapatkan pohon yang cocok untuk
dijadikan jalur, maka harus dilakukan tradisi untuk meminta izin sebelum dilakukan
penebangan pohon. Pemilihan pohon yang dijadikan jalur juga tidak sembarangan, karena
kayu yang digunakan akan sangat mempengaruhi hasil lomba nantinya. Di luar peran dari
pawang atau dukun jalur tertentu. Masyarakat pun meyakini kalau pohon yang sudah
ditebang kemudian dijadikan jalur tersebut akan tetap hidup secara gaib. Jenis kayu yang
digunakan untuk membuat jalur bukanlah kayu yang sembarangan, melainkan kayu yang
memiliki nilai spiritual tinggi.

Setelah ditemukan kayu yang berdiameter 45 meter lingkaran batang pohonnya


dengan panjang berkisar antara 25-30 meter yang akan didayung nantinya oleh 50-60 anak
pacu yang telah dipilih maka selanjutnya akan dilakukan penebangan kayu tersebut. Setelah
itu dilakukan mengabung. Mengabung berarti memotong kayu pada bagian ujung. Setelah
kayu rebah, para tukang segera memperkirakan ukuran panjang kayu yang dibutuhkan untuk
sebuah jalur. Selain pekerjaan mengabung, pada proses ini juga dilakukan kegiatan
membersihkan keseluruhan kayu yang akan dibentuk dan membersihkan kayu-kayu yang ada
di sekitarnya agar pekerjaan tersebut dapat dilaksanakan dengan lancar.

Kemudian maelo/Menarik Jalur, dalam proses maelo tersebut dilakukan dengan aba-
aba. Alat yang digunakan adalah tali pengikat dari rotan yang kuat dan panjang. Tali tersebut
diikat pada telinga jalur di bagian depan untuk ditarik oleh orang banyak. Selain ada ikatan di
depan, ada juga ikatan tali di belakang untuk pengontrol agar jalur yang dielo bisa lurus.
Kegiatan ini dilakukan bersama-sama pada saat penarikan jalur ini dibutuhkan kerja sama
warga. Disinilah terletak kebersamaan warga Desa. Biasanya pada saat menarik jalur ini
dibutuhkan waktu yang cukup lama sehingga sebelum pergi masyarakat Desa membawa nasi
dan minuman dan apabila waktu siang mereka makan bersama-sama. Kemudian kayu jalur
tersebut dibawak menggunakan mobil fusu dan diriringi masyarakat Desa.

Dalam proses maelo jalur ini dilakukan proses manual dengan menggunakan tenaga
manusia menarik jalur dari hutan dan dibawa ke sungai terdekat dilakukan dengan aba-aba,
sehingga terlihat kekompakan dan solidaritas sosial masyarakat dapat menjadi cocok dan
masyarakat dapat menerima aturan-aturan yang berlaku, sehingga mampu mengikat mereka
untuk datang beramai-ramai melakukan aktivitas menarik jalur ini. Dengan demikian, dapat
dikatakan maelo jalur merupakan salah satu hasil budaya masyarakat yang dapat merekat
hubungan antar warga masyarakat.

Inilan beberapa rangkaian adat istiadat masyarakat Kuantan Singingi dalam hal proses
pembuatan perahu jalur sebelum. Pacu Jalur yang merupakan kearifan lokal masyarakat
Kuantan Singingi, selain memiliki nilai budaya, tentunya juga sangat memperhatikan
keberlangsungan ekosistem hutan. Alam bagi masyarakat Kuantan Singingi adalah suatu hal
sentral bagi kehidupan mereka. Di sanalah tempat mereka mencari penghidupan dan bisa
bertahan hidup. Namun hormat mereka kepada alam bukan hanya karena mereka bisa
memanfaatkan saja, melainkan juga kewajiban untuk terus menjaga. Kewajiban tersebut
tercermin dari pepatah (atau petatah petitih) generasi tua yang menyatakan jika alam binasa,
adatpun juga akan binasa, “Kalau tidak ada laut, hampalah perut, bila tidak ada hutan,
binasalah badan”.
Keseluruhan wujud nilai tanggung jawab tersebut diistilahkan sebagai sebuah kearifan
lokal (local wisdom). Kearifan lokal adalah prinsip-prinsip dan cara tertentu yang dianut,
dipahami, dan diaplikasikan oleh masyarakat lokal dalam berinteraksi dan berinterelasi
dengan lingkungannya dan diformulasikan dalam bentuk sistem nilai dan norma adat.
Bentuk-bentuk dari kearifan lokal antara lain adalah petuah amanah, etika-etika atau perilaku
yang dianjurkan, dan nilai serta norma. Yang lebih menarik, kewajiban menjaga alam juga
dipengaruhi oleh nilai keislaman bahwa manusia adalah khilafah , pemimpin yang harus
bertanggung jawab  di Bumi, akibat adanya asimilasi nilai Islam dalam kehidupan masyarakat
Melayu Kuantan Singingi.

Restriksi pemanfaatan alam yang terkandung dalam budaya Pacu Jalur pada
Masyarakat Kuantan Singingi Provinsi Riau antara lain:

1. Meminta izin kepada kepala adat (ninik mamak) sebelum pergi ke hutan. Ini adalah
wujud dari kontrol sosial agar tidak terjadi eksploitasi terhadap alam.
2. Menentukan kawasan boleh menebang pohon untuk pembuatan jalur, sebagai
kesadaran fungsi strategis bahwa pentingnya pohon dalam perlindungan di ekosistem
hutan.
3. Menentukan waktu tertentu untuk menebang pohon di kawasan hutan Kuantan
Singingi agar tidak terjadi eksploitasi pada sumber daya alam.
4. Tidak membolehkan setiap hutan atau rimba untuk ditebang pohonnya, tetapi
memperbolehkan pemetikan buah yang tidak disertai pemotongan kayu, seperti yang
terdapat di Rimbo Larangan Jake, Kuantan Singingi.
5. Denda jika memotong kayu untuk keperluan komersial berupa wajib memotong
kambing/lembu/kerbau di hutan larangan, seperti Rimbo Larangan Jake, Kuantan
Singingi.
6. Pemberantasan illegal logging yang dilakukan pihak luar dengan menggunakan
hukum adat, contoh nyatanya di Hutan Lindungan Sentajo, Kuantan Singingi.

Anda mungkin juga menyukai