Anda di halaman 1dari 51

LAPORAN AKHIR BASE PROJECT

MATA KULIAH KESEHATAN MENTAL

PROGRAM PSIKOEDUKASI DALAM MENINGKATKAN PENGETAHUAN


SELF DIAGNOSE PADA KALANGAN REMAJA

OLEH KELOMPOK 1

AULIA AZZAHRA A1R121025


ALIF FATURRAHMAN WARDHANA A1R121021
AZZAHRAH HAQ SYAKIR A1R121027
DEWA RAI KARLINA A1R121004
MUHAMMAD SALBI A1R121067
NURUL HIDAYAH A1R121040
TRI AYU ACHIRIA LESTARI A1R121080

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
DESEMBER 2022
IDENTITAS DAN URAIAN UMUM

1. Judul Kegiatan : Program Psikoedukasi dalam Meningkatkan Pengetahuan


Self Diagnose pada Kalangan Remaja
2. Tim Pengusul
No Nama Jabatan NIM

1 Aulia Azzahra Ketua A1R121025


2 Alif Faturrahman Wardhana Anggota A1R121021
3 Azzahrah Haq Syakir Anggota A1R121027
4 Dewa Rai Karlina Anggota A1R121004
5 Muhammad Salbi Anggota A1R121067
6 Nurul Hidayah Anggota A1R121040
7 Tri Ayu Achiria Lestari Anggota A1R121080

3. Obyek Kegiatan :
Siswa SMAN 11 Kendari dan SMA Kartika XX-2 Kendari, berusia 15 – 18 tahun yang
pernah dan tidak pernah melakukan self diagnose.
4. Masa Pelaksanaan
Mulai : 24 November 2022
Berakhir : 26 November 2022
5. Instansi lain yang terlibat:
a. SMAN 11 Kendari
b. SMA Kartika XX-2 Kendari
6. Target Kegiatan : Memberikan Psikoedukasi kepada siswa SMA di Kota Kendari
7. Kontribusi mendasar pada suatu bidang ilmu:
Menambah pengetahuan dalam ilmu psikologi terutama mengenai self diagnose.

ii
DAFTAR ISI

IDENTITAS DAN URAIAN UMUM ..................................................................................... ii


DAFTAR ISI ............................................................................................................................ iii
RINGKASAN .......................................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
1.1 Analisis Situasi ............................................................................................................ 1
1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah ........................................................................... 2
1.3 Target dan Luaran ........................................................................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................. 4
2.1 Pengertian Psikoedukasi .............................................................................................. 4
2.2 Pengertian Self Diagnose ............................................................................................. 4
2.3 Faktor Self Diagnose ................................................................................................... 6
2.4 Efek Self Diagnose ...................................................................................................... 7
2.5 Remaja ......................................................................................................................... 9
BAB III METODE PELAKSANAAN .................................................................................. 14
3.1 Waktu dan Tempat..................................................................................................... 14
3.2 Tahapan Pelaksanaan Kegiatan ................................................................................. 14
BAB IV HASIL KEGIATAN ................................................................................................ 15
4.1 Gambaran Umum Lokasi........................................................................................... 15
4.2 Pelaksanaan Kegiatan ................................................................................................ 18
4.3 Materi yang Disampaikan .......................................................................................... 22
4.4 Respon dan Perkembangan Siswa ............................................................................. 27
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................. 30
5.1 Kesimpulan ................................................................................................................ 30
5.2 Saran .......................................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 32
LAMPIRAN ............................................................................................................................ 33
Daftar Hadir .......................................................................................................................... 33
Instrumen Lembar Angket Siswa ......................................................................................... 35
Review Jurnal ....................................................................................................................... 37
Brosur ................................................................................................................................... 47

iii
RINGKASAN

Kegiatan ini merupakan kegiatan Psikoedukasi dalam Meningkatkan Pengetahuan Self


Diagnose pada kalangan remaja. Hal yang akan dilakukan dalam kegiatan ini berupa
psikoedukasi karena terdapat peningkatan jumlah pengidap penyakit mental disebabkan oleh
perkembangan dan penyebaran melalui teknologi digital yang sangat cepat, kurangnya edukasi
masyarakat beserta stigma yang sulit dihilangkan dalam masyarakat Indonesia. Sasaran
kegiatan ini adalah remaja yang saat ini duduk di bangku SMA yang yang pernah dan tidak
pernah melakukan self diagnose. Melalui kegiatan ini, diharapkan siswa/siswi remaja memiliki
pengetahuan tentang literasi kesehatan mental, sehingga tindakan self diagnose tersebut tidak
terjadi kepada remaja. Diharapkan kegiatan ini dapat menjadi acuan bagi remaja untuk selalu
waspada terhadap literasi yang belum tentu valid yang tersebar di internet dan perlunya
dampingan dari tenaga profesional seperti psikolog atau psikiater. Tujuan jangka panjang dari
kegiatan ini adalah semua sekolah dari tingkat SMA memiliki pengetahuan dalam
meningkatkan literasi kesehatan mental, sehingga mereka dapat lebih bijak dalam mendiagnosis
diri sendiri.

Kata Kunci: psikoedukasi, self diagnose, remaja

iv
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Analisis Situasi


Perkembangan teknologi informasi semakin mempermudah orang
dalam mencari informasi mengenai kesehatan. Bukan hanya informasi
mengenai kesehatan fisik, tetapi juga informasi psikologis. Kemudahan
mengakses informasi ini memungkinkan orang-orang dapat menyimpulkan
suatu masalah kesehatan fisik maupun psikologisnya sendiri dengan berbekal
informasi yang didapatkan dari internet yang sumbernya tidak kredibel, teman
atau keluarga yang bukan ahlinya, atau bahkan berdasarkan pengalaman di
masa lalu.
Pengetahuan yang didapat dari sumber yang tidak kredibel tersebut
membuat individu mendiagnosis diri dengan menilai gejala-gejalanya sendiri.
Tak sedikit individu yang dijumpai melakukan self diagnose mengaku
memiliki penyakit atau gangguan mental.
Menurut Ahmed dan Stephen (2017), self diagnose bisa berpengaruh
pada kesehatan mental karena dapat menimbulkan kekhawatiran yang
sebenarnya tidak perlu. Dari kekhawatiran itu dapat memunculkan gangguan
kecemasan karena terlalu mempercayai suatu informasi yang bukan didapat
dari ahlinya. Mendiagnosis diri sendiri dapat membahayakan karena suatu
penyakit atau gangguan memerlukan penanganan yang tepat. Kesehatan akan
beresiko jadi lebih parah jika penanganannya salah.
Berdasarkan hasil penelitian, self diagnose memberikan dampak yang
buruk terhadap kesehatan mental. Menurut Maskanah (2022), gangguan
kesehatan mental yang diakibatkan oleh self diagnose dapat mengganggu
aktivitas sehari-hari. Dampak yang dirasakan remaja antara lain: kecemasan
berlebih, takut terhadap hal yang belum tentu terjadi, tertekan dan stres.
Pada Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, menunjukkan lebih dari 19 juta
penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional,
dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi.

1
Usia remaja merupakan usia yang rentan terhadap berbagai stres, pada usia itu
sangat erat kaitannya dengan stres fisik maupun secara psikologis, saat
memasuki usia inilah manusia sedang berada pada puncak aktivitasnya.
Bercermin dari situasi dan kondisi yang telah digambarkan tersebut,
dipertimbangkan bahwa sangat perlu dilakukan sebuah kegiatan psikoedukasi
kepada remaja sebagai bentuk usaha preventif menciptakan generasi
mendatang yang peduli terhadap kesehatan mental serta intervensi ketika telah
melakukan self diagnose.

1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah


Adapun indetifikasi dari Self diagnose yaitu:
a. Adanya siswa yang melakukan self diagnose.
b. Rendahnya Pengetahuan terkait literasi kesehatan mental.
c. Ketidakpahaman terkait dampak melakukan self diagnose.
d. Tersebarnya artikel-artikel mengenai kesehatan mental di internet yang
belum tentu valid.
Adapun perumusan masalah dari Self diagnose yaitu:
a. Apakah siswa memiliki pemahaman yang baik mengenai self diagnose?
b. Apakah psikoedukasi berpengaruh dalam peningkatan pengetahuan self
diagnose?

1.3 Target dan Luaran


Target yang akan dicapai dalam kegiatan ini ialah memberikan
pengetahuan dan pengalaman baru serta menjadi rujukan metode pencegahan
terhadap self diagnose khususnya usia remaja menuju dewasa, meningkatkan
pengetahuan self diagnose dan mengurangi dampak negatif dari perilaku
mendiagnosa diri sendiri. Kegiatan ini akan ditujukan pada siswa SMA yang
melakukan self diagnose. Dalam kegiatan ini nantinya akan diberikan
serangkaian psikoedukasi untuk meningkatkan pengetahuan mengenai self
diagnose.

2
Luaran yang ingin dicapai dalam kegiatan ini adalah untuk
menghasilkan laporan mengenai kegiatan psikoedukasi.

3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Psikoedukasi


Psikoedukasi adalah treatment yang diberikan secara profesional dimana
mengintegrasikan intervensi psikoterapeutik dan edukasi (Lukens &
McFarlane, 2004). Definisi istilah psikoedukasi adalah suatu intervensi yang
dapat dilakukan pada individu, keluarga, dan kelompok yang fokus pada
mendidik partisipannya mengenai tantangan signifikan dalam hidup, membantu
partisipan mengembangkan sumber-sumber dukungan dan dukungan sosial
dalam menghadapi tantangan tersebut, dan mengembangkan keterampilan
coping untuk menghadapi tantangan tersebut.

Psikoedukasi, baik individu ataupun kelompok tidak hanya memberikan


informasi-informasi penting terkait dengan permasalahan partisipannya tetapi
juga mengajarkan keterampilan-keterampilan yang dianggap penting bagi
partisipannya untuk menghadapi situasi permasalahannya (Brown, 2011).
Psikoedukasi dapat diterapkan tidak hanya pada individu atau kelompok yang
memiliki gangguan psikiatri, tetapi juga digunakan agar individu dapat
menghadapi tantangan tertentu dalam tiap tingkat perkembangan manusia
sehingga individu dapat terhindar dari masalah yang berkaitan dengan
tantangan yang dihadapi (Walsh, 2010).

2.2 Pengertian Self Diagnose


Diagnosis dalam sebuah kesehatan merupakan hal yang umum dan sudah
seharusnya dilakukan oleh seorang dokter atau tenaga ahli medis untuk
menentukan kondisi kesehatan pasien dan melakukan pengobatan agar pasien
tersebut mendapatkan perawatan kesehatan yang sesuai dan tepat. Menurut
Jutel (2009), diagnosis merupakan salah satu alat yang sangat penting dalam
pengobatan dan juga menunjukkan bagaimana kedokteran berperan dalam
sebuah masyarakat.

4
Self diagnose dijelaskan dalam sebuah model terapetik S-DTM pada
psikoparmakologi dimana self diagnose digambarkan menjadi sebuah
kesadaran dan kepedulian seorang individu terhadap suatu penyakit atau gejala
kesehatan lainnya yang membuat seseorang tersebut merasa gelisah dan muncul
perasaan tidak menyenangkan, sehingga membuat individu menjadi tergerak
untuk melakukan identifikasi terhadap gejala-gejala penyakit yang muncul pada
diri secara spesifik sebagai dasar dari identifikasi akan penyakit yang diderita.

Ahmed dan Stephen (2017) juga menambahkan penjelasan definisi


mengenai konsep tersebut bahwa, diagnosa diri atau self diagnose merupakan
sebuah tindakan pengamatan seseorang terhadap gejala-gejala penyakit atau
gangguan kesehatan yang dirasakan secara mandiri serta melakukan identifikasi
terhadap penyakit yang dirasakan hanya berdasarkan gejala-gejala penyakit
yang dirasakan tanpa bantuan tenaga medis maupun konsultasi medis.

Self diagnose adalah upaya mendiagnosis diri sendiri memiliki sebuah


gangguan atau penyakit berdasarkan pengetahuan yang dimiliki. Dibandingkan
manfaat yang didapat, self diagnose melalui internet memiliki banyak risiko
yang berbahaya (Mcmullan, 2018).

Pertama, tingkat keakuratan informasi di internet tergolong rendah. Telah


disebutkan sebelumnya bahwa semua orang berhak mengakses berbagai situs
di internet. Apabila seseorang yang memiliki kemampuan mengedit sebuah
situs web, khususnya yang menyediakan informasi seputar kesehatan maka
situs tersebut perlu diragukan keakuratannya. Sebagian besar situs di internet
justru menampilkan hasil yang jauh dari perkiraan sehingga membuat seseorang
panik dan khawatir.

Kedua, internet tidak membedakan informasi dari seorang profesional


dan bukan profesional. Internet menyediakan banyak sekali informasi seputar
perkembangan pengobatan. Namun, perlu diketahui bahwa tidak semua
informasi yang tersedia berasal dari seorang profesional. Berbagai bentuk
perawatan bermunculan tanpa bantuan profesional untuk mengobati gejala yang

5
diderita. Dari sinilah muncul kekhawatiran bahwa pengguna internet tidak
memahami informasi tersebut dengan baik, dan justru menggunakan
pengobatan alternatif yang membahayakan daripada mengunjungi dokter,
psikolog, maupun seorang profesional dibidangnya.

Ketiga, banyaknya informasi yang tidak jelas sumbernya bertebaran di


internet. Ada lebih 70 ribu situs web yang menawarkan informasi seputar
kesehatan dapat diakses oleh seluruh pengguna internet manapun. Menentukan
data yang akurat atau tidak merupakan tindakan yang membahayakan
kesehatan. Lebih dari setengah informasi kesehatan di internet merupakan
informasi yang tidak tepat. Bahkan untuk seseorang yang memiliki latar
belakang pengetahuan medis sekalipun, belum bisa dengan pasti menentukan
perawatan online yang akurat atau tidak.

Keempat, internet dapat menjadi jurang bagi kesehatan mental seseorang.


Internet dapat terlibat dalam validasi gangguan mental serius sebagai sesuatu
yang normal. Individu yang memiliki gangguan kesehatan mental perlu
didiagnosis dan dirawat sesuai dengan penyakit yang dideritanya melalui
seorang profesional.

Self diagnose atau diagnosis mandiri merupakan proses dimana


seseorang mengamati sesuatu yang ada dalam diri, gejala patologi dan
mengindentifikasi penyakit ataupun kelainan berdasarkan pengetahuan yang
diperoleh tanpa konsultasi secara medis. Dalam hal ini, seseorang mungkin
menyesuaikan perilaku atau watak yang ditentukan secara kontektual, dengan
gejala yang dialami. Self diagnose telah dipelajari dengan berbagai macam cara
sebagai suatu proses kognitif atau proses perilaku yang diinduksi oleh emosi,
dan dibedakan dengan adanya tekanan emosi.

2.3 Faktor Self Diagnose

Faktor seseorang dalam melakukan self diagnose ialah pengalaman


hidup, dalam hal ini pengalaman data mengungkapkan peran yang dimainkan

6
oleh peristiwa kehidupan tertentu yang telah terjadi di masa lalu yang
menyebabkan seseorang tersebut telah mendiagnosis diri. Dari berbagai
peristiwa bahwa peristiwa negatif yang terjadi dalam hidup seseorang
merupakan faktor penyebab seseorang tersebut berpikir atau bertindak
maladaptif tertentu yang pernah terpapar psikopatologi, individu mulai melihat
sebagai suatu gejala dan oleh karena itu individu menggunakan gejala tersebut
untuk mendiagnosis diri sendiri dengan informasi yang telah diketahui.
Ahmed dan Stephen (2017) menyebutkan faktor yang mempengaruhi self
diagnose dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor internal dan eksternal individu
yang memfasilitasi diagnosis diri:
1. Faktor Internal
Salah satu faktor internal yang paling sering muncul ialah pemikiran
percaya terhadap hal-hal yang belum pasti akan kebenarannya. Hal ini
mengacu pada pencarian informasi yang baru dan menganggap informasi
tersebut sesuai dengan apa yang diinginkan.
2. Faktor Eksternal
Faktor lain yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan self diagnose
ialah faktor eksternal. Salah satunya ialah buku yang membagikan informasi
mengenai informasi yang dibutuhkan, dalam hal ini seseorang akan
membandingkan informasi yang ada dengan gejala yang dirasakan dengan
tujuan untuk menemukan sesuatu yang berhubungan dengan gejalanya
tersebut. Sumber eksternal lainnya yaitu sumber online. Self diagnose online
merupakan proses dimana sumber online digunakan oleh individu untuk
mengdiagnosis diri sendiri dengan gejala yang individu tersebut alami.
Faktor terakhir ialah peristiwa yang terjadi di kehidupan individu, individu
dapat membandingkan peristiwa tersebut dengan gejala yang dirasakannya
dengan fitur utama yang dapat dilihat dari kasus tertentu.

2.4 Efek Self Diagnose


Ahmed dan Stephen (2017) menyebutkan efek dari self diagnose tersebut
dibagi menjadi efek positif dan negatif (efek kognitif, afektif dan perilaku).

7
1. Efek Kognitif
Salah satu efek utama dalam self diagnose ialah tercipatanya rasa
bingung dimana individu merasa tidak yakin dengan gejala yang
dialaminya. Efek yang berkepanjangan, individu selalu merasakan cemas
yang berlebih. Efek kognitif lainnya dari diagnosis diri ialah
ketidakmampuan untuk fokus atau berkonsentrasi, dalam hal ini, individu
yang merasakan masalah tersebut menggambarkan ketidakmampuan
untuk fokus. Efek kognitif yang timbul lainnya adalah persepsi bahwa
individu tersebut merasa dirinya berbeda atau memiliki kelainan. Hal ini
sangatlah buruk dikarenakan mereka mulai menganggap bahwa dirinya
tidak normal dan tidak dapat disembuhkan yang dapat menimbulkan
perasaan stres yang berlebih yang mengakibatkan rasa putus asa.
2. Efek Afektif
Efek yang paling terlihat jelas dan mudah didapat adalah tekanan
fisik dan emosional yang menyertai diagnosis diri. Efek lainnya yang
timbul dari diagnosis diri adalah stress yang diakibatkan dari proses self-
diagnose yang sangat berorientasi dengan masa depan.
3. Efek Perilaku
Efek perilaku yang timbul ialah individu tidak dapat menyesuaikan
diri dengan lingkungan, efek perilaku diagnosis diri yang paling berbahaya
dapat menggiring individu untuk melakukan kebiasaan yang tidak sehat.
Hal tersebut dilakukan dianggap dapat mengurangi stres yang terjadi pada
diri individu tersebut.
4. Efek Positif
Biasanya self diagnose selalu dikaitkan dengan hal negatif¸ self
diagnose juga memiliki efek yang positif, self diagnose dapat membantu
individu untuk berempati dengan mereka yang menderita penyakit mental.
Selain itu self diagnose memiliki efek memprovokasi salah satu individu
untuk mencari pertolongan medis.

8
2.5 Remaja
Masa remaja (adolescence) adalah merupakan masa yang sangat penting
dalam rentang kehidupan manusia, merupakan masa transisi atau peralihan dari
masa kanak-kanak menuju kemasa dewasa. Ada beberapa pengertian menurut
para tokoh-tokoh mengenai pengertian remaja seperti:
Hurlock (2003), istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin
(adolescene), kata bendanya adolescentia yang berarti remaja yang berarti
“tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Bangsa orang-orang zaman
purbakala memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda dengan
periode-periode lain dalam rentang kehidupan anak dianggap sudah dewasa
apabila sudah mampu mengadakan reproduksi.
Istilah adolescence yang dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang
sangat luas, yakni mencangkup kematangan mental, sosial, emosional,
pandangan ini diungkapkan oleh Piaget dengan mengatakan, secara psikologis,
masa remaja adalah usia dimana individu berintregasi dengan masarakat
dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang
lebih tua melainkan berada dalam tingkat yang sama, sekurang-kurangnya
dalam masalah integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai aspek efektif,
kurang lebih berhubungan dengan masa puber, termasuk juga perubahan
intelektual yang mencolok. Transformasi intelektual yang khas dari cara
berpikir remaja ini memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam
hubungan sosial orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang
umum dari periode perkembangan ini.
Hal senada juga dikemukakan oleh Santrock (2003), masa remaja
(adolescence) ialah periode perkembangan transisi dari masa kanak-kanak
hingga masa dewasa yang mencakup perubahan-perubahan biologis, kognitif,
dan sosial emosional.
Menurut Hurlock (2003), remaja merupakan usia transisi, seorang
individu telah meninggalkan usia kanak-kanak yang lemah dan penuh
ketergantungan, tetapi belum mampu ke usia yang kuat dan penuh tanggung
jawab, baik itu terhadap dirinya maupun terhadap masyarakat. Semakin maju

9
masyarakat maka semakin panjang usia remaja karena ia harus mempersiapkan
diri untuk menyesuaikan dirinya dengan masyarat yang banyak tuntunannya.
Hurlock (2003) dalam buku Psikologi Perkembangan membagi remaja
pada tiga kelompok usia tahap perkembangan, yaitu:
a. Early adolescence (Remaja Awal)
Pada tahap ini rentang usia 12-15 tahun, merupakan masa negatif,
karena pada masa ini terdapat sikap dan sifat negatif yang belum terlihat
dalam masa kanak-kanak, individu sering merasa bungung, cemas, takut
serta gelisah.
b. Middle adolescence
Pada tahap ini rentan usia 15-18 tahun, pada masa ini individu
mengingkan atau menandakan sesuatu dan mencari-cari sesuatu, merasa
sunyi dan merasa tidak dapat dimengerti oleh orang lain.
c. Late adolescence
Pada tahap ini usia beriksap pada 18-21 tahun. Pada masa ini individu
mulai stabil dan mulai memahami arah hidup dan menyadari tujuan dari
hidupannya. Serta mempunyai pendirian teretentu berdasarkan satu pola
yang jelas (Hurlock, 2003).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan


usia transisi, seorang individu yang telah meninggalkan masa usia kanak-kanak
yang lemah dan penuh ketegantungan, akan tetapi belum mampu ke usia yang
lebih kuat dan penuh tanggung jawab, baik terhadap dirinya maupun terhadap
lingkungan. Remaja juga terbagi menjadi tiga kelompok usia yaitu; remaja
awal berusia 12-15 tahun, remaja pertengahan berusia 15-18 tahun, dan remaja
akhir berusia 18-21 tahun.

Menurut Hurlock (2003), masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang


membedakan dengan periode sebelumnya dan sesudahnya. Ciri-ciri tersebut
yaitu:

a. Masa Remaja Sebagai Periode Penting

10
Meskipun semua periode dalam rentang kehidupan penting, namun
kadarnya berbeda, ada periode penting karena akibat fisik dan ada
dikarenakan psikologis. Akibat dari fisik dan psikologis mempunyai suatu
persepsi yang sangat penting. Perkembangan fisik yang cepat dan penting
disertai dengan cepatnya perkembangan mental, terutama pada awal masa
remaja. Semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian
mental dan membetuk sikap, nilai dan minat baru.
b. Masa Remaja Sebagai Periode Peralihan
Peralihan tidak berarti terputus atau berubah dari yang pernah terjadi
sebelumnya, tetapi peralihan yang dimaksud ialah dari satu tahap
perkembangan ke tahap berikutnya. Hal ini memiliki arti apa yang terjadi
sebelumnya akan meninggalkan bekas pada apa yang akan terjadi sekarang
dan yang akan datang. Bila anak beralih dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa, anak haruslah meninggalkan segala sesuatunya yang bersifat
kekanak-kanakan dan juga harus mempelajari pola perilaku dan sikap yang
baru untuk menggantikan perilaku dan sikap sebelumnya.
c. Masa Remaja Sebagai Periode Perubahan
Tingkat perubahan dalam sikap perilaku selama masa remaja sama
halnya dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal masa remaja, ketika
perubahan itu terjadi maka perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung
cepat. Jika perubahan fisik menurun, maka perubahan sikap dan perilaku
akan ikut menurun. Terdapat empat perubahan yang sama dengan hamper
bersifat universal, pertama, meningginya emosi yang intensitasnya
tergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis. Kedua, perubahan
tubuh, minat dan peran diharapkan oleh kelompok. Ketiga, dengan
berubahnya minat dan pola perilaku maka nilai juga berubah. Keempat,
sebagaian besar remaja bersikap ambivalen terhadap perubahan.
d. Masalah pada Masa Remaja Sering Menjadi Masalah yang Sulit Diatasi
Baik Oleh Anak Laki-Laki Maupun Anak Perempuan
Terdapat dua alasan bagi kesulitan itu, yaitu sepanjang masa kanak-
kanak, masalah anak-anak sebagian diselesaikan oleh orangtua dan guru-

11
guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi
masalah, serta para remaja merasa mandiri, sehingga mereka ingin
mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orangtua dan guru.
Ketidakmampuan remaja untuk mengatasi sendiri masalahnya, maka
memakai menurut cara yang diyakini. Banyak remaja akhirnya menemukan
bahwa penyelesaian tidak selalu sesuai dengan harapannya.
e. Masa Remaja Sebagai Masa Mencari Identitas
Identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan
siapa dirinya, apa peranannya dalam masyarakat, apakah ia seorang anak
atau dewasa, apakah ia mampu percaya diri sekalipun latar belakang ras atau
agama atau nasionalnya membuat beberapa orang merendahkannya. Secara
keseluruhan, apakah ia berhasil atau akan gagal.
f. Masa Remaja Sebagai Usia yang Menimbulkan Ketakutan
Anggapan stereotip bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapi,
yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan berperilaku
merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan
mengawasi kehidupan remaja yang takut bertanggung jawab dan bertindak
simpatik terhadap perilaku remaja yang normal.
g. Masa Remaja Sebagai Masa yang Tidak Realistik
Remaja cenderung memandang kehidupan melalui kaca berwarna
merah jambu. Ia melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana adanya,
terlebih dalam hal cita-cita. Cita-cita yang tidak realistik ini, tidak hanya
bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi keluarga dan teman-temannya,
menyebabkan meningkatnya emosi yang merupakan ciri dari awal masa
remaja. Semakin tidak realistik cita-citanya semakin ia menjadi marah.
Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya
atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri.
h. Masa Remaja Sebagai Ambang Masa Dewasa
Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja
menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk
memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Berpakaian dan

12
bertindak seperti orang dewasa ternyata belumlah cukup. Oleh karena itu,
remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan
status dewasa, yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan obat-
obatan dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka mengganggap bahwa
perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan.

King (2012) mengatakan remaja merupakan masa perkembangan transisi


dari anak-anak menuju dewasa. Masa remaja dimulai pada usia 12 tahun dan
berakhir pada 18 samapai 21 tahun. Riset kesehatan dasar pada tahun 2013
menunjukkan bahwa prevalensi penduduk Indonesia pada umur 15 tahun ke
atas sering mengalami gangguan mental emosional sebanyak 37,728 orang, dan
pada tahun 2018 sebanyak 61,623 penduduk. Usia remaja merupakan usia yang
rentan terhadap berbagai stres, pada usia itu sangat erat kaitannya dengan stres
fisik maupun secara psikologis, saat memasuki usia inilah manusia sedang
berada pada puncak aktivitasnya. Kebutuhan hidup yang semakin mahal dan
tuntutan pekerjaan ditambah dengan permasalahan kehidupan yang traumatis
atau penuh dengan tekanan yang dapat menambah beban stres pada usia
remaja.

13
BAB III METODE PELAKSANAAN

3.1 Waktu dan Tempat


Kegiatan ini dilaksanakan di SMAN 11 Kendari dan SMA Kartika XX-
2 Kendari. Kegiatan ini melibatkan siswa yang pernah melakukan self diagnose
dan tidak melakukan self diagnose dari Sekolah Menengah Atas (SMA).
Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 24 November 2022 di SMAN 11
Kendari dan tanggal 26 November 2022 di SMA Kartika XX-2 Kendari.
Kegiatan dilakukan selama 2 jam. Untuk memaksimalkan pencapaian
keberhasilan kegiatan ini, peserta kegiatan diikuti oleh 31 siswa dari SMAN 11
Kendari dan 29 siswa dari SMA Kartika XX-2 Kendari.

3.2 Tahapan Pelaksanaan Kegiatan


Kegiatan ini dilaksanakan secara berkelompok namun sasarannya tetap
mengarah pada individual sesuai jadwal yang telah ditentukan dan disepakati
bersama. Adapun tahapan pelaksanaan Psikoedukasi adalah sebagai berikut:
• Pemberian Pre-Test pada siswa (pengukuran pengetahuan dan pra
intervensi psikoedukasi).
• Pemberian psikoedukasi atau pemberian informasi tentang self diagnose,
pengajaran yang berhubungan dengan pengenalan diri dan peningkatan
self care, Focus Group Discussion (FGD) tentang fenomena self diagnose
bagi seluruh peserta.
• Melakukan Post-Test di akhir psikoedukasi.
• Mengakhiri kegiatan psikoedukasi.

14
BAB IV HASIL KEGIATAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi


4.1.1 SMA 11 Kendari
Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 11 Kendari pada awalnya
adalah SMA IDHATA Kendari. Tepatnya tahun 2017, sekolah ini resmi
beralih status menjadi SMA Negeri 11 Kendari. Sekolah ini merupakan
salah satu sekolah yang berada di kota Kendari. Didirikan pada tahun
1995, dimana rencana awal pembangunan sekolah ini adalah sebagai
sekolah percontohan di Sulawesi Tenggara (Sekolah Khusus). Sekolah
ini diresmikan penggunaannya pada tanggal 10 Oktober 1996 oleh
Mendikbud Prof. Dr. Ing, Wardiman Djojonegoro.
Lokasi sekolah SMA Negeri 11 Kendari berada di samping Asrama
Haji (Timur), BTN Latjintha (Barat), BTN Magaga (Selatan) JL. Wulele
No. 99, Utara Kendari Kelurahan Bonggoeya, Kecamatan Wua-Wua, Kota
Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Gambar 1.1 lokasi kegiatan (SMAN 11 Kendari)

a. Keadaan Tenaga Pendidik


Dalam dunia pendidikan guru memiliki peran penting, dimana
guru adalah pelaku utama dalam mencapai tujuan pendidikan, sarana
yang memadai, kurikulum yang relevan dengan tuntutan zaman,

15
metode atau strategi yang baik, lingkungan sekolah yang kondusif, itu
semua tidak akan bermanfaat mana kala tidak ada seorang guru, maka
peneliti berpendapat bahwa guru menempati posisi sentral dalam dunia
pendidikan.

b. Keadaan Siswa
Keadaan siswa dalam proses pembelajaran merupakan komponen
terpenting dalam sebuah pendidikan, Dimana siswa memiliki peran
sebagai subjuk dan objek dalam proses belajar mengajar.

c. Keadaan Sarana dan Prasarana


Sarana adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat
dalam mencapai maksud dan tujuan tertentu. Sedangkan prasarana
adalah segala sesuatu yang merupakan penunjang utama
terselenggaranya suatu proses, dalam hal ini proses pendidikan.

Gambar 1.2 lapangan SMAN 11 Kendari

16
4.1.2 SMA Kartika XX-2 Kendari
SMA Kartika XX-2 Kendari merupakan salah satu satuan
pendidikan dengan jenjang SMA di Kemaraya, Kecamatan Kendari
Barat, Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara. Dalam menjalankan
kegiatannya, SMA Kartika XX-2 Kendari berada di bawah naungan
Kementerian pendidikan dan kebudayaan. SMA Kartika XX-2 Kendari
beralamat di Jalan Palapa No. 8 Kendari, Kemaraya, Kecamatan Kendari
Barat, Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara, dengan kode pos
93121.

Gambar 1.3 lokasi kegiatan (SMA Kartika XX-2 Kendari)

a. Keadaan Tenaga Pendidik


Dalam dunia pendidikan guru memiliki peran penting, dimana
guru adalah pelaku utama dalam mencapai tujuan pendidikan, sarana
yang memadai, kurikulum yang relevan dengan tuntutan zaman,
metode atau strategi yang baik, lingkungan sekolah yang kondusif, itu
semua tidak akan bermanfaat mana kala tidak ada seorang guru, maka
peneliti berpendapat bahwa guru menempati posisi sentral dalam dunia
pendidikan.

17
b. Keadaan Siswa
Keadaan siswa dalam proses pembelajaran merupakan komponen
terpenting dalam sebuah pendidikan, Dimana siswa memiliki peran
sebagai subjuk dan objek dalam proses belajar mengajar.

c. Keadaan Sarana dan Prasarana


Sarana adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat
dalam mencapai maksud dan tujuan tertentu. Sedangkan prasarana
adalah segala sesuatu yang merupakan penunjang utama
terselenggaranya suatu proses, dalam hal ini proses pendidikan.

Gambar 1.4 lapangan SMA Kartika XX-2 Kendari

4.2 Pelaksanaan Kegiatan


a. Tahapan Kegiatan Psikoedukasi
Dalam rangka psikoedukasi peningkatan pengetahuan mengenai self
diagnose pada kalangan remaja, tahapan kegiatan tersebut sebagai berikut:
• Melakukan survei ke SMA yang dituju.
• Membawakan surat izin pada SMA yang dituju.
• Memperkenalan diri sebelum memulai kegiatan.

18
• Membagikan Pre-Test.
• Membagikan brosur.
• Membawakan materi.
• Membuka sesi tanya jawab.
• Membagikan Post-Test.
• Melakukan ice breaking.
• Menutup kegiatan.
• Dokumentasi bersama.

b. Susunan Kegiatan
Psikoedukasi dalam peningkatan pengetahuan self diagnose pada
kalangan remaja yang dilaksanakan pada tanggal 24 dan 26 November 2022
berlokasi di SMAN 11 Kendari dan SMA Kartika XX-2 Kendari. Kegiatan
sosialisasi ini dilaksanakan dengan satu kali pertemuan dan
mengikutsertakan siswa dalam satu kelas. Pada SMAN 11 Kendari
mengikutsertakan 31 siswa dan pada SMA Kartika XX-2 Kendari
mengikutsertakan 29 siswa untuk kegiatan sosialisasi.
Adapun susunan kegiatan sebagai berikut:
SMAN 11 Kendari (Kamis, 24 November 2022)
8.30 - 8.45 Persiapan psikoedukasi & perkenalan
8.45 - 9.05 Pengisian Pre-Test
9.05 – 9.10 Pembagian brosur
9.10 - 9.40 Pemaparan materi
9.40 – 10.00 Sesi tanya jawab
10.00 - 10.20 Pengisian Post-Test
10.20 - 10.35 Ice breaking
10.35 - 10.45 Foto bersama

19
SMA Kartika XX-2 Kendari (Sabtu, 26 November 2022)
8.30 - 8.45 Persiapan psikoedukasi & perkenalan
8.45 - 9.05 Pengisian Pre-Test
9.05 – 9.10 Pembagian brosur
9.10 - 9.40 Pemaparan materi
9.40 – 10.00 Sesi tanya jawab
10.00 - 10.20 Pengisian Post-Test
10.20 - 10.45 Ice breaking
10.45 - 10.55 Foto bersama

Gambar 1.5 Pembagian Dan Pengisian Pre-Test

Gambar 1.6 Pembagian Brosur

20
Gambar 1.7 Pemaparan Materi

Gambar 1.8 Sesi Tanya Jawab

Gambar 1.9 Pembagian Dan Pengisian Post-Test

21
Gambar 1.10 Ice Breaking

Gambar 1.11 Foto Bersama

4.3 Materi yang Disampaikan


4.3.1 Pengertian Self Diagnose
Self diagnose merupakan sebuah tindakan pengamatan seseorang
terhadap gejala-gejala penyakit atau gangguan kesehatan yang dirasakan
secara mandiri serta melakukan identifikasi terhadap penyakit yang
dirasakan hanya berdasarkan gejala-gejala penyakit yang dirasakan tanpa
bantuan tenaga medis maupun konsultasi medis.

4.3.2 Faktor yang Mempengaruhi Self Diagnose


1. Faktor Internal
Salah satu faktor internal yang paling sering muncul ialah
pemikiran percaya terhadap hal-hal yang belum pasti akan

22
kebenarannya. Hal ini mengacu pada pencarian informasi yang baru
dan menganggap informasi tersebut sesuai dengan apa yang
diinginkan.
2. Faktor Eksternal
Faktor lain yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan self
diagnose ialah faktor eksternal. Salah satunya ialah buku yang
membagikan informasi mengenai informasi yang dibutuhkan, dalam
hal ini seseorang akan membandingkan informasi yang ada dengan
gejala yang dirasakan dengan tujuan untuk menemukan sesuatu yang
berhubungan dengan gejalanya tersebut. Sumber eksternal lainnya
yaitu sumber online. Self diagnose online merupakan proses dimana
sumber online digunakan oleh individu untuk mengdiagnosis diri
sendiri dengan gejala yang individu tersebut alami. Faktor terakhir
ialah peristiwa yang terjadi di kehidupan individu, individu dapat
membandingkan peristiwa tersebut dengan gejala yang dirasakannya
dengan fitur utama yang dapat dilihat dari kasus tertentu.

4.3.3 Efek Self Diagnose


Pertama, tingkat keakuratan informasi di internet tergolong rendah.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa semua orang berhak mengakses
berbagai situs di internet. Apabila seseorang yang memiliki kemampuan
mengedit sebuah situs web, khususnya yang menyediakan informasi
seputar kesehatan maka situs tersebut perlu diragukan keakuratannya.
Sebagian besar situs di internet justru menampilkan hasil yang jauh dari
perkiraan sehingga membuat seseorang panik dan khawatir.
Kedua, internet tidak membedakan informasi dari seorang
profesional dan bukan profesional. Internet menyediakan banyak sekali
informasi seputar perkembangan pengobatan. Namun, perlu diketahui
bahwa tidak semua informasi yang tersedia berasal dari seorang
profesional. Berbagai bentuk perawatan bermunculan tanpa bantuan
profesional untuk mengobati gejala yang diderita. Dari sinilah muncul

23
kekhawatiran bahwa pengguna internet tidak memahami informasi
tersebut dengan baik, dan justru menggunakan pengobatan alternatif
yang membahayakan daripada mengunjungi dokter, psikolog, maupun
seorang profesional dibidangnya.
Ketiga, banyaknya informasi yang tidak jelas sumbernya
bertebaran di internet. Ada lebih 70 ribu situs web yang menawarkan
informasi seputar kesehatan dapat diakses oleh seluruh pengguna internet
manapun. Menentukan data yang akurat atau tidak merupakan tindakan
yang membahayakan kesehatan. Lebih dari setengah informasi kesehatan
di internet merupakan informasi yang tidak tepat. Bahkan untuk
seseorang yang memiliki latar belakang pengetahuan medis sekalipun,
belum bisa dengan pasti menentukan perawatan online yang akurat atau
tidak.
Keempat, internet dapat menjadi jurang bagi kesehatan mental
seseorang. Internet dapat terlibat dalam validasi gangguan mental serius
sebagai sesuatu yang normal. Individu yang memiliki gangguan
kesehatan mental perlu didiagnosis dan dirawat sesuai dengan penyakit
yang dideritanya melalui seorang profesional.

4.3.4 Efek Self Diagnose


1. Efek Kognitif
Salah satu efek utama dalam self diagnose ialah tercipatanya
rasa bingung dimana individu merasa tidak yakin dengan gejala yang
dialaminya. Efek yang berkepanjangan, individu selalu merasakan
cemas yang berlebih. Efek kognitif lainnya dari diagnosis diri ialah
ketidakmampuan untuk fokus atau berkonsentrasi, dalam hal ini,
individu yang merasakan masalah tersebut menggambarkan
ketidakmampuan untuk fokus. Efek kognitif yang timbul lainnya
adalah persepsi bahwa individu tersebut merasa dirinya berbeda atau
memiliki kelainan. Hal ini sangatlah buruk dikarenakan mereka mulai
menganggap bahwa dirinya tidak normal dan tidak dapat

24
disembuhkan yang dapat menimbulkan perasaan stres yang berlebih
yang mengakibatkan rasa putus asa.
2. Efek Afektif
Efek yang paling terlihat jelas dan mudah didapat adalah
tekanan fisik dan emosional yang menyertai diagnosis diri. Efek
lainnya yang timbul dari diagnosis diri adalah stress yang diakibatkan
dari proses self diagnose yang sangat berorientasi dengan masa depan.
3. Efek Perilaku
Efek perilaku yang timbul ialah individu tidak dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan, efek perilaku diagnosis diri
yang paling berbahaya dapat menggiring individu untuk melakukan
kebiasaan yang tidak sehat. Hal tersebut dilakukan dianggap dapat
mengurangi stres yang terjadi pada diri individu tersebut.
4. Efek Positif
Biasanya self diagnose selalu dikaitkan dengan hal negatif¸ self
diagnose juga memiliki efek yang positif, self diagnose dapat
membantu individu untuk berempati dengan mereka yang menderita
penyakit mental. Selain itu self diagnose memiliki efek memprovokasi
salah satu individu untuk mencari pertolongan medis.

4.3.5 Contoh Self Diagnose

Gambar 2.1 Artikel mengenai self diagnose

25
Gambar 2.2 Tes kesehatan mental online

Gambar 2.3 Konten mengenai self diagnose

26
4.4 Respon dan Perkembangan Siswa
4.4.1 SMAN 11 Kendari

18
16
14
12
10
8
6
4
2 PRE TEST
0 POST TEST
Rafika Magfira Saputri

Adin
Gabriella Angeline

Arlena

Arleni

Siti Sartiatin
Dyan Mayiani
Aisyah Sabriyani

Azzahra Nurain Bahtiar


Agista Ramadhani

Aminurhu Datul Jannah

Yunisah Sekardian
Oktavia Maharani

Desya Anatasya Januarni

Keza Nurul Khofifah


16
14
12
10
8
6
4
2 PRE TEST
0
Gilang Bintang…

POST TEST
Kelvin Syahputra
Harun Ar-Rasyid H.
Josh Vino Kristun

Putra Pratama H.
Windi Rahmadani

Refky Aditya

Muh. Reyhan N.
Arya Ade Elsa

Erwin Syaputra
Nabil Septya Ramadhan

Aditya Harmansyah

Muh. Syauqy R.
Indah Dwi Ariyanti
Alisia Fresilia

Moch Destanul Iqsa

Berdasarkan hasil Pre-Test dan Post-Test yang telah dilakukan


bahwa terdapat peningkatan pengetahuan dari siswa SMAN 11 Kendari,
dimana nilai rata-rata dari Pre-Test SMAN 11 Kendari yaitu 9. Dapat
diartikan bahwa rata-rata subjek menjawab benar sebanyak 9. Jika
dipersentasikan sebanyak 56,25% siswa SMAN 11 Kendari memiliki
pemahaman mengenai self diagnose. Sedangkan pada Post-Test SMAN

27
11 Kendari yaitu 13. Dapat diartikan bahwa rata-rata subjek menjawab
benar sebanyak 13. Jika dipersentasikan sebanyak 81,25% siswa SMAN
11 Kendari memiliki pemahaman mengenai self diagnose. Jadi dapat
diambil kesimpulan bahwa siswa SMAN 11 Kendari terjadi peningkatan
pemahaman edukasi sebanyak 25%. Jika dihubungkan dengan teori dari
penelitian sebelumnya yaitu dengan memberikan psikoedukasi dan
pemahaman mengenai self diagnose meningkat, juga dapat membuat
individu untuk bisa menghadapi tantangan tertentu dalam tiap tingkat
perkembangan manusia sehingga individu dapat terhindar dari masalah
yang berkaitan dengan tantangan yang dihadapi (Walsh, 2010).

4.4.2 SMA Kartika XX-2 Kendari


18
16
14
12
10
8
6 PRE TEST
4
POST TEST
2
0
Eunike Lena P.
Sitti Aziza

Wafiq Azizah
Naysilla Purbasari

Aisyah Ansar
Alif Sahir
Felisya Nanda

Zaid Khairul Isnan


Idit

Waode Yati Astuti


Alifia
Osin
Echa Idah Ayu

Richard

28
18
16
14
12
10
8
6
4 PRE TEST
2
POST TEST
0

Devi Maharani
Muhammad Dasya

Renaldi Novaldo
Sarah Aulia

Agatha Gerard

Natasya Avrilia Persada


Muh. Agil Frisi Saranani

Waode Hartini

Suci Pratiwi

Citra Alifka
Winda Aulia Rahma

Rodrigues Efleksia K.
Muh. Nur Isla Aditya

Muh. Arfan Kurniawan


Sustiana
Berdasarkan hasil Pre-Test dan Post-Test yang telah dilakukan
bahwa terdapat peningkatan pengetahuan dari siswa SMA Kartika XX-2
Kendari. Yang dimana nilai rata-rata dari Pre-Test SMA Kartika XX-2
Kendari yaitu 9,17. Dapat diartikan bahwa rata-rata subjek menjawab
benar sebanyak 9. Jika dipersentasikan sebanyak 57% siswa SMA
Kartika XX-2 Kendari memiliki pemahaman mengenai self diagnose.
Sedangkan pada Post-Test SMAN Kartika XX-2 Kendari yaitu 12,65.
Dapat diartikan bahwa rata-rata subjek menjawab benar sebanyak 13.
Jika dipersentasikan sebanyak 79% siswa SMAN Kartika XX-2 Kendari
memiliki pemahaman mengenai self diagnose. Jadi dapat diambil
kesimpulan bahwa siswa SMAN Kartika XX-2 Kendari terjadi
peningkatan pemahaman edukasi sebesar 22%. Jika dihubungkan dengan
teori dari penelitian sebelumnya yaitu dengan memberikan psikoedukasi
dan pemahaman mengenai self diagnose meningkat, juga dapat membuat
individu untuk bisa menghadapi tantangan tertentu dalam tiap tingkat
perkembangan manusia sehingga mereka dapat terhindar dari masalah
yang berkaitan dengan tantangan yang mereka hadapi (Walsh, 2010).

29
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil psikoedukasi yang telah dilaksanakan pada tanggal 24
dan 26 November 2022 yang berlokasi di SMA Kartika XX-2 Kendari SMAN
11 Kendari diperoleh kesimpulan bahwa siswa memiliki tingkat pengetahuan
yang berbeda sebelum dan setelah diberikan psikoedukasi mengenai self
diagnose. Setelah diberikan psikoedukasi siswa memiliki peningkatan
pengetahuan yang lebih tinggi mengenai self diagnose. Terdapat peningkatan
pemahaman mengenai self diagnose setelah diberikan psikoedukasi sebanyak
25% pada siswa SMAN 11 Kendari. Sedangkan pada SMA Kartika XX-2
Kendari, terdapat peningkatan pemahaman mengenai self diagnose sebanyak
22% pada siswa setelah diberikan psikoedukasi. Ketika ditanya mengenai
artikel kesehatan mental di internet, para siswa mengatakan pernah mengikuti
instruksi dalam artikel yang beredar seperti test kepribadian online dan
mempercayai hasilnya. Setelah diberikan pemahaman melalui psikoedukasi,
para siswa menjadi lebih memahami terkait self diagnose dilihat dari grafik
yang meningkat pada batang grafik Post-Test. Dengan begitu, psikoedukasi
merupakan sarana efektif untuk memberi pemahaman pada para siswa.

5.2 Saran
Seluruh siswa SMA Kartika XX-2 dan Kendari SMAN 11 Kendari
diharapkan untuk selalu memperdalam informasi diagnosa yang telah
diperoleh dari internet dan mencari pertolongan profesional ketika merasa ada
yang salah pada diri siswa. Pada sosialisasi selanjutnya diharapkan agar guru
pendamping siswa dapat dilibatkan dalam kegiatan psikoedukasi. Hal
ini dikarenakan guru harusnya membimbing siswa untuk lebih memperbanyak
pengetahuan mengenai self diagnose. Sekolah diharapkan dapat menghimbau
para siswa untuk selalu tidak menelan mentah-mentah artikel mengenai

30
kesehatan mental yang ada di internet agar dapat mengurangi tingkat tindakan
self diagnose. Sekolah juga sebaiknya tetap mempraktekkan materi dari
psikoedukasi dan menjadi pemberi informasi sebagai penerus untuk
mengurangi tindakan self diagnose sembarangan.

31
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, A., & Stephen S. (2017). Self diagnose in psychology students. The
International Journal of Indian Psychology, 4(86), 121-139. DOI :
10.25215/0402.035
Brown, N. W. (2011). Psychoeducational Groups: Process and practice. New
York. : Routledge.
Hurlock, E. (2003). Psikologi Perkembangan (Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan). Jakarta : Erlangga.
Jutel, Annemarie. (2009). Sociology of diagnosis : A preliminary review. Sociology
of Health & Illness. 31(2), 278-299. DOI : 10.1111/j.1467-
9566.2008.01152.x
King, L. A. (2012). Psikologi Umum : Sebuah Pandangan Apresiatif Buku 2.
Jakarta : Salemba Humanika.
Lukens, E.P dan McFarlane, W.R. (2004). Psychoeducation as Evidence Based
Practice: Considerations for Practice, Research and Policy. Brief Treatment
and Crisis Intervention, 4(3), 205-225. DOI : 10.1093/brief-
treatment/mhh019
Maskanah, I. (2022). Fenomena self diagnosis di era pandemi COVID-19 dan
dampaknya terhadap kesehatan mental. JoPS: Journal of Psychologyss
Students, 1(1), 1-10. DOI : 10.15575/jops.v1i1.17467
McMullan, R. D., Berle, D., Arnaez, S., & Starcevic, V. (2018). The relationship
between health anxiety, online health information seeking, andcyberchondria:
Systemic review and meta-analysis. Journal of Affective Disorder. 245, 270-
278. DOI : 10.1016/j.jad.2018.11.037.
Santrock, J. (2002). Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta : Erlangga.
Walsh, J. (2010). Psycheducation In Mental Health. Chicago : Lyceum Books, Inc.

32
LAMPIRAN

Daftar Hadir

33
34
Instrumen Lembar Angket Siswa

LEMBAR ANGKET SISWA

PROGRAM PSIKOEDUKASI DALAM MENINGKATKAN


PENGETAHUAN
SELF DIAGNOSE PADA KALANGAN REMAJA

Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :

Pilihlah jawaban Ya atau Tidak pada salah satu kolom jawaban yang paling sesuai
menurut Anda.

No. Pernyataan Jawaban


Ya Tidak
1. Self Diagnose adalah proses diagnosis terhadap diri
sendiri mengidap suatu gangguan atau penyakit
tanpa bantuan profesional.
2. Salah satu faktor yang mempengaruhi tindakan self
diagnose adalah faktor eksternal.
3. Efek yang ditimbulkan self diagnose yaitu membuat
individu dapat dengan mudah menyesuaikan diri
dengan lingkungan.
4. Self diagnose membuat individu merasa diri
memiliki kelainan.
5. Self diagnose pernah dilakukan oleh semua orang
tanpa terkecuali.
6. Self diagnose hanya memiliki dampak negatif yang
tidak baik untuk individu.

35
7. Banyaknya informasi yang tidak jelas sumbernya
bertebaran di internet menjadi salah satu mengapa
self diagnose tidak boleh sembarangan dilakukan.
8. Tidak perlu meminta bantuan profesional untuk
mendiagnosis diri.
9. Salah satu cara untuk meminimalisir tindakan self
diagnose yaitu tidak serta merta mempercayai hasil
tes kondisi mental yang tersedia secara daring.
10. Mendiagnosa masalah gangguan mental diperlukan
keahlian khusus.
11. Salah satu efek afektif ketika telah melakukan self
diagnose yaitu mendapat tekanan fisik dan
emosional.
12. Internet membedakan informasi dari seorang
profesional dan bukan profesional.
13. Menjadikan selebriti sebagai rujukan dalam
tindakan self diagnose
14. Self diagnose yang tidak boleh dilakukan yaitu
menganggap diri sendiri mengidap suatu gangguan
mental berdasarkan pengetahuan yang didapatkan
secara mandiri.
15. Terciptanya rasa bingung karena individu merasa
tidak yakin dengan gejala yang dialaminya
merupakan salah satu efek kognitif self diagnose.
16. Perdalam informasi yang baru diperoleh dari
internet merupakan salah satu cara meminimalisir
tindakan self diagnose yang salah.

36
Review Jurnal

JURNAL 1

Judul Self Diagnose in Psychology Students


Nama Penulis Aaiz Ahmed dan Stephen S.
Nama Jurnal The Internasional Journal Of Indian Psychology
Volume, No, dan Volume 4, nomor 86, dan Halaman 120-139
Halaman
Tahun 2017
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
bagaimana, mengapa,dan sejauh mana
mahasiswa psikologi mendiagnosis diri sendiri
dan apa dampaknya terhadap kehidupan,
menggunakan eksplorasi kualitatif yang
mendalam.
Ringkasan Isi self diagnose adalah sebuah proses dimana
individu mengamati diri sendiri dan
mengidentifikasi penyakit atau kelainan
berdasarkan gejala gejala yang dirasakan tanpa
konsultasi medis.
Efek dari self diagnose tersebut dibagi menjadi
efek positif dan negatif (efek kognitif, afektif dan
perilaku).
- Efek Kognitif
Salah satu efek utama dalam self diagnose ialah
tercipatanya rasa bingung dimana individu
merasa tidak yakin dengan gejala yang
dialaminya. Efek yang berkepanjangan, individu
selalu merasakan cemas yang berlebih. Efek
kognitif lainnya dari diagnosis diri ialah

37
ketidakmampuan untuk fokus atau
berkonsentrasi, dalam hal ini, individu yang
merasakan masalah tersebut menggambarkan
ketidakmampuan untuk fokus. Efek kognitif
yang timbul lainnya adalah persepsi bahwa
individu tersebut merasa dirinya berbeda atau
memiliki kelainan. Hal ini sangatlah buruk
dikarenakan mereka mulai menganggap bahwa
dirinya tidak normal dan tidak dapat
disembuhkan yang dapat menimbulkan perasaan
stres yang berlebih yang mengakibatkan rasa
putus asa.
- Efek Afektif
Efek yang paling terlihat jelas dan mudah didapat
adalah tekanan fisik dan emosional yang
menyertai diagnosis diri. Efek lainnya yang
timbul dari diagnosis diri adalah stress yang
diakibatkan dari proses self-diagnose yang sangat
berorientasi dengan masa depan.
Efek Perilaku
Efek perilaku yang timbul ialah individu tidak
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan,
efek perilaku diagnosis diri yang paling
berbahaya dapat menggiring individu untuk
melakukan kkebiasaan yang tidak sehat. Hal
tersebut dilakukan dianggap dapat mengurangi
stres yang terjadi pada diri individu tersebut.
- Efek Positif
Biasanya self diagnose selalu dikaitkan dengan
hal negatif¸ self diagnose juga memiliki efek
yang positif, self diagnose dapat membantu

38
individu untuk berempati dengan mereka yang
menderita penyakit mental. Selain itu self
diagnose memiliki efek memprovokasi salah satu
individu untuk mencari pertolongan medis.
Faktor yang mempengaruhi self diagnose dapat
dibagi menjadi dua yaitu faktor internal dan
eksternal individu yang memfasilitasi diagnosis
diri:
- Faktor Internal
Salah satu faktor internal yang paling sering
muncul ialah pemikiran percaya terhadap hal-hal
yang belum pasti akan kebenarannya. Hal ini
mengacu pada pencarian informasi yang baru dan
menganggap informasi tersebut sesuai dengan
apa yang diinginkan.
- Faktor Eksternal
Faktor lain yang mempengaruhi seseorang untuk
melakukan self diagnose ialah faktor eksternal.
Salah satunya ialah buku yang membagikan
informasi mengenai informasi yang dibutuhkan,
dalam hal ini seseorang akan membandingkan
informasi yang ada dengan gejala yang dirasakan
dengan tujuan untuk menemukan sesuatu yang
berhubungan dengan gejalanya tersebut. Sumber
eksternal lainnya yaitu sumber online. Self
diagnose online merupakan proses dimana
sumber online digunakan oleh individu untuk
mengdiagnosis diri sendiri dengan gejala yang
individu tersebut alami. Faktor terakhir ialah
peristiwa yang terjadi di kehidupan individu,
individu dapat membandingkan peristiwa

39
tersebut dengan gejala yang dirasakannya dengan
fitur utama yang dapat dilihat dari kasus tertentu.
Self diagnose bisa berpengaruh pada kesehatan
mental karena dapat menimbulkan kekhawatiran
yang sebenarnya tidak perlu. Dari kekhawatiran
itu dapat memunculkan gangguan kecemasan
karena terlalu mempercayai suatu informasi yang
bukan didapat dari ahlinya. Mendiagnosis diri
sendiri dapat membahayakan karena suatu
penyakit atau gangguan memerlukan penanganan
yang tepat. Kesehatan akan beresiko jadi lebih
parah jika penanganannya salah.
Kesimpulan Self diagnose dapat memberikan wawasan atas
pertanyaan penelitian melalui aspek-aspeknya.
Terungkap bahwa faktor distal dari pengalaman
sebelumnya dan faktor proksimal dari
pengetahuan klinis menyebabkan mahasiswa
melakukan diagnosa diri. Baik faktor internal dan
eksternal terlibat sebagai metode diagnosis diri
mahasiswa psikologi dan proses diagnosis diri
terlihat memiliki beberapa efek: baik positif
maupun negatif, yang dapat dilihat pada
komponen kognitif, afektif dan perilaku.

JURNAL 2

Judul Sociology of diagnosis : A preliminary review


Nama Penulis Annemarie Jutel
Nama Jurnal Sociology of health & illnes
Volume, No, dan Halaman Volume 31, nomor 2, dan Halaman 278-299
Tahun 2009

40
Tujuan Untuk menyajikan berbagai karya
diagnostik untuk merangsang sosiolog untuk
mendefinisikan dan menganalisis peran khusus
diagnosis dalam sosiologi medis.
Ringkasan Isi Diagnosis adalah alat klasifikasi kedokteran, dan
sangat penting dalam cara kedokteran
menjalankan perannya dalam masyarakat.
Diagnosis adalah, bagaimanapun, alat sosial
yang kuat, dengan fitur dan dampak unik yang
pantas untuk analisis khusus mereka sendiri.
Proses diagnosis menyediakan kerangka kerja di
mana kedokteran beroperasi, menandai nilai-
nilai yang dianut oleh kedokteran, dan
menggarisbawahi peran otoritatif kedokteran
dan dokter. Diagnosis merupakan bagian
integral dari sistem kedokteran dan caranya
menciptakan tatanan sosial. Ini mengatur
penyakit: mengidentifikasi pilihan pengobatan,
memprediksi hasil, dan memberikan kerangka
penjelasan. Diagnosis mendefinisikan bidang
kedokteran dan jangkauan profesionalnya,
berfungsi sebagai perhubungan di mana
pertemuan klinis terjadi, menengahi normalitas
dan perbedaan, mengatur penyakit pasien, dan
menentukan bagaimana sumber daya
dialokasikan.
Kesimpulan Sosiologi diagnosis memainkan peran penting
dalam memahami kesehatan dan penyakit,
membongkar dan mengidentifikasi kepentingan

41
yang memicu perdebatan tentang apa yang harus
diprioritaskan dan tujuan apa yang harus dicapai.

JURNAL 3

Judul Psychoeducation as evidence basec practice :


considerations for practice, research, and
policy
Nama Penulis Ellen P. Lukens
Nama Jurnal Brief Treatment and Crisis Intervention
Volume, No, dan Volume 4, nomor 3, dan Halaman 205-255
Halaman
Tahun 2004
Tujuan Tujuan dari jurnal ini adalah menambah
pengetahuan bagi individu dan keluarga
sehingga diharapkan dapat menurunkan tingkat
kecemasan dan meningkatkan fungsi keluarga.
Intervensi psikoedukasi diharapkan dapat
meningkatkan pencapaian pengetahuan individu
tentang penyakit, mengajarkan bagaimana teknik
pengajaran dalam upaya membantu pihak dalam
melindungi individu dengan mengetahui gejala-
gejala perilaku dan mendukung individu
Ringkasan Isi Psikoedukasi adalah suatu tindakan yang
diberikan kepada individu dan keluarga untuk
memperkuat strategi koping atau suatu cara
khusus dalam menangani kesulitan perubahan
mental. Psikoedukasi adalah sebuah tindakan
modalitas yang disampaikan oleh professional,

42
yang mengintegrasikan dan mensinergikan
antara psikoterapi dan intervensi edukasi.
Psikoedukasi dapat dilaksanakan diberbagai
tempat pada berbagai kelompok atau rumah
tangga. Tindakan psikoedukasi memiliki media
berupa catatan seperti poster, booklet, leaflet,
video dan berupa eksplorasi yang diperlukan.
Proses pemberian psikoedukasi sangat
diperlukan kehadiran keluarga sebagai kunci
keberhasilan intervensi. Perawat dapat
membangun hubungan saling percaya agar dapat
melakukan pengkajian yang tepat dan
memberikan pengertian terhadap keluarga
bagaimana psikoedukasi memberikan
keuntungan pada mereka, dapat mengatasi dan
mencegah terjadinya gangguan emosional
dengan strategi koping yang efektif.
Kesimpulan Psikoedukasi memiliki potensi untuk
memperluas dampak pemberian perawatan jauh
melampaui situasi langsung dengan
mengaktifkan dan memperkuat sistem dukungan
formal dan informal dan mengajar individu dan
masyarakat bagaimana mengantisipasi dan
mengelola masa transisi dan krisis. Jika
dikembangkan dan diimplementasikan dengan
hati-hati, mengikuti pedoman yang ditentukan
untuk menyampaikan dan mendokumentasikan
praktik berbasis bukti
JURNAL 4

43
Judul Fenomena Self diagnose di era pandemic covid
19 dan dampaknya terhadap kesehatan mental
Nama Penulis Imas Maskanah
Nama Jurnal Journal of psychological students
Volume, No, dan Halaman Volume 1, nomor 1, dan Halaman 1-10
Tahun 2022
Tujuan Untuk mengetahui dampak dari self diagnose
terhadap kesehatan mental
Ringkasan Isi Self diagnose adalah upaya memutuskan bahwa
diri sedang mengidap suatu penyakit
berdasarkan informasi yang diketahui. Berbagai
alasan individu akhirnya melakukan self
diagnose. Self diagnose seringkali dilakukan
karena rasa penasaran dengan gejala yang
sedang dialami yang kemudian dibandingkan
dengan referensi yang dimiliki. Selain itu, ada
pula yang melakukan self diagnose karena
merasa khawatir akan diberi diagnosis penyakit
yang buruk setelah berkonsultasi dengan dokter
(Akbar, 2019).
Kesimpulan Self diagnose memberikan dampak yang buruk
terhadap kesehatan mental. Gangguan kesehatan
mental yang diakibatkan oleh self diagnose
dapat mengganggu aktivitas sehari-hari.
Dampak yang dirasakan antara lain: kecemasan
berlebih, takut terhadap hal yang belum tentu
terjadi, tertekan dan stres.
JURNAL 5

44
Judul The relationship between health anxiety, online
health information seeking, and cyberchondria:
Systemic review and meta-analysis
Nama Penulis Ryan D McMullan, David Berle, Sandra
Arnaez, Vladan Starcevic
Nama Jurnal Journal of Affective Disorder
Volume, No, dan Halaman Volume 31, nomor 2, dan Halaman 270-278
Tahun 2018
Tujuan Untuk mengeksplorasi konteks untuk
menemukan korelasi antara kecemasan
kesehatan dan cyberchondria serta mengatasi
identifikasi keterbatasan literatur yang ada.
Ringkasan Isi Self diagnose adalah upaya mendiagnosis diri
sendiri memiliki sebuah gangguan atau penyakit
berdasarkan pengetahuan yang dimiliki.
Dibandingkan manfaat yang didapat, self
diagnose melalui internet memiliki banyak
risiko yang berbahaya. Sehingga kesusahan dan
kecemasan mengenai kesehatan bisa menjadi
motivator utama untuk mencari informasi
kesehatan online. Atau, mencari informasi
kesehatan secara online jika tidak ada kecemasan
yang signifikan bisa menjadi pendahulu untuk
peningkatan kecemasan kesehatan. Apalagi
kecemasan kesehatan dihasilkan dari pencarian
online pada gilirannya dapat memicu pencarian
lebih lanjut atau lebih rinci. hubungan antara
pencarian online untuk informasi kesehatan dan
kesehatan kecemasan juga dapat bervariasi dari
satu orang ke orang lain.

45
Kesimpulan Menunjukkan adanya hubungan positif
berukuran sedang antara kecemasan kesehatan
dan mencari informasi kesehatan online, serta
hubungan yang kuat antara kecemasan kesehatan
dan cyberchondria.

46
Brosur

47

Anda mungkin juga menyukai