Anda di halaman 1dari 6

PENUMPASAN BUWANA KELING DAN MASUKNYA ISLAM KE

TANAH PACITAN

Oleh

Laily Nailul Muna (K4419056)

Pendidikan Sejarah / B

ABSTRAK

Pacitan adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang pada
masa praaksara diyakini menjadi salah satu tempat bermukimnya manusia purba
karena ditemukan alat-alat kebudayaan peningalan manusia purba yang biasa
dikenal dengan Kebudayaan Pacitan 1. Peradaban terus berlanjut, hingga pada
abad ke-15 masuk agama Hindhu yang dibawa oleh utusan dari Kerajaan
Majapahit yang kemudian berkuasa atas daerah itu sampai bertahun-tahun
setelahnya. Di tengah perjalanan, datanglah utusan dari Kerajaan Demak yang
hendak menyebarkan agama Islam ke seluruh tanah Jawa. Pertemuan dua utusan
dari dua Kerajaan yang menganut agama berbeda pasti menimbulkan konflik.
Dalam konflik itu pasti ada yang menang dan kalah, sebagaimana dalam sejarah
yang penuh pertentangan membuat generasi penerus harus belajar dan menambah
pengetahuan dari peristiwa bersejarah yang penuh teladan.

Kata kunci : Asal-usul, Buwana Keling, Pacitan, Islam.

A. PENDAHULUAN

Pacitan, atau sering disebut “Kota 1001 Goa” merupakan kabupaten


paling selatan dari Provinsi Jawa Timur yang berbatasan langsung dengan
Provinsi Jawa Tengah. Kota ini menyimpan sejuta pesona. Bukan hanya tentang
pantai dan gua-guanya saja, namun kebudayaan dan tradisinya yang menarik
perhatian pengunjung, baik lokal maupun internasional. Kota ini kerap menjadi
1
Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1 (Yogyakarta : Kanisius, 1973), hal. 30

1
lokasi syuting beberapa film terkenal. Bukan hanya itu saja, kota ini juga kerap
didatangi peneliti dari berbagai negara untuk keperluan penelitian. Kota kecil
tempat kelahiran Presiden SBY ini memiliki banyak pantai yang berbatasan
langsung dengan Samudra Hindia, menjadikannya rawan bencana. Gempa kerap
terjadi, potensi tsunami yang mengkhawatirkan, dan kekeringan yang merajalela
pada musim kemarau, serta ketakutan akan tanah longsor di musim penghujan
menjadikan penduduk kota ini menjadi kuat dan terlatih untuk bertahan dalam
kondisi yang sulit. Medannya yang terjal karena merupakan rangkaian
pegunungan kapur, menjadikan perjalanan menjadi sulit. dan bukan termasuk kota
impian untuk ditinggali. Tidak mengherankan, jika penduduk kota ini termasuk
sedikit di Jawa Timur dibandingkan dengan kota-kota lain.

Tetapi, bukan berarti kota ini tak layak huni. Kota ini memiliki kisah
keunikannya tersendiri. Tentang bagaimana peradaban dimulai dengan diwarnai
perjalanan sejarah yang panjang dan berliku. Tentang masuknya agama Islam ke
daerah yang merupakan wilayah kekuasaan Majapahit di akhir kejayaannya.
Selain itu, kota ini juga dikenal dalam sejarah, sebagai tempat ditemukannya
peninggalan masa praaksara yang dikenal dengan Kebudayaan Pacitan.
Sebagaimana daerah lain di tanah Jawa, kisah kota ini juga diwarnai kisah fiktif
tentang penaklukan yang harus dibayar dengan darah perjuangan.

B. METODE PENELITIAN

Model penelitian yang digunakan dalam menggali tema ini adalah


penelitian kualitatif bidang sejarah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
peristiwa sejarah dibalik masuknya agama Islam di tanah Pacitan yang semula
merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Majapahit yang beragama Hindhu.
Penggalian tentang sejarah masa lalu suatu daerah diharapkan akan menambah
wawasan penduduk daerah tersebut agar tumbuh rasa bangga dalam diri
penduduk, sehingga akan timbul rasa tanggung-jawab untuk melestarikan
kebudayaan daerah yang juga merupakan bagian dari aset bangsa Indonesia.

2
Data untuk penelitian ini secara khusus dikumpulkan melalui sumber
kepustakaan. Baik itu berupa majalah terbitan Pemerintah Daerah Pacitan sendiri,
sumber jurnal, hingga media berita yang memuat unsur-unsur sejarah dan
kebudayaan Kabupaten Pacitan. Dalam mengumpulkan data, penulis kesulitan
mendapat sumber dari buku, diakibatkan kurangnya pembahasan tentang sejarah
Kabupaten Pacitan dari buku-buku sejarah Indonesia. Hal itu wajar karena sejarah
Kabupaten Pacitan pada masa lalu kurang begitu berpengaruh bagi kehidupan
masyarakat umum secara luas di luar Pacitan, sehingga bentuk sejarah Pacitan
hanya bersifat lokal dan hanya memengaruhi kehidupan penduduk daerah itu saja.

C. PEMBAHASAN

Dalam sejarah, diceritakan pada abad ke 14 M, Pacitan masih berupa


hutan belantara yang dinamai Wengker Kidul. Disaat daerah lain di Indonesia
telah berdiri kerajaan-kerajaan besar dan peradaban yang berkembang. Baru pada
abad ke 15 M, di Pacitan mulai berkembang agama hindu-budha. Pada saat itu,
Pacitan merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Sebagaimana
kebiasaannya, Majapahit mengutus seorang utusan sebagai pemimpin di suatu
daerah kekuasaannya. Pimpinan dari Majapahit di Pacitan saat itu adalah Ki
Ageng Buwana Keling yang bertempat tinggal di Negeri Buwana Keling yang
terletak di Jati Kecamatan Kebonagung, kurang lebih berjarak tujuh kilometer dari
ibu kota Pacitan (Drs. Ronggosaputro, 1980) 2.

Bersamaan dengan itu, di Jawa, Islam tengah berkembang dengan pesat.


Dibuktikan dengan Kesultanan Demak yang gencar menyebarkan agama Islam
sampai daerah pelosok yang belum dijangkau peradaban. Pada saat itu,
Kesultanan Demak mengirimkan seorang utusan bernama Ki Ageng Petung untuk
membabat hutan, membuka peradaban baru dan menyiarkan agama Islam di hutan
lebat di wilayah selatan Jawa. Namun, menurut keterangan seseorang, wilayah

2
-------, “Sejarah dan Asal-Usul Nama Pacitan.” Gerbang Pacitan, No. 02/XIII, 2019, hal. 12-16.
Diakses pada 01 Oktober 2019 melalui
https://pacitankab.go.id/wp-content/uploads/GERBANG-EDISI-FEBRUARI-2018-SMALL.pdf

3
yang dinamai Wengker Kidul itu telah berpenghuni dan telah lebih dahulu diklaim
oleh utusan Majapahit yaitu Ki Ageng Buwana Keling 3.

Kemudian, diceritakan bahwa Ki Ageng Petung yang juga dikenal


sebagai Sunan Siti Gesang merangkul Buwana Keling untuk masuk Islam dan
menjadi bagian dari Kesultanan Demak. Namun, Buwana Keling dengan tegas
menolak dan kukuh dalam memertahankan wilayah Wengker Kidul itu sebagai
wilayah kekuasaan Majapahit yang saat itu memang mengalami kemunduran
akibat banyak pemberontakan yang terjadi. Penolakan Buwana Keling itu menjadi
pemicu peperangan sengit yang cukup panjang antara kedua belah pihak.
Sehingga Ki Ageng Petung kewalahan dalam menghadapi Buwana Keling.

Tak habis akal, Ki Ageng Petung lalu mencari bala bantuan dari rekan
seperguruannya di Demak, seperti Ki Ageng Posong, dan Syekh Maulana
Maghribi. Dalam perjalanan, mereka dibantu Ki Ageng Menak Sopal (kelak
menjadi cikal bakal Kabupaten Trenggalek) dan sejumlah pasukan dari Adipati
Ponorogo. Pertarungan yang sengit antara Buwana Keling dan pihak Ki Ageng
Petung tersebut dimenangkan oleh Ki Ageng Petung dan para rekannya. Setelah
mereka mengetahui rahasia kelemahan Buwono Keling atas saran Syekh Maulana
Maghribi, mereka berhasil memenggal tubuh Buwono Keling menjadi tiga bagian
dan memakamkannya di tiga tempat. Buwana Keling dikenal sangat sakti hingga
jazadnya harus dipisahkan dengan sungai agar tidak bisa kembali menyatu dengan
utuh dan tidak bisa hidup kembali 4.

Kemenangan pasukan Ki Ageng Petung menandai berakhirnya


kekuasaan Majapahit di daerah Wengker Kidul dan menandai masuknya Islam ke
daerah itu. Selanjutnya, beberapa tokoh berkumpul di puncak Gunung Limo.
Tokoh-tokoh tersebut adalah Ki Ageng Petung, Syeh Maulana Maghribi, Ki

3
Prambadi, Gilang Akbar, (2015, Februari 01) “Babad Ing Tanah Pacitan” Republika. Diakses pada
01 Oktober 2019 melalui
https://www.republika.co.id/berita/koran/jelajah-koran/15/02/01/nj35i9-babad-ing-tanah-
pacitan
4
-------, (2018, Mei 10) “Sekilas Cerita Penumpasan Buwana Keling oleh Ulama di Pacitan.”
Kumparan. Diakses pada 01 Oktober 2019 melalui
https://kumparan.com/bangsaonline/sekilas-cerita-penumpasan-buwana-keling-oleh-ulama-di-
pacitan

4
Ageng Posong, Ki Ageng Menak Sopal, Kyai Jaiman (Arjosari), Ki Ageng
Komoh (Gembuk), Mbah Brayut, Mantri Tamtama beserta para soreng pati
(pasukan Demak). Sebagai tanda masuknya Islam di bumi Wengker Kidul,
mereka memberi tanda berupa penancapan panji hitam di puncak Gunung Limo
yang diberi nama Pusaka Kyai Tunggul Wulung 5.

Sejak saat itulah daerah Wengker Kidul memulai peradaban baru di


bawah panji kebesaran Kasultanan Demak yang bercorak Islam. Kisah masuknya
Islam ke Wengker Kidul tersebut terekam dalam sejarah dan dalam legenda
masyarakat Pacitan. Awal peradaban Islam di Wengker Kidul ditandai dengan
berkibarnya Panji Hitam Tunggul Wulung di puncak Gunung Limo. Sejak saat
itu, Pondok pesantren banyak berdiri dan Islam berkembang sangat pesat hingga
ke dalam kultur kehidupan masyarakat. Sampai saat inipun Islam adalah agama
mayoritas di Pacitan dengan presentase mencapai 99,86 persen menurut Badan
Pusat Statistik Kabupaten Pacitan tahun 2016 6. Menandakan perjuangan berliku
yang dilalui beberapa tokoh pada masa lalu menuangkan keberhasilan dengan
kegemilangan peradaban Islam di Pacitan pada masa kini.

D. KESIMPULAN

Sejarah mencatat seiring masa kemunduran Kerajaan Majapahit yang


bercorak Hindhu di tanah Jawa, Kerajaan Islam mulai bangkit ke permukaan dan
mencapai kejayaan dengan menyebarkan agama Islam ke berbagai daerah, seperti
halnya Kesultanan Demak yang mengirimkan utusan ke seluruh pelosok di tanah
Jawa. Ketika sampai di hutan paling selatan, utusan Demak yang bernama Ki
Ageng Petung mendapat perlawanan dari Ki Ageng Buwana Keling utusan dari
Kerajaan Majapahit yang terkenal akan kesaktiannya. Buwana Keling telah
mengklaim terlebih dahulu menguasai tempat itu dan menamainya “Wengker
Kidul”.

5
ibid
6
-------, (2018, November 15) “Persentase Penduduk Menurut Kecamatan dan Agama yang
Dianut di Kabupaten Pacitan, 2016.” Badan Pusat Statistik. Diakses pada 01 Oktober 2019 melalui
https://pacitankab.bps.go.id/statictable/2018/11/15/277/-persentase-penduduk-menurut-
kecamatan-dan-agama-yang-dianut-di-kabupaten-pacitan-2016.html

5
Ketika utusan dari Majapahit dan Demak bertemu, pertempuran tidak
dapat dihindarkan. Setelah pertarungan panjang dengan jalan adu kesaktian
masing-masing, kemenangan ada di pihak Kerajaan Demak yang berakibat pada
bangkitnya Islam di tanah yang masih berupa hutan belantara yang dinamai
“Wengker Kidul”. Penancapan panji hitam di puncak Gunung Limo menandai
mulainya peradaban Islam di daerah itu.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kesaktian, kecerdasan, dan
kehebatan itu ada masanya. Semua hal yang ada di dunia ini bersifat fana dan
akan termakan oleh masa, Tidak ada yang abadi selain Tuhan Yang Maha Esa
yang telah menciptakan alam semesta ini. Sehingga manusia harus belajar dan
menyiapkan diri untuk menyikapi perubahan zaman yang akan memberi banyak
perubahan bagi hidup manusia.

DAFTAR PUSTAKA

-------, (2018, November 15) “Persentase Penduduk Menurut Kecamatan dan Agama yang Dianut
di Kabupaten Pacitan, 2016.” Badan Pusat Statistik. Diakses pada 01 Oktober 2019
melalui
https://pacitankab.bps.go.id/statictable/2018/11/15/277/-persentase-penduduk-
menurut-kecamatan-dan-agama-yang-dianut-di-kabupaten-pacitan-2016.html
-------, (2018, Mei 10) “Sekilas Cerita Penumpasan Buwana Keling oleh Ulama di Pacitan.”
Kumparan. Diakses pada 01 Oktober 2019 melalui
https://kumparan.com/bangsaonline/sekilas-cerita-penumpasan-buwana-keling-oleh-
ulama-di-pacitan
-------, “Sejarah dan Asal-Usul Nama Pacitan.” Gerbang Pacitan, No. 02/XIII, 2019, hal. 12-16.
Diakses pada 01 Oktober 2019 melalui
https://pacitankab.go.id/wp-content/uploads/GERBANG-EDISI-FEBRUARI-2018-
SMALL.pdf
Prambadi, Gilang Akbar, (2015, Februari 01) “Babad Ing Tanah Pacitan” Republika. Diakses pada
01 Oktober 2019 melalui
https://www.republika.co.id/berita/koran/jelajah-koran/15/02/01/nj35i9-babad-ing-
tanah-pacitan
Soekmono. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1. Yogyakarta : Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai