Anda di halaman 1dari 3

PERADABAN ISLAM KOTA NGANJUK

Sungai Brantas jadi saksi penting dalam sejarah perkembangan Islam di Nganjuk. Pada era
Kiai Nurjalifah, salah abdi dalem Kerajaan Mataram Islam, daerah tepi sungai terbesar di Jawa
Timur itu dijadikan tonggak awal wilayah kekuasaan Kesultanan Jogjakarta.
Kedatangan Kiai Nur Jalifah, seorang abdi dalem Kerajaan Mataram Islam, ke Desa Pakuncen,
Patianrowo tidak lepas dari hasil perjanjian Giyanti pada 1775. Dalam perjanjian itu, Vereenigde
Oostindische Compagnie (VOC) Belanda membagi kekuasaan kerajaan menjadi dua wilayah.
Jika sebelumnya kekuasaan dipegang penuh oleh Kesunanan Surakarta, saat itu harus dibagi
dengan Kesultanan Jogjakarta. Dampaknya, Kesultanan Jogjakarta ingin menguasai beberapa
daerah di Jawa bagian timur (sekarang Jawa Timur). Salah satunya adalah Kabupaten Nganjuk.
Sebelumnya, wilayah Kediri sudah dikuasai Jogjakarta. “Mereka juga ingin (Nganjuk, Red) masuk
wilayah Jogjakarta,” kata Kiai Qolyubi Dahlan, Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Miftahul
Huda, Kelurahan Mangundikaran, Kecamatan Nganjuk.
Menurut pemerhati sejarah Nganjuk ini, Kesultanan Jogjakarta kemudian mengutus Nurjalifah
menjaga kekuasaan di wilayah Nganjuk sekitar tahun 1870. Pasalnya, daerah itu belum memiliki
pemangku yang bertugas mendirikan pemerintahan di bawah kekuasaan Jogjakarta. “
Kedatangan Kiai Nurjalifah atas perintah kesultanan,” lanjutnya.
Kenapa akhirnya Nurjalifah memilih di Desa Pakuncen, Patianrowo? Salah satu pertimbangannya,
menurut Qolyubi, desa itu berada di tepi Sungai Brantas. Jaraknya hanya sekitar 400 meter dari
bibir sungai terbesar di Jawa Timur itu.
Waktu itu, selain Bengawan Solo, Sungai Brantas merupakan moda transportasi sungai terpadat
di Jawa. Brantas menjadi tempat lalu lalang perahu dan kapal menuju Surabaya.
Selain sebagai pusat perekonomian, dipilihnya Patianrowo karena berbatasan langsung dengan
Jombang. Kala itu, Jombang merupakan wilayah kekuasaan Surakarta. Karena itu, Nurjalifah
ditugaskan menjaga perbatasan dengan wilayah kekuasaan Surakarta. “Nurjalifah menetap di
Pakuncen,” terangnya.
Di sana, kata Qolyubi, Nurjalifah membentuk pemerintahan di wilayah Pakuncen. Selama
bertahun-tahun, kiai asal Banten itu hidup bersama warga sekitar yang sudah menetap di wilayah
Pakuncen dan sekitarnya.
Sementara menurut Ahmad Akbar Sunandir, Koordinator Wilayah Balai Pelestarian Cagar Budaya
(BPCB) Trowulan di Nganjuk, selain mendirikan pemerintahan dan menjadi lurah, Kiai Nurjalifah
juga melakukan syiar Islam di sekitar Pakuncen. “Kiai juga mengajar di sekitar wilayah sini,” kata
pria yang juga juru kunci makam Kiai Nurjalifah di Pakuncen ini.
Salah satu bukti peninggalan syiar Islam Nurjalifah adalah Masjid Baiturrohman, yang terletak di
kompleks pemakaman. Menurut Nandir, masjid yang dulu bernama Kauman itu didirikan setelah
Kiai Nurjalifah tiba di Pakuncen.
“Dibantu beberapa murid,” ungkap pria 39 tahun ini.
Saat didirikan, Masjid Baiturrohman berfungsi sebagai pusat dakwah. Selain itu, Kiai Nurjalifah
sering mengajar ngaji warga setempat di masjid yang sudah mengalami renovasi beberapa kali
itu. “Beliau tinggi ilmunya,” ucap Nandir.
Perjuangan Kiai Nurjalifah tidak hanya berhenti di Patianrowo. Selama berada di Jawa
Timur, kiai asal Banten ini juga ditugaskan sampai ke Trenggalek. Dalam perjalannya ke selatan
pulau Jawa itu, Kiai Nurjalifah sempat singgah di beberapa daerah di sepanjang Sungai Brantas.
Sebagai guru sekaligus perangkat pemerintahan di Pakuncen, Patianrowo, Kiai Nurjalifah
mempunyai tugas berat. Sebab, dia bertanggungjawab terhadap wilayah kekuasaan Kesultanan
Jogjakarta di Jawa bagian timur. Makanya, kiai asal Banten ini berupaya mengembangkan
wilayah pemerintahannya.
Di Patianrowo, Kiai Nurjalifah menganggap pemerintahan sulit dikembangkan. Pasalnya, dulu
wilayah itu merupakan daerah rawa. Sehingga, setiap kali hujan deras, Patianrowo dan sekitarnya
sering dilanda banjir. “Patianrowo bukan daerah strategis untuk pusat pemerintahan,” kata Kiai
Qolyubi Dahlan, pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Miftahul Huda, Mangundikaran, Nganjuk.
Atas pertimbangan itu, Kiai Nurjalifah akhirnya meninggalkan Patianrowo. Dia memilih Pogalan,
Trenggalek, sebagai tempat persinggahannya yang baru. Perginya Kiai Nurjalifah ke selatan Jawa
itu juga sudah mendapat persetujuan dari Kesultanan Jogjakarta.
Meski pindah ke Trenggalek, bukan berarti pemerintahan di Patianrowo kosong. Masih ada
beberapa perangkat yang melanjutkan perjuangan Kiai Nurjalifah untuk menjaga perbatasan
dengan wilayah kekuasaan Kesunanan Surakarta di Jombang. “Beberapa perangkat masih tinggal
di Pakuncen,” lanjut Qolyubi.
Sepeninggalan Kiai Nurjalifah, Kesultanan Jogjakarta berusaha mencari daerah baru sebagai
pusat pemerintahan di Nganjuk. Pilihan saat itu jatuh ke Kujonmanis di Warujayeng, Kecamatan
Tanjunganom. Kesultanan menugaskan Pangeran Kertonegoro untuk membuat pemerintahan di
Warujayeng. “Jadi pemerintah dipindah ke Warujayeng,” terang pemerhati sejarah Islam di
Nganjuk ini.
Sayang, pemeintahan di Warujayeng tidak bertahan lama. Pasalnya, menurut Qolyubi,
Kesultanan Jogjakarta menilai Warujayeng juga bukan daerah strategis. “Akhirnya, kesultanan
memindah pemerintahannya ke Berbek,” ungkap pria 78 tahun ini.
Seperti diketahui, Kesultanan Jogjakarta akhirnya menugaskan Raden Toemenggoeng
Sosrokoesoemo I alias Kanjeng Jimat sebagai adipati di Berbek. Setelah itu, sekitar tahun 1880-
an, pusat pemerintah dipindah ke Nganjuk sampai sekarang.
Sementara mengenai kisah Kiai Nurjalifah yang pindah ke Trenggalek, Koordinator Wilayah
(Korwil) BPCB Trowulan di Nganjuk Ahmad Akbar Sunandir mengatakan, perjalanan kiai ditempuh
dengan menunggangi kuda. Dia menyusuri jalan di sepanjang tepi Sungai Brantas. “Kiai naik kuda
ke Trenggalek,” ujar pria yang akrab disapa Nandir ini.
Perjalanan itu melewati beberapa wilayah di bantaran sungai terbesar di Jawa Timur. Di
antaranya Ngronggot, Prambon, Mrican, Mojoroto, Mojo, Tulungagung dan akhirnya sampai di
Trenggalek.
Selama di jalan, Kiai Nurjalifah sempat singgah ke sejumlah tempat. Di sana, dia juga mengajarkan
islam kepada penduduk. Salah satunya di wilayah Mojo. Konon, menurut Nandir, kuda Kia
Nurjalifah dikuburkan di daerah Mojo.
“Ada kuburan kuda di Mojo,” tuturnya.
Selain itu, kata Nandir, ada dua lokasi makam Kiai Nurjalifah. Selain di Pakuncen, jasadnya juga
dimakamkan di Pogalan, Trenggalek. “Di sini (Pakuncen) ada makamnya. Di Trenggalek juga ada,”
ucap pria yang juga juru kunci makam Kiai Nurjalifah di Pakuncen ini.

REFRENSI

https://radarkediri.jawapos.com/read/2018/05/18/74452/menelisik-sejarah-islam-di-sepanjang-sungai-
brantas-1

Anda mungkin juga menyukai