Anda di halaman 1dari 3

HAJAT BUMI – TRADISI YANG TERGERUS ZAMAN

TRADISI, merupakan salah satu identitas sebuah wilayah. Hampir seluruh daerah di Indonesia,
memiliki ciri khas tradisi kebudayaan masing-masing. Seperti halnya di desa sukadana
kecamatan sukadana kabupaten ciamis.

Mungkin tak banyak orang yang tahu, jika di wilayah kecamatan sukadana ternyata masih ada
beberapa masyarakat yang masih memegang teguh adat dan kebudayaan warisan nenek
moyangnya. Sebut saja salah satunya dusun cariu desa sukadana kecamatan sukadana.

Masyarakat di dusun ini masih sangat memegang teguh konsep adat turun temurun dalam
kesehariannya, seperti dalam acara syukuran membuat rumah, pernikahan, syukuran 4 bulan, dll.
Selain itu, masyarakat dusun cariu juga memegang teguh beberapa pantrangan yang oleh
masyarakat jika dilanggar akan mendatangkan malapetaka, pantrangan tersebut ialah pantrang
mengadakan pertunjukan wayang dan pantrang memakan daging kidang. Tak hanya itu ada hal
yang sangat menarik lagi yang mungkin jarang ditemukan di desa lain, yaitu masyarakat dusun
cariu selalu mengadakan Upacara Hajat Bumi setiap tahunnya.

Kegiatan ini merupakan wujud rasa syukur kepada Sang Maha Pencipta atas segala rejeki yang
telah diberikan, terutama rejeki hasil panen di dusun cariu desa sukadana. Selain itu menjalankan
ritual-ritual budaya leluhur adalah sebagai bentuk penghargaan pada karuhun (leluhur)yang telah
ngababadak lembur (membuka pemukiman) di dusun cariu.

Dalam catatan sejarah yang terdapat di dusun cariu dan sekitarnya, dikatakan bahwa setelah cariu
yang awalnya sebuah desa menjadi sebuah kampung, kepala dusun pertamanya yang dipanggil
Rurah Minta kemudian menata Makam Girang tempat Eyang Candradirana dimakamkan dengan
menandainya dengan batu. Selain itu Rurah Minta juga tetap melestarikan dan menjalankan hal-
hal yang biasa dilakukan oleh Eyang Candradirana seperti, Hajat Bumi atau ngaruat, Munah
Rajah, Numbal, Babaritan, Merlawu di makam pada bulan Rewah/Sya'ban, Mupunjung di
gunung pada bulan Mulud/Rabi'ul awal.

“hajat bumi dilaksanakan setiap tanggal 1 muharram, dalam hajat bumi diawali dengan tahap
ngarubung (persiapan)dimana warga memasang setiap hasil panen di balai dusun atau tempat
hiburan berlangsung. Lalu tahap hajat (pelaksanaan), dalam pelaksanaan dimulai pada siang
hari diisi acara berbagai hiburan seperti ngangkring dan ronggeng, lalu malam harinya diisi
dengan babaritan, penuturan silsilah desa cariu dan diakhiri dengan hiburan ronggeng”. Jelas
Cahdi selaku kuncen makam girang dusun cariu.

Bapak Darsim yang merupakan salah satu tokoh masyarakat dusun cariu juga menjelaskan,
dalam acara ini berbagai hasil panen warga desa tersebut dikumpulkan di balai dusun lalu direka
hingga menghiasi panggung dan balai dusun, beragam hasil panen dipamerkan mulai dari mulai
pisang, singkong, ubi, tanaman sayuran, buah buahan hingga padi. dalam acara hiburan
diadakan ngangkring (memukul lisung dan halu menjadi lantunan musik) yang dilakukan oleh
beberapa ibu-ibu, dan malamnya diadakan hiburan ronggeng setelah upacara selesai. Acara ini
tidak hanya dihadiri oleh masyarakat dusun cariu, dari luar dusun bahkan luar desa pun banyak
yang mengikuti, misalnya dari dusun salakaria, bunter, ciparigi, dll.

Namun sayang saat ini budaya tersebut mulai redup tertiup angin modernisasi zaman, apalagi di
zaman “milenial” seperti sekarang ini masyarakat sudah menganggap hajat bumi sebagai sesuatu
yang tidak terlalu penting yang identik dengan sesuatu yang “kuno”. Belum lagi adanya kontra
dengan agama dimana beberapa orang menganggap ada hal-hal dalam rangkaian hajat bumi yang
bertolak belakang dengan syariat islam.

Padahal, jika kita tahu secara detil makna upacara hajat bumi tersebut kita akan banyak
menemukan ajaran-ajaran yang baik yang selaras dengan ajaran islam, hanya saja dikemas dalam
bentuk kearifan lokal. Seperti halnya Maulid Nabi juga merupakan bentuk tradisi adat budaya
yang lahir di dinasti Irbil (Irak) pada abad ke-7 Hijriyah sebagai rasa syukur atas kelahiran Nabi
Muhammad SAW. Di Indonesia bentuk rasa syukur kepada Allah SWT diakulturasikan dalam
berbagai kearifan lokal, salah satunya hajat bumi.

Untuk mengembalikan keramaian Hajat Bumi, berbagai kalangan di dusun cariu selalu berusaha
menggiatkan kembali hajat bumi, seperti yang dilakukan oleh para kuncen, kepala dusun cariu
dan beberapa tokoh masyarakat seperti Bapak Darsim dan Bapak Masduki Heryana, dll.

“Hajat Bumi nu minangka rame teh nu lima taun kapengker, dahareun loba, aya ngangkring,
aya ronggeng gunung, aya qosidah ge, aya ceramah, rame sakitumah”, ujar Maja selaku kuncen
di keramat hilir dusun cariu.

Maja dan berbagai tokoh di dusun cariu berharap semoga di tahun ini dan kedepannya hajat bumi
di cariu bisa menjadi agenda tahunan desa dan semakin ramai tidak hanya sekup desa tapi
menjadi sekup kecamatan bahkan kabupaten.
Ngangkring oleh Ibu-ibu Dusun Cariu
(Foto : Dok. Hajat Bumi 2015)

Anda mungkin juga menyukai