PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
1
1.3. Manfaat
2
BAB II
ISI BAHASAN
2.1. Sejarah
Menurut catatan sejarah dan tradisi lokal, perayaan Seren Taun
sudah turun-temurun dilakukan sejak zaman Kerajaan Sunda purba
seperti kerajaan Pajajaran. Upacara ini berawal dari pemuliaan terhadap
Nyi Pohaci Sanghyang Asri, dewi padi dalam kepercayaan Sunda kuno.
Sistem kepercayaan masyarakat Sunda kuno dipengaruhi warisan
kebudayaan masyarakat asli Nusantara, yaitu animisme-dinamisme
pemujaan arwah karuhun (nenek moyang) dan kekuatan alam, serta
dipengaruhi ajaran Hindu. Masyarakat agraris Sunda kuno memuliakan
kekuatan alam yang memberikan kesuburan tanaman dan ternak,
kekuatan alam ini diwujudkan sebagai Nyi Pohaci Sanghyang Asri, dewi
padi dan kesuburan. Pasangannya adalah Kuwera, dewa kemakmuran.
Keduanya diwujudkan dalam Pare Abah (Padi Ayah) dan Pare Ambu
(Padi Ibu), melambangkan persatuan laki-laki dan perempuan sebagai
simbol kesuburan dan kebahagiaan keluarga. Upacara-upacara di
Kerajaan Pajajaran ada yang bersifat tahunan dan delapan tahunan.
Upacara yang bersifat tahunan disebut Seren Taun Guru Bumi yang
dilaksanakan di Pakuan Pajajaran dan di tiap wilayah. Upacara besar
yang bersifat delapan tahunan sekali atau sewindu disebut upacara Seren
Taun Tutug Galur atau lazim disebut upacara Kuwera Bakti yang
dilaksanakan khusus di Pakuan.
Kegiatan Seren Taun sudah berlangsung pada masa Pajajaran dan
berhenti ketika Pajajaran runtuh. Empat windu kemudian upacara itu hidup
lagi di Sindang Barang, Kuta Batu, dan Cipakancilan. Namun akhirnya
berhenti benar pada 1970-an. Setelah kegiatan ini berhenti selama 36
tahun, Seren Taun dihidupkan kembali sejak tahun 2006 di Desa Adat
Sindang Barang, Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor.
3
Upacara ini disebut upacara Seren Taun Guru Bumi sebagai upaya
membangkitkan jati diri budaya masyarakat Sunda.
Di Cigugur, Kuningan, upacara seren taun yang diselenggarakan tiap
tanggal 22 Rayagung-bulan terakhir pada sistem penanggalan Sunda,
sebagaimana biasa, dipusatkan di pendopo Paseban Tri Panca Tunggal,
kediaman Pangeran Djatikusumah, yang didirikan tahun 1840.
Sebagaimana layaknya sesembahan musim panen, ornamen gabah serta
hasil bumi mendominasi rangkaian acara.
Masyarakat pemeluk kepercayaan Sunda Wiwitan tetap menjalankan
upacara ini, seperti masyarakat Kanekes, Kasepuhan Banten Kidul, dan
Cigugur. Kini setelah kebanyakan masyarakat Sunda memeluk agama
Islam, di beberapa desa adat Sunda seperti Sindang Barang, ritual Seren
Taun tetap digelar dengan doa-doa Islam. Upacara seren taun bukan
sekadar tontonan, melainkan juga tuntutan tentang bagaimana manusia
senantiasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, terlebih di kala
menghadapi panen. Upacara ini juga dimaksudkan agar Tuhan
memberikan perlindungan di musim tanam mendatang.
2.2. Sinopsis
Seren Taun adalah upacara adat panen padi masyarakat Sunda
yang dilakukan tiap tahun. Upacara ini berlangsung khidmat dan semarak
di berbagai desa adat Sunda. Upacara adat sebagai syukuran masyarakat
agraris ini diramaikan ribuan masyarakat sekitarnya, bahkan dari
beberapa daerah di Jawa Barat dan mancanegara. Beberapa desa adat
Sunda yang menggelar Seren Taun tiap tahunnya adalah:
- Desa Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
- Kasepuhan Banten Kidul, Desa Ciptagelar, Cisolok, Kabupaten
Sukabumi
- Desa adat Sindang Barang, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari,
Kabupaten Bogor
- Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten
- Kampung Naga Kabupaten Tasikmalaya
4
Upacara Seren taun merupakan upacara masyarakat agararis
adalah penyerahan hasil panen yang diterima pada tahun yang akan
berlalu serta salah satu media dalam mengungkapkan rasa syukur kepada
Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkah yang telah diterima seiring
dengan harapan agar dimasa yang akan datang, hasil panen seluruh
anggota masyarakat dapat lebih melimpah lagi. Penyelenggaraan dimulai
dengan upacara ngajayuk (menyambut) pada tanggal 18 Rayagung,
kemudian dilanjutkan pada tanggal 22 Rayagung dengan upacara
pembukaan padi sebagai puncak acara, dengan disertai beberapa
kesenian tradisional masyarakat agraris sunda tempo dulu, seperti
ronggeng gunung, seni klasik tarawangsa, gending karesmen, tari bedaya,
upacara adat ngareremokeun dari masyarakat kanenes baduy, goong
renteng, tari buyung, angkulung buncis doodog lonjor, reog, kacapi suling
dan lain-lain yang mempunyai makna dan arti tersendiri, khususnya bagi
masyarakat sunda.
2.3. Durasi
Kegiatan adat ini biasanya berlangsung selama 7 hari, rangkaian
acaranya adalah sebagai berikut:
Hari ke 1, Neutepkeun
Neutepken ini dimaksud adalah memanjatkan niat agar acara Seren
Taun berjalan lancar serta memohon agar kebutuhan pangan selama
acara terpenuhi tanpa ada kekurangan. Upacara ritual ini dipimpin oleh
Sang Rama dan Kokolot Panggiwa yang dilaksanakan di tempat
pabeasan (tempat menyimpan beras) di Imah Gede. Di Pabeasan inilah
dikumpulkan semua bahan-bahan makanan yang akan dimasak mulai dari
bumbu dapur, sayur mayur, minuman, serta kue-kue yang akan dimakan
sepanjang acara seren Taun berlangsung
Hari ke 2, Ngembang
Ngembang / nyekar/ ziarah dipimpin oleh Kokolot Panggiwa dan
Panengen dilakukan ke makam sebagai leluhur warga Sindangbarang
5
yaitu Sang Prabu Langlangbuana, Prabu Prenggong Jayadikusumah di
Gunung Salak
Hari ke 3, Sawer Sudat dan Ngalage
Sunatan massal, yaitu upacara sudat (sunat) bagi anak-anak di
kampung Sindang Barang, dengan berpakaian adat lengkap serta duduk
di atas tandu (jampana) Acara ini dilaksanakan di alun-alun. Sebelum
acara di mulai dilakukan doa yang dipimpin oleh Sang Rama untuk
memberi restu terhadap perwakilan orang tua peserta sunatan massal
agar acara berlangsung lancar, selamat dan mendoakan agar anak-anak
yang di sudat menjadi anak yang berbakti pada orangtua, agama dan
bangsa, setelah acara doa selesai anak-anak peserta sudat yang menaiki
jampana di arak dan di sawer dengan kunyit, beras merah, dan panglay
sambil diiringi oleh tatabuhan musik tradisional seperti reog, calung,
kendang pencak dan terompet. Seusai arak-arakan anak-anak berkumpul
di bale Pangriungan sambil dihibur oleh para orang tua
Hari ke 4, Sebret Kasep
Pelaksanaan sudat (sunat) di Bale Pangriungan.
Hari ke 5, Ngukuluan
Ngukuluan ini adalah mengambil air dari tujuh sumber mata air,
bermula dari Imah kolot. Dilepas oleh Sang Rama kepada para kokolot
dan parawari (panitia). Perjalanan mengambil air dari sumber mata air ini
diiringi dengan kesenian tradisional Angklung Gubrag. Malam harinya
dengan dipimpin oleh Kokolot Panggiwa air tersebut dibacakan doa-doa
tolak bala
Hari ke 6, Sedekah kue, Helaran, Nugel Munding, Sedekah daging,
Pertunjukan seni
Acara hari ke enam dilaksanakan pagi hari di alun-alun, diawali
dengan parawari (panitia) mempersiapkan sebanyak 40 tampah yang
berisi aneka kue, upacara dipimpin oleh kokolot, diawali dengan
meriwayatkan sejarah leluhur Sindangbarang. Serta membacakan doa
buat para leluhur . Setelah itu barulah kokolot dan para warga
6
memperebutkan sedekah kue, dilanjutkan menuju lapangan inpres untuk
memotong kerbau, sepanjang berjalanan ke lapangan inpres digelar pula
helaran/pawai kesenian yang terdiri dari angklung gubrag, tujuh orang
mojang, pembawa pohon hanjuang, jampana berisi air kukulu, pembawa
tebu hitam, pembawa jampana daging, pembawa pohon hanjuang , para
kokolot, kesenian reog, calung, kendang pencak .
Di lapangan inpres Kokolot melakukan serah terima (seren-sumeren)
kepada Sang Rama untuk memimpin pelaksanakan pemotongan kerbau
yang diselingi dengan bunyi lisung dan terompet, daging kerbau yang
dipotong kemudian di taruh dalam 40 nyiru (tampah), setelah dilakukan
doa maka daing inipun disedekahkan utnuk masyarakat
Saat malam harinya diadakan hiburan bagi masyarakat dilaksanakan
di alun-alun kajeroan dan di lapangan inpres dengan menampilan
kesenian tradisonal jaipong, ketuk tilu, ngagondang, angklung gubrag,
kendang pencak, parebut seeng, reog,dan calung
Hari ke 7, Helaran dongdang, Majiekeun Pare, Pintonan kesenian
Persiapan oleh masayarakat sudah diawali sejak subuh, karena pagi
harinya sebanyak 54 RT di kampung Sindangbarang sudah berkumpul di
depan masjid Sindangbarang dengan membawa dongdang (hasil bumi)
yang dihias aneka bentuk. Pawai dongdang ini dilengkapi oleh barisan
pembawa Rengkong (padi) hasil panen, para kokolot, rombongan
kesenian, dll. Jam 08.00 WIB rombongan bergerak menuju kampung
budaya Sindangbarang untuk melaksanakan Upacara puncak yaitu
Majiekeun Pare ayah dan ambu ke dalam lumbung Ratna Inten.
sementara di lapangan Sang Rama sudah menunggu untuk memasukan
Pare Ayah dan Ambu. Setelah memasukan padi, kemudian dongdang
(hasil bumi) dibawa ke depan sang Rama untuk didoakan , setelah diberi
doa maka warga akan berebut hasil bumi tersebut. Pertunjukan tarian
dipersembahkan oeh muda-mudi Sindangbarang dengan diiringi gamelan.
Ditampilkan pula pertunjukan gondang, reog, angklung gubrag, kendang
7
penca dan ditutup oleh rampag parebut seeng. Malam harinya di alun-alun
kajeroan pagelaran wayang golek semalam suntuk digelar.
Inti pada acaranya berlangsung sekitar 30 menit 5 jam lamanya.
Untuk yang lainnya hanya sebagai pendamping saja, tetapi tidak kalah
pentingnya.
2.4. Gerakan
Tari Buyung adalah tarian tradisional masyarakat Cigugur Kuningan
Jawa Barat. Tarian ini merupakan tarian adat yang bernilai simbolik
tentang rasa syukur manusia atas rahmat Tuhan berupa alam semesta
yang indah dan bermanfaat bagi hidup manusia, salah satunya adalah air.
Biasanya tarian ini biasa dilakukan oleh masyarakat Cigugur,
Kuningan, Cirebon saat Upacara Seren Taun yang diadakan pada bulan
Rayagung pada penanggalan Jawa.
Setiap gerakan dalam tari Buyung memiliki makna yang tersirat.
Menginjak kendi sambil membawa buyung di kepala (nyuhun) erat
relevansinya dengan ungkapan di mana bumi di pijak di situ langit
dijunjung.
Buyung adalah sejenis alat yang terbuat dari logam maupun tanah
liat yang digunakan oleh sebagian wanita desa pada zaman dulu untuk
mengambil air di sungai, danau, mata air, atau di kolam.
Menurut, Emalia Djatikusumah, seorang koreografer yang
berdomisili di Cigugur, gerak lembut dan nuansa alam di kala bulan
purnama mengilhami lahirnya karya cipta tari yang mengisahkan gadis
desa yang turun mandi dengan teman-temannya dan mengambil air di
pancuran Ciereng dengan buyung.
Membawa buyung di atas kepala sangat memerlukan
keseimbangan. Hal ini berarti bahwa dalam kehidupan ini perlu adanya
keseimbangan antara perasaan dan pikiran. Pergelaran tari buyung
dengan formasi Jala Sutra, Nyakra Bumi, Bale Bandung, Medang
Kamulan, dan Nugu Telu memiliki makna yang menyiratkan bahwa
masyarakat petani Sunda adalah masyarakat yang religius. Tuhan diyakini
8
sebagai Causa Prima dari segala asal-usul sumber hidup dan kehidupan.
Sementara manusia merupakan mahluk penghuni bumi yang paling
sempurna di antara mahluk-mahluk ciptaan Tuhan lainnya.
Alam penuh dengan energi. Alam selalu bereaksi dengan tingkah
laku manusia, dan ikut mempengaruhi karakter manusia. Eksistensi dalam
alam makrokosmos dilihat sebagai sesuatu yang tersusun secara
hierarkis. Sehingga, secara moral manusia dituntut untuk menyelaraskan
hidupnya dengan alam, yaitu antara mikrokosmos (manusia) dan
makrokosmos (alam raya) untuk membuahkan kesadaran mengenai
penghayatan iman terhadap keagungan Tuhan Sang Maha Pencipta.
Dalam tarian itu, manusia diajak untuk lebih dekat dengan alam dan
mencintainya sebagai sahabat yang harus terus berjalan bersama. Tarian
ini ditampilkan saat upacara Seren Taun yakni upacara syukur atas
Kemurahan Tuhan di masyarakat Cigugur.
Seren Taun juga dilaksanakan sebagai penghormatan kepada Dewi
Sri atau Dewi Padi yang memberikan kesuburan bagi para petani.
Karena daerah ini merupakan daerah agraris, maka masyarakat
Cigugur mengadakan upacara syukuran atas hasil bumi yang diperoleh.
Acara syukuran atas hasil bumi ini lebih dikenal dengan istilah Seren
Taun. Seren Taun merupakan gelar budaya tradisional yang sering
dilaksanakan oleh masyarakat agraris Sunda.
Dalam penyelengaraan Seren Taun karena masih berhubungan
dengan agraris maka bahan-bahan seperti buah-buahan, umbi-umbian,
padi, dan hewan yang merupakan bahan vital penunjang kegiatan. Lalu
dalam ritus kegiatannya dalam formasi barisan pada pelaksanaan upacara
Seren Taun terdiri dari barisan muda-mudi, ibu-ibu, bapak-bapak, dan
rombongan kesenian yang diantaranya: tari buyung anglung buncis dari
Baduy, angklung buncis dan dan dog-dog di sertai umbul-umbul.
2.5. Tata Cara
Kegiatan diawali dengan barisan muda-mudi, ibu-ibu dan bapak-
bapak yang membawa hasil bumi berupa padi, buah-buahan, palawija:
9
Barisan dibagi menjadi empat penjuru sesuai dengan arah mata angin.
Barisan terdepan (lulugu) yaitu dua gadis membawa padi, buah-buahan
dan umbian diiringi oleh seorang pemuda yang membawa payung janur
bersusun tiga. Kemudian 11 gadis membawa padi, masing-masing
dipayungi seorang pemuda, rombongan bapak-bapak yang memikul padi
dengan rengkong serta pikulan biasa. Serta para penari yang membawa
buyung (bejana untuk membawa air).
Hal tersebut mempunyai makna sebagai berikut: empat penjuru
melambangkan cinta kasih Tuhan terhadap umatnya sudah tersedia di
empat penjuru bumi ini. Dua lulugu melambangkan manusi hidup
dikelilingi komunitasnya, selain itu ditopang oleh keanekaragaman
kehidupan, sedang payung janur bersusun tiga merupakan simbol Tri
Daya Eka Karsa, yaitu tiga taraf kehidupan; nabati, hewani dan insani. 11
muda-mudi melambangkan bahwa mereka adalah benih-benih atau tunas
bangsa sebagai generasi penerus yang akan melanjutkan serta
melestarikan budaya bangsa. Sedangkan rombongan ibu-ibu dan bapak-
bapak melambangkan permohonan dan membimbing anakanaknya
dengan kasih sayang sehingga anak tersebut menjadi manusia yang
berguna bagi nusa dan bangsa.
Kegiatan puncak ditandai dengan pagelaran kesenian kolosal Tari
Buyung dan Angklung Buncis dari Desa Cigugur, serta Angklung Baduy
dari Kanekes sebagai bagian ritual utama dan dilanjutkan dengan
Ngajayak, yakni penyerahan l5 padi oleh masyarakat untuk ditumbuk
bersama-sama yang hasilnya akan dibagikan pada yang memerlukan
dengan menyisakan sebagian untuk benih guna ditanam kembali
Rangkaian ritual upacara Seren Taun berbeda-beda dan beraneka
ragam dari satu desa ke desa lainnya, akan tetapi intinya adalah prosesi
penyerahan padi hasil panen dari masyarakat kepada ketua adat. Padi ini
kemudian akan dimasukkan ke dalam leuit (lumbung) utama dan lumbung-
lumbung pendamping. Pemimpin adat kemudian memberikan indung pare
10
(induk padi/bibit padi) yang sudah diberkati dan dianggap bertuah kepada
para pemimpin desa untuk ditanan pada musim tanam berikutnya.
Di beberapa desa adat upacara biasanya diawali dengan mengambil
air suci dari beberapa sumber air yang dikeramatkan. Biasanya air yang
diambil berasal dari tujuh mata air yang kemudian disatukan dalam satu
wadah dan didoakan dan dianggap bertuah dan membawa berkah. Air ini
dicipratkan kepada setiap orang yang hadir di upacara untuk membawa
berkah. Ritual berikutnya adalah sedekah kue, warga yang hadir berebut
mengambil kue di dongdang (pikulan) atau tampah yang dipercaya kue itu
memberi berkah yang berlimpah bagi yang mendapatkannya. Kemudian
ritual penyembelihan kerbau yang dagingnya kemudian dibagikan kepada
warga yang tidak mampu dan makan tumpeng bersama. Malamnya diisi
dengan pertunjukan wayang golek.
2.6. Iringan
Iringan yang melengkapi upacara Seren Taun ini adalah sebagai
berikut :
Angklung
Angklung adalah alat musik tradisional yang berasal dari Jawa Barat,
terbuat dari bambu, yang dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi
disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan
bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam
setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Laras (nada) alat musik angklung
sebagai musik tradisi Sunda kebanyakan adalah salendro dan pelog.
Dog dog lojor
Seringnya, dogdog lojor dihadirkan masyarakat Banten, khususnya
Baduy, untuk memeriahkan upacara adat seperti ; seren taun, sedekah
bumi, ruwatan, ngabaladah `pembukaan ladang baru, perkawinan dan
syukuran 40 hari bayi lahir. Seni dogdog menjadi sarana mengungkapkan
syukur, penolak bala dan persembahan.
Dogdog Lojor berasal dari kata dogdog dan lojor ( bahasa Sunda dialek
Banten ), artinya dogdog yang panjang. Alat musik tabuh ini terbuat dari
11
kayu berongga sepanjang 90 100 cm berdiameter 15 cm, mengecil
sampai 12-13 cm. Rongga yang 15 cm ditutup kulit kambing kering yang
diikat dengan tali dan dibaji supaya kencang. Terdengar suara dog.. dog..
dog jika kulit dipukul. Kalau panjangnya antara 30-40 cm disebut dogdog (
saja ).
Pemain seni dogdog minimal 12 orang. 4 pemain dogdog, 8 pemain
angklung, yang dibagi menjadi 2 kelompok demean yang sama. Saat ini,
pria dan wanita bisa memainkannya.
12
lengan panjang, samping batik, selendang yang memutari setengah dari
badannya di pinggang, dan tempat untuk kendi yang di taruh di kepala.
Mereka juga memegang kendi lainnya dengan kedua tangan.
13
BAB III
KESIMPULAN
14
BAB IV
PENUTUP
15
Daftar Pustaka
http://www.google.co.id
http://www.wikipedia.com
http://www.visitkuningan.com
Dwi Wedhaswary, Inggried. http://sukapura.wordpress.com
http://diditds.wordpress.com
http://nakceriwis.blogspot.com
http://www.kuningankab.go.id
http://kotamanusia.wordpress.com
http://princiliabeauty.com
http://www.salon-cantik.com
http://serbaserbikulit.com
16
DOKUMENTASI SEREN TAUN
17