Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

Seni Budaya dan Keterampilan


(SBK)
"Tari Tor Tor Tarian Tradisional Sumatera"
(Yang berfungsi sebagai tari upacara)

Disusun oleh:
Sello yuliandi
XI MIA 1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di awali dengan melimpahnya kebudayaan Indonesia yang terlihat


dari beragamnya bentuk pertunjukan, tarian, alat musik, dan pakaian.
Bukan hal mudah untuk menciptakannya karena harus mencurahkan
akal budi dan daya upaya masyarakat suatu wilayah. Wajar jika
kemudian terjadi perdebatan panjang saat Tari Tor-tor dan Gordang
Sembilan (Gondang Sembilan) dari Mandailing, Sumatra Utara,
dinyatakan akan menjadi hak cipta Malaysia.

Menurut Togarma Naibaho, pendiri Sanggar budaya Batak, Gorga,


kata “Tor-tor” berasal dari suara entakan kaki penarinya di atas papan
rumah adat Batak. Penari bergerak dengan iringan Gondang yang juga
berirama mengentak. Tujuan tarian ini dulu untuk upacara kematian,
panen, penyembuhan, dan pesta muda-mudi. Dan tarian ini memiliki
proses ritual yang harus dilalui.

Pesan ritual itu, lanjut Togarma, ada tiga yang utama. Yakni takut dan
taat pada Tuhan, sebelum tari dimulai harus ada musik persembahan
pada Yang Maha Esa. Kemudian dilanjutkan pesan ritual untuk leluhur
dan orang-orang masih hidup yang dihormati. Terakhir, pesan untuk
khalayak ramai yang hadir dalam upacara. Barulah dilanjutkan ke tema
apa dalam upacara itu. “Makna tarian ini ada tiga, selain untuk ritual
juga untuk penyemangat jiwa. Seperti makanan untuk jiwa. Makna
terakhir sebagai sarana untuk menghibur,”.
1.2 Rumusan masalah

Pada bahasan kali ini akan menjelaskan:

1.Apa itu makna dari Tari Tortor ?

2.Apa pakaian adat yang digunakan saat menari tortor?

3.Apa alat musik yang mengiringi tari tortor?


BAB II
ISI
2.1 Penjelasan dan Makna Tari Tor Tor

Tortor Batak Toba adalah jenis tarian purba dari Batak Toba yang
berasal dari Sumatera Utara yang meliputi daerah Tapanuli Utara,
Humbang Hasundutan, Toba Samosir dan Samosir. Tortor adalah tarian
seremonial yang disajikan dengan musik gondang. Secara fisik tortor
merupakan tarian, namun makna yang lebih dari gerakan-gerakannya
menunjukkan tortor adalah sebuah media komunikasi, di mana melalui
gerakan yang disajikan terjadi interaksi antara partisipan upacara.

Tortor dan musik gondang ibarat koin yang tidak bisa dipisahkan.
Sebelum acara dilakukan terbuka terlebih dahulu tuan rumah
(Hasuhutan) melakukan acara khusus yang dinamakan Tua ni Gondang,
sehingga berkat dari gondang sabangunan.

Dalam pelaksanaan tarian tersebut salah seorang dari hasuhutan


(yang mempunyai hajat akan memintak permintaan kepada penabuh
gondang dengan kata-kata yang sopan dan santun sebagai berikut :
“Amang pardoal pargonci” :

“Alualuhon ma jolo tu ompungta Debata Mulajadi Nabolon, na


Jumadihon nasa na adong, na jumadihon manisia dohot sude isi ni
portibion.”

“Alualuhon ma muse tu sumangot ni ompungta sijolojolo tubu,


sumangot ni ompungta paisada, ompungta paidua, sahat tu
papituhon.”
‘”Alualuhon ma jolo tu sahala ni angka amanta raja na liat nalolo.”

Setiap selesai satu permintaan selalu diselingi dengan pukulan


gondang dengan ritme tertentu dalam beberapa saat. Setelah
permintaan/seruan tersebut dilaksanakan dengan baik maka barisan
keluarga suhut yang telah siap manortor (menari) mengatur susunan
tempat berdirinya untuk memulai menari.

Adapun jenis permintaan jenis lagu yang akan dibunyikan adalah


seperti , Permohonan kepada Dewa dan pada ro-roh leluhur agar
keluarga suhut yang mengadakan acara diberi keselamatan
kesejahteraan, kebahagiaan, dan rezeki yang berlimpah ruah, dan
upacara adat yang akan dilaksanakan menjadi sumber berkat bagi
suhut dan seluruh keluarga, serta para undangan.

Ada banyak pantangan yang tidak diperbolehkan saat manortor,


seperti tangan si penari tidak boleh melewati batas setinggi bahu ke
atas, bila itu dilakukan berarti si penari sudah siap menantang siapa
pun dalam bidang ilmu perdukunan, atau adu pencak silat (moncak),
atau adu tenaga batin dan lain-lain. Tari tortor digunakan sebagai
sarana penyampaian batin baik kepada roh-roh leluhur dan maupun
kepada orang yang dihormati (tamu-tamu) dan disampaikan dalam
bentuk tarian menunjukkan rasahormat.roh-roh leluhur dan maupun
kepada orang yang dihormati (tamu-tamu) dan disampaikan dalam
bentuk tarian menunjukkan rasa hormat.

2.2 Makna Pakaian Ulos dan Gondang Sembilan

A. Ulos
Setiap penari tortor harus memakai ulos dan mempergunakan alat
musik/gondang (Uninguningan). Ulos atau sering juga disebut kain ulos
adalah salah satu busana khas Indonesia. Ulos secara turun temurun
dikembangkan oleh masyarakat Batak, Sumatera. Dari bahasa asalnya,
ulos berarti kain. Cara membuat ulos serupa dengan cara membuat
songket khas Palembang, yaitu menggunakan alat tenun bukan mesin.

Warna dominan pada ulos adalah merah, hitam, dan putih yang
dihiasi oleh ragam tenunan dari benang emas atau perak. Mulanya ulos
dikenakan di dalam bentuk selendang atau sarung saja, kerap
digunakan pada perhelatan resmi atau upacara adat Batak, namun kini
banyak dijumpai di dalam bentuk produk sovenir, sarung bantal, ikat
pinggang, tas, pakaian, alas meja, dasi, dompet, dan gorden.

Ulos juga kadang-kadang diberikan kepada sang ibu yang sedang


mengandung supaya mempermudah lahirnya sang bayi ke dunia dan
untuk melindungi ibu dari segala mara bahaya yang mengancam saat
proses persalinan. Sebagian besar ulos telah punah karena tidak
diproduksi lagi, seperti Ulos Raja, Ulos Ragi Botik, Ulos Gobar, Ulos
Saput (ulos yang digunakan sebagai pembungkus jenazah), dan Ulos
Sibolang.

B. Gondang Sembilan

Tari Tor-tor selalu ditampilkan dengan tabuhan Gondang Sembilan.


Warga Mandailing biasanya menyebutnya Gordang Sembilan, sesuai
dengan jumlah gendang yang ditabuh. Jumlah gendang ini merupakan
yang terbanyak di wilayah Suku Batak. Karena gendang di wilayah
lainnya seperti Batak Pakpak hanya delapan buah, Batak Simalungun
tujuh buah, Toba enam buah, dan di Batak Karo tingga tersisa dua buah
gendang.

Menurut analisa Togarma, banyaknya jumlah gendang ini ada


hubungannya dengan pengaruh Islam di Mandailing. Di mana besarnya
gendang hampir sama dengan besar bedug yang ada di masjid. “Ada
kesejajaran dengan agama Islam. Bunyi gendangnya pun mirip seperti
bedug.” Gendang ini juga punya ciri khas lain yakni pelantun yang
disebut Maronang onang. Si pelantun ini biasanya dari kaum lelaki yang
bersenandung syair tentang sejarah seseorang, doa, dan berkat.
“Senandungnya sesuai dengan apa yang diharapkan oleh komunitas
peminta acara,”.

Sayangnya keindahan budaya Tari Tor-tor dan Gondang Sembilan


ternoda dengan kurangnya penghargaan. Sulit mencari pihak yang mau
membiayai pagelaran budaya ini, terutama di Ibu Kota. Hanya karena
pejuang-pejuang seni Batak, Tari Toro-tor dan Gondang ini masih
tumbuh dan terlihat keberadannya.

BAB lll
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pada bahasan kali ini kita dapat menyimpulkan bahwa sudah


selayaknya dan sudah menjadi kewajiban kita para pemuda untuk
terus berusaha dan berupaya untuk terus melestarikan kebudayaan kita
yang telah ditinggalkan dalam bentuk budaya ,tarian maupun bentuk
bangunan bersejarah. Bukan hal mudah untuk menciptaka suatu
budaya karena harus mencurahkan akal budi dan daya upaya
masyarakat suatu wilayah. Oleh karena itu kita sebagai generasi muda
harus mempertahankan budaya kita sendiri agar tidak di rebut oleh
negara lain.

Yang harus di ketahui oleh generasi muda agar tetap


mempertahankan kebudayaan daerahnya tidak hanya Tari Tortor tapi
untuk budaya yang lainya baik dari segi budaya seni tari,seni musik,alat
musik, Senjata khas daerah . Karena kebudayaan itu adalah pengisi
batin, bagian dari kehidupan. Karena hidup tidak cukup dengan makan
saja, jiwa juga harus terisi seni .

Anda mungkin juga menyukai