Anda di halaman 1dari 12

1.

BIOGRAFI SLAMET ABDUL SJUKUR

Slamet Abdul Sjukur Lahir di Surabaya pada 20 Juni 1935 dan wafat 24 Maret 2015.
Slamet Abdul Sjukur adalah seorang komponis dari Indonesia. Ia disebut sebagai salah seorang
pionir musik kontemporer Indonesia. Karya-karyanya lebih banyak dinikmati di mancanegara,
khususnya negara-negara Eropa, daripada di Indonesia. Ialah yang mempunyai ide yang disebut
minimaks, yaitu menciptakan musik dengan menggunakan bahan yang sederhana dan minim. Ia
pernah menuntut ilmu di Prancis dengan Olivier Messiaen dan Henri Dutilleux.

Nama awal Slamet Abdul Sjukur adalah Soekandar lalu diruwat menjadi Slamet Abdul
Sjukur. Ibu kandung Slamet Abdul Sjukur bernama Canna keturunan Turki dan Eskimo. Bapak
kandungnya bernama Abdul Sjukur . Slamet Abdul Sjukur memiliki saudara perempuan bernama
Soenaringsih yang diubah namanya menjadi Elisawati, dia empat tahun lebih muda. Saat kecil,
Slamet sering diolok-olok karena terdapat kelainan pada kakinya yang membuatnya tidak dapat
berjalan normal. Sebagai pelipur lara, sang nenek yang bernama Buyuti berbagi kesukaannya
terhadap musik. Slamet sering diajak neneknya untuk menikmati permainan piano tetangganya
yang berkebangsaan Belanda dan menghadiri berbagai pergelaran musik. Dari situlah,
ketertarikannya terhadap dunia musik terus tumbuh.

Istri pertama Slamet Abdul Sjukur adalah Siti Suharsini yang dikaruniai seorang anak
perempuan bernama Tiring Mayang Sari yang lahir tahun 1961. Dari hubungan asmaranya
dengan Elisabeth Fauquet, lahir seorang anak perempuan bernama Stephanie yamg lahir 1961.
Slamet Abdul Sjukur menikah dengan Francoise Mazurek, dikaruniai seorang anak bernama
Svara yang lahir 1979.

Pendidikan musik Slamet Abdul Sjukur Di usia tujuh tahun, Slamet Abdul Sjukur mulai
belajar piano setelah mendapatkan hadiah dari orang tuanya. Ia belajar piano secara privat dari
guru pribumi dan beberapa guru berkebangsaan Eropa. Oleh gurunya yang berkebangsaan Swiss,
Josep Bordmer, Slamet dikenalkan pada musik Perancis dan Spanyol. Bordmer juga menjadi
sosok penting yang mendukung pendidikan musik Slamet Abdul Sjukur, baik ketika di dalam
negeri maupun ketika mengejar pendidikan musik hingga ke Perancis. Pada 1962, Slamet
berangkat untuk belajar di Paris setelah mendapatkan beasiswa dari Kedutaan Besar Perancis di
Jakarta. Selama 14 tahun di Perancis, Slamet belajar analisis di Conservatoire National Superieur
de Musique dan belajar komposisi di Ecole Normale de Musique de Paris. Baca juga: Bahder
Djohan, Perintis Palang Merah Indonesia Selama itu pula, Slamet tumbuh menjadi sosok
komposer andal yang mampu menciptakan musik dari bahan sederhana. Ia kemudian dikenal
sebagai komposer minimaks, yang mampu menciptakan musik dari bahan yang sangat
sederhana. Bahan sederhana yang dimaksud dapat berupa desir angin, gesekan daun, gemericik
air, bunyi gesekan sapu di jalanan, perbincangan orang-orang di sekitarnya, dan masih banyak
lainnya.
Berikut riwayat pendidikan Slamet Abdul Sjukur:

 SD Taman Siswa pada tahun 1949


 SMP Taman Siswa pada tahun 1952
 Sekolah Musik Indonesia di Yogyakarta pada tahun 1952-1956
 Conservatoire National Superieur de Musique
 Ecole Normale de Musique de Paris

Karier di dunia musik Tanah Air

Slamet Abdul Sjukur kembali ke Tanah Air setelah diminta oleh gurunya untuk mengabdi di
Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Tepat sebelum kepulangannya, ia sempat mendapat pesanan
musik dari Pemerintah Perancis. Setibanya di Indonesia, Slamet menekuni karier di IKJ hingga
menjabat sebagai dekan. Pada 1987, ia dipecat karena terobosannya di dunia musik yang
bertumpu pada kebutuhan kreatif tidak dapat diterima oleh Pemerintah Orde Baru. Kendati
demikian, peristiwa itu tidak menghentikan karier dan dedikasinya di dunia musik. Slamet tetap
bisa mengajar di beberapa institut seni dan membentuk beberapa organisasi musik hingga akhir
hayatnya pada 24 Maret 2015.

Berikut ini peran dan karier yang ditekuni Slamet Abdul Sjukur selama hidupnya:
 Penggagas Pertemuan Musik Surabaya (1957)
 Pediri Asosiasi Komponis Indonesia (1994)
 Dekan di Institut Kesenian Jakarta Ketua Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta (1977-
1981)
 Penggagas Pekan Komponis Muda Pediri Alliance Francaise di Surabaya (1960)
 Mengajar di STSI Surakarta (sekarang ISI)
 Mengajar di UPI Bandung

Karya-karya: Slamet Abdul Sjukur

 Angklung
 Daun Pulus
 Jakarta 450 Tahun
 Parentheses I-II-III-IV-V-VI
 Point Cotre
 Silence
 String Quartet I
 Ketut Candu

Penghargaan yang didapat Slamet Abdul Sjukur:

 Bronze Medal dari Festival de Jeux d’Automne di Perancis (1974)


 Piringan Emas (Golden Record) dari Academie Charles Cros di Perancis (1975)
 Penghargaan dari Yayasan Eduard Van Van Beinum Stichting dari Pemerintah
Belanda (1975)
 Medali Zoltan Kodaly dari Hungaria (1981)
 Penghargaan dari Institut Kodaly, Budapest, Hongaria (1983)
 Anugerah sebagai pioner musik alternatif dari Majalah Gatra (1996)
 Millenium Hall of Fame of the American Biografical Institut (1998)
 Officier de l’Ordre des Art et des Lettress, penghargaan tertinggi dari Pemerintah
Perancis untuk musik dan sastra (2000)
 Penghargaan dari Gubernur Jawa Timur karena dedikasinya pada musik (2005)
 Tanda Kehormatan Satyalancana Kebudayaan yang diberikan Pemerintah RI (2016)

Beberapa nama yang menonjol yang sempat mengenyam ilmu darinya adalah Gilang
Ramadhan, Franki Raden, dan Soe Tjen Marching

2. BIOGRAFI RAHAYU SUPANGGAH

Rahayu Supanggah lahir dari keluarga dalang di Boyolali, 29 Agustus 1949. Tak heran jika
Panggah telah akrab dengan seni sejak dini, bahkan menjadi bagian dalam rombongan misi
kesenian Indonesia sejak usia 15 tahun. Lulus SMP, Panggah belajar gamelan di Konservatori
Karawitan dan kemudian kuliah di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI). sekarang Institut
Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Ia meraih gelar doktor bidang Etnomusikologi di Université de
Paris VII.
Sebagai komponis, Panggah berangkat dari musik tradisi Jawa, khususnya gamelan. Walau
begitu, ia berani mendobrak tradisi untuk mencapai tujuan seninya. Menurut Panggah, proses
penciptaan karya menjadi proses belajar di saat yang sama. Salah satu karya spektakulernya
“Gambuh” tahyn 1979 berhasil melambungkan namanya sebagai komponis andal dalam forum
Pekan Komponis Dewan Kesenian Jakarta dan mengantarkannya tampil di Royal Albert Hall
bersama London Symphonieta Orchestra.

Sejak dekade 1970-an, Panggah aktif sebagai pengrawit, komponis, penata musik, penulis,
peneliti, guru, manajer dan budayawan. Panggah telah menelurkan ratusan komposisi dan
penataan musik dalam berbagai genre seni pertunjukan tari, film, teater, opera, wayang, dan
musik konser. Ia juga aktif berkolaborasi dengan seniman nusantara hingga mancanegara. Salah
satu di antaranya ialah kolaborasi Panggah dengan Kronos (Amerika) yang membaurkan alat
musik Jawa (gender, kendang, gong) dan alat musik gesek ala Barat.

Selain menggarap komposisi musik, Panggah telah melakukan berbagai penelitian musik
rakyat Nusantara dan menerbitkan sejumlah buku. Berkat kepiawaiannya, Panggah menorehkan
berbagai prestasi hingga tingkat internasional, di antaranya Best Composer dalam SACEM Film
Festival Nantes 2006 di Prancis, Best Composer dalam Film Festival Asia di Hongkong, Best
Composer dalam Festival Film Indonesia di Jakarta 2007, World Master on Music and Culture
2008 Seoul-Korea, Bintang Budaya Parama Darma dari Presiden RI 2010.

Panggah pernah mengajar karawitan di Australia pada tahun 1972-1974. Kini, Panggah
adalah guru besar ISI Surakarta yang mengajar berbagai mata kuliah studio praktik dan teoritik.
Selain di kampus, Panggah juga membuka rumahnya di Dusun Benowo, Karanganyar sebagai
ruang pertemuan, kreativitas sekaligus pelatihan seni baik untuk para seniman maupun
mahasiswa.

3. BIOGRAFI NANO SURATNO


Berangkat dari asumsi bahwa orang Barat lebih menyukai musik murni dan musik tradisional
ketimbang musik modern, Nano Suratno bereksperimen dan menjajagi karawitan Sunda untuk
menghadapi era globalisasi.

Ia mengakui idenya terilhami oleh Mang Koko dalam kelompoknya Kanca Indihiang yang
memasukkan bahasa Indonesia dan bahkan bahasa Belanda dalam lagu-lagunya.

Itulah sebabnya, Nano kemudian dikenal sebagai seniman yang tak hanya “membesarkan”
lagu-lagu sunda di negeri sendiri, misalnya lewat lagu Kalangkang, tapi kiprahnya juga dikenal
di negara manca.

Pria yang lahir di Tarogong, Garut, Jawa Barat, 4 April 1944, ini sejak umur lima tahun
sudah dibawa mengadu nasib ke Bandung. Kedua orang-tuanya, almarhum Iyan S dan
almarhumah Ny Nonoh termasuk keluarga pecinta seni, walaupun sehari-harinya sebagai
wiraswastawan.

Di lingkungan keluarga, sejak kecil Nano dianggap memiliki kemampuan menyanyi. Ketika
masih di SD, ia sering diminta memperlihatkan kemahirannya dalam pertemuan-pertemuan
keluarga.

Kelebihan ini yang mendorong kakaknya menganjurkan agar sang adik memasuki
konservatori. Begitu tamat, ia mengikuti jejak guru-gurunya dengan mengajar kesenian dan
Bahasa Daerah di SMP 1, Bandung (1965-1970).

Selama seperempat abad, 1970-1995, ia mengajar di Sekolah


Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) dan pernah menjabat Ketua Jurusan Karawitan dan
Wakil Kepala SMKI. Dalam kurun waktu inilah Nano S. tampak lebih produktif sebagai penulis
lagu-lagu Sunda. Satu di antara lagunya adalah Kalangkang (Bayang-bayang), yang
membuktikan ketangguhannya dalam deretan kreator karawitan Sunda bahkan karawitan
Indonesia.

Lewat suara Nining Maeda yang sekaligus mengorbitkan nama penyanyi itu, Kalangkang
dalam versi pop Sunda meraih penghargaan BASF Award (1989), dan setahun kemudian meraih
penghargaan HDX Award yang terjual dua juta fotokopi. Satu hal yang belum terjadi
sebelumnya.

Tiga tahun kemudian, penghargaan serupa diraih untuk lagunya Cinta Ketok Magic melalui
suara penyanyi dangdut Evie Tamala.

Nano S. mulai mencipta lagu sejak tahun 1963 dengan kumpulan hampir seratus album. Tetapi
perjalanannya dalam karawitan Sunda sesungguhnya lebih hebat lagi. Sukses dalam pagelaran
Karawitan Gending Sangkuriang di Festival Komponis Muda yang diselenggarakan di Taman
Ismail Marzuki tahun 1979 telah mengantarkan dirinya dalam forum nasional. Bahkan tahun
1980, karya tersebut disertakan dalam Festival Musik Internasional di Taiwan.
Di luar itu, masih banyak lagi karya kolosalnya sehingga akan berupa deretan panjang
untuk disebutkan satu per satu. Pantas jika hampir setiap tahun ia diminta memimpin misi
kesenian ke luar negeri untuk mengenalkan kesenian Sunda. Namun, dengan nada merendah, ia
menyatakan bahwa kunjungan misi kesenian ke luar negeri bukanlah ukuran sukses kelompok
kesenian tersebut.

Negara-negara yang pernah dikunjunginya untuk mengadakan pertunjukan antara lain


Jepang, Hongkong, Filipina, Belanda, Australia, dan Amerika Serikat.

Pada bulan Oktober 1999, di Jepang, ia memainkan lagu ciptaannya yang berjudul
“Hiroshima“, yang dibuat khusus untuk memenuhi permintaan Wali Kota Hiroshima yang
mengenalnya sebagai pencipta lagu. Terakhir, Nano diangkat menjadi Kepala Taman Budaya
Provinsi Jawa Barat sejak 1995 sampai pensiun (2000).

Di antara sedikit deretan kreator karawitan di Indonesia, Nano S. termasuk beruntung


memperoleh kesempatan memperdalam koto. Selama setahun, ia mempelajari sejenis musik
Jepang itu di Tokyo National University of Fine Arts and Music atas biaya Japan Foundation.

Tujuannya adalah membandingkan tangga nada Sunda dan tangga nada Jepang dalam
suling, kecapi, dan koto. Seusai pendidikan, ia tak tanggung-tanggung dalam menyelenggarakan
pertunjukan.

Keberanian dan kreativitasnya dalam memainkan ketiga alat musik tersebut secara
sekaligus selama tiga malam berturut-turut, telah memikat dan mengundang rasa kagum publik
penonton Jepang.

Kreativitas ini pula yang melahirkan Kalangkang dan kemudian meledak di pasaran.
Lagu itu pada awalnya disiapkan untuk degung, tetapi jenis kesenian ini terbatas hanya di sekitar
Priangan. Versi berikutnya untuk pop Sunda dengan gaya langgam kaleran yang biasa
dibawakan pesinden (penyanyi) Yoyoh Supriatin, pengaruhnya ternyata di luar dugaannya.

Pop bisa diperlakukan secara komersial dan penggemarnya lebih kuat, sehingga bisa
dijadikan panggung penerobosan situasi jenuh. Dari versi pop ini ia mengakui banyak
memperoleh keuntungan materi yang kemudian digunakan untuk mengembangkan kelompok
keseniannya. Katanya, “Saya secara sadar masuk ke sana”.

Ia mengakui, pop Sunda sekarang ini dinilai monoton dan kurang pembaharuan sehingga
masyarakat jenuh. Karena lagu-lagunya diciptakan oleh orang musik maka pop Sunda sekarang
ini menjadi musik pop yang diiringi lagu berbahasa Sunda. Itu berbeda dengan Kalangkang di
mana warna karawitan dan warna daerahnya tetap muncul dan diiringi musik yang bernuansa
pentatonis. Salah satu sebabnya, mungkin karena yang membuatnya orang karawitan.

“Jejak almarhum untuk mengenalkan dan mengembangkan budaya Sunda tidak hanya di dalam
negeri saja tapi hingga ke luar negeri seperti Amerika dan Belanda,” kata Acil Bimbo, usai
melayat almarhum di rumah duka, di Gang H Ahmad, Jalan Muhammad Toha Bandung, Kamis.
Ia mengatakan, masyarakat Jawa Barat kembali kehilangan salah satu tokohnya dengan
kepergian Nano S. untuk selama-lamanya.

Semasa hidupnya, Acil Bimbo dan almarhum Nano S sempat bekerja sama dan
menghasilkan sebuah lagu Sunda berjudul Cipanon Sarakan. “Cipanon Sarakan itu diciptakan
10 tahun yang lalu oleh saya dan almarhum,” kata Acil Bimbo.

Acil menambahkan, selain partner dalam bidang musik, almarhum Nano S. juga dikenal
sebagai teman untuk bercanda. “Dia itu (Nano S) kalau memanggil saya eneng Acil begitupun
saja memanggil dia,” ujar Acil Bimbo.

Salah satu maestro lagu pop Sunda, Nano Suratno atau Nano S meninggal dunia di RS
Immanuel Kota Bandung, 29 September 2010 malam karena sakit pecah pembuluh darah.

4. BIOGRAFI Djauhar Zaharsyah Fachrudin Roesli ( HARRY ROESLI)

Djauhar Zaharsyah Fachrudin Roesli,– 11 Desember 2004) lebih dikenal sebagai Harry
Roesli adalah tokoh dikenal melahirkan budaya musik kontemporer yang berbeda, komunikatif
dan konsisten memancarkan kritik sosial. Karya- karyanya konsisten memunculkan kritik sosial
secara lugas dalam watak musik teater lenong. Harry berpenampilan khas, berkumis,
bercambang, berjanggut lebat, berambut gondrong dan berpakaian serba hitam

Harry Roesli yang berdarah Minangkabau ini, lahir 10 September 1951 merupakan cucu
pujangga besar Marah Roesli. Anak bungsu dari empat bersaudara, ayahnya bernama Mayjen
(pur) Roeshan Roesli. Istri Harry Roesli bernama Kania Perdani Handiman dan dua anak
kembarnya bernama Layala Khrisna Patria dan Lahami Khrisna Parana.

Pada awal 1970-an, namanya sudah mulai melambung. Saat membentuk kelompok musik
Gang of Harry Roesli bersama Albert Warnerin, Indra Rivai dan Iwan A Rachman. Lima tahun
kemudian (1975) kelompok musik ini bubar.

Di tengah kesibukannya bermain band, dia pun mendirikan kelompok teater Ken Arok, 1973.
Setelah melakukan beberapa kali pementasan, antara lain, Opera Ken Arok di TIM Jakarta pada
Agustus 1975, grup teater ini kemudian bubar, karena Harry mendapat beasiswa dari Ministerie
Cultuur, Recreatie en Maatschapelijk Werk (CRM), belajar ke Rotterdam Conservatorium,
Belanda.

Gelar Doktor Musik diraihnya pada tahun 1981, kemudian selain tetap berkreasi melahirkan
karya-karya musik dan teater, juga aktif mengajar di Jurusan Seni Musik di beberapa perguruan
tinggi seperti Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dan Universitas Pasundan
Bandung.
Dia ini juga kerap membuat aransemen musik untuk teater, sinetron dan film, di antaranya untuk
kelompok Teater Mandiri dan Teater Koma. Juga menjadi pembicara dalam seminar-seminar di
berbagai kota di Indonesia dan luar negeri, serta aktif menulis di berbagai media, salah satunya
sebagai kolumnis Kompas Minggu.

Pendidikan

 Alumnus SMA Negeri 2 Bandung (1967-1969)


 Jurusan Teknik Mesin ITB (Insitut Teknlogi Bandung) Bandung, sampai tingkat IV
(1970-1975)
 Jurusan Komposisi LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta) kini IKJ (Institut
Kesenian Jakarta) (1975-1977)
 Jurusan musik elektronik di Rotterdam Conservatorium, Negeri Belanda (1977-1981)

Karya-karya:

• Membentuk band yang bernama Gang of Harry (1970)


• Teater Ken Arok (1973)
• Depot Kreasi Seni Bandung
• Suara Ibu Perduli (1998)
• Philosophy Gang, album musik, 1971
• Titik Api, album musik, 1976
• Jika Hari Tak Berangin, album music
• Tiga Bendera, album music
• Gadis Plastik, album music
• Daun album musik
• LTO, album musik
• Ken Arok, album musik
• Musik Rumah Sakit (1979 di Bandung dan 1980 di Jakarta)
• Asmat Dream single
Album musik Cuaca Buruk
• White Gold
• Parenthese
• Musik Sikat Gigi (1982 di Jakarta)
• DKSB album musik
• Si Cantik album music
• Opera Ikan Asin
• Opera Kecoa
• Opera Tusuk Gigi (1997 di Bandung
Kematian

Harry meninggal dunia hari Sabtu 11 Desember 2004, pukul 19.55 di RS Harapan Kita, Jakarta.

5. BIOGRAFI DJADUK FERIANTO

Djaduk Ferianto yang lahir 19 Juli, 1964 di Yogyakarta adalah anak dari seniman Bagong
Kussudiardja. Sejak kecil, Djaduk telah akrab dengan kesenian berkat keluarga dan pergaulannya
dengan para siswa Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) pimpinan ayahnya. Selepas
SMA, Djaduk mengambil jurusan Seni Rupa dan Desain di Institut Seni Indonesia (ISI)
Yogyakarta.

Dalam perjalanan karirnya, Djaduk justru lebih menekuni bidang musik dengan mempelajarinya
secara otodidak. Meski berlatar kesenian tradisional Jawa, ia memiliki visi musikal yang lebih
terbuka. Djaduk menyadari pentingnya dekonstruksi karya seni tradisi demi melebarkan ruang
ekspresinya. Ia mengabaikan pakem-pakem seni musik tradisi dengan menghadirkan beragam
bentuk kontemporarisasi.

Karya-karyanya pada era orde baru dan reformasi cenderung mengandung kritik sosial dan
politik, di antaranya “Ngeng-Ngeng” (1993) dan “Kompi Susu” (1998). Ia juga kerap
bereksperimen dengan berbagai gaya dan genre kesenian. Kreasinya semakin berkembang
seiring dengan pembentukan ansambel Kyai Kanjeng bersama Emha Ainun Najib yang
memadukan alat musik barat dan gamelan diatonik. Kemudian, ia membentuk ansambel Kua
Etnika pada tahun 1995 yang kini bernaung di bawah PSBK. Bersama Kua Etnika, ia
mengeksporasi lagu-lagu daerah menjadi lebih dinamis.

Selain berkarya bersama Kua Etnika, ia menggarap ilustrasi musik sinetron, jingle iklan, hingga
menjadi penata musik pementasan teater. Djaduk menjadi bagian dalam pembentukan forum dan
festival besar di Indonesia. Bersama Agus Noor dan kakak kandungnya, Butet Kartaredjasa, ia
menggagas forum budaya bernama Indonesia Kita. Ia juga menjadi penggerak festival jazz
Ngayogjazz di Yogyakarta sejak 2007 dan Jazz Gunung Bromo sejak 2009. Tak hanya itu, ia
juga sempat menggelar pameran tunggal fotografi berjudul “Meretas Bunyi” pada tahun 2018.
MAKALAH SENI BUDAYA
TENTANG BIOGRAFI 5 TOKOH MUSIK KONTEMPORER

Di susun oleh :
IQBAL FAWAZ ALAMSYAH
MADRASAH ALIYAH CIJENUK
JL. PLTA SAGULING NO.02 DES.CITALEM KEC. CIPONGKOR
KAB. BANDUNG BARAT

Anda mungkin juga menyukai