Dosen Pengampu :
Muslich Ks
Oleh :
AHWAL SYAKHSHIYAH
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat
serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Agung Muhammad SAW yang
selalu kita nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Hukum Adat dengan
judul “Peristiwa Adat di Daerah Kuningan”.
BAB I
PENDAHULUAN
Melihat perkembangan zaman modern ini sudah banyak budaya di Indonesia banyak
ditinggalkan karena tergerusnya budaya barat yang lebih maju padahal budaya merupakan
aset besar bagi bangsanya sendiri, budaya sudah tidak menjadi lirikan mata serta pandangan
masyarakat Indonesia.
Lahirnya suatu budaya didorong atas kepercayaan penuh yang sudah di tanamkannya
pada waktu itu pada keturunannya secara mendasar, budaya menurut ahli bahwa Kebudayaan
merupakan suatu tradisi yang hidup pada setiap manusia atau sekelompok manusia di suatu
tempat. Makna sebuah kebudayaan itu sangat luas. Koentjaraningrat menyebutkan “Kata
kebudayaan berasal dari buddhayah, bentuk jamak dari buddhi yang diartikan hal-hal yang
bersangkutan dengan budi dan akal.”
Hasil kebudayaan dimulai dari kemampuan akal serta budi manusia dalam
menggapai, merespon serta menanggulangi tegangan alam dan lingkungan dalam upaya
mencapai kebutuhan hidupnya, berupa ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
hukum, adat-istiadat, dan kemampuan serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai
anggota masyarakat.
Upacara Seren Taun itu biasa dilangsungkan dengan waktu paling lama satu minggu
serta puncaknya tanggal 22 Rayagung. Namun bisa di laksanakan juga bulan ke 12 dalam
hitungan tahun sunda (saka) sasaran tujuan sasaran acara ini bermula pada rasa berterima
kasih (syukur) atas kelangsungan hidup yang diterima pada tahun yang sudah lewat dan
menyambut tahun baru dengan luapan kegembiraan.
1.2 Tujuan
1.3 Manfaat
Kita dapat memperoleh banyak wawasan dan pengetahuan tentag pesta panen yang
beragam di Negeri kita yang heterogen ini. Kita juga dapat menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari, karena pesta panen tersebut mempunyai makna-makna yang bermanfaat bagi
kehidupan kita. Meskipun makna di setiap pesta panen berbeda-beda. Kita juga dapat
menerapkan apa saja tanaman yang cocok untuk ditanam dalam suatu daerah dalam
kehidupan sehari-hari sesuai daerah dan waktu penanaman.
BAB II
PEMBAHASAAN
2.1 Sejarah
Menurut catatan sejarah dan tradisi lokal, perayaan Seren Taun sudah turun-temurun
dilakukan sejak zaman Kerajaan Sunda purba seperti kerajaan Pajajaran. Upacara ini berawal
dari pemuliaan terhadap Nyi Pohaci Sanghyang Asri, dewi padi dalam kepercayaan Sunda
kuno. Sistem kepercayaan masyarakat Sunda kuno dipengaruhi warisan kebudayaan
masyarakat asli Nusantara, yaitu animisme-dinamisme pemujaan arwah karuhun (nenek
moyang) dan kekuatan alam, serta dipengaruhi ajaran Hindu. Masyarakat agraris Sunda kuno
memuliakan kekuatan alam yang memberikan kesuburan tanaman dan ternak, kekuatan alam
ini diwujudkan sebagai Nyi Pohaci Sanghyang Asri, dewi padi dan kesuburan. Pasangannya
adalah Kuwera, dewa kemakmuran. Keduanya diwujudkan dalam Pare Abah (Padi Ayah) dan
Pare Ambu (Padi Ibu), melambangkan persatuan laki-laki dan perempuan sebagai simbol
kesuburan dan kebahagiaan keluarga. Upacara-upacara di Kerajaan Pajajaran ada yang
bersifat tahunan dan delapan tahunan. Upacara yang bersifat tahunan disebut Seren Taun
Guru Bumi yang dilaksanakan di Pakuan Pajajaran dan di tiap wilayah. Upacara besar yang
bersifat delapan tahunan sekali atau sewindu disebut upacara Seren Taun Tutug Galur atau
lazim disebut upacara Kuwera Bakti yang dilaksanakan khusus di Pakuan.
Kegiatan Seren Taun sudah berlangsung pada masa Pajajaran dan berhenti ketika
Pajajaran runtuh. Empat windu kemudian upacara itu hidup lagi di Sindang Barang, Kuta
Batu, dan Cipakancilan. Namun akhirnya berhenti benar pada 1970-an. Setelah kegiatan ini
berhenti selama 36 tahun, Seren Taun dihidupkan kembali sejak tahun 2006 di Desa Adat
Sindang Barang, Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor. Upacara ini disebut
upacara Seren Taun Guru Bumi sebagai upaya membangkitkan jati diri budaya masyarakat
Sunda.
2.2 Sinopsis
Seren Taun adalah upacara adat panen padi masyarakat Sunda yang dilakukan tiap
tahun. Upacara ini berlangsung khidmat dan semarak di berbagai desa adat Sunda. Upacara
adat sebagai syukuran masyarakat agraris ini diramaikan ribuan masyarakat sekitarnya,
bahkan dari beberapa daerah di Jawa Barat dan mancanegara. Beberapa desa adat Sunda yang
menggelar Seren Taun tiap tahunnya adalah:
- Desa adat Sindang Barang, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten
Bogor
Upacara Seren taun merupakan upacara masyarakat agararis adalah penyerahan hasil
panen yang diterima pada tahun yang akan berlalu serta salah satu media dalam
mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkah yang telah
diterima seiring dengan harapan agar dimasa yang akan datang, hasil panen seluruh anggota
masyarakat dapat lebih melimpah lagi. Penyelenggaraan dimulai dengan upacara ngajayuk
(menyambut) pada tanggal 18 Rayagung, kemudian dilanjutkan pada tanggal 22 Rayagung
dengan upacara pembukaan padi sebagai puncak acara, dengan disertai beberapa kesenian
tradisional masyarakat agraris sunda tempo dulu, seperti ronggeng gunung, seni klasik
tarawangsa, gending karesmen, tari bedaya, upacara adat ngareremokeun dari masyarakat
kanenes baduy, goong renteng, tari buyung, angkulung buncis doodog lonjor, reog, kacapi
suling dan lain-lain yang mempunyai makna dan arti tersendiri, khususnya bagi masyarakat
sunda.
2.3 Durasi
Kegiatan adat ini biasanya berlangsung selama 7 hari, rangkaian acaranya adalah
sebagai berikut:
Hari ke 1, Neutepkeun
Neutepken ini dimaksud adalah memanjatkan niat agar acara Seren Taun berjalan
lancar serta memohon agar kebutuhan pangan selama acara terpenuhi tanpa ada kekurangan.
Upacara ritual ini dipimpin oleh Sang Rama dan Kokolot Panggiwa yang dilaksanakan di
tempat pabeasan (tempat menyimpan beras) di Imah Gede. Di Pabeasan inilah dikumpulkan
semua bahan-bahan makanan yang akan dimasak mulai dari bumbu dapur, sayur mayur,
minuman, serta kue-kue yang akan dimakan sepanjang acara seren Taun berlangsung
Hari ke 2, Ngembang
Ngembang / nyekar/ ziarah dipimpin oleh Kokolot Panggiwa dan Panengen dilakukan
ke makam sebagai leluhur warga Sindangbarang yaitu Sang Prabu Langlangbuana, Prabu
Prenggong Jayadikusumah di Gunung Salak
Sunatan massal, yaitu upacara sudat (sunat) bagi anak-anak di kampung Sindang
Barang, dengan berpakaian adat lengkap serta duduk di atas tandu (jampana) Acara ini
dilaksanakan di alun-alun. Sebelum acara di mulai dilakukan doa yang dipimpin oleh Sang
Rama untuk memberi restu terhadap perwakilan orang tua peserta sunatan massal agar acara
berlangsung lancar, selamat dan mendoakan agar anak-anak yang di sudat menjadi anak yang
berbakti pada orangtua, agama dan bangsa, setelah acara doa selesai anak-anak peserta sudat
yang menaiki jampana di arak dan di sawer dengan kunyit, beras merah, dan panglay sambil
diiringi oleh tatabuhan musik tradisional seperti reog, calung, kendang pencak dan terompet.
Seusai arak-arakan anak-anak berkumpul di bale Pangriungan sambil dihibur oleh para orang
tua
Hari ke 4, Sebret Kasep
Hari ke 5, Ngukuluan
Ngukuluan ini adalah mengambil air dari tujuh sumber mata air, bermula dari Imah
kolot. Dilepas oleh Sang Rama kepada para kokolot dan parawari (panitia). Perjalanan
mengambil air dari sumber mata air ini diiringi dengan kesenian tradisional Angklung
Gubrag. Malam harinya dengan dipimpin oleh Kokolot Panggiwa air tersebut dibacakan doa-
doa tolak bala
Hari ke 6, Sedekah kue, Helaran, Nugel Munding, Sedekah daging, Pertunjukan seni
Acara hari ke enam dilaksanakan pagi hari di alun-alun, diawali dengan parawari
(panitia) mempersiapkan sebanyak 40 tampah yang berisi aneka kue, upacara dipimpin oleh
kokolot, diawali dengan meriwayatkan sejarah leluhur Sindangbarang. Serta membacakan
doa buat para leluhur . Setelah itu barulah kokolot dan para warga memperebutkan sedekah
kue, dilanjutkan menuju lapangan inpres untuk memotong kerbau, sepanjang berjalanan ke
lapangan inpres digelar pula helaran/pawai kesenian yang terdiri dari angklung gubrag, tujuh
orang mojang, pembawa pohon hanjuang, jampana berisi air kukulu, pembawa tebu hitam,
pembawa jampana daging, pembawa pohon hanjuang , para kokolot, kesenian reog, calung,
kendang pencak .
Persiapan oleh masayarakat sudah diawali sejak subuh, karena pagi harinya sebanyak
54 RT di kampung Sindangbarang sudah berkumpul di depan masjid Sindangbarang dengan
membawa dongdang (hasil bumi) yang dihias aneka bentuk. Pawai dongdang ini dilengkapi
oleh barisan pembawa Rengkong (padi) hasil panen, para kokolot, rombongan kesenian, dll.
Jam 08.00 WIB rombongan bergerak menuju kampung budaya Sindangbarang untuk
melaksanakan Upacara puncak yaitu Majiekeun Pare ayah dan ambu ke dalam lumbung
Ratna Inten. sementara di lapangan Sang Rama sudah menunggu untuk memasukan Pare
Ayah dan Ambu. Setelah memasukan padi, kemudian dongdang (hasil bumi) dibawa ke
depan sang Rama untuk didoakan , setelah diberi doa maka warga akan berebut hasil bumi
tersebut. Pertunjukan tarian dipersembahkan oeh muda-mudi Sindangbarang dengan diiringi
gamelan. Ditampilkan pula pertunjukan gondang, reog, angklung gubrag, kendang penca dan
ditutup oleh rampag parebut seeng. Malam harinya di alun-alun kajeroan pagelaran wayang
golek semalam suntuk digelar.
Inti pada acaranya berlangsung sekitar 30 menit – 5 jam lamanya. Untuk yang lainnya
hanya sebagai pendamping saja, tetapi tidak kalah pentingnya.
2.4 Gerakan
Tari Buyung adalah tarian tradisional masyarakat Cigugur Kuningan Jawa Barat.
Tarian ini merupakan tarian adat yang bernilai simbolik tentang rasa syukur manusia atas
rahmat Tuhan berupa alam semesta yang indah dan bermanfaat bagi hidup manusia, salah
satunya adalah air.
Biasanya tarian ini biasa dilakukan oleh masyarakat Cigugur, Kuningan, Cirebon saat
Upacara Seren Taun yang diadakan pada bulan Rayagung pada penanggalan Jawa.
Setiap gerakan dalam tari Buyung memiliki makna yang tersirat. Menginjak kendi
sambil membawa buyung di kepala (nyuhun) erat relevansinya dengan ungkapan “di mana
bumi di pijak di situ langit dijunjung”.
Buyung adalah sejenis alat yang terbuat dari logam maupun tanah liat yang digunakan
oleh sebagian wanita desa pada zaman dulu untuk mengambil air di sungai, danau, mata air,
atau di kolam.
Membawa buyung di atas kepala sangat memerlukan keseimbangan. Hal ini berarti
bahwa dalam kehidupan ini perlu adanya keseimbangan antara perasaan dan pikiran.
Pergelaran tari buyung dengan formasi Jala Sutra, Nyakra Bumi, Bale Bandung, Medang
Kamulan, dan Nugu Telu memiliki makna yang menyiratkan bahwa masyarakat petani Sunda
adalah masyarakat yang religius. Tuhan diyakini sebagai Causa Prima dari segala asal-usul
sumber hidup dan kehidupan. Sementara manusia merupakan mahluk penghuni bumi yang
paling sempurna di antara mahluk-mahluk ciptaan Tuhan lainnya.
Alam penuh dengan energi. Alam selalu bereaksi dengan tingkah laku manusia, dan
ikut mempengaruhi karakter manusia. Eksistensi dalam alam makrokosmos dilihat sebagai
sesuatu yang tersusun secara hierarkis. Sehingga, secara moral manusia dituntut untuk
menyelaraskan hidupnya dengan alam, yaitu antara mikrokosmos (manusia) dan
makrokosmos (alam raya) untuk membuahkan kesadaran mengenai penghayatan iman
terhadap keagungan Tuhan Sang Maha Pencipta.
Dalam tarian itu, manusia diajak untuk lebih dekat dengan alam dan mencintainya
sebagai sahabat yang harus terus berjalan bersama. Tarian ini ditampilkan saat upacara Seren
Taun yakni upacara syukur atas Kemurahan Tuhan di masyarakat Cigugur.
Seren Taun juga dilaksanakan sebagai penghormatan kepada Dewi Sri atau Dewi Padi
yang memberikan kesuburan bagi para petani.
Karena daerah ini merupakan daerah agraris, maka masyarakat Cigugur mengadakan
upacara syukuran atas hasil bumi yang diperoleh. Acara syukuran atas hasil bumi ini lebih
dikenal dengan istilah Seren Taun. Seren Taun merupakan gelar budaya tradisional yang
sering dilaksanakan oleh masyarakat agraris Sunda.
Dalam penyelengaraan Seren Taun karena masih berhubungan dengan agraris maka
bahan-bahan seperti buah-buahan, umbi-umbian, padi, dan hewan yang merupakan bahan
vital penunjang kegiatan. Lalu dalam ritus kegiatannya dalam formasi barisan pada
pelaksanaan upacara Seren Taun terdiri dari barisan muda-mudi, ibu-ibu, bapak-bapak, dan
rombongan kesenian yang diantaranya: tari buyung anglung buncis dari Baduy, angklung
buncis dan dan dog-dog di sertai umbul-umbul.
Hal tersebut mempunyai makna sebagai berikut: empat penjuru melambangkan cinta
kasih Tuhan terhadap umatnya sudah tersedia di empat penjuru bumi ini. Dua lulugu
melambangkan manusi hidup dikelilingi komunitasnya, selain itu ditopang oleh
keanekaragaman kehidupan, sedang payung janur bersusun tiga merupakan simbol Tri Daya
Eka Karsa, yaitu tiga taraf kehidupan; nabati, hewani dan insani. 11 muda-mudi
melambangkan bahwa mereka adalah benih-benih atau tunas bangsa sebagai generasi penerus
yang akan melanjutkan serta melestarikan budaya bangsa. Sedangkan rombongan ibu-ibu dan
bapak-bapak melambangkan permohonan dan membimbing anakanaknya dengan kasih
sayang sehingga anak tersebut menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa.
Kegiatan puncak ditandai dengan pagelaran kesenian kolosal Tari Buyung dan
Angklung Buncis dari Desa Cigugur, serta Angklung Baduy dari Kanekes sebagai bagian
ritual utama dan dilanjutkan dengan Ngajayak, yakni penyerahan l5 padi oleh masyarakat
untuk ditumbuk bersama-sama yang hasilnya akan dibagikan pada yang memerlukan dengan
menyisakan sebagian untuk benih guna ditanam kembali
Rangkaian ritual upacara Seren Taun berbeda-beda dan beraneka ragam dari satu desa
ke desa lainnya, akan tetapi intinya adalah prosesi penyerahan padi hasil panen dari
masyarakat kepada ketua adat. Padi ini kemudian akan dimasukkan ke dalam leuit (lumbung)
utama dan lumbung-lumbung pendamping. Pemimpin adat kemudian memberikan indung
pare (induk padi/bibit padi) yang sudah diberkati dan dianggap bertuah kepada para
pemimpin desa untuk ditanan pada musim tanam berikutnya.
Di beberapa desa adat upacara biasanya diawali dengan mengambil air suci dari
beberapa sumber air yang dikeramatkan. Biasanya air yang diambil berasal dari tujuh mata
air yang kemudian disatukan dalam satu wadah dan didoakan dan dianggap bertuah dan
membawa berkah. Air ini dicipratkan kepada setiap orang yang hadir di upacara untuk
membawa berkah. Ritual berikutnya adalah sedekah kue, warga yang hadir berebut
mengambil kue di dongdang (pikulan) atau tampah yang dipercaya kue itu memberi berkah
yang berlimpah bagi yang mendapatkannya. Kemudian ritual penyembelihan kerbau yang
dagingnya kemudian dibagikan kepada warga yang tidak mampu dan makan tumpeng
bersama. Malamnya diisi dengan pertunjukan wayang golek.
2.6 Iringan
Iringan yang melengkapi upacara Seren Taun ini adalah sebagai berikut :
Angklung
Angklung adalah alat musik tradisional yang berasal dari Jawa Barat, terbuat dari bambu,
yang dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa
bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada
dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Laras (nada) alat musik angklung sebagai
musik tradisi Sunda kebanyakan adalah salendro dan pelog.
Dogdog Lojor berasal dari kata dogdog dan lojor ( bahasa Sunda dialek Banten ), artinya
dogdog yang panjang. Alat musik tabuh ini terbuat dari kayu berongga sepanjang 90 – 100
cm berdiameter 15 cm, mengecil sampai 12-13 cm. Rongga yang 15 cm ditutup kulit
kambing kering yang diikat dengan tali dan dibaji supaya kencang. Terdengar suara dog..
dog.. dog jika kulit dipukul. Kalau panjangnya antara 30-40 cm disebut dogdog ( saja ).
Pemain seni dogdog minimal 12 orang. 4 pemain dogdog, 8 pemain angklung, yang
dibagi menjadi 2 kelompok demean yang sama. Saat ini, pria dan wanita bisa memainkannya.
Busana yang dipakai dalam upacara ini relatif sederhana, dimulai dari pembawa padi
para bapak-bapak yang memakai pakaian panjang serba hitam lengkap dengan pengikat
kepala bermotif batik dan sepatu tapi ada juga yang memakai baju putih. Lalu para anggota
pertunjukan, para bapak-bapak juga, hampir sama dengan bapak-bapak pembawa padi tetapi
dengan tambahan sebuah selendang pendek bermotif batik di lutut.
Selanjutnya, busana para pembawa padi wanita yaitu dengan pakaian kebaya lengkap
dengan samping motif batik, biasanya warna kebaya yag dipakai beragam. Setiap wanita ini
di iringi oleh para pria yang memakai baju dan celana panjang putih dengan penutup kepala
motif batik yang berdiri memayungi para wanita tersebut di belakang. Serta didampingi oleh
para pria yang memakai celana pendek yang bagian kanan berwarna putih dan kirinya
berwarna hitam, dengan sebilah keris (senjata) yang ditaruh di bagian pinggang dan kalung
seperti jimat serta penutup kepala.
Lalu, ada ketua adat yang memakai baju dan celana panjang hitam serta penutup
kepala motif batik sama dengan pembawa padi para bapak-bapak yang membedakan adalah
kedudukannya dan tempatnya saat melaksanakan upacara Seren Taun.
Ada para penari Tari Buyung yang mengawal di depan barisan para wanita pembawa
padi. Para penari memakai pakaian adat khusus dengan lengan panjang, samping batik,
selendang yang memutari setengah dari badannya di pinggang, dan tempat untuk kendi yang
di taruh di kepala. Mereka juga memegang kendi lainnya dengan kedua tangan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Upacara Seren Taun adalah sebuah upacara sebagai bentuk rasa syukur terhadap
Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan hasil panen yang baik. Dalam makalah ini,
kita dapat mengetahui sejarah diadakannya upacara ini, sinopsis atau cerita yang berada di
dalamnya, waktu dan tempat berlangsungnya upacara, gerakan dan iringan saat upacara
berlangsung, tata busana da tata rias yang dipersiapkan untuk orang-orang yang mengikuti
dan kita juga dapat memahami rangkaian upacara ini dari awal sampai akhir.
Perbedaan agama tidak menjadi masalah dalam penyelenggaraan upacara ini karena
adanya toleransi. Jadi, kebersamaan akan terasa dan hasil bumi benar-benar nyata penuh
dengan kesyukuran. Upacara Seren Taun, memang berlangsung cukup lama. Tapi, masih
menjadi tradisi mereka untuk merayakannya dalam rangka rasa syukur terhadap Tuhan Yang
Maha Esa dan juga untuk do’a agar panen di tahun mendatang lebih baik dan lebih
bermanfaat lagi.
Menurut saya keseluruhan dari kegiatan upacara Seren Taun sudah sangat baik dalam
pelaksanaannya karena ini juga merupakan upaya untuk melestarikan budaya setempat, tetapi
lebih baik dalam waktu penyelenggaraannya tidak terlalu lama. Demi kelancaran dan
kehidmatan para penonton yang melihat upacara Seren Taun ini, karena bisa saja sebagian
dari mereka merasa bosan atau lelah karena upacara yang durasinya lama itu. Dan menurut
kami, sebaiknya para pelajar mencoba mempelajari tentang budaya Indonesia agar
kelestariannya juga dilaksanakan oleh para penerus bangsa.
DAFTAR PUSTAKA