Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama
oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke
generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit,
termasuk sistem agama dan politikadatistiadat, bahasa,perkakas, pakaian, bangu
nan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak
terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung
menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha
berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan
perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya
adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan
luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-
unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Kebudayaan adalah
sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide
atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan
sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.

Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan


oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-
benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup,
organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk
membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Melalui
makalah ini, saya akan saya akan membahas tentang beberapa kebudayaan atau
tradsi yang ada di masyarakat Magelang.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tradisi Grebeg Gethuk Magelang


Gethuk adalah makanan khas Magelang yang terbuat dari bahan dasar
ketela pohon. Sementara, grebeg gethuk merupakan rangkaian puncak
memperingati Hari jadi Kota Magelang. Acara yang dipusatkan di alun-alun itu
selalu dinanti-nanti warga karena mereka bisa berebut menikmati makanan khas
itu dengan cara yang unik dan hanya diadakan setahun sekali.

Dalam acara itu, ratusan gethuk disusun sedemikian rupa menyerupai


miniatur gunung Tidar dan tower air minum yang menjadi ciri khas kota
Magelang. Gethuk gunung Tidar diwarnai dengan warna hijau, sedang tower
berwarna coklat serupa dengan tower di alun-alun. Dibanding dengan tahun
lalu, acara grebeg gethuk kali ini terkesan lebih sederhana, namun secara
keseluruhan acara tersebut terbilang meriah.

Tradisi ini biasanya dipimping oleh walikota Magelang. sebelum


memasuki lapangan upacara Walikota dikirab terlebih dahulu dengan
menggunakan kereta kencana oleh barisan prajurit berpakaian keraton. Mereka
tampak berpakaian raja dan ratu kerajaan jawa. Para seluruh tamu undangan dan
peserta upacara pun mengenakan pakaian adat jawa. Uniknya lagi, aba-aba
upacara tersebut menggunakan Bahasa Jawa.

Upacara tersebut dimeriahkan dengan marcingklung yang dimainkan oleh


siswa-siswi SMPN IV, dan Seni Tradisional Trunthung serta Dayakan. Usai
upacara, dilanjutkan dengan kirab budaya keliling Kota. Kirab budaya
berlangsung ramai karena diikuti pula marching band Canka Lokananta dari
Akademi Militer (Akmil) dan Liong Samsi dan kesenian tradisional lainnya.
Kirab dimulai dari Alun-alun kemudian menyusuri jalan Pemuda, Jalan Tidar,
Jalan Tentara Pelajar dan kembali ke alun-alun lagi. Acara tersebut merupakan
bentuk upaya untuk memperkenalkan kepada masyarakat luas bahwa gethuk
adalah makanan asli Kota Magelang dan sudah menjadi ikon.
B. Tradisi Grebeg Gulai Kambing
Tradisi grebeg gulai kambing merupakan tradisi yang biasa digelar oleh
masyarakat Kampung Cacaban, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang
setiap bulan Dzulhijah, bulan besar untuk kalender Islam. Menurut sesepuh desa
setempat, tradisi ini merupakan untuk menghormati leluhur desa yang telah
meninggal. Selain untuk nguri-nguri (melestarikan) tradisi yang sudah ada
secara turun-temurun.
Mengawali tradisi ini, warga mulai dari laki-laki, perempuan, dewasa, hingga
anak-anak terlebih dulu berkumpul di lapangan Kwarasan kampung setempat.
Khusus perempuan, bertugas membawa gulai kambing yang telah diwadahi
kendil kecil atau semacam tempayan terbuat dari tanah liat.

Setelah itu, mereka berjalan beiringan menuju makam sesepuh di Desa


Tuk Songo, sekira satu kilometer dari lapangan Kwarasan. Mereka melawati
areal persawahan berkelok-kelok nan hijau dan asri.

Suasana tradisional terasa begitu kental karena mereka memakai pakaian


adat jawa serta iringan musik gending jawa Sesampai di makam, puluhan
mangkuk gulai yang dibawa dijadikan satu ke dalam kendil besar.

Selanjutnya kendil itu diserahkan kepada penjaga makam. Kendil dan


gunungan hasil bumi didoakan dan barulah diperebutkan warga. Konon katanya
Jika dapat membawa pulang dan memakan gulai itu diharapkan bisa dapat
membawa berkah.

Bersamaan dengan itu masyarakat sudah banyak yang menunggu sambil


duduk lesehan di atas alas atau tikar yang dibawa dari rumah masing-masing.

Selain membawa tikar atau alas untuk duduk lainnya, warga pun datang
juga membawa tas yang berisi makanan, ada yang berbentuk nasi kuning
lengkap dengan lauk-pauknya, nasi putih dengan beberapa lauk sayur-sayuran
maupun jajanan buatan sendiri. Menurut kepercayaan warga disana, tradisi ini
merupakan wujud rasa syukur warga kepada Sang Pencipta. Warga berharap
akan diberi kemurahan rejeki dan terhindar dari malapetaka .
C. Tradisi Kendurenan
Kenduren/ selametan adalah tradisi yang sudah turun temurun dari jaman dahulu,
yaitu doa bersama yang di hadiri para tetangga dan di pimpin oleh pemuka adat atau yang di
tuakan di setiap lingkungan, dan yang di sajikan berupa Tumpeng, lengkap dengan lauk
pauknya. Tumpeng dan lauknya nantinya di bagi bagikan kepada yang hadir yang di sebut
Carikan ada juga yang menyebut dengan Berkat.

Carikan/berkat

Tujuan dari kenduren itu sendiri adalah meminta selamat buat yang di doakan, dan
keluarganya,kenduren itu sendiri bermacam macam jenisnya, antara lain :

 kenduren wetonan ( wedalan ) Di namakan wetonan karena tujuannya untuk


selametan pada hari lahir ( weton, jawa ) seseorang. Dan di lakukan oleh hampir setiap
warga, biasanya 1 keluarga 1 weton yang di rayain , yaitu yang paling tua atau di tuakan
dalam keluarga tersebut. Kenduren ini di lakukan secara rutinitas setiap selapan hari ( 1 bulan
). Biasanya menu sajiannya hanya berupa tumpeng dan lauk seperti sayur, lalapan, tempe
goreng, thepleng, dan srundeng. tidak ada ingkung nya ( ayam panggang ).

 Kenduren Sabanan ( Munggahan ) Kenduren ini menurut cerita tujuannya untuk


menaik kan para leluhur. Di lakukan pada bulan Sya’ban, dan hampir oleh seluruh
masyarakat di Watulawang dan sekitarnya, khususnya yang adatnya masih sama, seperti desa
peniron, kajoran, dan sekitarnya. Siang hari sebelum di laksanakan upacara ini, biasanya di
lakukan ritual nyekar, atau tilik bahasa watulawangnya, yaitu mendatangi makan leluhur,
untuk mendoakan arwahnya, biasanya yang di bawa adalah kembang, menyan dan empos
( terbuat dari mancung ). Tradisi bakar kemenyan memang masih di percaya oleh masyarakat
watulawang, sebelum mulai kenduren ini pun, terlebih dahulu di di jampi jampi in dan di
bakar kemenyan di depan pintu. Menu sajian dalam kenduren sabanan ini sedikit berbeda
dengan kenduren Wedalan, yaitu disini wajib memakai ayam pangang ( ingkung ).

 Kenduren Likuran . Kenduren ini di laksanakan pada tanggal 21 bulan pasa


( ramadan ), yang di maksudkan untuk memperingati Nuzulul Qur’an. dalam kenduren ini
biasanya di lakukan dalam lingkup 1 RT, dan bertempat di ketua adat, atau sesepuh di setiap
RT. dalam kenduren ini, warga yang datang membawa makanan dari rumah masing2, tidak
ada tumpeng, menu sajiannya nasi putih, lodeh ( biasanya lodeh klewek) atau bihun,
rempeyek kacang, daging, dan lalapan.

 Kenduren Badan ( Lebaran )/ mudunan Kenduren ini di laksanakan pada


hari Raya Idul Fitri, pada tanggal 1 sawal ( aboge ). kenduren ini sama seperti kenduren
Likuran,hanya tujuannya yang berbeda yaitu untuk menurunkan leluhur. TYang membedakan
hanya, sebelum kenduren Badan, biasanya di dahului dengan nyekar ke makam luhur dari
masing2 keluarga.
 Kenduren Ujar/tujuan tertentu Kenduren ini di lakukan oleh keluarga tertentu
yang punya maksud atau tujuan tertentu, atau ayng punya ujar/ omong. Sebelum kenduren ini
biasanya di awali dengan ritual Nyekar terlebih dahulu. dan menu wajibnya, harus ada
ingkung ( ayam panggang ). Kenduren ini biasanya banyak di lakukan pada bulan Suro
( muharram ).

 Kenduren Muludan Kenduren ini di lakukan pada tanggal 12 bulan mulud, sama
seperti kenduren likuran, di lakukan di tempat sesepuh, dan membawa makanan dari rumah
masing- masing. biasanya dalam kenduren ini ada ritual mbeleh wedus ( motong kambing )
yang kemudian di amsak sebagai becek dalam bahasa watulawang ( gulai ).

D. Tradisi Padusan
Padusan berasal dari kata dasar adus, yang berarti mandi. Padusan, dalam hal ini
bermakna proses aktivitas mandi. Dalam pengertian budaya, padusan merupakan tradisi
masyarakat untuk membersihkan diri atau mandi besar dengan maksud mensucikan raga dan
jiwa dalam rangka menyambut datangnya hari ataupun bulan istimewa, seperti bulan
Ramadhan, Hari Idul Fitri, dan Hari Idul Adha.

Dalam rangkaian penyambutan Bulan Suci Ramadhan, ummat Islam di Nusantara


memiliki beraneka ragam cara dan tradisi. Khususnya bagi masyarakat Jawa, dalam berbagai
kesempatan pengajian di bulan Rajab, para kiai, ulama, dan ustadz dalam berbagai
kesempatan pengajian sudah mewanti-wanti dengan wasiat bahwa Rajab adalah bulannya
Allah, Ruwah atau Sya’ban adalah bulannya Rasul, sedangkan Ramadhan adalah bulannya
ummat Islam. Maka tradisi mengajarkan mulai bulan Rajab itulah ummat Islam harus
sudahancang-ancang mempersiapkan diri akan datangnya bulan yang memiliki malam yang
melebihi kemuliaan seribu bulan.

Jika pada bulan Rajab diperingati peristiwa Isra’ Mi’raj, maka di bulan Ruwah ummat Islam
mengamalkan ajaran birul walidain atau memuliakan dan berbakti kepada orang tua, wabil
khusus kepada ruh orang tua yang telah meninggal dengan cara mengirimkan doa dan
memohonkan ampunan dalam serangkaian acara sadranan atau nyadran. Hal ini
dimaksudkan agar pada saatnya Bulan Suci Ramadhan tiba, ummat Islam sudah siap lahir dan
batin untuk memaksimalkan amalan ibadah dan meraih keutamaan-keutamaan hikmah bulan
Ramadhan.

Karena bulan Ramadhan merupakan bulan suci dan bulan yang sangat istimewa, maka
sebagai pintu gerbang untuk memulai serangkaian ibadah Ramadhan, manusia harus
mensucikan diri, baik jasmani maupun rohani. Inilah mengapa tradisi padusan hadir di tengah
masyarakat.

Sebenarnya tidak ada aturan khusus mengenai bagaimana melakukan padusan. Padusan pada
dasarnya hanyalah tradisi yang hidup di tengah masyarakat dan bukan sebuah kewajiban yang
harus dikerjakan dengan konsekuensi timbulnya dosa jika meninggalkannya.
Maka padusanpun ya sesederhana makna adus itu sendiri, mandi biasa sebagaiman hari yang
lain. Setiap ummat Islam melakukan mandi besar, adus komplit dengan keramasan dari ujung
rambut di kepala hingga ujung kaki. Maksudnya tentu saja untuk menghilangkan dan
mensucikan diri dari segala macam hadast besar ataupun hadast kecil.

Karena inti padusan adalah mandi, maka dimanapun manusia dapat melakukan mandi
besar, maka padusan dapat dilakukan. Padusan dapat dilakukan di kamar mandi,
di blumbang, kedukan, mbelik, sungai, sendang, telaga, bahkan di tepian pantai.

Dalam tradisi padusan yang diwariskan secara turun-temurun dari para leluhur, tidak
ada ketentuan bahwa pelaksanaan padusan harus dilakukan oleh banyak orang pada suatu
tempat secara bersamaan. Padusan ya masing-masing orang mandi sebagaimana mandi pada
hari-hari yang lain. Hal khusus yang membedakan hanyalah niat bersuci untuk menyambut
datangnya hari maupun bulan suci itu tadi. Tidak kurang dan tidak lebih!

Jikalaupun kini padusan memberi kesan dilakukannya mandi massal oleh banyak
orang, laki-laki maupun perempuan, pada suatu tempat seperti blumbang, kedukan, mbelik,
sungai,sendang, kolam renang, telaga, bahkan di tepian pantai, sebenarnya hal tersebut bukan
inti dan makna utama sebuah lelaku padusan. Hal seperti itu saya kira lebih kepada upaya
para pelaku bisnis tertentu untuk mendapatkan keuntungan ekonomi atau bisnis dengan
memanfaatkan momentum acara padusan. Banyak sekali contoh tempat wisata atau taman
hiburan air yang mengacarakan padusan yang meriah, bahkan lengkap dengan aneka ragam
jenis tontonan, seperti kesenian tradisional hingga pementasan musik ndangdutan.

Perkembangan penyampuran antara tradisi yang bertujuan suci nan mulia dengan
kepentingan bisnis ini seringkali menimbulkan persepsi bahwa tradisi padusan justru
menjurus kepada tindak kemaksiatan. Kemaksiatan yang dimaksud diantaranya terjadinya
mandi bersama-sama pada suatu waktu dan tempat tertentu, terlebih tidak memisahkan
tempat antara kaum laki-laki dan perempuan yang jelas-jelas bukan muhrim masing-masing.
Di samping itu, pentas ndangdutan tertentu juga sering menjurus kepada tindakan pornoaksi
oleh para penyanyi yang menonjolkan aurat ataupun melakukan goyangan-goyangan erotis
yang justru mengumbar dan menimbulkan syahwat.

Maka sudah saatnya pemahaman generasi muda dalam melakukan tradisi-


tradisi adiluhung yang telah diwariskan nenek moyang harus diluruskan kembali kepada asal
muasal dan tujuan sebuah tradisi dilakukan. Kata kunci yang terpenting dari sebuah tradisi,
ambil dan laksanakan hal-hal yang baik, benar dan indah untuk dilakukan. Sebaliknya
tinggalkan dan jauhi hal-hal yang jelek, salah dan menyimpang dari ajaran agama dari
sesuatu yang melekat dalam pelaksanaan sebuah tradisi. Bukankah sebuah tradisi
kebaikan digagas oleh nenek moyang untuk semakin meningkatkan harkat dan derajat ummat
manusia, menjadi manusia yang sesungguhnya manusia. Tradisi mengantar manusia kepada
hakekat sejati.
E. Tradisi Nyadran
Tradisi ini biasanya dilakukan setiap hari ke-10 pada bulan Rajab. Acara diawali
dengan doa bersama (tahlil) yang dipimpin sesepuh dusun setempat. Dalam doa itu mereka
bersama-sama memanjatkan doa untuk kakek, nenek, bapak, ibu, serta saudara-saudara
mereka yang sudah meninggal, khususnya yang dimakamkan di pemakaman Dusun
Sorobayan.

Seusai berdoa, semua warga lantas menggelar genduren (kenduri) atau makan
bersama di sepanjang jalan yang telah digelari tikar dan daun pisang. Tiap-tiap keluarga
membawa makanan sendiri.

Uniknya, makanan yang dibawa harus berupa makanan tradisional, seperti ayam
ingkung, sambar goreng ati, mangut, urap sayuran dengan lauk rempah, perkedel, tempe tahu
bacem, dan lain sebagainya.

Genduren ini bermakna kalau masyarakat di desa tersebut masih menjujung tinggi
rasa kerukunan antarwarga. Inilah kesempatan kita berkumpul dalam satu waktu dengan
seluruh kerabat dan tetangga. Bahkan, sudah menjadi tradisi mudik bagi warga yang
merantau ke luar kota.

Suasana kerukunan memang tampak pada kegiatan ini. Mereka saling tukar makanan,
berbagi, bercanda, dan melepas rindu dengan kerabat yang pulang dari perantauan. Selain
warga Dusun Sorobayan. Tradisi ini juga diikuti oleh warga sekitar seperti Dusun Tampingan,
Ngepos, Banyuurip, hingga Canguk Kota Magelang.
Nyadran atau Sadranan berasal dari kata "Sodrun" yang artinya gila atau tidak waras. Pada
masa sebelum datangnya walisongo, masyarakat di Pulau Jawa banyak yang masih
menyembah pohon, batu, bahkan binatang, dan itu dianggap tidak waras.

Ketika itu mereka menyembah sambil membawa sesaji berupa makanan dan
membaca mantra-mantra. Kemudian datang para walisongo yang meluruskan bahwa ajaran
mereka salah, yang wajib disembah hanya Allah SWT.

Mantra-mantra yang dibaca lantas diganti dengan doa-doa menurut ajaran Islam.
Sedangkan sesaji diganti berupa makanan yang bisa dimakan oleh warga. Inilah salah satu
bentuk dakwah walisongo yang masih melestarikan budaya lokal.
tradisi nyadran ini dimaksudkan untuk mengajarkan pada muda-mudi di daerah tersebut
bagaimana hidup rukun dengan sesama.

F. Tradisi Supitan
Tradisi Supitan atau Khitanan ini diperuntukkan untuk anak laki-laki. medis, khitanan
merupakan tindakan operasi kecil dengan memotong “sang kulup” alias kulit penutup alat
kelamin pria. Dari sudut pandang kesehatan, keberadaan kulit kulup ini justru bisa
menghalangi proses pembersihan alat vital setelahbebuang atau kencing. Pembersihan yang
tidak tuntas pada bagian tersebut jelas akan menjadi sumber penyakit yang sangat
membahayakan alat vital.

Secara sosioreligi, khususnya bagi ummat Islam, proses sunatan merupakan sebuah
amalan agama sebagaimana telah dicontohkan semenjak Nabi Ibrahim AS. Penghilangan
kulit skortum berhubungan langsung dengan pensucian badan sebagai syarat mutlak
pelaksanaan ibadah, terutama sholat. Sebagaimana kita ketahui, air kencing termasuk najis
yang dapat membatalkan wudhu seseorang. Oleh karena itu selepas buang air kecil, alat vital
harus dibersihkan secara tuntas dari sisa-sisa air seni. Dengan disunatnya si kulup, maka
pelaksanaan pembersihan alat vital lebih mudah dan kebersihannyapun lebih terjamin.

Sunatan juga bisa dimaknai sebagai garis batas peralihan antara dunia bocah menuju
kepada dunia remaja atau usia baligh. Dalam hukum Islam, baligh merupakan salah satu
persyaratan bagi seseorang yang terkena hukum dan aturan agama. Usia baligh dipahami
sebagai usia dimana seseorang sudah memiliki kesadaran pemikiran secara penuh maupun
pengetahuan mengenai perbuatan yang haq dan bathil, bisa membedakan yang benar dan
salah. Hal inilah yang menjadikan manusia Jawa secara sosiokultural memaknai sunatan
sebagai prosesi pengislaman, maka sunatan atau supitan sering dijawakan denganngislamake.

Bagi masyarakat Jawa, ngislamake bukanlah sebuah prosesi main-main. Maka


untukngislamake diperlukan ewuh alias hajatan. Inti dari hajatan khitanan sesungguhnya
adalah selamatan pengikraran doa yang dipanjatkan kepada Gusti Allah agar prosesi
pengkhitanan diberikan kelancaran, luka sunnat lekas mengering dan sembuh, sehingga si
bocah bisa segera beraktivitas sebagaimana biasanya. Namun secara lebih mendalam juga
termuat harapan, bahwa si bocah yang telah memasuki usia baligh dapat menjadi anak yang
taat beribadah, turut mituhu dan menjadi anak sholeh bagi kedua orang tuanya, serta kelak
dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat, bangsa, negara, khususnya
agama Islam. Doa inilah yang biasa dipanjatkan oleh Pak Kaum yang ngruusidoa pada saat
kenduri diselenggarakan di awal hajatan untuk memohonkan keselamatan.

Sebagaimana acara hajatan yang lain, kenduri merupakan selamatan pembuka


sebelum sebuah hajatan dimulai. Uba rampe atau kelengkapan kenduri tidak berbeda dengan
selamatan yang lain, nasi tumpeng atau ambeng, sayur, mihun, thontho, peyek, keper,
srundeng, dan krupuk. Ada juga ketan, apem, jenang gurih, hingga beberapa jenis jajanan
pasar. Semua perlengkapan kenduri tersebut biasa di tempatkan di atas ancak atau anyaman
bambu yang dimasa kini telah banyak digantikan dengan besek atau bakul plastik kecil.
Penggunaan ancak di masa lalu inilah yang menjadikan sebagian orang mengistilahkan
kenduri dengan bancakan.
Melalui undangan secara lisan langsung ke rumah warga oleh seorang utusan yang
bertugas undang-undang genduren, maka berkumpullah perwakilan dari keluarga para
tetangga. Pada saat yang telah ditentukan, bisa ba’da Ashar, Maghrib ataupun Isya’ kendurian
dilaksanakan. Semua hadirin berkumpul di ruang utama sambil ngepung atau melingkari
perlengkapan kenduri, hal inilah yang menjadikan kenduri juga disebut sebagai acara
kepungan.

Dalam hajatan khitanan yang diselenggarakan secara besar-besaran, diundanglah


semua tetangga dan kerabat melalui undangan yang disebarkan. Sangat tergantung seberapa
banyak undangan yang disebar, maka hajatab khitanan bisa berlangsung selama 4-5 hari.
Acara lebih meriah lagi jika disertai dengan tanggapan tontonan atau pertunjukan seni
tradisional seperti wayang kulit, janthilan, kubro siswo, campur, ataupun kethoprak.

Malamb pelaksanaan khitanan disebut sebagai malem


pegasan. Megas atau megesmemiliki arti memotong atau mengiris.
Malam pegasan merupakan malam puncak hajatan khitanan. Khitanan di masa lalu lebih
banyak dilakukan oleh tukang khitan yang disebutBong Supit. Profesi ini bagi orang Betawi
lebih dikenal sebagai tukang bengkong. Di malampegasan, Pak Bong datang ke rumah
pemilik hajatan. Proses pegasan dilaksanakan di dalam ruang atau kamar tertentu dengan
disaksikan kerabat dekat. Pada saat yang bersamaan, para bapak-bapak satu dusun
njagong atau berkumpul sambil lek-lekan, bergadang hingga tengah malam.

Peralatan khitan yang masih serba tradisional di masa lalu menjadikan luka bekas
khitan harus menunggu beberapa hari untuk kering dan sembuh. Hal inilah yang menjadikan
gerak dan aktivitas si bocah yang dikhitankan menjadi sangat terganggu. Bahkan agar rasa
sakit akibat gesekan terhadap “bungkusan perban”, si bocah harus senantiasa mengenakan
kain sarung. Obat luka khitan andalan di masa lalu hanyalah serbuk putih yang dikenal
sebagai obat supit dengan merk “sulfatilamit”. Dengan demikian, khitan merupakan sebuah
ujian yang tidak ringan bagi kelulusan seorang bocah untuk menginjak usia akil baligh.

Lain dulu memang jelas lain sekarang. Pelaksanaan khitan tidak sesakral dan sesuci di
masa lalu. Memang khitanan masih dimaknai sebagai pelaksanaan ibadah agama, tetapi
tradisi dan pemaknaan sosial budayanya telah mengalami pergeseran bahkan pendangkalan
sehingga unsur pendidikan moralitas dalam peristiwa khitanan tidak lagi diketahui oleh
generasi masa kini. Pragmatisme kehidupan memang menggiring manusia untuk melakukan
sesuatu lebih kepada pertimbangan keenomisan dan kepraktisan semata. Khitanan cukup
dilakukan dengan selamatan dan doa sederhana dengan persaksiaan 5-8 tetangga dan si bocah
langsung diantar ke dokter, gresss, dan selesai sudah prosesi khitanan. Demikian halnya
peralatan dan metode khitan yang telah canggih tidak menimbulkan luka yang
berkepanjangan, sehingga khitan bukan lagi menjadi sebuah ujian yang maha berat bagi
seorang bocah untuk dapat memasuki dunia akil baligh yang menuntut kedewasaan yang
lebih tinggi sebagai anak manusia. Beginilah sebuah keniscayaan roda jaman yang harus
terus berputar.
G.Ramah Tamah
Orang magelang sikapnya ramah tamah dan sopan-sopan selama saya berada
dimagelang saya sangat senang dan nyaman. Orangnya baik ramah sopan saya suka di
magelang tapi saya masih kurang cocok sama makanannya karena makanan
dimagelangkebanyakan manis dan lidah saya masih belum cocok buat makanan manis-manis.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari kebudayaan yang ada di Magelang tersebut, dapat penulis simpulkan bahwa di
Magelang mempunyai banyak kebudayaan atau tradisi turun temurun yang masih dilakukan
hingga sekarang diantaranya Tradisi Grebeg Gethuk Magelang yang merupakan rangkaian
puncak memperingati Hari jadi Kota Magelang. Kemudian ada Tradisi grebeg gulai kambing
yang merupakan tradisi untuk menghormati leluhur desa yang telah meninggal. Tradisi
kendurenan, yaitu doa bersama yang di hadiri para tetangga dan di pimpin oleh pemuka adat
atau yang di tuakan di setiap lingkungan, dan yang di sajikan berupa Tumpeng lengkap
dengan lauk pauknya yang mempunyai tujuan meminta selamat untuk yang di doakan, dan
keluarganya. Macam kendurenan antara lain kenduren wetonan, Kenduren Sabanan
,Kenduren Likuran , Kenduren Badan ( Lebaran ), Kenduren Ujar/tujuan tertentu, Kenduren
Muludan. Tradisi Padusan yang berarti mandi atau mensucikan diri sehari sebelum
datangnya bulan Ramadhan. Tradisi Nyadran yang biasanya dilakukan setiap hari ke-10 bulan
Rajab. Tradisi Supitan yang diperuntukkan untuk anak laki-laki, merupakan tindakan operasi
kecil dengan memotong kulit penutup alat kelamin pria. Dalam tradisi ini digelar pula acara
seni contohnya kesenian jathilan, topeng ireng atau kubro siswo untuk memeriahkan acara
sunatan, tetapi ada juga yang menggelar acara pengajian .

Kebudayaan atau tradisi yang ada di masyarakat sangatlah beragam , tetapi dengan
keberagaman tradisi yang ada di masyarakat ini menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang
berbudaya. Kebudayaan atau tradisi diatas dimaksudkan untuk saling merukunkan atau
mempererat tali persaudaraan antar manusia di lingkungannya.

B. Kritik dan Saran

Sebagai warga negara sekaligus manusia yang hidup di masyarakat hendaknya kita
melesatarikan kebudayaan dan tradisi yang ada di masyarakat, menghargai sesama manusia
agar tercipta suatu integrasi sosial sehingga tercapai lah keserasian dan keharmonisan di
masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai