Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Abortus

2.1.1. Pengertian Abortus

Abortus (aborsi, abortion) adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi

sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan

kurang dari 20 minggu dan berat janin kurang dari 500 gram (Saifuddin,2010) .

Abortus adalah dikeluarkannya hasil konsepsi sebelum mampu hidup di

luar kandungan dengan berat badan kurang dari 1000 gram atau usia

kehamilan kurang dari 28 minggu (Manuaba,2010).

Abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum anak dapat hidup di dunia

luar (Pudiastuti, 2012).

2.1.2. Penyebab Abortus

Penyebab abortus menurut Manuaba (2010) sebagian besar tidak diketahui

secara pasti, tetapi terdapat beberapa faktor sebagai berikut:

2.1.2.1. Faktor pertumbuhan hasil konsepsi

Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi dapat menimbulkan kematian janin

dan cacat bawaan yang menyebabkan hasil konsepsi dikeluarkan.

Gangguan pertumbuhan hasil konsepsi dapat terjadi karena :

a. Faktor kromosom

Gangguan terjadi sejak semula pertemuan kromosom, termasuk kromosom

seks.

7
8

b. Faktor lingkungan endometrium8

1). Endometriu yang belum siap untuk menerima implantasi hasil

Konsepsi.

2). Gizi ibu kurang karena anemi atau terlalu pendek jarak kehamilan.

2.1.2.2. Pengaruh Luar

a. Infeksi endometrium, endometrium tidak siap menerima hasil konsepsi.

b. Hasil konsepsi terpengaruh oleh obat dan radiasi menyebabkan

pertumbuhan hasil konsepsi terganggu.

2.1.2.3. Kelainan Pada Plasenta

a. Infeksi pada plasenta dengan berbagai sebab, sehingga plasenta tidak

dapat berfungsi.

b. Gangguan pembuluh darah plasenta, diantaranya pada diabetes melitus.

c. Hipertensi menyebabkan gangguan peredaran darah plasenta sehingga

menimbulkan keguguran.

2.1.2.4. Penyakit ibu

Penyakit ibu dapat secara langsung mempengaruhi pertumbuhan janin dalam

kandungan melalui plasenta yaitu :

a. Penyakit infeksi seperti pneumonia, tifus abdominalis, malaria, sifilis.

b. Anemia ibu, melalui gangguan nutrisi dan peredaran O2 menuju sirkulasi

retroplasenter.

c. Penyakit menahun ibu seperti hipertensi, penyakit ginjal, penyakit hati,

penyakit diabetes melitus.


9

2.1.2.5. Kelainan yang terdapat dalam rahim

Rahim merupakan tempat tumbuh kembangnya janin dijumpai keadaan

abnormal dalam bentuk mioma uteri, uterus septus, retrofleksia uteri, serviks

inkompeten, bekas operasi pada serviks (amputasi serviks) robekan serviks

post partum.

2.1.3. Jenis - jenis abortus

Jenis abortus menurut kejadiannya dapat dibedakan berdasarkan pendapat

Manuaba (2010) :

2.1.3.1. Keguguran spontan

Keguguran terjadi tanpa ada unsur tindakan dari luar dan dengan kekuatan

sendiri.

2.1.3.2. Keguguran buatan

Keguguran sengaja dilakukan sehingga kehamilan dapat diakhiri, upaya

menghilangkan hasil konsepsi dapat dilakukan berdasarkan :

a. Indikasi medis.

Menghilangkan kehamilan atas indikasi ibu, untuk dapat menyelamatkan

jiwanya. Indikasi medis tersebut diantaranya penyakit jantung, ginjal atau

hati yang berat, gangguan jiwa ibu; dijumpai kelainan bawaan berat

dengan pemeriksaan ultrasonografi; gangguan pertumbuhan dan

perkembangan dalam rahim.

b. Indikasi sosial, atas dasar aspek sosial: menginginkan jenis kelamin

tertentu, tidak ingin punya anak, jarak kehamilan terlalu pendek,belum

siap untuk hamil, kehamilan yang tidak diinginkan.


10

2.1.4. Macam-macam abortus

Sesuai dengan gejala, tanda dan proses patologi yang terjadi menurut

Saifuddin (2010) :

2.1.4.1. Abortus imminiens, abortus tingkat permulaan dan merupakan ancaman

terjadinya abortus, ditandai perdarahan pervaginam, ostium uteri masih

tertutup dan hasil konsepsi masih baik dalam kandungan.

2.1.4.2. Abortus insipiens, merupakan abortus yang sedang mengancam yang

ditandai dengan serviks yang telah mendatar, dan ostium uteri telah

membuka akan tetapi hasil konsepsi masih dalam kavum uteri dan dalam

proses pengeluaran.

2.1.4.3. Abortus completus, seluruh hasil konsepsi telah keluar dari cavum uteri pada

kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram..

2.1.4.4. Abortus incompletus, sebagian hasil konsepsi telah keluar dari cavum uteri

dan masih ada yang tertinggal.

2.1.4.5. Missed abortion, abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus telah

meninggal dalam kandungan sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil

konsepsi seluruhnya masih tertahan dalam kandungan.

2.1.4.6. Abortus habitualis adalah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih

berturut-turut.

2.1.4.7. Abortus infeksiosus, Abortus Septik

Abortus infeksiosus ialah abortus yang disertai infeksi pada alat genital.

Abortus septik ialah abortus yang disertai penyebaran infeksi pada peredaran

darah tubuh atau peritoneum (septikemia atau peritonitis).


11

Untuk lebih jelasnya macam-macam abortus dapat dilihat pada gambar

dibawah ini :

Missed Abortion

Gambar 2.1. Jenis-jenis Abortus

2.1.5. Tanda dan gejala abortus

Menurut Mansjoer dkk (2001) tanda dan gejala abortus adalah :

2.1.5.1.Terlambat haid atau amenorea kurang dari 20 minggu.

2.1.5.2. Pada pemeriksaan fisik: keadaan umum tampak lemah, kesadaran yang

menurun, tekanan darah normal atau menurun, denyut nadi normal atau cepat

dan kecil, suhu badan normal atau meningkat.

2.1.5.3. Perdarahan pervaginam mungkin disertai dengan keluarnya hasil konsepsi.


12

2.1.5.4. Rasa mules atau kram perut di daerah atas simfisis, sering nyeri pinggang

akibat kontraksi uterus.

2.1.5.5. Pada pemeriksaan ginekologi :

a. Inspeksi Vulpa : perdarahan pervaginam ada atau tidak jaringan hasil

konsepsi, tercium bau busuk dari vulva.

b. Inspekulo : perdarahan dari cavum uteri, osteum uteri terbuka atau sudah

tertutup, ada atau tidak jaringan keluar dari ostium, ada atau tidak cairan

atau jaringan berbau busuk dari ostium.

c. Colok vagina : porsio masih terbuka atau sudah tertutup, teraba atau tidak

jaringan dalam cavum uteri, besar uterus sesuai atau lebih kecil dari usia

kehamilan, tidak nyeri saat porsio digoyang, tidak nyeri pada perabaan

adneksia, cavum tidak menonjol dan tidak nyeri.

d. Pada pemeriksaan penunjang :

1) Tes kehamilan positif bila janin masih hidup bahkan 2 – 3 hari

setelah abortus.

2) Pemeriksaan Doppler atau USG untuk menentukan apakah janin

masih hidup.

3) Pemeriksaan kadar fibrinogen darah pada missed abortion

2.1.6. Patofisiologis Abortus

Pada awal abortus terjadi perdarahan dalam desidua basalis dan diikuti

nekrosis sekitarnya, karena perdarahan ini ovum terlepas sebagian atau

seluruhnya dan berfungsi sebagai benda asing yang menimbulkan kontraksi.

Kontraksi ini akhirnya mengeluarkan isi rahim. Sebelum minggu ke 10 telur


13

biasanya dikeluarkan dengan lengkap hal ini disebabkan karena sebelum

minggu ke 10 villi khorialis belum menanamkan diri dengan erat kedalam

desidua, sehingga telur mudah terlepas keseluruhannya antara minggu ke 10

sampai 12 chorion tumbuh dengan cepat dan hubungan villi khorialis dengan

decidua makin erat sehingga mulai saat tersebut sering sisa-sisa chorion

(plasenta) tertinggal kalau terjadi abortus (Pudiastuti, 2012).

2.1.7. Komplikasi Abortus

Menurut Pudiastuti (2012), komplikasi abortus adalah:

2.1.7.1. Perdarahan

Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dan sisa-sisa hasil

konsepsi dan jika perlu pemberian tranfusi darah. Kematian karena

perdarahan dapat terjadi apabila pertolongan tidakdiberikan pada waktunya.

2.1.7.2. Perforasi

Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus pada posisi

hiperretrofleksi. Jika terjadi peristiwa ini, penderita perlu diamati dengan

teliti. Jika ada tanda bahaya perlu segera dilakukan lapratomi dan penjahitan

luka perforasi atau histerektomi.

2.1.7.3. Infeksi

Infeksi dalam uterus atau sekitarnya terjadi pada tiap abortus, tetapi biasanya

ditemukan pada abortus incompletus dan lebih sering pada abortus buatan

yang dikerjakan tanpa memperhatikan asepsi dan antisepsis.


14

2.1.7.4. Syok

Syok pada abortus dapat terjadi karena perdarahan (syok hemorogik) dan

infeksi berat (syok endoseptik).

2.1.8. Penanganan Abortus

Penanganan abortus dapat di bagi menjadi: menurut Syaifuddin (2002)

sebagai berikut :

2.1.8.1. Penanganan umum

a.Lakukan penilaian secara cepat mengenai keadaan umum pasien,termasuk

tanda-tanda vital.

b.Periksa tanda-tanda syok seperti pucat,berkeringat banyak, pingsan, tekanan

sistolik kurang dari 90 mmHg, nadi lebih dari 122 kali per menit.Jika

dicurigai terjadi syok segera berikan cairan infus (garam fisiologik atau

Ringer laktat) dengan kecepatan 1 liter dalam 15-20 menit.

c.Tentukan melalui evaluasi medik apakah pasien dapat ditatalaksanakan pada

fasilitas kesehatan setempat atau dirujuk (setelah dilakukan stabilisasi).

2.1.8.2. Penanganan Spesifik

a. Abortus Imminens

1). Tidak perlu pengobatan khusus atau tirah baring total.

2). Jangan melakukan aktivitas Fisik berlebihan atau hubungan seksual.

3). Jika perdarahan berhenti lakukan asuhan antenatal seperti biasa, jika

perdarahan terus berlangsung nilai kondisi janin (uji kehamilan atau

USG). Lakukan konfirmasi kemungkinan adanya penyebab lain (hamil

ektopik atau mola).


15

b. Abortus insifien.

1).Lakukan prosedur evakuasi hasil konsepsi. Bila usia gestasi ≤ 16

minggu, evakuasi dilakukan dengan peralatan Aspirasi Vakum Manual

(AVM) setelah bagian-bagian janin dikeluarkan. Bila usia gestasi ≥ 16

minggu, evakuasi dilakukan dengan prosedur Dilatasi dan Kuretase

(D & K).

2).Bila prosedur evakuasi tidak dapat segera dilaksanakan atau usia

gestasi ≥ 16 minggu, lakukan tindakan pendahuluan dengan : Infuse

oksitosin 20 unit dalam 500 ml NS atau RL. Mulai dengan 8 tetes /

menit yang dapat dinaikkan hingga 40 tetes / menit, sesuai dengan

kondisi kontraksi uterus hingga terjadi pengeluaran hasil konsepsi.

Berikan Ergometrin 0,2 mg IM yang diulangi 15 menit kemudian

dapat diberikan Misoprostol 400 mg per oral dan apabila masih

diperlukan, dapat diulangi dengan dosis yang sama setelah 4 jam dari

dosis awal. Hasil konsepsi yang tersisa dalam kavum uteri dapat

dikeluarkan dengan AVM atau D & K (hati-hati resiko perforasi).

c. Abortus Inkomplit

1) Tentukan besar uterus (taksir usia gestasi), kenali dan atasi setiap

komplikasi (perdarahan hebat, syok, infeksi / sepsis).

2) Hasil konsepsi yang tertangkap pada serviks yang disertai perdarahan

hingga ukuran sedang, dapat dikeluarkan secara digital cunam ovum,

setelah itu evaluasi perdarahan.


16

3) Bila tidak ada tanda-tanda infeksi, beri antibiotika profilaksis

(ampisilin 500 mg, oral atau doksisiklin 100 mg).

4) Bila terjadi infeksi, beri ampisilin, 1 gram dan metronidazol 500 mg

setiap 8 jam.

5) Bila terjadi perdarahan hebat dan usia gestasi dibawah 16 minggu,

segera lakukan evakuasi dengan Aspirasi Vakum Manual (AVM).

6) Bila pasien tampak anemi, berikan sulfas ferosus 600 mg selama 2

minggu (anemi sedang) atau tranfusi darah (anemi berat).

d. Abortus Komplit

1) Apabila kondisi pasien baik, cukup diberi tablet ergometrin 3x1 tablet

/ hari untuk 3 hari.

2) Apabila pasien mengalami anemi sedang, berikan tablet sulfas ferosus

600 mg/hari selama 2 minggu disertai dengan anjuran mengkonsumsi

makanan bergizi. Untuk anemi berat berikan tranfusi darah.

3) Apabila tidak terdapat tanda-tanda infeksi tidak perlu diberi

antibiotika, atau apabila khawatir akan infeksi dapat diberi antibiotic

profilaksis.

e. Abortus Infeksiosa

1) Kasus ini beresiko tinggi untuk terjadi sepsis, apabila fasilitas

kesehatan setempat tidak mempunyai fasilitas yang memadai, rujuk

pasien ke RS.
17

2) Sebelum merujuk pasien lakukan restorasi cairan yang hilang dengan

NS atau RL melalui infuse dan berikan antibiotika (misalnya ampisilin

1 gr dan metronidazol 500 mg).

3) Jika ada riwayat abortus tidak aman, beri ATS dan TT.

4) Pada fasilitas kesehatan yang lengkap, dengan perlindungan antibiotik

berspektrum luas dan upaya stabilisasi hingga kondisi pasien memadai,

dapat dilakukan pengosongan uterus dengan segera (lakukan secara

hati-hati karena tingginya kejadian perforasi pada kondisi ini).

f. Abortus Tertunda (missed abortion).

Missed abortion seharusnya ditangani di rumah sakit atas pertimbangan :

1) Plasenta dapat melekat sangat erat di dinding rahim, sehingga prosedur

evakuasi (kuretase) akan lebih sulit dan resiko perforasi lebih tinggi.

2) Pada umumnya kanalis servikalis dalam keadaan tertutup sehingga

perlu tindakan dilatasi dengan batang laminaria selama 12 jam.

3) Tingginya kejadian komplikasi hipofirinogenemia yang berlanjut

dengan gangguan pembekuan darah.

2.2. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan kejadian Abortus

2.2.1. Usia ibu

Usia juga merupakan salah satu penyebab terjadinya abortus. Frekuensi

abortus bertambah 12 % pada wanita yang berusia kurang dari 20 tahun,

menjadi 26 % pada wanita berumur diatas 40 tahun. Pada usia 35 tahun keatas

telah terjadi sedikit penurunan curah jantung yang disebabkan oleh


18

berkurangnya kontraksi miokardium sehingga sirkualsi darah dan pengambilan

oksigen oleh darah di paru-paru juga mengalami penurunan, ditambah lagi

dengan peningkatan tekanan darah dan penyakit ibu yang melemahkan kondisi

ibu sehingga dapat mengganggu sirkulasi darah ibu ke janin. Hal ini

mengganggu pertumbuhan dan perkembangan hasil konsepsi, dimana hasil

konsepsi tidak dapat berimplantasi secara maksimal yang menyebabkan

kematian atau terlepasnya sebagian atau seluruh hasil konsepsi dari tempat

implantasinya. Bagian yang terlepas ini dianggap benda asing oleh uterus

sehingga uterus berusaha untuk mengeluarkannya dengan cara

berkontraksi (Cuningham, 2006).

Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan

dan persalinan adalah 20-30 tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan

melahirkan pada usia dibawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi dari pada

kematian maternal yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Kematian maternal

meningkat kembali setelah usia 30 – 35 tahun. Usia yang aman untuk

kehamilan dan persalinan adalah 20 30 tahun, faktor resiko abortus spontan

semakin meningkat dengan bertambahnya usia ibu dan ayah. Frekuensi secara

klinis bertambah dari 12 % menjadi 26 % pada usia kurang dari 20 tahun dan

pada wanita usia lebih dari 35 tahun karena alat-alat reproduksi belum matur

sehingga belum siap menerima hasil konsepsi, sedangkan pada usia lebih dari

35 tahun telah terjadi sedikit penurunan curah jantung sehingga sirkulasi darah

dan pengambilan oksigenisasi oleh paru-paru mengalami

penurunan. ( Wiknjosastro, 2006).


19

Hasil penelitian Oci Bulan Purnama Sari (2011) tentang Hubungan Antara

Paritas dan Umur Ibu Dengan Kejadian Abortus Di RSUP Dr. Mohammad

Hoesin Palembang terhadap 208 responden priode Januari – Desember 2010

bahwa ada hubungan bermakna antara umur ibu dengan kejadian abortus

dimana p value = 0,005 lebih kecil dari α = 0,05.

2.2.2. Paritas

Paritas adalah keadaan wanita yang berkaitan dengan jumlah anak yang

dilahirkan (Ramali, 2000). Resiko abortus akan semakin meningkat dengan

bertambahnya paritas pada multipara, lapisan endometrium disekitar tempat

implantasi kurang sempurna dan tidak siap menerima hasil konsepsi, sehingga

pemberian nutrisi dan oksigenisasi kepada hasil konsepsi kurang sempurna dan

mengakibatkan pertumbuhan hasil konsepsi terganggu.

Paritas 2 – 3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut maternal.

Paritas 1 dan paritas tinggi (lebih dari 3) mempunyai angka kematian maternal

lebih tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih kematian maternal. Resiko pada paritas

1 dapat ditangani dengan asuhan obstetric lebih baik, pada paritas yang lebih

tinggi dapat dikurangi atau dicegah melalui Keluarga Berencana. Sebagian

kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan (Wiknjosastro, 2007).

Hasil penelitian Oci Bulan Purnama Sari (2011) tentang Hubungan Antara

Paritas dan Umur Ibu Dengan Kejadian Abortus Di RSMH Palembang

terhadap 208 responden priode Januari – Desember 2010 bahwa ada hubungan

bermakna antara paritas dengan kejadian abortus dengan p value = 0,005 lebih

kecil dari α = 0,05.


20

2.2.3. Riwayat abortus

Data dari beberapa studi menyebutkan bahwa setelah 1 kali abortus

spontan, pasangan punya resiko 15% untuk mengalami keguguran lagi,

sedangkan bila pernah 2 kali, resikonya akan meningkat 25%. Beberapa studi

meramalkan bahwa resiko abortus setelah 3 abortus berurutan adalah 30-45%

pada kejadian abortus berulang (Manuaba, 2010).

2.2.4. Pola hidup

Kebiasaan merokok, minuman keras,obat dan bahan kimia diketahui

mengandung ratusan unsur toksik,antara lain nikotin mempunyai efek

vasoaktif sehingga menghambat sirkulasi uteroplasenta. Karbon

monoksida juga menurunkan pasokan oksigen ibu dan janin serta

memacu neurotoksin. Dengan adanya gangguan pada sistem sirkulasi

fetoplasenta dapat terjadi gangguan pertumbuhan janin yang berakibat

terjadinya abortus (Saifuddin, 2009).

Anda mungkin juga menyukai