Anda di halaman 1dari 7

UJIAN AKHIR SEMESTER 

 
Mata Kuliah                : Kebudayaan Indonesia 
Program Studi /Smt.   : Bahasa Asing Terapan/1 
Pengampu                   : Dr. Sukarjo Waluyo, S.S., M.Hum.
Nama : Dinda Rafiatusyahna 
Kelas : A 
NIM : 40020522650035 

TRADISI RUWAT BUMI GUCI

Indonesia memiliki banyak keberagaman, salah satunya adalah kebudayaan daerah.


Mengingat Indonesia adalah bangsa yang memiliki daerah dari sabang sampai Merauke, hal
ini yang membuat Indonesia memiliki banyak kebudayaan yang berbeda di setiap daerahnya.
Setiap daerah juga memiliki tradisi dan adat istiadat yang berbeda, setiap daerah juga
memiliki keunikan. Tak jarang jika banyak wisatawan yang awalnya pergi berlibur ke suatu
daerah, justru mendapatkan informasi terkait kebudayaan setempat yang tentunya menarik
bagi mereka.

Masyarakat Jawa masih sangat peduli dan memiliki tradisi yang kental. Mereka masih
melestarikan dan melaksanakan upacara-upacara adat yang sudah diwariskan oleh nenek
moyang kita. Tradisi ini pada hakikatnya dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada
leluhur-leluhur terdahulu.

Upacara adat merupakan pusat dari suatu sistem keagamaan serta keyakinan yang
sulit untuk berubah. Adat istiadat ini terkait kepada suatu keyakinan masyarakat, apalagi
agama dan kepercayaan. Sehingga akan terus menempel di benak masyarakat dan bahkan
dilestarikan dalam waktu yang panjang. Upacara adat yang tumbuh di masyarakat dan
umumnya terkait dengan upacara kalenderial yaitu peringatan hari-hari besar keagamaan
ataupun hari besar suatu daerah, upacara lingkaran hidup yang diawali dari saat sebelum
lahir, pasca lahir hingga dengan upacara kematian, upacara “tolak bala” serta upacara-
upacara lain yang memiliki harapan dari kelompok warga tertentu. Pada hakikatnya, selain
untuk menghormati para leluhur, upacara adat ini dilakukan juga untuk meminta keselamatan
dan perlindungan.
Masyarakat Jawa juga mempunyai konsep mengenai mitos, norma, serta pemikiran
hidup yang didalamnya ada suatu kepercayaan terhadap jagad cilik dan jagad gedhe yang
berpengaruh ke seluruh aspek kehidupannya sebab ada kemanggulan yang kuat.

Kosmologi Jawa menafsirkan fungsi dari keduanya, Jagad Gedhe atau Makrokosmos
yaitu alam semesta atau tempa yang kita tinggali. Manusia harus menjaga hubungannya
dengan Jagad Gedhe atau alam yang ditinggali. Begitupun juga Jagad Cilik atau
Mikrokosmos yang menjalin hubungan baik dengan Tuhan sehingga menyadarkan manusia
berkehidupan rukun dengan sesama dalam kehidupan sehari-hari.

Tradisi adalah suatu kebiasaan atau kegiatan yang sama dan dilakukan secara
berulang-ulang sejak dahulu, sejak nenek moyang kita melakukan hal tersebut sehingga
orang-orang menganggap hal tersebut memiliki nilai yang bermanfaat bagi sekelompok
orang, hingga sekelompok orang itu bersedia melestarikannya.

Meskipun tiap daerah memiliki tradisi yang berbeda, tradisi tetap memiliki ritual yang
dilaksanakan dengan syarat sakral. Kata sakral ini memiliki arti suci, kesucian, magis dan
pantang dilanggar. Maka dari itu tradisi ini disebut sakral karena jika dilanggar akan
mendapatkan bahaya. Salah satu tradisi yang ada di Jawa adalah tradisi Ruwat Bumi yang
ada di Desa Guci Kecamatan Bumijawa kabupaten Tegal.

Tradisi Ruwat Bumi dikenal sebagai upacara adat yang dilakukan oleh sekelompok
orang. Ruwat yang diartikan dari bahasa jawa adalah menjaga atau memelihara, ataupun
membersihkan atau menyelamatkan. Dalam KBBI juga sudah disebutkan bahwa Ruwat ini
memiliki arti pulih kembali, bebas dari nasib buruk. Tradisi Ruwat Bumi bertujuan untuk
“Tolak Bala.”

Ruwatan yaitu tradisi yang sudah sejak dahulu ada dan dilestarikan oleh msyarakat
jawa. Ruwatan dilaksanakan tidak hanya oleh satu golongan tapi berbeda-beda golongan,
seperti golongan kaya maupun golongan miskin, golongan terpelajar maupun golongan
kurang terpelajar. Pada awalnya ruwatan ini dalam tradisi hindu berkaitan dengan penyucian
atau pembebasan para dewa terkutuk karena melakukan hal buruk atau tidak baik, jadi
mereka dikutuk menjadi makhluk lain.

Ruwatan dalam tradisi masyarakat terbagi menjadi tiga, yaitu ruwat diri sendiri, ruwat
orang lain, ruwat universal. Ruwat diri sendiri adalah ruwatan yang dicoba untuk
menghindarkan kesialan terhadap dirinya sendiri. Ruwat buat orang lain ini biasanta dicoba
oleh spritualis atau yang sudah terbiasa melakukan ruwatan untuk orang lain. Dan yang
terakhir adalah ruwat universal, yang mana ruwatan ini dicoba untuk suatu daerah maupun
pekarangan yang bertujuan untuk melenyapkan faktor alam yang terdapat di dalamnya.
Ruwatan untuk desa atau suatu wilayah juga perlu dilakukan untuk membuang kesialan atau
aura buruk dan kesusahan yang ada di lingkungan desa atau wilayah tersebut.

Upacara ini dipercaya oleh sebagian masyarakat untuk perlindungan terhadap dukuh.
Pekandangan desa Rembul serta desa Guci maka dilaksanakan upacara ruwat bumi yang
dipahami dengan istilah membersihkan bahkan memelihara serta menyelamatkan diri dari
mara bahaya dalam bentuk apapun. Tradisi ini masih dilestarikan oleh masyarakat Jawa,
khususnya ruwat bumi di Kabupaten Tegal yaitu ruwat bumi guci.

Beberapa desa memiliki konsep khas dalam melaksanakan pacara ruwat bumi tersebut
salah satunya di kabupaten Tegal tepatnya di obyek wisata guci melaksanakan ruwat bumi
guci yaitu sebagai bentuk perwujudan yang tidak terlepas dari pewarisan nenek moyang
terdahulu yang diturunkan dan masih di lestarikan sampai dengan sekarang.

Dalam melaksanakan ruwatan ini pun setiap daerah memiliki karakteristik khasnya
tersendiri. Seperti yang terdapat dalam upacara ruwat bumi ini adalah kambing kendit. Jadi
kambing kenditnya yang satu dimandikan dan dipelihara oleh juru kunci, sedangkan kambing
kendit yang satu atau yang lainnya akan disembelih dan dibagikan kepada masyarakat
setempat. Dalam proses memandikannya pun ada ritual yang terdapat didalamnya, yang
dimana kambing tersebut harus dimandikan di pancuran 13 dan bunga setaman yang terdiri
dari mawar, kanthil, melati, kenangan, dan sebagainya. 13 pancuran ini memiliki arti
mensterilkan atau sebagai wujud symbol kasih sayang terhadap hewan sebagai makhluk
ciptaan Tuhan serta nantinya ada proses penaburan bunga secara bertepatan dengan prosesi
memandikan kambing kendit. Serta ada pula kambing kendit yang telah disembelih,
dagingnya wajib dimakan oleh siapapun, apabila tidak kebagian dagingnya, airnya pun tidak
menjadi permasalahan. Pada intinya sama-sama merasakan baik dagingnya ataupun airnya
saja, sebab perihal ini ialah ngalap barokah dari tradisi ruwat bumi.
Sumber gambar: Terkininews.com/ Achmad Sholeh

Tradisi ini dilakukan untuk sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa,
serta bertujuan untuk membersihkan atau menyucikan daerah atau wilayah yang
melaksanakan ruwatan supaya dijauhi oleh bahaya, aura dan nasib buruk. Selain itu juga
ruwatan bertujuan untuk menanamkan rasa gotong royong serta mempersatukan segala warga
serta dari sisi kebudayaan perihal yang bisa diambil merupakan menghormati para leluhur.

Ruwat bumi guci yang terdapat di Kabupaten Tegal ini merupakan upacara adat
tahunan yang dilaksanakan pada bulan Muharram (Suro) oleh masyarakat yang terdiri dari
dua desa yaitu Desa Rembul dan Desa Pekandangan, tradisi ini bertempat di obyek wisata
guci.

Obyek wisata guci ini merupakan pemandian air panas yang dipercaya dapat
menyembuhkan segala penyakit. Banyak wisatawan yang memang kesana untuk sekedar
liburan atau memang ingin berobat dan penyucian diri supaya terlindungi dari bahaya.
Upacara ini dilaksanakan sebagai bentuk bersyukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Adapun rangkaian pelaksanaan upacara ruwat bumi guci yang harus diikuti, pada saat
malam sebelum upacara ini dilaksanakan, penduduk setempat akan mengadakan acara
istighosah dan tahlilan yang bertujuan untuk meminta pertolongan dan perlindungan kepada
Tuhan Yang Maha Esa serta supaya diberikan kelancaran, keselamatan, berkah, dan tidak ada
halangan suatu apapun dalam melaksanakan ruwat ini. Kemudian pada pagi harinya,
masyarakat mulai mempersiapkan segala hal, seperti membangun panggung, menata
gamelan, dan menata janur kuning sebagai tanda acara sudah dimulai. Ada juga sesajian yang
disajikan seperti bunga setaman, kemenyan, kopi pahit, teh pahit, pala pendem, singkong
rebus, dan ada juga ubi rebus.

Upacara ini dimulai dari arak-arakan gunungan atau sesajian yang sudah
dipersiapkan. Dan dilanjutkan membaca doa Bersama yang dipimpin oleh sesepuh desa.
Setelah rangkaian do’a bersama selesai dilanjutkan dengan ritual penyembelih kambing
kendit, yaitu jenis kambing khusus yang berwarna hitam dengan lingkar putih di bagian
perutnya. Untuk penyembelihan kambing kendit bertempat di kaki gunung kelir, dan orang
yang menyembelih kambing kendit ini merupakan orang yang sudah dipercaya oleh
masyarakat. Hasil dari sembelihan kambing kendit seperti darah, bibir, kuping, lidah, ekor,
kaki dikubur dan sisanya dimasak lalu dibagikan ke masyarakat.

Dalam sejarahnya, acara adat ini terjadi pada bulan Muharram atau Assuro dan telah
diturunkan dari satu zaman ke zaman lainnya hingga saat ini, pada saat memohon dengan
cara Tahlilan dan Manaqib Kanjeng Sunan Gunungjati hadir secara ghoib dan memberikan
guci sakti yang sudah terisi petisi Kanjeng Sunan agar warga Kaputihan yang terkena wabah
penyakit gatal segera meminum air guci tersebut dan pinggiran kampung Kaputihan diperciki
air guci untuk membuang kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana alam acara. Maka ketika
Raden Aryo Wiryo berkeliling dengan Kyai Elang Sutajaya ia menemukan sumber mata air
panas alami di bawah sebuah gua yang saat ini dikenal sebagai pancuran 13.

Guci sakti tersebut didirikan di sebuah desa tempat Raden Aryo Wiryo dulu
berefleksi, wilayah itu dikenal dengan Telaga ada di Dusun Engang, Desa Guci. Untuk
memperingati peristiwa tersebut, kampung Kaputihan diubah namanya menjadi desa Guci
dan wadah sihir tersebut saat ini berada di ruang Pameran Umum karena pada saat Adipati
Cokroningrat dari desa Guci ke struktur wilayah Brebes yang sekitar saat itu desa Guci
adalah penting untuk daerah Brebes.

Pada proses pembukaan upacara adat ruwat bumi guci ini mengalunkan gamelan
sembari menunggu tamu berdatangan. Gamelan dalam upacara ruwat bumi guci ini dikenal
dengan prosesi ngidung, baritan dan ngibing. Ngidung adalah sesambatan kepada makhluk
halus di dalam bumi Kaputihan yang berada disekitar wilayah dukuh Pekandangan Desa
Rembul, Desa Guci dan sekitarnya. Nada yang dilantunkan sedikit menggaung pertanda
bahwa sudah memasuki acara inti.
Lalu selanjutnya ada Baritan, dalam prosesi baritan ada tiga lagu yang wajib
dibawakan yaitu : Blenderan, Renggong Manis, dan Ijo-ijo. Seiring tiga lagu dinyanyikan
salah satu sesepuh membakar sebatang rokok sesaji karena itu merupakan syarat dalam
prosesi baritan. Selain menyanyikan tiga lagu itu, ada juga pembacaan doa-doa khusus oleh
sesepuh. Setelah mengikuti proses acara pembukaan selesai, masyarakat di arak menuju ke
obyek wisata guci khususnya di pancuran 13 dan tidak ketinggalan kambing kendit juga ikut
di arak. Sebelum ke acara inti ada proses pembacaan riwayat guci yaitu mengulas sejarah
guci yang sudah tertulis dan biasanya dibacakan oleh Bupati Kabupaten Tegal.

Adapun tujuan diadakannya upacara adat ruwat bumi guci, antara lain, sebagai ucapan
rasa syukur warga dukuh Pekandangan Desa Rembul Kecamatan Bojong dan Desa Guci
Kecamatan Bumijawa melaksanakan doa. Menunjukan bahwa kita bersyukur, beriman, dan
harus menjalani kesatuan dan kerukunan. Ruwat bumi guci yang sudah ada sejak nenek
moyang terdahulu ini juga masih harus dilestarikan sebagai bentuk penghormatan kepada
leluhur. Upacara ini juga diadakan sebagai bentuk silaturahmi diantara warga dengan
pemerintah, tokoh masyarakat dan tokoh adat. Dengan adanya ruwat bumi ini merupakan
media untuk berdzikir kepada Allah dengan rangkaian ruwat bumi ini salah satunya dengan
adanya do’a bersama sebagai wujud kita patuh terhadap syari’at-syari’at agama.
DAFTAR PUSTAKA

Hanifah, U. (2021). Kosmologi Jawa Dalam Upacara Adat Ruwat Bumi Guci di Obyek
Wisata Guci Kabupaten Tegal. Skripsi. Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas
Ushuluddin dan Humaniora Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang. Semarang.
Diakses dari https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/14261/1/1704016009_UMI
%20HANIFAH_%20FULL%20SKRIPSI.pdf
Ainun Nahar, RA. (2021). “Mengenal Kearifan Lokal Tradisi Ruwat Bumi Guci di
Kabupaten Tegal”
https://www.kompasiana.com/kknrdr77kelompok02/61933cfeb189515616648f12/mengenal-
kearifan-lokal-tradisi-ruwat-bumi-guci-di-kabupaten-tegal?page=3&page_images=1. Diakses
pada 2 Desember 2022

Anda mungkin juga menyukai