MAKALAH
DISUSUN OLEH:
SELVI LESTARI
NIM: 80100219124
DOSEN PENGAMPUH
Prof.Dr.H. Ahmad Sewang, M.A
Dr.Hj. Syamsan Syakur,M.Ag
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
seluruh daerah Indonesia. Karenanya, ini menjadi penting untuk tetap dilestarikan dan
dibanggakan, budaya hasil dari warisan nenek moyang yang sarat akan nilai-nilai dan
manusia untuk bermasyarakat yang dijadikan sebagai pedoman dari hasil belajar. Dari
sinilah kurang lebih ada tiga wujud dari kebudayaan yaitu, yang pertama kebudayaan
sebagai nilai-nilai atau norma-norma, yang kedua adalah tindakan atau polah tingkah
Banyuwangi adalah salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Timur,
Indonesia. Di sana ada sebuah etnik yang bernama Using. Di kalangan mereka,
ada sebuah upacara tradisional yang sangat erat kaitannya dengan bidang pertanian
yang disebut sebagai “Kebo-keboan”. Maksud diadakannya upacara itu adalah untuk
meminta kesuburan tanah, panen melimpah, serta terhindar dari malapetaka baik yang
Kesenian tersebut antara lain; barong ider bumi, kuntulan, damarulan/jinggoan, tari
jejer gandrung, angklung dan reog. Unsur-unsur upacara dalam upacara adat kebo-
keboan adalah: berdoa, bersaji, makan bersama makanan yang telah disucikan dengan
doa, pawai ider bumi. Pelaksanaan upacara adat kebo-keboan terbagi dalam tiga tahap
yaitu tahap pra acara atau persiapan, acara inti, dan tahap akhir atau penutup.
B. Rumusan Masalah
2. Apa nilai-nilai budaya yang terdapat pada upacara adat Kebo-keboan masyarakat
Banyuwangi?
BAB II
PEMBAHASAN
Upacara adat ritual kebo – keboan merupakan ragam seni budaya tradisi Banyuwangi
yang masih terjaga dan dilestarikan hingga sekarang, acara Adat yang dilaksankan setiap satu
tahun sekali tepatnya bulan Muharam atau Suro (penanggalan Jawa) yang jatuh pada hari
minggu antara tanggal 1 sampai 10 suro. Bulan ini diyakini memiliki kekuatan magis. Konon,
ritual ini muncul sejak abad ke-18. Di Banyuwangi, kebo-keboan dilestarikan di dua tempat
yakni di Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, dan Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi.
Ritual kebo-keboan dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat desa setempat
atas hasil panen yang melimpah sekaligus sebagai upacara bersih desa, agar seluruh warga
diberi keselamatan.
wabah penyakit pagebluk. Kala itu, seluruh warga diserang penyakit. Hama juga menyerang
tanaman. Banyak warga kelaparan dan mati akibat wabah penyakit pagebluk melanda desa
Alasmalang. Mbah Karti sebagai sesepuh desa kala itu melakukan meditasi dan mendapatkan
“Wangsit” agar melaksanakan ritual selamatan desa dengan ritual kebo-keboan dan
mengagungkan Dewi Sri atau yang dipercainya sebagai simbol kemakmuran, setelah ritual
adat tersebut dilakukukan wabah tersebut pun hilang. sampai akhirnya ritual ini terus
diadakan dan kini masih dilestarikan oleh warga Osing Banyuwangi (Ds.Alasmalang dan
Ds.Aliyan). Ritual ini terbagi menjadi beberapa tahapan dalam pelaksanaanya, tahapan
Tujuh hari sebelum pelaksanaan sang pawang yang merupakan keturunan buyut Karti
melakukan meditasi, meditasi dilaksanakan di beberapa tempat keramat yaitu, di Watu Loso
(sebuah batu yang berbentuk seperti tikar), Watu Gajah (batu yang berbentuk seperti gajah)
dan Watu Tumpeng (batu yang berbentuk seperti tumpeng). Selamatan di Petahunan.
Ider Bumi atau Arak – Arakan mengelilingi desa dan menuju ke sebuah bendungan
yang dibuka sehingga air mengaliri jalanan yang telah ditanami palawija. Aroma kemenyan
tercium sesaat lepas dupa dibakar menemani hingga proses ritual selesai. Ritual Kebo –
Keboan yang dilaksanakan di daerah persawahan Dusun Krajan. Pelaksanaan upacara adat ini
Pemimpin Upacara (Pawang) yang merupakan pelaksana adat yang merupakan keturunan
dari Mbah Buyut Karti. Dalam Upacara ini, ada kyai yang juga dijadikan pemimpin upacara
saat prosesi pembacaan doa. Penjelmaan Dewi Sri, merupakan simbolis dari kepercayaan
masyarakat terhadap keberadaan Dewi Sri. Perempuan yang memerankan Dewi Sri harus
memiliki syarat-syarat tertentu. Apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka pelaksanaan
upacara tersebut tidak akan tercapai. Syarat-syaratnya adalah: Masih keturunan Mbah Buyut
Dayang Pengiring Dewi Sri, Merupakan Para Gadis dari Desa Krajan yang memiliki
criteria seperti Dewi Sri. Para Dayang bertugas membawa peras dan sesaji yang digunakan
untuk pelaksanaan pawai ider bumi. Kebo-keboan, merupakan pelaksana setiap tahapan
dalam pelaksanaan upacara, yang memiliki criteria Berbadan besar, sehat, kuat dan masih
keturunan Mbaj Buyut Karti. Kebo-keboan ini berjumlah lima sampai sepuluh Pasang, satu
pasang berjumlah tiga yaitu dua kerbau dan satu pengendali. Para Petani, terlibat saat
melaksanakan ider Bumi. Buldrah, merupakan tokoh yang bertugas memimpin pelaksanaan
kirab ider bumi. Yang di pilih adalah yang memiliki keahlian dibidang pertanian, dan
biasanya merupakan penggerak warga dibidang pertanian. Modin Banyu, merupakan seorang
yang mempunyai tugas sehari-hari yang mengatur sistim pengairan. Peralatan yang
dipersiakan dalam pelaksanaan upacara adat kebo – keboan adalah sebagai berikut : Peralatan
Upacara adat:
Peralatan Pertanian, peralatan ini digunakan karena upacara adat ini berlatarbelakang
tradisi masyarakat agraris, maka berbagai perlengkapan yang digunakan adalah: singkal,
teter, pecut, sabit, cangkul, dan cingkek. Songsong, merupakan payung besar yang digunakan
Sesaji, merupakan syarat terpenting dari tradisi ini yang apabila sesaji kurang, maka
upacara yang dilaksanakan tidak sempurna. Sesaji diantaranya berupa peras, tumpeng agung,
jenang Abang (bubur Merah), Bubur Putih, Bubur Kuning, Bubur Hitam, Bubur hijau / biru,
peteteng, kendi, daun pisang, kemenyan, dan beras petung tawar. Tandu (tempat duduk Dewi
Sri), Tandu ini digunakan untuk tempat duduk Dewi Sri saat prosesi adat.
Ritual kebo-keboan digelar setahun sekali pada bulan Muharam atau Suro (penanggalan
Jawa). Bulan ini diyakini memiliki kekuatan magis. Konon, ritual ini muncul sejak abad ke-
(epidemi - red ). Kala itu, seluruh warga diserang penyakit. Hama juga menyerang tanaman.
Banyak warga kelaparan dan mati akibat penyakit misterius. Dalam kondisi genting itu,
sesepuh desa yang bernama Mbah Karti melakukan meditasi di bukit. Selama meditasi, tokoh
yang disegani ini mendapatkan wangsit. Isinya, warga disuruh menggelar ritual kebo-keboan
dan mengagungkan Dewi Sri atau yang dipercainya sebagai simbol kemakmuran.
Keajaiban muncul ketika warga menggelar ritual kebo-keboan. Warga yang sakit
mendadak sembuh. Hama yang menyerang tanaman padi sirna. Sejak itu, ritual kebo-keboan
Upacara kebo-kebon di Dusun Krajan dilaksanakan satu kali dalam satu tahun yang
jatuh pada hari Minggu antara tanggal 1 sampai 10 Sura (tanpa melihat hari pasaran).
Dipilihnya hari minggu sebagai hari penyelenggaraan dengan pertimbangan bahwa pada hari
tersebut masyarakat sedang tidak bekerja (libur), sehingga dapat mengikuti jalannya upacara.
Sedangkan, dipilihnya bulan Sura dengan pertimbangan bahwa Sura, menurut kepercayaan
Satu minggu menjelang waktu upacara kebo-keboan tiba, warga masyarakat yang berada di
Dusun Krajan mengadakan kegiatan gotong royong untuk membersihkan lingkungan rumah
dan dusunnya. Selanjutnya, satu hari menjelang pelaksanaan upacara, para ibu bersama-sama
mempersiapkan sesajen yang terdiri atas: tumpeng, peras, air kendi, kinang ayu, aneka
jenang, inkung ayam dan lain sebagainya. Selain itu, dipersiapkan pula berbagai
perlengkapan upacara seperti para bungkil, singkal, pacul, pera, pitung tawar, beras, pisang,
kelapa dan bibit tanaman padi. Seluruh sesajen tersebut selain untuk acara selamatan,
nantinya juga akan ditempatkan di setiap perempatan jalan yang ada di Dusun Krajan.
Pada malam harinya para pemuda menyiapkan berbagai macam hasil tanaman
palawija seperti pisang, tebu, ketela pohon, jagung, pala gumantung, pala kependhem, pala
kesimpar. Tanaman tersebut kemudian ditanam kembali di sepanjang jalan Dusun Krajan.
Selain itu, mereka mempersiapkan pula bendungan yang nantinya akan digunakan untuk
Pagi harinya, sekitar pukul 08.00, diadakan upacara di Petaunan yang dihadiri oleh
panitia upacara, sesepuh dusun, modin, dan beberapa warga masyarakat Krajan. Pelaksanaan
upacara di tempat ini berlangsung cukup sederhana, yaitu hanya berupa kata sambutan dari
pihak panitia upacara, kemudian dilanjutkan dengan doa yang dipimpin oleh modin dan
Selanjutnya, para peserta upacara yang terdiri dari para sesepuh dusun, seorang
pawang, perangkat dusun, dua pasang kebo-keboan (setiap kebo-keboan berjumlah dua
orang), para pembawa sesajen, pemain musik hadrah, pemain barongan dan warga Dusun
Krajan akan melakukan pawai ider bumi mengeliling Dusun Krajan. Pawai ini dimulai di
Petaunan kemudian menuju ke bendungan air yang berada di ujung jalan Dusun Krajan.
Sesampainya di bendungan, jagatirta (petugas pengatur air) akan segera membuka bendungan
sehingga air mengalir ke sepanjang jalan dusun yang sebelumnya telah ditanami tanaman
palawija oleh para pemuda. Sementara, para peserta upacara segera menuju ke areal
persawahan milik warga Dusun Krajan. Di persawahan inilah kebo-keboan tersebut memulai
memperlihatkan perilakunya yang mirip seperti seekor kerbau yang sedang membajak atau
berkubang di sawah. Pada saat kebo-keboan sedang berkubang, sebagian peserta upacara
Setelah benih tertanam, para peserta yang lain segera berebut untuk mengambil benih
padi yang baru ditanam tersebut. Benih-benih yang baru ditanam itu dipercaya oleh warga
keberuntungan serta membawa berkah. Pada saat para peserta memperebutkan benih tersebut,
para kebo-keboan yang sebelumnya telah dimantrai oleh pawang sehingga menjadi trance,
akan segera mengejar para pengambil benih yang dianggap sebagai pengganggu. Namun,
para kebo-keboan itu tidak sampai mencelakai para pengambil benih karena sang pawang
selalu mengawasi setiap geraknya. Setelah dirasa cukup, maka sang pawang akan
menyadarkan kebo-keboan dengan cara mengusapkan pitung tawar pada bagian kepalanya.
membawa padi yang tadi mereka ambil di sawah untuk dijadikan sebagai penolak bala dan
juga sekaligus pembawa berkah. Malam harinya, mereka kembali lagi ke Petaunan untuk
menyaksikan pagelaran wayang kulit dengan lakon Sri Mulih yang mengisahkan tentang
Dewi Sri. Lakon tersebut dipentaskan dengan harapan agar warga Dusun Krajan
mendapatkan hasil panen padi yang melimpah. Dan, dengan dipentaskannya kesenian
wayang kulit di Petaunan itu, maka berakhirlah seluruh rentetan dalam upacara kebo-keboan
B. Nilai Budaya
jika dicermati secara mendalam, mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan
sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu antara lain adalah: kebersamaan,
ketelitian, gotong royong, dan religius. Nilai kebersamaan tercermin dari berkumpulnya
sebagian besar anggota masyarakat dalam suatu tempat, makan bersama dan doa bersama
demi keselamatan bersama pula. Ini adalah wujud kebersamaan dalam hidup bersama di
dalam lingkungannya (dalam arti luas). Oleh karena itu, upacara ini mengandung pula nilai
kebersamaan. Dalam hal ini, kebersamaan sebagai komunitas yang mempunyai wilayah,
Nilai ketelitian tercermin dari proses upacara itu sendiri. Sebagai suatu proses,
upacara memerlukan persiapan, baik sebelum upacara, pada saat prosesi, maupun
sesudahnya. Persiapan-persiapan itu, tidak hanya menyangkut peralatan upacara, tetapi juga
tempat, waktu, pemimpin, dan peserta. Semuanya itu harus dipersiapkan dengan baik dan
seksama, sehingga upacara dapat berjalan dengan lancar. Untuk itu, dibutuhkan ketelitian.
penyelenggaraan upacara. Mereka saling bantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini
ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman, menjadi pemimpin upacara, dan
lain sebagainya.
Nilai religius tercermin dalam doa bersama yang ditujukan kepada Tuhan agar
kekeluargaan, ekonomi dan religi.Unsur kekeluargaan karena dalam upacara adat kebo-
keboan banyak melibatkan banyak orang dari berbagai kalangan, sehingga menumbuhkn rasa
gotong royong dan solidaritas antar warga yang menjadi bagian dalam upacara adat ini.
Unsur ekonomi karena dana yang dibutuhkan untuk upacara ini tidak sedikit maka
banyak sumbangan yang diberikan oleh pemerintah banyuwangi dan dari sponsor lainnya dan
hasil dari upacara ini dibuat untuk membangun desa serta diberikan kepada warga sekitar
yang membutuhkan dan anak yatim piatu, tidak lupa sebagian hasil dari upacara adat kebo-
keboan juga masuk ke dalam kas keuangan kabupaten Banyuwangi. Sedangkan unsur
pendidikan religi karena adanya ritual-ritual dalam upacara ini, seperti berdoa, bersaji, makan
PENUTUP
KESIMPULAN
Ritual Kebo-Keboan adalah salah satu ragam seni budaya tradisi Banyuwangi
disamping Ritual Seblang, Petik Laut, Rebo Pungkasan, Endog-endogan, Barong Ider Bumi
yang telah diagendakan secara rutin oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. "Kebudayaan
berbasis lokal yang bernilai luhur ini akan tetap kita lestarikan dengan penataan yang lebih
komprehensif dan suistanable agar menumbuhkan rasa apresiatif masyarakat terhadap nilai-
nilai tradisi," ungkap drh H Budianto, Msi, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Banyuwangi.
bagaimana kita sebagai makhluk bumi harus menjaga dan merawat semua hasil bumi agar
Secara garis besar, upacara adat Kebo-keboan adalah bentuk rasa syukur warga desa
Alasmalang kepada bumi. Selama ini, bumi dinilai telah memberikan banyak hal bagi
kehidupan warga desa itu. Mulai tanah yang subur dan mudah ditanami, cuaca yang
mendukung, hingga dataran yang indah. Belum lagi harmoni kehidupan semua makhluk
hidup di kawasan itu yang tertata harmonis. Kebo-keboan merupakan salah satu aset upacara
tradisi yang dimiliki Banyuwangi. Kita sebagai masyarakat harus mendukung dan ikut
DAFTAR PUSTAKA