Anda di halaman 1dari 12

RITUAL KEBO-KEBOAN DI BANYUWANGI

MAKALAH
DISUSUN OLEH:

SELVI LESTARI
NIM: 80100219124

DOSEN PENGAMPUH
Prof.Dr.H. Ahmad Sewang, M.A
Dr.Hj. Syamsan Syakur,M.Ag

SEJARAH PERADABAN ISLAM


PPS UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan bangsa besar, kaya akan kebudayaan yang tersebar di

seluruh daerah Indonesia. Karenanya, ini menjadi penting untuk tetap dilestarikan dan

dibanggakan, budaya hasil dari warisan nenek moyang yang sarat akan nilai-nilai dan

makna. Kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tingkah laku

manusia untuk bermasyarakat yang dijadikan sebagai pedoman dari hasil belajar. Dari

sinilah kurang lebih ada tiga wujud dari kebudayaan yaitu, yang pertama kebudayaan

sebagai nilai-nilai atau norma-norma, yang kedua adalah tindakan atau polah tingkah

laku, dan yang ketiga adalah sebagai hasil karya manusia,

Banyuwangi adalah salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Timur,

Indonesia. Di sana ada sebuah etnik yang bernama Using. Di kalangan mereka,

khususnya yang berdiam di Dusun Krajan, Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh,

ada sebuah upacara tradisional yang sangat erat kaitannya dengan bidang pertanian

yang disebut sebagai “Kebo-keboan”. Maksud diadakannya upacara itu adalah untuk

meminta kesuburan tanah, panen melimpah, serta terhindar dari malapetaka baik yang

akan menimpa tanaman maupun manusia yang mengerjakannya.

Upacara adat kebo-keboan mempunyai kedudukan yang penting bagi

kehidupan masyarakat Using Desa Alasmalang. Upacara adat kebo-keboan di Desa

Alasmalang sudah mengalami komodifikasi. Upacara adat kebo-keboan dalam

pelaksanaannya terdapat tambahan kesenian tradisional Banyuwangi yang lainnya.

Kesenian tersebut antara lain; barong ider bumi, kuntulan, damarulan/jinggoan, tari

jejer gandrung, angklung dan reog. Unsur-unsur upacara dalam upacara adat kebo-

keboan adalah: berdoa, bersaji, makan bersama makanan yang telah disucikan dengan
doa, pawai ider bumi. Pelaksanaan upacara adat kebo-keboan terbagi dalam tiga tahap

yaitu tahap pra acara atau persiapan, acara inti, dan tahap akhir atau penutup.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana proses upacara adat kebo-keboan di Banyuwangi?

2. Apa nilai-nilai budaya yang terdapat pada upacara adat Kebo-keboan masyarakat

Banyuwangi?
BAB II

PEMBAHASAN

A.    Sejarah Upacara Kebo-keboan

             Upacara adat ritual kebo – keboan merupakan ragam seni budaya tradisi Banyuwangi

yang masih terjaga dan dilestarikan hingga sekarang, acara Adat yang dilaksankan setiap satu

tahun sekali tepatnya bulan Muharam atau Suro (penanggalan Jawa) yang jatuh pada hari

minggu antara tanggal 1 sampai 10 suro. Bulan ini diyakini memiliki kekuatan magis. Konon,

ritual ini muncul sejak abad ke-18. Di Banyuwangi, kebo-keboan dilestarikan di dua tempat

yakni di Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, dan Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi.

Ritual kebo-keboan dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat desa setempat

atas hasil panen yang melimpah sekaligus sebagai upacara bersih desa, agar seluruh warga

diberi keselamatan.

`Munculnya ritual Kebo – Keboan di desa Alasmalang berawal terjadinya musibah

wabah penyakit pagebluk. Kala itu, seluruh warga diserang penyakit. Hama juga menyerang

tanaman. Banyak warga kelaparan dan mati akibat wabah penyakit pagebluk melanda desa

Alasmalang. Mbah Karti sebagai sesepuh desa kala itu melakukan meditasi dan mendapatkan

“Wangsit”  agar melaksanakan ritual selamatan desa dengan ritual kebo-keboan dan

mengagungkan Dewi Sri atau yang dipercainya sebagai simbol kemakmuran, setelah ritual

adat tersebut dilakukukan wabah tersebut pun hilang. sampai akhirnya ritual ini terus

diadakan dan  kini masih dilestarikan oleh warga Osing Banyuwangi (Ds.Alasmalang dan

Ds.Aliyan). Ritual ini terbagi menjadi beberapa tahapan dalam pelaksanaanya,  tahapan

tahapan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :

            Tujuh hari sebelum pelaksanaan sang pawang yang merupakan keturunan buyut Karti

melakukan meditasi, meditasi dilaksanakan di beberapa tempat keramat yaitu, di Watu Loso
(sebuah batu yang berbentuk seperti tikar), Watu Gajah (batu yang berbentuk seperti gajah)

dan Watu Tumpeng (batu yang berbentuk seperti tumpeng). Selamatan di Petahunan.

            Ider Bumi atau Arak – Arakan mengelilingi desa dan menuju ke sebuah bendungan

yang dibuka sehingga air mengaliri jalanan yang telah ditanami palawija. Aroma kemenyan

tercium sesaat lepas dupa dibakar  menemani hingga   proses ritual selesai. Ritual Kebo –

Keboan yang dilaksanakan di daerah persawahan Dusun Krajan. Pelaksanaan upacara adat ini

melibatkan berbagai element masyarakat diantaranya :

Pemimpin Upacara (Pawang) yang merupakan pelaksana adat yang merupakan keturunan

dari Mbah Buyut Karti. Dalam Upacara ini, ada kyai yang juga dijadikan pemimpin upacara

saat prosesi pembacaan doa. Penjelmaan Dewi Sri, merupakan simbolis dari kepercayaan

masyarakat terhadap keberadaan Dewi Sri. Perempuan yang memerankan Dewi Sri harus

memiliki syarat-syarat tertentu. Apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka pelaksanaan

upacara tersebut tidak akan tercapai. Syarat-syaratnya adalah: Masih keturunan Mbah Buyut

Karti, Perawan / Gadis, Berperilaku Baik, Memiliki Wajah yang rupawan.

            Dayang Pengiring Dewi Sri, Merupakan Para Gadis dari Desa Krajan yang memiliki

criteria seperti Dewi Sri. Para Dayang bertugas membawa peras dan sesaji yang digunakan

untuk pelaksanaan pawai ider bumi. Kebo-keboan, merupakan pelaksana setiap tahapan

dalam pelaksanaan upacara, yang memiliki criteria Berbadan besar, sehat, kuat dan masih

keturunan Mbaj Buyut Karti. Kebo-keboan ini berjumlah lima sampai sepuluh Pasang, satu

pasang berjumlah tiga yaitu dua kerbau dan satu pengendali. Para Petani, terlibat saat

melaksanakan ider Bumi. Buldrah, merupakan tokoh yang bertugas memimpin pelaksanaan

kirab ider bumi. Yang di pilih adalah yang memiliki keahlian dibidang pertanian, dan

biasanya merupakan penggerak warga dibidang pertanian. Modin Banyu, merupakan seorang

yang mempunyai tugas sehari-hari yang mengatur sistim pengairan. Peralatan yang
dipersiakan dalam pelaksanaan upacara adat kebo – keboan adalah sebagai berikut : Peralatan

Upacara adat:

Peralatan Pertanian, peralatan ini digunakan karena upacara adat ini berlatarbelakang

tradisi masyarakat agraris, maka berbagai perlengkapan yang digunakan adalah: singkal,

teter, pecut, sabit, cangkul, dan cingkek. Songsong, merupakan payung besar yang digunakan

untuk memayungi dewi sri, agar tidak tersengat terik matahari.

Sesaji, merupakan syarat terpenting dari tradisi ini yang apabila sesaji kurang, maka

upacara yang dilaksanakan tidak sempurna. Sesaji diantaranya berupa peras, tumpeng agung,

jenang Abang (bubur Merah), Bubur Putih,  Bubur Kuning, Bubur Hitam, Bubur hijau / biru,

peteteng, kendi, daun pisang, kemenyan, dan beras petung tawar. Tandu (tempat duduk Dewi

Sri), Tandu ini digunakan untuk tempat duduk Dewi Sri saat prosesi adat.

 Ritual kebo-keboan digelar setahun sekali pada bulan Muharam atau Suro (penanggalan

Jawa). Bulan ini diyakini memiliki kekuatan magis. Konon, ritual ini muncul sejak abad ke-

18. Di Banyuwangi, kebo-keboan dilestarikan di dua tempat yakni di Desa Alasmalang,

Kecamatan Singojuruh, dan Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi.

Munculnya ritual kebo-keboan di Alasmalang berawal terjadinya musibah pagebluk

(epidemi - red ). Kala itu, seluruh warga diserang penyakit. Hama juga menyerang tanaman.

Banyak warga kelaparan dan mati akibat penyakit misterius. Dalam kondisi genting itu,

sesepuh desa yang bernama Mbah Karti melakukan meditasi di bukit. Selama meditasi, tokoh

yang disegani ini mendapatkan wangsit. Isinya, warga disuruh menggelar ritual kebo-keboan

dan mengagungkan Dewi Sri atau yang dipercainya sebagai simbol kemakmuran.

Keajaiban muncul ketika warga menggelar ritual kebo-keboan. Warga yang sakit

mendadak sembuh. Hama yang menyerang tanaman padi sirna. Sejak itu, ritual kebo-keboan

dilestarikan. Mereka takut terkena musibah jika tidak melaksanakannya.


Proses Upacara Kebo-keboan

            Upacara kebo-kebon di Dusun Krajan dilaksanakan satu kali dalam satu tahun yang

jatuh pada hari Minggu antara tanggal 1 sampai 10 Sura (tanpa melihat hari pasaran).

Dipilihnya hari minggu sebagai hari penyelenggaraan dengan pertimbangan bahwa pada hari

tersebut masyarakat sedang tidak bekerja (libur), sehingga dapat mengikuti jalannya upacara.

Sedangkan, dipilihnya bulan Sura dengan pertimbangan bahwa Sura, menurut kepercayaan

sebagian masyarakat Jawa, adalah bulan yang keramat.         

Satu minggu menjelang waktu upacara kebo-keboan tiba, warga masyarakat yang berada di

Dusun Krajan mengadakan kegiatan gotong royong untuk membersihkan lingkungan rumah

dan dusunnya. Selanjutnya, satu hari menjelang pelaksanaan upacara, para ibu bersama-sama

mempersiapkan sesajen yang terdiri atas: tumpeng, peras, air kendi, kinang ayu, aneka

jenang, inkung ayam dan lain sebagainya. Selain itu, dipersiapkan pula berbagai

perlengkapan upacara seperti para bungkil, singkal, pacul, pera, pitung tawar, beras, pisang,

kelapa dan bibit tanaman padi. Seluruh sesajen tersebut selain untuk acara selamatan,

nantinya juga akan ditempatkan di setiap perempatan jalan yang ada di Dusun Krajan.

Pada malam harinya para pemuda menyiapkan berbagai macam hasil tanaman

palawija seperti pisang, tebu, ketela pohon, jagung, pala gumantung, pala kependhem, pala

kesimpar. Tanaman tersebut kemudian ditanam kembali di sepanjang jalan Dusun Krajan.

Selain itu, mereka mempersiapkan pula bendungan yang nantinya akan digunakan untuk

mengairi tanaman palawija yang ditanam.

Pagi harinya, sekitar pukul 08.00, diadakan upacara di Petaunan yang dihadiri oleh

panitia upacara, sesepuh dusun, modin, dan beberapa warga masyarakat Krajan. Pelaksanaan

upacara di tempat ini berlangsung cukup sederhana, yaitu hanya berupa kata sambutan dari
pihak panitia upacara, kemudian dilanjutkan dengan doa yang dipimpin oleh modin dan

diakhiri dengan makan bersama.

            Selanjutnya, para peserta upacara yang terdiri dari para sesepuh dusun, seorang

pawang, perangkat dusun, dua pasang kebo-keboan (setiap kebo-keboan berjumlah dua

orang), para pembawa sesajen, pemain musik hadrah, pemain barongan dan warga Dusun

Krajan akan melakukan pawai ider bumi mengeliling Dusun Krajan. Pawai ini dimulai di

Petaunan kemudian menuju ke bendungan air yang berada di ujung jalan Dusun Krajan.

Sesampainya di bendungan, jagatirta (petugas pengatur air) akan segera membuka bendungan

sehingga air mengalir ke sepanjang jalan dusun yang sebelumnya telah ditanami tanaman

palawija oleh para pemuda. Sementara, para peserta upacara segera menuju ke areal

persawahan milik warga Dusun Krajan. Di persawahan inilah kebo-keboan tersebut memulai

memperlihatkan perilakunya yang mirip seperti seekor kerbau yang sedang membajak atau

berkubang di sawah. Pada saat kebo-keboan sedang berkubang, sebagian peserta upacara

segera turun ke sawah untuk menanam benih padi.

Setelah benih tertanam, para peserta yang lain segera berebut untuk mengambil benih

padi yang baru ditanam tersebut. Benih-benih yang baru ditanam itu dipercaya oleh warga

masyarakat Dusun Krajan dapat dijadikan sebagai penolak bala, mendatangkan

keberuntungan serta membawa berkah. Pada saat para peserta memperebutkan benih tersebut,

para kebo-keboan yang sebelumnya telah dimantrai oleh pawang sehingga menjadi trance,

akan segera mengejar para pengambil benih yang dianggap sebagai pengganggu. Namun,

para kebo-keboan itu tidak sampai mencelakai para pengambil benih karena sang pawang

selalu mengawasi setiap geraknya. Setelah dirasa cukup, maka sang pawang akan

menyadarkan kebo-keboan dengan cara mengusapkan pitung tawar pada bagian kepalanya.

Setelah itu, mereka kembali lagi ke Petaunan.


            Sesampainya di Petaunan, peserta upacara kembali ke rumah masing-masing sambil

membawa padi yang tadi mereka ambil di sawah untuk dijadikan sebagai penolak bala dan

juga sekaligus pembawa berkah. Malam harinya, mereka kembali lagi ke Petaunan untuk

menyaksikan pagelaran wayang kulit dengan lakon Sri Mulih yang mengisahkan tentang

Dewi Sri. Lakon tersebut dipentaskan dengan harapan agar warga Dusun Krajan

mendapatkan hasil panen padi yang melimpah. Dan, dengan dipentaskannya kesenian

wayang kulit di Petaunan itu, maka berakhirlah seluruh rentetan dalam upacara kebo-keboan

di Desa Alasmalang Kecamatan Singojuru h Kabupaten Banyuwangi.

B.     Nilai Budaya

            Upacara kebo-keboan di Dusun Krajan, Desa Alasmalang, Kabupaten Banyuwangi,

jika dicermati secara mendalam, mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan

sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu antara lain adalah: kebersamaan,

ketelitian, gotong royong, dan religius. Nilai kebersamaan tercermin dari berkumpulnya

sebagian besar anggota masyarakat dalam suatu tempat, makan bersama dan doa bersama

demi keselamatan bersama pula. Ini adalah wujud kebersamaan dalam hidup bersama di

dalam lingkungannya (dalam arti luas). Oleh karena itu, upacara ini mengandung pula nilai

kebersamaan. Dalam hal ini, kebersamaan sebagai komunitas yang mempunyai wilayah,

adat-istiadat dan budaya yang sama.

Nilai ketelitian tercermin dari proses upacara itu sendiri. Sebagai suatu proses,

upacara memerlukan persiapan, baik sebelum upacara, pada saat prosesi, maupun

sesudahnya. Persiapan-persiapan itu, tidak hanya menyangkut peralatan upacara, tetapi juga

tempat, waktu, pemimpin, dan peserta. Semuanya itu harus dipersiapkan dengan baik dan

seksama, sehingga upacara dapat berjalan dengan lancar. Untuk itu, dibutuhkan ketelitian.

Nilai kegotong-royongan tercermin dari keterlibatan berbagai pihak dalam

penyelenggaraan upacara. Mereka saling bantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini
ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman, menjadi pemimpin upacara, dan

lain sebagainya.

Nilai religius tercermin dalam doa bersama yang ditujukan kepada Tuhan agar

mendapat perlindungan, keselataman dan kesejahteraan dalam menjalani kehidupan.

C.    Unsur Pendidikan dan Ekonomi

Unsur pendidikan yang terkandung dalam kebudayaan kebo-keboan ini adalah

kekeluargaan, ekonomi dan religi.Unsur kekeluargaan karena dalam upacara adat kebo-

keboan banyak melibatkan banyak orang dari berbagai kalangan, sehingga menumbuhkn rasa

gotong royong dan solidaritas antar warga yang menjadi bagian dalam upacara adat ini.

Unsur ekonomi karena dana yang dibutuhkan untuk upacara ini tidak sedikit maka

banyak sumbangan yang diberikan oleh pemerintah banyuwangi dan dari sponsor lainnya dan

hasil dari upacara ini dibuat untuk membangun desa serta diberikan kepada warga sekitar

yang membutuhkan dan anak yatim piatu, tidak lupa sebagian hasil dari upacara adat kebo-

keboan juga masuk ke dalam kas keuangan kabupaten Banyuwangi. Sedangkan unsur

pendidikan religi karena adanya ritual-ritual dalam upacara ini, seperti berdoa, bersaji, makan

bersama makanan yang telah disucikan dengan doa.


BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Ritual Kebo-Keboan adalah salah satu ragam seni budaya tradisi Banyuwangi

disamping Ritual Seblang, Petik Laut, Rebo Pungkasan, Endog-endogan, Barong Ider Bumi

yang telah diagendakan secara rutin oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. "Kebudayaan

berbasis lokal yang bernilai luhur ini akan tetap kita lestarikan dengan penataan yang lebih

komprehensif dan suistanable agar menumbuhkan rasa apresiatif masyarakat terhadap nilai-

nilai tradisi," ungkap drh H Budianto, Msi, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata

Kabupaten Banyuwangi.

            Penerapan kebudayaan kebo-keboan ini yang diajarkan dalam sekolah adalah

bagaimana kita sebagai makhluk bumi harus menjaga dan merawat semua hasil bumi agar

tidak ada wabah penyakit yang datang akibat ulah manusia.

            Secara garis besar, upacara adat Kebo-keboan adalah bentuk rasa syukur warga desa

Alasmalang kepada bumi. Selama ini, bumi dinilai telah memberikan banyak hal bagi

kehidupan warga desa itu. Mulai tanah yang subur dan mudah ditanami, cuaca yang

mendukung, hingga dataran yang indah. Belum lagi harmoni kehidupan semua makhluk

hidup di kawasan itu yang tertata harmonis. Kebo-keboan merupakan salah satu aset upacara

tradisi yang dimiliki Banyuwangi. Kita sebagai masyarakat harus mendukung dan ikut

melestarikan kebudayaan ini.

      
DAFTAR PUSTAKA

Purwaningsih, Ernawati. 2007. “Kebo-keboan, Aset Budaya di Kabupaten  Banyuwangi”,


dalam Jantra Vol. 2 No. 4. Desember 2007. Yogyakarta: Balai    Pelestarian Sejarah dan Nilai
Tradisional Yogyakarta.
Wahjudi Pantja Sunjata, 2007. Fungsi dan Makna Upacara Tradisional Kebo-
keboan.        Yogyakarta: Eja Publisher.
Nugroho, D Imam. (2010). Kebo-keboan Banyuwangi. Diakses pada 16 agustus
2010  pada http://dotcomcell.com/BANYUWANGIONLINE/KEBOKEBOAN/
Nurullah, Ahmad. (2009). Tradisi Kebo-keboan Ritual Khas Jawa Using. Diakses  pada 16
agustus
2010 pada http://www.forumbudaya.org/index.php
option=com_content&task=view&id=422&Itemid=1

Anda mungkin juga menyukai