Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

LARUNG SESAJI DALAM PRESPEKTIF ISLAM

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Islam dan Budaya Lokal

Dosen Pengampu : Zaenal Arifin, M. S. I

Disusun Oleh :

Nama : SHELA ARIE MUTIA

NIM : 2110110052

Kelas : PAI B1AIR

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

FAKULTAS TARBIYAH

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

TAHUN PELAJARAN 2021


A. PENDAHULUAN

Masyarakat Jawa memiliki berbagai cara dalam mengungkapkan rasa syukur mereka
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Salah satunya adalah di Jepara, Jawa Tengah khususnya di
Desa Ujungbatu. Salah satu wujud rasa syukurnya adalah dengan menggelar upacara atau
ritual larung saji atau lomban. Ritual ini merupakan bentuk sedekah alam yang dilakukan
sebagai perwujudan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan rejeki
terutama dalam bentuk hasil bumi bagi masyarakat. Selain itu, upacara ini juga dimaksudkan
sebagai bentuk permohonan rejeki dan keselamatan.
B. PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN
Dalam Kamus Besar Bahasa (KBBI) kata Larung adalah membiarkan hanyut
atau menghanyutkan, sedangkan Saji adalah persembahan sajian berupa makanan
atau benda lain. Larung saji adalah menghanyutkan persembahan berupa makanan
atau benda lain dalam upacara keagamaan dengan simbolis.
Larung sesaji atau pesta lomban merupakan sebuah tradisi sedekah laut yang ada
di Desa Ujungbatu Kabupaten Jepara yang dilaksanakan setiap tanggal 8 Syawal atau
1 minggu setelah Idul Fitri.Istilah lomban mengandung makna bersenang-senang.

2. SEJARAH
Menurut sejarah, tradisi lomban sudah berjalan sejak 1 abad yang lalu, dimulai
sekitar 1920an. Mayoritas masyarakat Ujungbatu bermatapencaharian sebagai nelayan.
Sebagai wujud syukur, masyarakat setempat mengadakan lomban, yaitu dengan
melarungkan sesaji ke laut.

3. PELAKSANAAN TRADISI
Pelaksanaan tradisi berawal dari tempat pelelangan ikan (TPI) Ujung Batu dan
berakhir di dermaga Pantai Kartini. Dalam acara itu, ada rangkaian prosesi yang
dilakukan.
Awal rangkaian lomban dimulai dengan dengan berziarah ke makam Cik Lanang
dan Ziarah ke makam Mbah Rongggo yang merupakan sesepuh daerah pesisir pantai
tersebut. Kegiatan ziarah ini dilakukan pada H-1 lomban.
Kegiatan selanjutnya adalah wayangan. Pada malam harinya sebelum prosesi
larungan, di TPI Ujung Batu dilangsungkan pagelaran wayang kulit.
Keesokan harinya atau pada tanggal 8 Syawal, yaitu prosesi pelarungan kepala
kerbau. Kepala kerbau dipilih karena merupakan salah satu jenis hewan yang disebut
“Rojo Koyo” yang artinya kepunyaan seseorang atau sebagai hewan ternak. Yang
dilarungkan hanyalah kepala kerbaunya saja, sedangkan dagingnya dan bagian tubuh
yang lain dimasak kemudian dibagi-bagikan kepada masyarakat setempat. Upacara
pemberangkatan sesaji kepala kerbau yang dipimpin oleh bapak bupati Jepara,
sebelum diangkut ke perahu diadakan doa-doa oleh pemuka agama,, kemudian
diangkat oleh para nelayan ke perahu untuk dilarung ke laut.
4. MAKNA TRADISI
Tradisi Larung sesaji atau lomban tersebut memiliki beberapa makna (nilai-nilai)
yaitu :
1. Religius
Pesta lomban bertujuan untuk mewujudkan rasa syukur kepada Tuhan Yang
Maha Esa atas kelimpahan rizki dan untuk keselamatan para nelayan dalam
melaut.
2. Edukasi
Tradisi lomban juga bertujuan untuk menjaga komunikasi antar masyarakat
sekitar agar selalu tercipta kehidupan yang rukun serta damai satu sama lain.
Dengan begitu antar masyarakat terjadi saling kontak dan saling
bersinggungan sehingga dapat terjaga keharmonisan antar masyarakat.
Tradisi pelarungan kepala kerbau diasumsikan oleh masyarakat Ujungbatu
sebagai simbol saling menghargai dan saling menguntungkan antara
masyarakat dengan alam yaitu laut, sebagai wujud pelestarian alam tujuannya
untuk memberi makan ikan-ikan yang ada di laut agar tidak habis sehingga
para nelayan masih bisa mencari ikan dilaut.
3. Ekonomis
Dengan diadakannya tradisi lomban ini masyarakat berdatangan untuk
merayakannya, tidak hanya warga Ujungbatu saja tetapi masyarakat Jepara
juga ikut merayakannya. Dengan begitu, para pedagang dapat menjajakan
dagangannya sehingga mereka mendapatkan penghasilan dari tradisi lomban
ini.
5. PRESEPSI MASYARAKAT TERHADAP TRADISI TERSEBUT
Menurut Ibu Lia Supardianik (Kasi Sejarah Kepurbakalaan Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Jepara), momen lomban ini dipandang sebagai wujud rasa syukur kepada
Allah SWT. Acara larungan adalah tradisi dan tidak ada unsur menyia-nyiakan
makanan. Rangkaian proses lomban termasuk pelarungan adalah kearifan lokal dan
sudah menjadi warisan budaya. Sebagai masyarakat, kita berusaha untuk tetap
melestarikan budaya. Selain itu, juga ada rangkaian acara ibadah untuk berdoa kepada
Alllah SWT.
C. SIMPULAN

Pesta lomban merupakan tradisi masyarakat Ujungbatu Jepara yang dilaksanakan pada
tanggal 8 Syawal atau 7 hari setelah hari raya Idul Fitri. Tradisi lomban ini ditandai dengan
berbagai prosesi antara lain acara selamatan, ziarah, penyelenggaraan wayang kulit, larungan,
festival kupat lepet, hiburan, dan lain-lain. Acara ini dimaknai sebagai acara untuk memupuk
kebersamaan, kerukunan dan keguyuban sesama masyarakat.

Dalam prespektif Islam larung sesaji atau lomban merupakan sebagai ungkapan rasa
syukur kepada Allah swt atas kelimpahan rizki dan keselamatan para nelayan dalam melaut
dan sebagai wujud pelestarian alam.
D. REFERENSI

Husnah, Siti Umi Mar'atul, dkk. 2019. Larung Kepala Kerbau Sebagai Wujud
Pelestarian Laut (Studi Kasus Tradisi Lomban) Di Desa Ujungbatu Kecamatan Jepara
Kabupaten Jepara. Jurnal Ijtimaiya, 3 (2) 155-157.

Alamsyah. 2013. Budaya Syawalan atau Lomban di Jepara. Universitas Diponegoro.

Wawancara Ibu Lia Supardianik (Kasi Sejarah Kepurbakalaan Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Jepara), wawancara pada tanggal 10 November 2021.

Anda mungkin juga menyukai