Anda di halaman 1dari 10

Ni Made Novi Dwi Yantari

11 / Nim 2211031423
Rombel 28

UNIKNYA TRADISI NGUSABA DODOL (DIMEL) DI DESA SELAT


KARANGASEM UNTUK MEMOHON HASIL PANEN LEBIH BAIK
Abstrak
Bali yang terkenal dengan berbagai tradisi upacaranya, tidak terlalu mewah
namun membuat perhatian wisatawan asing kagum seperti salah satunya yaitu Ngusaba
Dimel. Ngusaba Dimel atau lebih dikenal dengan sebutan Ngusaba Dodol adalah salah
satu upacara persembahan kepada leluhur untuk memohon agar hasil panen menjadi
lebih baik. Tradisi yang digelar 1 tahun sekali saat menjelang hari raya Nyepi ini
memiliki rangkaian kegiatan yang dilalui sebelum mencapai puncak acara yaitu seperti
membuat dodol (jajan/pangan khusus untuk ngusaba),jaje uli, bantal,tipat dan banten
sokan (banten khusus yang dibuat untuk persembahan dipuncak acara). Banten Sokan
adalah banten sebagai wujud terimakasih kepada leluhur Ida Sang Hyang Widi. Sokan
memiliki 2 macam, yaitu ada yang di gotong oleh laki laki dan ada yang di usung oleh
ibu ibu atau kaum perempuan. Sokan sendiri tidak boleh di ubah ubah maksudnya apa
yang di isi sejak awal harus tetap diisi di ngusabe selanjutnya. Sokan pada intinya terdiri
dari sarwa telu (Tiga macam) seperti jajanan tiga macam dan buah buahan 3 macam.
Buah yang di utamakan adalah buah lokal. Seperti syarat tradisi ini yaitu lokal genius.
Selain banten sokan tersebut, setiap masyarakat (kepala keluarga) wajib membuat
banten cacakan yang dipersembahkan di setiap pelinggih yang dimiliki baik dirumah,
dikebun ataupun di pura desa.
Kata kunci : Ngusaba Dodol, Ngusaba Dimel, Banten Sokan, Upacara, Tradisi
Abstrack
Bali, which is famous for its various ceremonial traditions, is not too luxurious but
makes the attention of tourists amazed as one of them is Ngusaba Dimel. Ngusaba
Dimel or better know as Ngusaba Dodol is one of the offerings to the ancestors to beg
for better harvest. This tradition, which is held once a year before Nyepi, has a series of
activities to go throught before reaching the peak of the event, such as making dodol
(special snacks/food for ngusaba),jaje uli, bantal, tipat and banten sokan(special
offerings made for offerings). Banten Sokan is a form gratitude to the ancestors of Ida
Sang Hyang Widi. Sokan has 2 kind, namely there are carried out by men and some are
carried by mothers or women. Sokan it self should not be changed, meaning that was in
from the beginning must still be filled in the next ngusabe. Sokan basically consist of
srwa telu such as there kinds of snacks and 3 kinds of fruits. The fruit that is prioritized
is local fruit. As the requirement of thiis tradition, namely local genius. In addition to
the sokan offerings, every community (head of the family) is obliged to make a banten
cacakan offering which is offered at verry pelinggih owned either at home, in the garden
or st village tample
Keywords: Ngusaba Dodol, Ngusaba Dimel, Banten Sokan, Ceremony, Tradition

I. PENDAHULUAN
Pulau bali yang dikenal juga dengan sebutan pulau dewata ini merupakan pulau
yang terkenal dengaan berbagai budaya, adat istiadat, dan tradii yang beraneka
ragam. Selain itu juga Bali memiliki daya tarik tersendiri baik dari segi keindahan
alam, keramahan penduduknya maupun kebudayaan yang tidak bisa lepas dari
kehidupan masyarakat Bali. Banyak kebudayaan bali yang merupakan sudah bagian
dari kebudayaaan indonesia yang sudah dikenal sampai ke mancan negara.
Keunikan tersebut dikarenakan kebudayaan Bali didasarkan atas kepercayaan
keagamaan yang kuat, yaitu kepercayaan agama Hindu. Keunikan yang menjadi
daya tarik tersendiri bagi wisatawan adalah tradisi tradisi kuno yang tersebar
diseluruh pelosok desa di Bali. Terkait dengan kebudayaan tersebut masyarakat bali
memiliki berbagai tradisi yang beraneka ragam. Tradisi adalah suatu proses
pewarisan atau peenerusan norma norma, adat istiadat, serta kaidah kaidah. Setiap
daerah diBali memiliki kekhasan tradisi masing masing yaitu seperti tradisi omed
omedan dari tengah kota Denpasar, tradisi Mekare – Kare atau perang pandan dari
Desa Tenganan, Karangasem, tradisi Mekotek dari Desa Munggu, Badung, tradisi
Gebug Ende Seraya atau perang rotan dari Desa Seraya, Karangasem dan masih
banyak lagi tradisi yang dimiliki setiap Desa di Bali.
Masyarakat Bali biasanya hidup secara berkelompok dan terbentuk dalam suatu
desa adat atau biasanya disebut dengan desa pakraman sebagai salah satu kesatuan
masyarakat. Kesatuan tersebut memilikki tradisi dan tata krama pergaulan hidup
masyarakat umat Hindu tersendiri dalam ikatan khayangan tiga dan mempunyai
wilayah tertentu begitu juga dengan tradisi setiap daerah tentu berbeda beda.
Beragam tradisi yang mencerminkan adat Bali menarik banyak orang luar untuk
melihat lebih dekat keunikan budayanya. Tradisi Hindu dapat dikatakan “nafas” dari
budaya Bali sendiri. Mengingat masyarakat Hindu menganut konsep Tri Hita
Karana yang memiliki arti tiga penyebab kebahagiaan atau kesejahteraan. Oleh
sebab itu upacara upacara yang menjadi keseharian masyarakat hindu ditunjukkan
untuk mencapai kesejahteraan dan keharmonisan tersebut.
Menurut Lontar Dewa Tattwa Ngusaba berasal dari kata Usaba yang berarti
melaksanakan upacara selamatan desa atau subak.Ada beberapa jenis ngusaba,
bergantung pada adat dan tradisi masyarakat desa setempat. Di tiap-tiap desa
biasanya melaksanakan ngusaba nini. Ngusaba ini bertujuan untuk ngentegang
toya/tirtha “menegakkan tirta sebagai perlambang kesejahteraan dan kesejukan”.
Ngusaba desa bertujuan untuk ngentegang bumi atau menyejahterakan dunia”, agar
tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Ada beberapa tahapan upacara Ngusaba
Dodol, antara lain persiapan upacara di Pelataran Pura Dalem Desa Adat Duda, dan
di masing-masing keluarga (RT). Di Pura Dalem biasanya dilaksanakan
sangkepan/rapat untuk menentukan hari, serta masing-masing warga mengeluarkan
urunan apa saja. Sangkepan biasanya dilakukan dua bulan sebelum upacara
dilaksanakan. Sangkepan ini menghasilkan kapan pelaksanaan ngusaba.Pelaksanaan
ini tidak bisa ditentukan berdasarkan dua acuan yaitu Ngusaba Besakih (Dalem
Puri), dan Ngusaba Desa Selat.Ngusaba Besakih biasanya jatuh pada sasih Kapitu
atau sekitar bulan Januari, sedangkan Ngusaba Selat biasanya jatuh pada Sasih
Kawulu atau sekitar bulan Februari. Berdasarkan kedua ngusaba tersebut, barulah
bisa ditentukan kapan pelaksanaan Ngusaba Dodol apakah 28 atau 30 hari setelah
Ngusaba Selat, dengan berpatokan pada Triwangsa Kajeng,beberapa hari sebelum
hari raya Nyepi, sekitar bulan Maret.
Dalam mengumpulkan data di lapangan, peneliti menggunakan metode
observasi dan metode wawancara. Metode obervasi penting karena peneliti
mengamati, dan mencatat semua fenomena- fenomena yang diselidiki (Hadi,
1990:136). Observasi yang dilakukan adalah observasi langsung yakni peneliti
melibatkan diri secara langsung dalam kehidupan masyarakat sebagai objek
penelitian. Wawancara dilakukan adalah wawancara terstruktur untuk mengetahui
penyimpangan dan penafsiran yang dianggap tidak lazim oleh peneliti.Kedua
metode ini dibantu dengan teknik catat, teknik rekam dan dokumentasi. Setelah data
diperoleh, pekerjaan selanjutnya berupa analisis data. Data yang telah direkam akan
didengarkan dan ditranskripsikan dengan teknik catat. Data yang telah
ditranskripsikan disajikan menggunakan metode formal dan informal. Metode
formal yaitu berupa penyajian hasil analisis data dengan perumusan lambang-
lambang, tabel-tabel, dan lain sebagainya. Metode informal adalah penyajian kaidah
dengan rumusan kata-kata biasa.
II. PEMBAHASAN
Warga Karangasem Bali dikenal setia memegang teguh tradisi warisan
leluhur. Salah satunya adalah Ngusaba Dalem. Sarana dalam utama dalam
upacara ini adalah dodol, oleh karena itu lebih banyak orang mengenal tradisi ini
dengan sebutan Ngusabe Dodol. Tradisi ngusaba dodol ini adalah salah satu
tradisi dari Kabupaten Karangasem lebih tepatnya di Kecamatan Selat. Tradisi
ini adalah termasuk salah satu aci khusus dan besar yang digelar. Keunikan
tradisi ini tidak hanya membuat masyarakat Bali datang berbondong bondong
namun juga wisatawan asing yang sengaja datang untuk menonton tradisi
ngusaba dodol ini. Ngusaba Dodol atau Ngusaba Dimel adalah tradisi yang
diyakini ada sejak jaman adat Bali atau kerajaan Bali dulu. Tradisi yang
dilakukan setiap setahun sekali yaitu di saat Tilem Kesanga di Pura Dalem Selat
atau tepat sehari sebelum Hari Raya Nyepi atau di hari pengerupukan. Tradisi
atau upacara persembahan kepada leluhur untuk memohon agar hasil panen
menjadi lebih baik dan persembahan rasa syukur atas hasil panen yang
berlimpah.
Menurut Lontar Dewa Tattwa Ngusaba Desa diselenggarakan secara
bersamaan untuk kesuburan pertanian, tegaknya pemerintah, dan terciptanya
dunia yang damai dan tentram. Selain itu juga kegiatan ini bersifat universal,
tetapi tetap dikemas dalam koridor budaya desa adat setempat. Awalnya ngusaba
dodol ini merupakan ritual syukuran masyarakat Desa Selat yang dilakoni di
perkebunan masing masing milik warga setempat, atau oleh masyarakat
setempat disebut dengan Usaba/Ngusaba di Mel(kebun). Upacara ini merupakan
bentuk rasa syukur masyarakat yang ditunjukkan kepada Dewi Sri sebagai
manifestasi tuhan (Ida Sang Hyang Widi) sebagai dewi kesejahteraan, atas
berkah pangan yang berlimpah selama ini.
Setelah penentuan hari pelaksanaan Ngusaba Dodol, diutuslah seseorang
yang bertugas untuk menginformasikan kepada masyarakat Desa Adat Duda,
melalui sangkepan banjar Patus yang diadakan pada hari sabtu Tumpek.Dengan
disebarkannya berita upacara Ngusaba Dodol tersebut, masyarakat sudah mulai
bersiap-siap untuk melaksanakan semua bahan upacara ngusaba yang sudah
ditetapkan.Persiapan untuk sarana upacara/sesajen dan keperluan upacara yang
lainnya dikerjakan di pura dalem desa setempat, juga dikerjakan di masing-
masing rumah anggota Krama Desa Pitulikur yang disebut dengan pesu-
pesuan.Persiapan ini dikerjakan di rumah dan dibantu oleh keluarga Krama Desa
Pitulikur. Pada hari pelaksanaan upacara, krama desa Pitulikur yang laki-laki,
dini hari sudah bersiap di Pura Dalem untuk memotong babi atau sapi, yang
setiap tahun nya bergantian sebagai sarana upacara. Satu kali menggunakan
babi, tahun berikutnya menggunakan sapi, begitu seterusnya. Namun ada mitos
yang berkembang di masyarakat desa Duda, jika babi yang dipotong sebagai
sarana upacara maka akan turun hujan, tetapi apabila sapi yang dipotong sebagai
sarana upacara maka akan panas, dan ini sudah terbukti secara turun temurun.
Kegiatan memotong sarana upacara baik berupa babi, sapi, ayam, bebek
dan yang lainnya di kenal dengan istilah ‘nampah’ yang khusus dipergunakan
sebagai sarana ngusaba dodol, ada juga sebagian olahan dibagi-bagikan kepada
semua anggota Krama Desa Pitulikur yang disebut dengan ‘pica’ untuk sanak
keluarganya di rumah. Kegiatan ini sudah harus selesai sebelum matahari
terbit.Masyarakat desa adat Duda yang sudah mengetahui rencana pelaksanaan
ngusaba Dodol ini melalui sangkepan banjar Patus, mulai mengadakan
persiapan, baik berupa sarana upacara maupun persiapan diri masing-
masin.Kemudian di rumah masing-masing semua anggota keluarga
mempersiapan semuanya sesuai dengan tugas dan peranan anggota masayarakat
itu sendiri.
Banyak tahapan atau kegiatan yang dilakukan untuk melaksanakan
upacara ngusaba dodol ini. Kegiatan yang sudah pasti dilaksanakan pertama
adalah membuat dodol yang menjadi salah satu pangan atau jajanan khusus
untuk upacara ngusaba ini. Namun dodol yang dibuat ini tidak seperti yang kita
temukan seperti dipasar pasar yang berukuran kecil dan beratnya hanya sekitar
100gr namun pada ngusabe dodol ini kita bisa menemukan dodol yang beratnya
mencapai 100-200kg itulah mengapa dodol tersebut harus ditandu puluhan lelaki
dewasa. Namun selain itu kita juga dapat menemukan berbagai ukuran dodol
yang di haturkan. Untuk dodol ‘raksasa’ tersebut hanya dihaturkan oleh
beberapa orang yang memiliki kaul, misalnya kalau sembuh dari sakit atau
kehidupannya membaik maka akan memberikan persembahan kepada Ida Betara
Durga. Walaupun dodol terebut terlihat besar, namun proses pembuatan dodol
ini sama sekali tidak memberatkan justru membuat erat hubungan kekeluargaan
mereka.
Dodol ini dibuat dengan bahan pada umumnya seperti ketan, beras, gula
dan garam, namun jika dodol yang dibuat berukuran besar maka pembuatan
dodol akan dikerjakan secara terus menerus selama empat hari. Seperti yang kita
ketahui selama pembuatan dodol harus terus diaduk agar tidak gosong. Pada saat
proses pengadukan inilah yang dilakukan secara bergantian antar keluarga
sampai akhirnya dodol tersebut benar benar matang. Jika sudah didinginkan
maka dodol tersebut akan dibungkus menggunakan pelepah pinang dan dihias
menggunakan rangkaian bunga sehingga akan terlihat menarik. Kemudian
barulah dodol siap ditandu untuk dipersembahkan ke Pura dalem. Setelah
persembahan dodol akan kembali ditandu dibawa kerumah sang pemilik dan
akan dinikmati beramai ramai.

Yang kedua sebelum tradisi dilakukan maka jero desa akan memerintahkan
sebanyak 27 orang laki laki untuk berburu pisang kayu (biu kayu) di kebun –
kebun penduduk. Perburuan tersebut dilakukan di pagi hari sekitar 06.30 wita.
Namun pisang kayu ini tidak bisa sembarangan yang digunakan melainkan
jumlah buahnya harus 17 buah dalam satu ‘ijas’ dan dengan kondisi yang mulus
tanpa cacat sedikitpun. Buah pisang ini juga menjadi pertanda jika tidak
ditemukan buah pisang sesuai syarat yang ditentukan maka seolah akan menjadi
pertanda kalau ngusabe ini tidak bisa dilakukan. Kenapa tidak bisa dilakukan?
Karena buah pisang kayu ini menjadi simbol ‘nyejerang’ Ida Betara Durga
sehingga menjadi persyaratan wajib sekaligus menjadi proses awal hingga akhir
usaba ini dilakukan. Sedangkan apabila pisang kayu telah ditemukan maka
selanjutnya akan disucikan dan diletakkan di bagian jeroan pura. Dan apabila
persembahyangan yang dipuput oleh Ida Pedanda telah usai, di sore harinya
pisang kayu akan ditanam sebagai pertanda mengembalikan lagi ke bumi.
Yang ketiga adalah masyarakat juga akan mulai metanding beberapa
banten yang juga salah satu syarat wajib yang harus ada pada saat upacara atau
usabe dilakukan yaitu banten sokan dan banten cacakan. Banten sokan yang
tidak kalah rumit seperti membuat dodol yang sudah dijelakan sebelumnya.
Sokan memiliki 2 macam yaitu yang digotong atau ditandu oleh laki laki dan
ada juga yang di usung oleh ibu ibu atau anak perempuan yang keduanya akan
disembahkan saat puncak ngusaba di Pura Dalem. Sokan sendiri
dipersembahkan kepada leluhur dan memiliki arti sujud bakti kepada
pratisentane atau keturunan kepada sang leluhur. Dalam metanding banten sokan
tidak boleh sembarangan artinya apa yang di isi sejak awal ngusabe maka akan
dilanjutkan di ngusabe tahun tahun berikutnya. Banten tersebut harus berisi
beberapa jenis buah buahan walaupun buah tersebut sudah langka di jaman
sekaarang. Sokan intinya terdiri dari sarwa telu (3 macam) seperti jajanan 3
macam, dan buah buahan 3 macam. Buah yang digunakan harus buah lokal
sesuai dengan maknanya ritual dengan syarat lokal genius. Setiap rumah tangga
atau warga yang sudah berumah tangga akan akan mempersembahkan banten
sokan.
Selain wajib metanding banten sokan, warga juga wajib metanding
banten cacakan. Banten yang akan dihaturkan disetiap pelinggih yang ada
dikawasan Desa Pekraman. Maturan banten cacakan umumnya dilakukan dipagi
hari namun semakin kesini banyak warga yang mengaturkannya di sore hari
menjelang puncak ngusaba. Warga khususnya anak perempuan atau ibu ibu akan
berkeliling ke semua pura mulai dari Pura Paibon atau Dadia, di Kebun, di Pura
Desa Dan Pura Dalem. Banten cacakan ngusaba ini juga khusus karena ada
dodol, jaje uli, krupuk, tempani dan buah buahan. Selain itu karena upacara
ngusaba dodol ini merupakan upacara sakral maka banyak warga lokal yang
merantau akan pulang kampung untuk melaksanakan kegiatan ini.
Dan yang ke empat adalah sate. Masyarakat juga akan mulai membuat
beberapa macam sate yaitu sate tusuk. Sate tusuk adalah sejenis sate yang
terbuat dari daging yang seperti namanya sate yang ditusuk dan diberikan
bumbu sedemikian rupa kemudian dibakar. Warna merah dari sate tusuk
dianggap sebagai persembahan kepada Dewa Brahma. Sate tusuk ini bermakna
Dewa Brahma, sebagai manifestasi Ida Shanghyang Widhi Wasa, sebagai dewa
Pencipta alam semesta. Secara filosofi agama Hindu Dewa Brahma berstana di
Selatan, dengan senjata Gada. Kedua Sate Oles, atau yang lebih dikenal dengan
sate lilit. Sate ini terbuat dari daging ayam dan daging babi, kemudian daging ini
dicincang halus kemudian dicampur dengan kelapa parut, dan ditambahkan
dengan gula merah. Sate ini perlambang Dewa Iswara, yang berstana di timur.
Ketiga Sate kuung, sate kuung adalah sate yang terbuat dari kulit babi yang
berisi sedikit lemak. Sate kuung ini dibuat melingkar dengan sedikit diukir,
kemudian digoreng. Di goreng karena tekstur kulit babi yang keras, dengan
sedikit lemak, yang agak susah dibakar, dan lebih dianggap awet. Sate kuung ini
sebagai perlambang Dewa Wisnu, yang berstana di Utara. Yang terakhir sate
gunting, sate ini terbuat dari ati atau jeroan babi. Sate ini juga di beri bumbu
seperti sate yang lainnya, kemudian di goreng. Sarana kelima adalah ongar-
ongaran, yang merupakan sarana pelengkap pada saat upacara ngusba
dodol.Fungsi dari ongar-ongaran ini adalah sebagai penambah estetika banten
yang dibuat.Bahan ongar-ongaran ini berupa bunga gemitir atau jepun yang
ditusuk dan dirangkai sedemikian rupa, kemudian diletakkan di atas sarana
banten naur sesangi, yaitu dodol.
Tidak hanya menyiapkan berbagai sarana upacara Ngusaba tersebut tapi
warga pekraman desa juga wajib melakukan beberapa tugas untuk menyambut
tradisi Ngusaba Dodol, yaitu pertama mekutik adalah mengadakan pembersihan
areal rumah tangga masing – masing, terutama tempat yang yang akan dijadikan
tempat persiapan upacara ngusaba dodol. Kedua Ngraras adalah kegiatan yang
dilakukan untuk mengumpulkan daun pisang kering yang akan digunakan untuk
membungkus jaje tempani dan bahan upacara lainnya. Ketiga Nodol, adalah
kegiatan membuat dodol, sebagai sarana upacara utama dalam ngusaba dodol.
Dodol terbuat dari tepung ketan, santan, dan gula merah. Keempat
Ngenyahnyah, berasal dari kata nyahnyah yang berarti menggoreng tanpa
minyak. Kegiatan ini untuk membuat jajan tempani.Tempani terbuat dari beras
ketan yang dicampur dengan gula aren, kemudian ketan itu dinyahnyah, dan
dibungkus menggunakan daun kraras. Kelima penampahan, adalah kegiatan
untuk memotong semua sarana upacara seperti: ayam, bebek, babi, ataupun sapi.
Kemudian semua sarana itu dibuat mejadi sarana upacara seperti sate tusuk, sate
lilit, sate oles, sate kuung, dan sate gunting. Semua sate itu memiliki makna
yang berbeda-beda. Kegiatan lainnya yang dilakukan oleh masyarakat desa
Selat, adalah Ngejot, Penyajaan, dan Nguling. Ngejot dilaksanakan dua hari
sebelum upacara, bertujuan untuk membagikan apa yang sudah dibuat kepada
anggota keluarga yang baru menikah. Penyajaan erat hubunganya dengan
membuat jajan lainnya sebagai sarana upacara tersebut, seperti jajan uli, tape,
dan yang lain- lainnya.Nguling merupakan kegiatan untuk membuat babi guling
yang dilaksanakan di Pura Dalem, sehari sebelum upacara dilaksanakan, namun
masyarakat terutama kaum laki-laki diharapkan kehadiranya di Pura untuk ikut
terlibat dalam acara nguling tersebut.
Rangkaian upacara ditutup pada sore sampai malam hari yang disebut
dengan nyajain. Bali mengenal istilah mesesangi atau kaul, apabila seseorang
sempat memiliki kaul atau sesangi maka ia wajib menghaturkan catu. Ada
beberapa jenis sot yang dihaturkan oleh masyarakat, namun yang lazim
dihaturkan adalah Takilan yang berupa dodol dengan beberapa ketentuan yang
disebut dengan catu. Catu yang biasa digunakan adalah selae catu (25 catu),
seket catu (50 catu), telung benang catu (75 catu), satus catu (100 catu) hingga
satak catu (200 Catu). Catu adalah ukuran berat bahan yang dipergunakan untuk
membuat takilan, 1 catu kurang lebih sebanyak 1,5 k. Kemudian takilan tersebut
diarak oleh anggota keluarga menuju pura dalem untuk naurin sesuai dengan apa
yang yang mereka telah kaulkan sebelumnya.

III. KESIMPULAN
Berdasarkan data di atas, maka dapat disimpulkan bahwa setiap desa adat
yang ada di Bali memiliki upacara yang khas, dan tidak dimiliki oleh desa adat
yang lainnya. Ada beberapa makna yang didapatkan pada sarana upacara yang
dipergunakan, antara lain: Dodol yang dominan berwarna hitam, bermakna
sebagai perlambang Dewa Wisnu, sebagai Dewa Kemakmuran. Jaja uli yang
lebih dominan berwarna putih sebagai perlambang Dewa Iswara, yang bermakna
sebagai perlambang Dewa Iswara, atau Dewa Kemakmuran, Jajan tempani, yang
berwarna merah lebih bermakna sebagai Dewa Brahma sebagai Dewa
Pemelihara. Seperti yang telah dipaparkan di atas, tentang sarana upacara, urutan
upacara, dan simbol-simbol yang terdapat dalam sarana upacara Ngusaba
Dodol..
Ngusaba Dimel atau lebih dikenal dengan Ngusaba Dodol ini adalah
salah satu tradisi unik yang dimiliki oleh Kecamatan Selat di Kabupaten
Karangasem. Tradisi yang dilaksanakan setahun sekali pada saat tilem kesanga
di Pura Dalem Selat. Tradisi yang termasuk kedalam aci khusus dan besar.
Tradisi yang memiliki keunikan yang menjadikan dodol sebagai sarana utama
untuk upacara yang memiliki berbagai ukuran mulai kecil sampai ‘raksasa’ yang
beratnya mencapai 100-200kg. Tidak hanya dodol tradisi ini juga menggunakan
beberapa sarana khusus yaitu seperti pisang kayu yang harus berjumlah 17 buah
dalam saatu ijas yang digunakan sebagai simbol Ida Betara Durga, Banten Sokan
yang juga dipersembahkan pada saat upacara ngusaba yang memiliki 2 macam
yaitu sokan yang digotong oleh laki laki dan sokan yang di usung oleh ibu ibu
atau anak perempuan. Banten yang menggunakan sarwa 3 (3 macam) seperti 3
macam buah buahan dan jajanan. Banten Cacakan yang dihaturkan di semua
pelinggih mulai dari rumah, kebun, pura dadia dan pura desa. Yang terahir
adalah beberapa macam sate yang memiliki simbolnya masing masing.
Tradisi ini tidak hanya menyiapkan beberapa banten dan dodol sebagai
sarana utama tetapi juga masyarakat melakukan beberapa kegiatan yang wajib
dilakukan menyambut upacara ngusaba dodol ini seperti
mekutik,ngraras,nodol,ngenyahnyah, penampahan,penyajaan, ngejot dan
nguling. Ngusaba Dimel atau Ngusaba Dodol ini dipersembahkan kepada
leluhur atas rasa syukur karena hasil panen yang berlimpah ataupun membayar
sesangi atau kaul. Tidak ada yang merasa diberatkan daalam melakukan tradisi
ini malah membuat rasa kekeluargaan semakin erat. Mengapa tidak, membuat
dodol berukuran raksasa membutuhkan tenaga yang lumayan banyak maka dari
situ lah semua warga atau keluarga kerabat membantu dalam pembuatan dodol
tersebut yang bisa sampai menghabiskan waktu 4 hari. Tradisi yang sangat unik
hingga membuat banyak wisatawan asing dan wisatawan lokal datang hanya
untuk menonton tradisi ngusabe dodol tersebut. banyak kekurangan yang harus
diperbaiki, baik dalam hal penyajian, penulisan, dan analisis data, maka saran
dan masukan dari Bapak/Ibu kami harapkan untuk perbaikan tulisan ini
nantinya.

IV. DAFTAR GAMBAR


DAFTAR PUSTAKA
Riana, I ketut. Citrawati, Putu Evi Wahyu. Aryani, I Gusti Agung Istri. 2017.
“NGUSABA DODOL DI DESA DUDA TIMUR, SELAT KARANGASEM:
KAJIAN SEMIOTIK SOSIAL” dalam Internasional Seminar On Language
Maintenance And Shift
Oktariyani, Tiara . 2020. Pengelolaan home industri kue cannisa cakes, tebing tinggi
prpvinsi jambi dimasa pandemi covid-19.
Dikutip dari
https://jamberita.com/read/2020/09/09/5961743/pengelolaan-home-industri-kue-
%E2%80%9Cannisa-cakes%E2%80%9D-tebing-tinggi-provinsi-jambi-dimasa-
pandemi-covid19/ . Diakses pada 23 Desember 2022.
Riadi, Muchlisin . 2019. Home industri ( fungsi, manfaat, jenis usaha, keunggulan dan
kelemahan).Dikutip dari https://www.kajianpustaka.com/2019/11/home-industri-
fungsi-manfaat-jenis-keunggulan-dan-kelemahan.html . Diakses pada 23 Desember
2022.
Ananjaya, I Gusti Ngurah. 2018. Usaba Dodol Desa Selat Duda Karangasem.
https://id.scribd.com/document/405261816/Usaba-Dodol-Desa-Selat-Duda-
Karangasem-docx . Diakses pada 27 Desember 2022.
“ Ngusaba Dodol” Untuk Memohon Hasil Panen Lebih Baik. 2018. Dikutip dari
https://m.tribunnews.com/amp/nasional/2018/02/19/ngusaba-dodol-untuk-memohon-
hasil-panen-lebih-baik . Diakses pada 27 Desember 2022.
Tradisi Usaba Dodol. 2014 .Dikutip dari
https://kabardewata.com/berita/berita-utama/sosial/tradisi-usaba-dodol.html . Diakses
pada 27 Desember 2022.

Anda mungkin juga menyukai