Anda di halaman 1dari 20

Kajian Filosofis pada Perupaan Kujang Ciung Khas Sunda

Sastia Shopa Agida

Program S1, Pengkajian Seni, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI)


Jl. Buah Batu No. 212, Bandung
sastiashopa98@gmail.com
083825339159

Abstrak
Kujang merupakan pusaka hasil karya cipta budaya yang khas dari masyarakat
Sunda. Kujang lahir dari konsep kesuburan atas interpretasi masyarakat peladang
dan petani sebagai perwujudan dari rasa syukur mereka kepada Tuhan YME.
Setiap daerah memiliki pengaruh geografis, ekonomi, historis yang berbeda-beda,
maka dari itu Kujang disetiap wilayah pun akan berbeda dengan wilayah lainnya.
Disini penulis mengambil Kujang Ciung khas Sunda sebagai objek penelitian.
Kujang Ciung merupakan perwujudan dari nilai-nilai luhur ajaran falsafah dan
filsafat Sunda, sehingga membentuk identitas masyarakat Sunda. Penulis memilih
mengkaji Kujang Ciung dari aspek falsafah dan filsafat karena tiap-tiap bentuk,
tiap-tiap bagian, tiap-tiap material yang digunakan untuk membuat kujang
memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat Sunda.

Kata Kunci: Kujang, Masyarakat Sunda, Simbol

Abstract
Kujang is a heritage created by cultural creations that are typical of Sundanese
society. Kujang was born from the concept of fertility over the interpretation of
the cultivator community and farmers as a manifestation of their gratitude to God
Almighty. Each region has different geographical, economic, historical influences,
therefore Kujang in each region will be different from other regions. Here the
author takes the typical Sundanese Kujang Ciung as the object of research.
Kujang Ciung is an embodiment of the noble values of the teachings of
philosophy and Sundanese philosophy, thus forming the identity of the Sundanese
people. The author chose to study Kujang Ciung from philosophical and
philosophical aspects because each form, each part, each material used to make
kujang has a deep meaning for the Sundanese people

Keywords: Kujang, Sundanese Society, Symbol

PENDAHULUAN

Kujang merupakan salah satu produk budaya masyarakat Sunda yang


memiliki peran penting dan merupakan salah satu sarana mendapatkan suatu
hubungan dengan masalalu. Sebagai produk budaya materi, kujang dapat
dipandang sebagai visualisasi ide, norma, nilai dan etika, serta mencerminkan
perilaku masyarakat. Dalam konteks seperti itu, kujang merupakan refleksi
perilaku yang mencerminkan karakter identitas masyarakat pendukungnya, yaitu
masyarakat sunda. Oleh karena itu melalui kujang dapat dilihat sejauh mana
tingkat pemahaman nilai-nilai ketuhanan, tatanan masyarakat, tingkat kehidupan,
tingkat penguasaan teknologi, mata pencaharian, dan lain sebagainya.

Luasan wilayah Sunda (Jawa Barat) dengan tingkat kreativitas masyarakat


yang berbeda-beda serta dipengaruhi pula oleh unsur-unsur lainnya seperti: status
sosial, keadaan geografis, aspek historis, politik, ekonomi, dan lainnya,
menyebabkan produk kujang di satu daerah Sunda akan berbeda dengan produk
kujang di daerah Sunda lainnya. Misalnya bentuk kujang di daerah Bandung akan
berbeda dengan bentuk kujang di daerah Garut.

Perbedaan dari segi bentuk, fungsi dan nilai pada bentuk budaya kujang
memiliki dasar budaya yang mencerminkan karakteristik dari identitas masyarakat
pendukungnya. Kujang yang memiliki jenis dan kegunaan yang sama sekalipun
akan menampilkan citra bentuk yang berbeda-beda.

Kujang merupakan manifestasi budaya peninggalan leluhur dalam bentuk


komunikasi dan pengetahuan yang tidak terputus dari generasi ke genarasi. Dari
zaman kuno, keilmuan dalam filsafat Sunda tak pernah lepas dari tujuan kearah
kesempurnaan hidup. Muatan nilai-nilai filsafat dan falsafah yang dikemas secara
simbolis pada benda budaya tersebut menjadikan kujang pusaka bernilai luhur.
Kujang yang awalnya dijadikan sebagai perkakas kemudian sebagai senjata,
akhirnya diluhurkan sebagai pusaka. Perjalanan ini merupakan suatu mata rantai
dari manifestasi ajaran falsafah dan filsafat tentang hidup yang sempurna.

Kujang merupakan perkakas yang merefleksikan ketajaman dan daya kritis


dalam kehidupan juga melambangkan kekuatan dan keberanian untuk
melindungi hak dan kebenaran. Menjadi ciri khas, baik sebagai senjata, alat
pertanian, perlambang, hiasan, ataupun cindera mata. Menurut Sanghiyang
Siksakandang Karesian pupuh XVII, kujang adalah senjata kaum petani dan
memiliki akar pada pertanian masyarakat sunda. Kujang dengan keragaman
bentuk dengan variasi-variasi struktur papatuk, waruga, mata, siih, tadah,
pamor dan sebagainya tidak dimiliki pada senjata lainnya di Nusantara. Kujang
sebagai senjata yang memiliki keunggulan visual juga memiliki struktur estetik
dan makna simbolik. Kujang merupakan Pusaka andalan Kerajaan Galuh
Padjajaran, yang menjadi pegangan raja-raja besar Galuh Padjajaran, yang
diantaranya adalah : Prabu Lingga Buana, Prabu Niskala Wastu Kencana, Prabu
Dewa Niskala, Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi, Prabu Surawisesa Jaya
Prakosa dan seluruh raja-raja Sunda.

Beberapa peneliti menyatakan istilah Kujang berasal dari


kata KUDIHYANG (Kudi dan Hyang) Kudi berasal dari bahasa Sunda Kuno yang
berarti kekuatan gaib/Sakti.

Sedangkan Hyang bermakna Dewa. Bagi masyarakat Sunda bahkan lebih


tinggi, dimana Hyang bermakna di atas Dewa. Hal ini tercermin dalam
ajaran “Desa Prebakti” dalam naskah “Sanghyang Siksa Kanda Ng
Karesian” disebutkan “Dewa Bakti di Hyang”. Maka secara umum Kujang adalah
Pusaka yang mempunyai kekuatan gaib sakti yang berasal dari para Dewa
(Hyang).
Pemilihan Kujang Ciung sebagai objek yang diteliti dikarenakan Kujang
Ciung merupakan kujang yang dipusakakan oleh masyarakat Sunda, dan sering
kali dijadikan simbo-simbol masyarakat Sunda.

Tokoh yang paling representatif dalam penelitian ini yaitu Pak Darpan
Kandaga, beliau adalah seorang guru SMAN 1 yang paham mengenai kebudayaan
Sunda dan mengoleksi beberapa benda pusaka, salah satunya Kujang Ciung.

Tema penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran terhadap


nilai-nilai masyarakat Sunda yang sering kali dilupakan.

Penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan lebih lanjut


mengenai kujang, serta dapat memberikan kesadaran lebih khusunya untuk
masyrakat Sunda agar tidak melupakan nilai-nilai yang terkandung didalamnya.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang memiliki pendekatan


lebih beragam dalam penelitian akademis ketimbang metode kuantitatif. Metode
penelitian kualitatif adalah penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan
cenderung menggunakan analisis. Proses dari penelitian lebih ditonjolkan. Selain
itu landasan teori digunakan untuk lebih fokus pada penelitian yang dilakukan.
Menurut Sugiyono (2011), metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian
yang berlandaskan pada filsafat post positivisme, digunakan untuk meneliti pada
kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya eksperimen) dimana peneliti
adalah sebagai instrumen kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan
secara purposive dan snowball, teknik pengumpulan dengan tri-anggulasi
(gabungan), analisis data bersifat induktif atau kualitatif, dan hasil penelitian
kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.

Tujuan dari penelitian ini untuk mendeskripsikan perupaan dari setiap


bagian-bagian kujang secara falsafah. Arikunto (1993:43), menyebutkan bahwa
“pendekatan subjek penelitian dengan metode empiris adalah suatu cara
pendekatan terhadap subjek penelitian dengan sewajarnya, yaitu mengadakan
observasi atau mengunjungi tempat yang akan diamati”. Dalam kaitanya dengan
metode penelitian empiris, peneliti melakukan observasi ke Garut untuk menemui
salah satu masyarakat Sunda yang paham mengenai kujang yaitu Bapak Darpan
Kandaga sebagai narasumbernya.

“Peneliti kualitatif dapat menggembangkan suatu teori dari hasil


penelitiannya dan meletakan teori tersebut di akhir proyek penelitian, misalnya
dalam penelitian grounded theory. Dalam penelitian kualitatif, teori bisa juga
muncul di awal penelitian sebagai perspektif yang nantinya dapat membentuk apa
yang dilihat dari rumusan masalah apa yang diajukan, seperti dalam penelitian
etnografi atau penelitian transformatif. Bagaimana teori itu digunakan, akan turut
mempengaruhi penempatannya dalam sebuah penelitian kualitatif. Dalam
penelitian kualitatif yang menggunakan tema kultural batau perspektif teoritis,
teori muncul diawal penelitian”. (Creswell, 38, 2016).

Peneliti mengobservasi sebuah kujang pusaka lalu mewawancara


narasumber dengan beberapa pertanyaan mengenai makna kujang tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kujang dari Aspek Etimologis

Masyarakat Sunda yang peladang dan bersifat dan bersifat religius


membutuhkan sarana pengungkap rasa syukurnya terhadap Tuhan sang pencipta
alam. Kepercayaan masyarakat Sunda atas nilai-nilai falsafah dan filsafat serta
kepercayaan terhadap kekuatan magis membawa kujang dalam peranannya
sebagai pusaka yang memiliki nilai kesakralan.

Kujang demikian mengakar pada budaya Sunda oleh karena itu dapat
ditelusuri dari aspek etimologis pengistilahan kujang, yang antara lain sebagai
berikut:

Kujang dari kata ‘kudi hyang’


Secara etimologis kujang berasal dari kata kudi dan hyang. Dua istilah
dalam bahasa sunda tersebut berubah menjadi kudi hyan dan meresap menjadi kud
yang atau kudyang. Lama kelamaan dua istilah tersebut melebur menjadi Kujang
sebagaimana sekarang populer digunakan masyarakat secara umum. L

Bambang Hasrinuksmo dalam buku Ensiklopedi Keris mengungkapkan


bahwa kujang merupakan senjata pusaka tradisional khas daerah Parahyangan,
Sunda, Jawa Barat. Tosan Aji ( Tosan = besi, Aji = berharga) ini sebenarnya
bukan senjata, tetapi merupakan pusaka khusus yang dipakai petani (2008 : 246).

Bagi masyarakat Sunda, kujang merupakan pusaka yang lahir dari


peralatan perladangan yang tidak dapat digunakan sembarangan karena memiliki
kekuatan magis atau sakti. Hyang digambarakan sebagai sesuatu yang abadi, yang
gaib dan lambang kesucian. Kewajiban untuk menyembah/berbakti kepada Hyang
tersebut sampai sekarang tetap berlaku yaitu ‘sembahyang’.

Istilah hyang telah melekat demikian erat dikalangan masyarakat Sunda


semenjak era Sunda Pajajaran. Penggunaan istilah hyang dapat ditelusuri dari
penggunaan nama-nama raja sebagai personifikasi hyang di dunia, contohnya:
Prabu Lingga Hyang, Prabu Sanghyang Susuk Tunggal, Prabu Sanghyang Wastu
Kencana, dan lain sebagainya (Natasasmita, 2007).

Kujang dari Istilah Bahasa Sunda Ujang

Dalam versi lain terdapat pendapat bahwa kujang berasal dari Istilah
Ujang. Ujang merupakan istilah yang berasal dari Bahasa Sunda Kuno yang
berarti manusia. Dalam pemahaman yang lebih dalam ujang dapat dimaknai
sebagai manusia yang sempurna. Aspek makna simbolik ujang sebagai manusia
yang sempurna inilah yang diduga menjadi akar munculnya istilah kujang.

Istilah ujang sebagai akar lahirnya istilah kujang sayangnya tak lagi
banyak diketahui, bahkan istilah ujang di Sunda era sekarang lebih populer
digunakan untuk menyebut anak laki-laki, dimana penyebutan tersebut juga
menyimpan harapan untuk menjadi laki-laki yang sempurna.
Pengertian Kujang dari Aspek Bentuk

Bentuk dari suatu hasil kebudayaan perlu diamati dan dikaji dengan teliti
dan mendalam, karena melaluinya dapat dilihat sejauh mana pesan dan nilai yang
terkandung didalamnya. Kujang dengan segala aspek nilai keindahan yang khas
budaya Sunda pelukisannya didefinisikan secara tepat.

Dalam tradisi Indonesia tak ada karya seni yang dibuat semata untuk
keindahan, sebaliknya tak ada benda pakai (sehari-hari/upacara,
sosial/kepercayaan/agama) yang asal bisa dipakai, benda tersebut pasti indah.
Indahnya byukan sekedar memuaskan mata, tapi berkaitan dengan kaidah moral,
adat, tabu, agama dan sebagainya, selain bermakna sekaligus indah. Oleh karena
itu pada setiap bagian-bagian kujang memiliki suatu makna yang mendalam.

Karakteristik Bentuk Kujang

Kujang merupakan karya budaya masyarakat sunda yang secara tiwah


(turun-temurun)dianggap sebagai pusaka dan telah melekat pada identitas dan
masyarakat Sunda. Kujang merupakan kristalisasi dan pamagahanb atau tata nilai,
norma, adat istiadat, dan lain sebagainya sehingga menjadi salah satu pedoman
hidup masyarakat Sunda guna mencapai kehidupan yang sempurna kujang
memiliki karakteristik tersendiri yang membedakan dengan karya budaya lainnya.
adapun ciri dan karakteristik kujang antara lain sebagai berikut:

-secara aspek fungsi, melalui tiap-tiap bagiannya kujang merupakan


peralatan atau senjata yang memiliki fungsi paling lengkap diseluruh dunia,
antara lain dapat digunakan untuk menyayat, mencongkel, menebas, menguliti
dan lain sebagainya.

- suatu senjata dapat disebut kujang apabila dilengkapi setidaknya dengan


bagian sebagai berikut: waruga yang meliputi papatuk, tonggong, beuteung, tadah
dan selut.

-pada umumnya bentuk kujang dipengaruhi oleh bentuk flora maupun


fauna.
-kujang selalu dibuat dengan campuran beberapa logam yaitu: besi(Fe),
baja(C), dan meteroit atau nikel (Ni). Pencampuran beberapa jenis logam tersebut
dilakukan dengan teknik pelipatan dan penempaan. Teknik yang diterapkan
tersebut senantiasa menghasilkan pola guratan-guratan indah baik abstrak ataupun
figuratif yang disebut dnegan istilah pamor.

-kujang selalu memiliki tingkat kelengkungan tertentu pada bagian


pinggangnya.

-kujang terdiri dari waruga, kowak dan biasanya dilengkapi dengan


gagang atau landean sebagai tempat untuk memegang waruga.

-mata bilah kujang umumnya tajam dan runcing

-kujang setidaknya memilikiempat sisi ketajaman, yaitu:papatuk,


beuteung, tonggong dan tadah.

-Kujang bisa diperankan dalam fungsi religius sebagai kelengkapan


upacara keagamaan dan fungsi sosisal sebagai penanda status.

-bagian kowak dan landean biasanya dibuat dengan bahan-bahan kayu


bertuah dan memiliki tampilan yang indah.

Seiring berjalannya waktu, kudi atau kujang yang lebih menekankan pada
tingkat kesakralannya hanya dibuat sesuai pesanan khusus para pemimpin atau
sultan terkait. Hal ini diilhami oleh kesaktian kudi atau kujang yang berasal dari
para dewata. Kudi atau kujang akhirnya menjadi bagian dari koleksi senjata suci
kerajaan, yang kemudian dikenal dengan istilah ampitan. Di Sunda kujang sebagai
senjata digunakan oleh Prabu Siliwangi. Ia adalah raja Pajajaran yang juga
menggunakan semacam kujang suci/sakral

Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang terkandung


di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang
organisasi serta pemerintahan. Disamping itu, Kujang pun dipakai pula sebagai
sebuah nama dari berbagai organisasi, kesatuan dan tentunya dipakai pula oleh
Pemda Propinsi Jawa Barat.

Kujang dikenal sebagai benda tradisional masyarakat sunda yang memiliki


nilai sakral serta mempunyai kekuatan magis. Beberapa peneliti menyatakan
bahwa istilah “kujang” berasal dari kata kudihyang. Kujang juga berasal dari kata
Ujang, yang berarti manusia atau manusa. Manusia yang sakti sebagai mana
Prabu Sliwangi.

Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang


mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa, dan sebagai sebuah
senjata, sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat
khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda).

Gambar 1. Interpretasi Kujang dalam konsep triloka

(Sumber: Kujang Jejak Pesona Budaya Sunda, 2013) diambil pada 24


Desember 2018.
Konsep ajaran tribuana /triloka membagi dunia menjadi tiga secara
vertikal keatas yaitu: alam sakala perwujudan alam bawah (netes atau alam
kelahiran), alam niskala atau sakala (bumi lamba) sebagai perwujudan alam
tengah (nitis atau alam dimana manusia masih bisa kembali kedunia/reinkarnasi)
dan alam niskala (bumi niskala) sebagai perwujudan alam atas (alam atas atau
moksa). Segala prilaku masyarakat merupakan manifestasi dari usaha mereka
untuk menuju alam niskala (alam atas). Konsep dasar masyarakat sunda ini
diterapkan dalam segala pola prilaku dan hasil penciptaan kehidupannya. Selain
konsep tribuana kujang juga memiliki struktur sistem sebagai simbol dan
kerangka berfikir masyarakat Sunda. Kujang sebagai simbol
“tritangtu” masyarakat Sunda, sebagai filosofi dasar cara berfikir masyarakat
Sunda lama “kesatuan dualistik“, sebagai simbol kultur masyarakat huma “pola
tiga” dalam sistem budaya primordial Indonesia.

Peranan Kujang bagi Masyarakat Sunda

Teori Barat dikatakan sebagai sebuah kepercayaan animisme.


Kepercayaan yang animistis yaitu kepercayaan kepada makhluk halus
dan roh merupakan asas kepercayaan agama yang mula-mula muncul di
kalangan manusia primitif. Kepercayaan animisme mempercayai bahwa setiap
benda di Bumi ini, (seperti kawasan tertentu, gua, pohon atau batu besar),
mempunyai jiwa yang mesti dihormati agar roh tersebut tidak mengganggu
manusia, malah membantu mereka dari roh jahat dalam kehidupan seharian
mereka.

Kepercayaan magis dibalik kujang merupakan kepercayaan yang telah


melekat dan diwariskan oleh nenek moyang yang hingga kini masih diyakini oleh
masyarakat pendukungnya. Mereka percaya bahwa dibalik sebuah kujang terdapat
kapicaya kekuatan yang dahsyat yang tak terlihat oleh mata biasa (tak kasat mata).
Akan tetapi kekuatan itu dapat dirasakan dan sering kali dialami pada kondisi-
kondisi tertentu. Kepercayaan kekuatan magis inilah yang kemudian bagi
masyarakat pendukungnya merupakan nilai yang diyakini dapat memengaruhi
kehidupan mereka kearah yang lebih baik.
Kujang tergolong sebagai benda yang memiliki peran magis protektif
(tolak bala) dan sekaligus magis produktif (kesuburan). Kujang dipercaya
memiliki nilai gaib atau magis yang dapat melindungi diri dan menghindarkan diri
dari segala gangguan dan malapetaka/bahaya, baik bahaya yang kasat mata
ataupun yang tidak kasat mata. Bagi masyarakat Sunda di masa lalu kurang
lengkap rasanya apabila berpergian tidak mengenakan atau membawa sebuah
kujang. Kujang merupakan senjata pelindung dan penjaga yang tidak pernah
terpisah dari pemiliknya karena dipercaya sebagai penjaga yang ampuh.

Senjata ini juga disimpan sebagai senjata pusaka, yang digunakan untuk
melindungi rumah dari bahaya, dengan meletakannya di dalam sebuah peti atau
tempat tertentu dalam sebuah rumah, atau meletakan di atas tempat tidur.

Dalam fungsinya sebagai magis produktif kujang dipercaya dapat


menghantarkan pada kemakmuran, kesuburan, usaha keberhasilan, punya
keterununan dan lain-lain. Maka dari itu kujang digunakaj sebagai salah satu
kelengkapan upacara sakral pertanian pada saat menjelang musim tanam atau
musim panen.

Makna Kujang

Sebuah benda dapat dikatakan sebagai kujang bila terdiri dari tiga bagian
pokok yaitu:
Gambar 2. Bagian-bagian Kujang

(sumber: etniksunda.com) diunduh pada tanggal 23 Desember 2018.

1. Bagian bilah (waruga)

Gambar 3. Bilah.

(sumber: penulis, 2018)

Waruga merupakan bagian pokok dari sebuah kujang . Bagian ini juga
biasa disebut sebagai ‘mata kujang’. Waruga dibuat dari bahan besi, baj, nikel
sebagai bahan pamornya dan dikerjakan dengan teknik tempa. Waruga sebuah
kujang biasanya cukup tajam dan runcing. Telah diungkapkan bahwa kujang lahir
dari buadaya masyarakat peladang sebagai sarana religius. Sesuai dengan
pemenuhannya akan sarana religius kujang dibuat (didesain) sedemikian rupa
akan kaidah-kaidah sarana ritual. Sebagaimana pemenuhan perannya,
bilah/waruga kujang dibuat dengan pencampuran besi dan nikel (bahan pamor),
namun untuk perannya yang lain tidak sedikit kujang yang dibuat dengan bahan
campuran besi dan nikel (bahan pamor), dan baja.

Waruga memiliki makna filosofis , bahwa raga atau badan merupakan


tempat roh dan jiwa sehingga senantiasa dijaga. Artinya bahwa raga harus dijaga
dar apa yang dimakan, apa yang diperbuat, apa yang dipakai, dimana harus
berada (linkungan baik atau buruk), karena keberadaan baik buruknya raga akan
berpengaruh terhadap jiwa, rasa, dan pikiran yang ada didalamnya. Bahan yang
digunakan pun merupakan bahan-bahan pilihan yang melambangkan nilai-nilai
ketuhanan. Misalnya gigunakannya bahan kayu yang harum (cendana, gaharu, dll)
dipercaya dapat menambah kekhusukan dalama melakukan hubungan denga
tuhan.

Bagian waruga/bilah juga dilengkapi dengan berbagai bagian yang cukup


rumit dan memiliki nilai dan makna simbolik. Bagian tersebut antara lain:

 Papatuk (congo), yaitu bagian ujung kujang yang runcing. Papatuk berarti
paruh atau mulut.
 Eluk (siih), yaitu bagian dari punggung bagian atas bilah kujang yang
berbentuk lekukan-lekukan.
 Waruga, yaitu nama bilah kujang secara keseluruhan. Waruga berarti
badan.
 Mata, yaitu lubang-lubang pada waruga/bilah kujang. Kujang yang
bermata empat disebut Mandala Rasa biasa disebut wesi kuning, bermata
empat pemegangnya para putri menak keraton.
 Tonggong, yaitu mata bilah atau sisi tajam pada bagian punggung kujang.
 Beuteung, yaitu mata bilah atau sisi tajam pada bagian perut kujang. \
 Tadah, yaitu lengkung kecil pada bagian bawah perut bilah.
 Paksi, yaitu bagian bilah yang masuk pada bagian hulu/lendean yang
gunanaya sebagi penguat.
 Pamor, yaitu guratan-guratan ornamentik baik berupa figur tertentu atau
abstrak yang indah pada permukaan waruga/bilah karena percampuran
beberapa bahan logam dengan teknik tempa.
 Rigi. Yaitu bagian kujang yang bentuknya menyerupai mata gergaji yang
biasa terletak di punggung dan pinggang waruga kujang.

2. Kowak (warangka)

Gambar 4. Warangka.

(sumber: penulis, 2018)

Kowak/warangka merupakan bagian penutup dari waruga/bilah. Pada


umumnya bentuk kowak/warangka dibuat sedemikian rupa menyesuaikan bentuk
dasar waruga/bilahnya. Kowak/warangka biasanya dibuat dari bahan kayu pilihan,
yaitu dari bahan kayu langka, bertuah, dan memiliki tampilan serat dan warna
yang indah.

Fungsi utama memberti kowak adalah sebgai pelindung waruga/bilah kujang.


Disamping itu juga untuk mempermudah dan melindungi ketika dibawa. Sebagai
bagian dari kelengkapan pakaian adat Kowak juga memiliki fungsi untuk
menambah keindahan, daya kharismatik, dan nilai tuah dari sebuah kujang.
Makna dari bagian kowak/rangka, bahwa sebuah raga harus senantiasa dijaga
dengan bentuk perbuatan yang bersandar pada identitas diri dan nilai-nilai
ketuhanan (bentuk kowak/warangka menyerupai bentuk waruga/bilahnya), serta
dijaga dengan berpikir dan berprilaku yang baik/indah. Itulah sebabnya sebuah
kowak/warangka senantiasa dibuat seindah mungkin.

3. Gagang atau landean (hulu/tangkai)

Gambar 5. Gagang.

(sumber: penulis, 2018)

Gagang atau landean merupakan bagian pegangan pada sebuah waruga.


Sebuah gagang atau landean biasanya dilengkapi dengan ali atau cincin penghias
dari bahan logam dan sekaligus sebgai penguat landean disebut ‘selut’. Seperti
halnya kowak, pada umumnya gagang atau landean juga dibuat dari bahan-bahan
kayu-kayu pilihan, yaitu kayu yang bertuah, keras, kuat, dan memiliki tampilan
warna dan serat yang indah.
Fungsi utama sebuah gagang atau landean adalah sebagai pegangan
bilah/waruga sebuah kujang. Di samping itu landean juga memiliki fungsi untuk
memperindah dan menambah kekuatan magis dari sebuah kujang. Pada umumnya
landean dibuat cukup sederhana, namun ada juga yang dibuat sesuai dengan
ukiran yang sangat indah.
Makna bagian ini adalah, bahwa diri manusia senantiasa dapat dipegang
baik kata-katanya, pemikirannya, dan perbuatannya, sehingga dapat menuntun diri
sendirii atau pun orang lain pada arah kehidupan yang baik.

Tipologi bentuk kujang

Interaksi antara manusia dan alam sekitar banyak hubungannya dengan


penciptaan karya seni baik dari sisi motivasi penciptaan atau pun hasilnya.
Demikian halnya dengan kujang sebagai hasil budaya masyarakat peladang.
Bentuk kujang mengadopsi bentuk-bentuk yang ada di alam. Salah satu contohnya
adalah kujang ciung, yang menyerupai bentuk flora yaitu burung ciung.

Dalam memilih dan mengolah bentuk, mereka dengan matang


mempertimbangkan muatan-muatan makna dan simbol yang mendalam yang
terkandung didalam karya yang mereka hasilkan. Karya mereka seolah menjadi
cerminan pola tatanan kehidupan, baik dalam kehidupan sehari-hari hingga
tingkat pemahaman spritual untuk ketuhanannya.

Karena itu, hubungan suatu sistem kepercayaan dengan sebuah karya seni
dapat dijelaskan melalui arti dari lambang masing-masing bagian yang terdapat
pada karya seni itu sendiri. Dalam hal kudi/kujang dapat dilihat dari apa yang
disebut motif pamor, motif pegangan, dan tentunya dari bentuknya yang beragam.

Gambar 6. Burung Ciung.


(sumber: jalaksuren.net) diunduh pada 23 Desember 2018.

Gambar 7. Kujang Ciung.

(sumber: penulis, 2018)

Kujang ciung itu sendiri dibuat berdasarkan bentuk burung Ciung atau
burung Jalak. Burung Ciung bagi masyarakat Sunda dipercaya sebagai simbol
kharismatik, ketampanan dan simbol kejantanan. Oleh karena itu nama burung
Ciung juga pernah digunakan sebagai gelar raja Sunda yaitu Ciung Wanara
(burung Jalak dan Monyet). Kujang Ciung bermata satu ini diperuntukan bagi
para guru tangtu agama dan para pangwareg agama.

PENUTUP

Kujang Ciung merupakan pusaka yang mempunyai nilai estetika yang


bermakna filosofis dan simbolis budaya Sunda. Di mana nilai dan makna tersebut
memiliki arti yang berkaitan dengan tatanan hidup masyarakat Sunda. Karena
pada setiap bagian-bagian kujang serta material dasar pembuatannya mempunyai
makna tersendiri bagi masyarakat Sunda. Nilai tersebut hingga sekarang masih
dipercaya dan dijaga oleh orang-orang yang mempercayainya. Namun pada setiap
bagian detail kujang dan beberapa aksetidak semuanya memiliki nilai secara
khusus dan hanya menekankan pada nilai kegunannya saja, nilai filosofis tersebut
hanya berlaku pada beberapa bagian inti kujang seperti bilah/siih, waruga dan
landean.

DAFTAR PUSTAKA

Internet
Ajilukisofyanblog, 2013. Kujang Sebagai Senjata Pusaka Tradisi Sunda.
https://ajilukisofyanblog.wordpress.com/2013/04/28/kujang-sebagai-
senjata-pusaka-tradisi-sunda-2/. (akses 23 Desember 2018)

Buku
Basuki Teguh Yuwono, 2013. Kujang Jejak Pesona Budaya Sunda. Surakarta: ISI
Press dan Padepokan Keris Brojobuwono, 2013.

Jurnal
Aris Kurniawan, 2014. Kajian Historis dan Filosofis Kujang. Bandung: Jurnal
ITENAS, Volume 2. No 1.

Wawancara
Darpan Kandaga, Budayawan Garut.
Tugas ini diajukan untuk memenuhi Mata Kuliah Kajian Seni Tradisi

Dosen Pengampu Mata Kuliah Kajian Seni Tradisi Dr. Anis Sujana & Agus Cahyana,
S.Sn., M.Sn.

Disusun Oleh :

Sastia Shopa Agida (16213002)

Jl. Buah Batu No.212, Cijagra, Lengkong, Kota Bandung, Jawa Barat 40265

Fax: +62 7303021

Anda mungkin juga menyukai