Anda di halaman 1dari 17

Perbedaan Antara Dua Rumah Gadang di PDIKM

Gambar 1. Rumah Gadang Koto Piliang Gambar 2. Rumah Gadang Bodi Caniago

Riset ini kami lakukan dengan cara observasi langsung ke lapangan dengan cara mencari
seorang narasumber yang bernama Ibu Ita Suaita selaku salah seorang penjaga di PDIKM yang
telah bekerja selama 30 tahun. Beliau menjelaskan hal-hal yang akan kami ruangkan ke dalam
tulisan kami dibawah ini dan juga kami mengambil beberapa rujukan dari sebuah buku berjudul
“Seni ukir tradisional pada rumah adat Minangkabau : teknik, pola dan fungsinya” oleh Ibenzani
Usman. Pada buku ini, kami menemukan jenis-jenis ukiran yang berada pada rumah gadang
yang sangat membantu kami dalam penyelesaian tugas kami pada kali ini.

Gambar 3. Buku Seni ukir tradisional pada rumah adat Minangkabau : teknik, pola dan fungsinya
oleh Ibenzani Usman
Sebelum kami masuk kepada bahasan pokok yang telah kami tuliskan pada judul diatas,
kami akan memulai dulu dengan pengenalan daripada PDIKM itu sendiri. Pusat Data dan
Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM) adalah salah satu museum di Sumatra Barat yang
terletak di Padang Sarai, Silaing Bawah, Kabupaten Padang Panjang, Kota Padangpanjang.
Museum ini bersisikan berbagai macam informasi dan koleksi mengenai kebudayaan
Minangkabau baik berupa dokumentasi audio maupun visual. Museum ini dapat diakses dari
jalur utama Padang–Bukittinggi, berjarak sekitar lebih kurang dua kilometer dari pusat Kota
Padang Panjang. PDIKM Berdiri di atas lahan seluas dua hektar, dengan bentuk Rumah Gadang
dari kelarasan koto piliang. Peletakan batu pertama rumah adat yang berfungsi sebagai
perpustakaan ini dilakukan pada 8 Agustus 1988 dan diresmikan 17 Desember 1990. Didirikan
oleh Almarhum Bustanil Arifin sebagai wujud sumbangsih untuk tanah kelahirannya, Padang
Panjang. PDIKM didirikan karena selama ini untuk mempelajari adat dan budaya Minang,
literaturnya justru banyak terdapat di Museum Nasional Indonesia, Jakarta atau Museum Leiden,
Belanda. Itu sebabnya, Pak Bustanil mengumpulkan literatur itu dan menyatukannya dalam
wadah PDIKM. Lebih dari 40 persen literatur tentang kebudayaan Minangkabau yang disimpan
dalam PDIKM berbahasa Belanda. Sebab, selain lama dijajah Belanda, budaya masyarakat
Minang saat itu lebih banyak diceritakan secara turun temurun lewat tambo atau lisan. Tidak
hanya PDIKM, terdapat Rumah Gadang kelarasan Bodi di bagian sebelah kiri agak jauh dari
bangunan PDIKM yang dijadikan sebagai kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Padangpanjang.

Pembahasan selanjutnya kita akan masuk kepada bahasan pokok kita yaitu perbedaan
dari Rumah Gadang dari kedua kelarasan yang ada di Minangkabau. Perbedaan budaya di kedua
Rumah Gadang ini di masa lalu ternyata amat menarik. Dahulu, di Rumah Gadang suku Koto
dan Piliang berlaku sistem pemerintahan otokrasi dimana pada pemerintahan ini semua
keputusan bersumber daripada kedaulatan seorang yang berada pada tampuk kepemimpinan. Di
dalamnya terdapat anjungan di bagian ujung kanan dan kiri, dengan beberapa anak tangga di
setiap anjungan. Anjungan pada bagian kiri dan kanan memiliki kegunaan yang amat berbeda,
Anjungan di sayap kanan rumah digunakan sebagai kamar tidur semua anak gadis yang tinggal
di Rumah Gadang dan ditutup dengan tirai. Aktivitas lain anak gadis seperti menyulam atau
merenda juga dilakukan di anjungannya. Sementara, anjungan di sayap kiri digunakan untuk
tempat duduk para datuk. Sebagai penghormatan saat ada musyarah mufakat, para datuk duduk
di anjungan bagian atas, sedangkan anak dan keponakan duduk di anjungan yang lebih rendah.
Ini juga mengisyaratkan dalam pemberian gelar, bila seorang datuk atau pimpinan suku
meninggal, maka kepemimpinannya diteruskan oleh keponakan laki-laki yang sekandung.

Sementara di Rumah Gadang Bodi dan Chaniago bersistem pemerintahan demokrasi.


Dimana yang paling diutamakan pada kepemimpinan kelarasan ini ialah musyawarah dan
mufakat. Rumah gadang pada kelarasan ini tidak memiliki anjungan pada kedua sisinya, dan
semua lantai rata. Sehingga, bila ada musyawarah yang dilakukan, datuk dan keponakan duduk
di lantai yang sejajar dengan menganut pepatah “tagak samo tinggi, duduak samo randah”.
Apabila pimpinan suku meninggal, maka seluruh kemenakan laki-laki dikumpulkan lalu baru
dipilih siapa yang pantas menjadi datuk pengganti selanjutnya.

Sistem pada Rumah Gadang di Minangkabau hanya menyediakan tempat tidur untuk para
anak gadis dan juga kamar untuk penghuni wanita yang telah menikah. Sedangkan untuk para
bujang, mereka akan tidur di surau untuk belajar mengaji dan juga silat. Anak laki-laki yang
diperbolehkan tidur biasanya adalah anak laki-laki pada usia dibawah 10 tahun.

Pada arsitektur rumah gadang juga memiliki lanjar dan juga ruang. Pada lanjar di rumah
gadang yang kami temui di PDIKM memiliki 4 lanjar dari depan hingga belakang. Pada lanjar
pertama itu biasanya adalah lanjar kehormatan, ditempatkan tamu yang terhormat. Tempat ini
juga dipergunakan sebagai tempat tamu lelaki dalam upacara-upacara adat dan upacara jamuan
makan. Pada lanjar kedua yang disebut juga “labuah gajah” karena lanjar ini merupakan lanjar
yang besar dan panjang tanpa sekat-sekat atau tiang pembatas. Lanjar ini berfungsi sebagai
tempat menanti tamu dari masing-masing kamar, disamping itu sebagai tempat makan dan
minum penghuni kamar. Lanjar yang terdapat di depan bilik dinamakan dengan lanjar dalam atau
bandua tangah. Pada lanjar ketiga Lanjar ini merupakan ruang khusus, tempat pemilik kamar
menerima tamu. Lebar lanjar dalam sama dengan lebar bilik. Pada rumah gadang Koto Piliang
lanjar dalam ditinggikan lebih kurang 20 sampai 30 cm dari lanjar yang didepannya atau lanjar
tengah dan lanjar tepi (bandua tapi). Pada rumah gadang Bodi Caniago tidak ada bahagian lantai
yang ditinggikan, namun fungsi lanjar dalam tetap sama. Dan lanjar ke empat yaitu “Biliak” atau
kamar. Dimana pada kamar ini ditinggali oleh perempuan pada suku tersebut yang telah
menikah. Ada hal menarik yang kami dapatkan dari perbincangan dengan Ibu Ita tentang jumlah
kamar dan tata cara pembagian penempatan kamar. ternyata alur kehidupan di rumah gadang
cukup kompleks. Rumah Gadang di masa lalu selalu memiliki jumlah ruang yang ganjil,
misalnya, 3, 5, 7, atau 9. Ini dibuat untuk keseimbangan ruangan. Jumlah ruang yang dibuat
melambangkan status sosial sebuah kaum. Makin banyak, makin kaya kaum tersebut sama
halnya dengan corak atau ragam hias yang ada di rumah gadang tersebut. Sistem penempatan
dalam rumah gadang juga tidak kalah menarik dari bahasan sebelumnya, saat anak gadis yang
pertama kali menikah itu ditempatkan di kamar paling ujung disebelah kini, pada saat ada gadis
yang lain menikah maka yang pertama menikah tadi akan pindak ke kamar di sebelah kanannya
dan begitu seterusnya. Saat sampai pada kamar paling ujung disebelah kanan, keluarga tersebut
akan pindah keluar dari rumah gadang ke rumah miliknya sendiri. Ruang kamar yang dibuat
dengan ukuran kecilpun juga merupakan pertanda agar sang suami giat mencari uang untuk
dapat membawa keluarganya pindah dari rumah gadang setelah lama menempati rumah gadang
tersebut. Pada urutan 9 kamar Ini berarti, jumlah kamar tidur ada 8, sedangkan 1 ruang yang
terletak di tengah-tengah berfungsi sebagai jaln menuju dapur. Setiap kamar, wilayah kekuasaan
masing-masing keluarga hanya sebatas di depan kamar sampai ke serambi dan dibatasi oleh tiang
di kanan-kiri. Jadi, bila ada tamu datang, keluarga yang kedatangan tamu hanya boleh menjamu
tamu di depan kamarnya, tidak boleh di depan kamar keluarga lain karena itu bukan wilayahnya.

Gambar 4. Rumah Gadang dengan banyak corak


Gambar 5. Rumah Gadang dengan sedikit corak

Dari sisi konstruksi, tiang Rumah Gadang tidak lurus melainkan mengembang ke atas.
Jendelanya pun sengaja dibuat mengikuti konstruksi tiang. Rumah ini juga dibangun tidak
dengan dipaku, melainkan dengan sistem pasak. Dengan tujuan konstruksi ini lebih tahan
terhadap gempa bumi. Buktinya, ketika terjadi gempa besar tahun 2007 dan 2009, bangunan ini
tidak rusak sama sekali. Pada bagian luar Rumah Gadang penuh ukiran indah yang
melambangkan bahwa dalam pembuatannya orang Minang berguru pada alam. Kayu-kayu besar
dijadikan tiang, sedangkan yang kecil dibuat ukiran. Jadi, tak ada yang terbuang dalam proses
pembuatannya.

Rumah Gadang yang bertempat di Tanah Datar pada umumnya memiliki bentuk
“Janjang” atau tangga yang berada dibagian tengah yang langsung turun kebawah dengan satu
jalan saja baik itu pada konstruksi Rumah Gadang Koto Piliang maupun Bodi Caniago. Namun
ada sedikit perbedaan pada Rumah Gadang Bodi Caniago di sebelah bangunan PDIKM yang
memiliki tangga dua arah kiri dan kanan. Ini bukan disebabkan oleh perbedaan kelarasaan, akan
tetapi merupakan perbedaan Konstruksi pada sebagian tempat. Bangunan ini dibuat demikian
dikarenakan mengikuti bentuk bangunan Rumah Gadang yang berada di Solok yang memiliki
Beranda pada bagian depannya.

Pada Rumah Gadang didirikan empat rankiang atau lumbung padi yang berjejer rapi di
depan kanan dan kiri Rumah Gadang. Rankiang ini juga memiliki arti yang berbeda pada setiap
bangunan. Bentuk keempatnya sama, hanya saja jumlah tiang penyangganya berbeda. Dua di
sebelah kiri masing-masing bertiang empat, sedangkan di sebelah kanan masing-masing bertiang
enam dan sembilan. Padi di lumbung paling kiri digunakan untuk upacara adat, misalnya
pernikahan. Padi di lumbung sebelahnya digunakan untuk membantu fakir miskin dan persediaan
musim paceklik. Sementara, lumbung bertiang enam menyimpan padi untuk makanan sehari-hari
penghuni Rumah Gadang. Sedangkan padi di lumbung bertiang sembilan bisa dijual dan hasilnya
untuk menyumbang pembangunan di kampung. Letak rankiang yang jauh dari Rumah Gadang
juga memiliki arti bila terjadi kebakaran di rumah, padi masih tetap aman dan penghuni tidak
akan kelaparan. Padi diambil dengan menggunakan tangga dan setelahnya tangga disimpan di
bawah Rumah Gadang.

Gambar 6. Rangkiang

Setelah membahas tentang konstruksi dari Rumah Gadang, kita akan membahas tentang
corak atau ragam hias yang ada pada Rumah Gadang dan juga arti dari corak tersebut. Secara
umum, corak bangunan di Minangkabau ditentukan oleh sistem adat atau kelarasan yang dianut.
Terdapat dua kelarasan di Minangkabau, yakni Kelarasan Koto Piliang yang diciptakan
oleh Datuk Ketumanggungan dan Kelarasan Bodi Chaniago yang diciptakan oleh Datuk Perpatih
Nan Sebatang. Kelarasan Koto Piliang berciri arsitokratis, sedangkan Kelarasan Bodi Chaniago
berciri demokratis. Semula, perbedaan kedua kelarasan hanya menyangkut aspek politik, tetapi
berikutnya merambat sampai pada bentuk bangunan, terutama rumah adat dan balai adat.
Perbedaannya terutama terletak pada keberadaan anjung, semacam panggung di kedua ujung
bangunan. Rumah adat dan balai adat Koto Piliang memiliki ciri khas memiliki anjung,
sedangkan rumah adat dan balai adat Bodi Caniago tidak memiliki anjung. Akan tetapi, ciri khas
keduanya tetap sama, yaitu gonjong.
Pada buku “Seni ukir tradisional pada rumah adat Minangkabau : teknik, pola dan
fungsinya” oleh Ibenzani Usman, ukiran juga terbagi atas tiga bentuk:

Gambar 7. Ukiran yang tidak dibuang dasarnya

Gambar 8. Ukiran yang dibuang dasar dan ditembus

1) Ukiran yang tidak dibuang dasarnya


2) Ukiran yang dibuang dasarnya
3) Ukiran yang dasarnya ditembus

Berdasarkan panduan tersebut kami juga mencoba untuk mengelompokkan beberapa ragam hias
yang kami temukan di tempat.

Ukiran Motif pada Rumah Gadang Koto Piliang:


1. Sikambang Manih

Gambar 9. Motif Sikambang Manih

Ukiran Sikambang Manih atau bunga yang indah diukir di pintu – pintu dan jendela
melambangkan keramahan orang Minang dalam menyambut tamu.

2. Kuciang Lalok

Gambar 10. Motif Sikambang Manih

Salah satu sifat kucing yang tidak baik adalah apabila telah kenyang, maka ia akan tidur saja
dan tidak mau berusaha untuk mencari makan. Motif kuciang lalok (kucing tidur) ini merupakan
peringatan agar tidak malas dan berusahalah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kuciang lalok
merupakan motif pengisi bidang besar. Bentuk yang sederhana dari motif kuciang lalok juga
terdapat menghiasi benda seperti pada cetakan gambir. Motif ini diukir pada tiang rumah gadang
untuk memberi isyarat kepada urang sumando agar giat mencari uang dan tidak bermalas-
malasan.

3. Saik Galamai

Gambar 11. Buk ita menunjukkan ukiran motif Saik Galamai

Ajik/ galamai adalah makanan khas Minangkabau yang dalam penyajiannya


dipotong-potong dengan teliti sehungga berbentuk jajaran genjang. Motif saik ajik/
galamai mengandung makna kehati-hatian dalam berbuat dan menghadapi berbagai
permasalahan. Motif ini pengisi bidang kecil dan sudut di setiap ukiran.

4. Itiak Pulang Patang

Gambar 12. Buk ita menunjukkan ukiran motif Itiak Pulang Patang
Segerombolan itiak (itik) selalu berjalan menurut induk rombongannya, apabila ada diantara
mereka yang jatuh, maka yang lain pun ikut menurut. Motif itiak pulang patang (itik yang pulang
di sore hari) menggambarkan barisan itik yang berjalan melalui pematang sawah menuju
kandangnya, motif ini melambangkan kesepakatan, dan persatuan yang kokoh. Selain sebagai
pengisi bidang kecil pada dinding rumah gadang, motif ini juga banyak menghiasi benda lainnya
seperti pada kalintuang

5. Buah Palo Patah

Gambar 13. Motif Buah Palo Patah dibawah Itiak Pulang Patang

Makna kultural dari proses penamaan buah palo patah adalah manfaat buah pala dibelah dua
menyiratkan nilai simboliknya untuk mendidik yaitu, adanya keinginan untuk saling berbagi
menikmati keindahan, saling berbagi rasa senang. Keindahan dan rasa senang tidak dibatasi
menjadi milik sekelompok kecil orang dan tidak dibiarkan tersimpan di dalam lingkaran tertutup.
Sebab dalam lingkaran tertutup bukanlah keindahan, dan tidak bisa dinikmati keindahannya
secara sempurna.

6. Lapieh Jarami

Gambar 13. Motif Lapieh Jarami


Motif ini melambangkan adanya rasa persaudaraan, persatuan serta tidak sombong, dapat
menempatkan diri di mana saja serta disenangi oleh orang banyak Motif Lapeh Jarami terdapat
pada bagian salangko .

7. Aka Cino

Gambar 14. Motif Aka Cino

“Aka” dalam bahasa Minangkabau dapat berarti akar tumbuhan dan dapat pula berarti akal/
daya pikir. Sedangkan “cino” berasal dari kata Cina yaitu negara di Asia Timur yang
penduduknya suka merantau. Motif ini melambangkan suatu kedinamisan hidup yang gigih dan
ulet dalam memenuhi kebutuhan hidup. Motif aka cino termasuk motif ukiran pengisi bidang
kecil.

8. Pucuak Rabuang

Gambar 15. Motif Pucuak Rabuang di bagian puncak


Ukiran pucuak rabuang terdapat pada bagian puncak. Motif ini memiliki makna bahwa
hidup seseorang harus berguna sepanjang waktu. Motif ini bercerita bahwa hidup harus
mencontoh falsafah bambu, dimana bambu selalu berguna sejak muda (rebung) untuk dimakan,
dan saat tua (bambu) sebagai lantai rumah atau bahan bangunan.

Pada motif yang berada di PDIKM motif sikambang manih mendominasi di bagian bagian
Rumah Gadang ini. Setelah membahas tentang ukiran di Rumah Gadang Koto Piliang, sekarang
kita akan membahas ukiran yang ada pada Rumah Gadang Bodi Caniago.

Ukiran motif pada Rumah Gadang Bodi Caniago:

1. Cacak Kuku jo Aka Cino

Gambar 16. Motif Cacak kuku jo Aka Cino

Cacak kuku berarti bekas cubitan kuku pada kulit. Dalam ungkapan disebutkan: “kalau
urang kadipiciak, cacakan kuku ka diri surang, sakik di awak, sakik pulo di urang” (kalau ingin
mencubit, cubitlah terlebih dahulu diri sendiri, bila terasa sakit, orang lain pun demikian).
Pengertian dari motif ini adalah untuk berbuat baik kepada siapa saja sesama manusia. Bila
berniat jahat kepada orang lain suatu saat akan mendapat balasan. Motif cacak kuku biasanya
pengisi bidang kecil dan peralatan seperti “sayak”. Sementara, melambangkan suatu kedinamisan
hidup yang gigih dan ulet dalam memenuhi kebutuhan hidup. Motif aka cino termasuk motif
ukiran pengisi bidang kecil.
Gambar 17. Motif Tupai Managun, Saluak Laka, Jalo Taserak, Daun Bodi, dll.

2. Tupai Managun
Melambangkan seekor tupai yang sedang berhenti sejenak yang terlihat dari salah satu
ornamen. Pada Masjid Asasi, bentuk ukiran ini bergabung dengan ukiran lain, termasuk
ukiran saluak laka, tetapi motif tupai managun terlihat jelas di salah satu sisi.
3. Saluak Laka
Lambang kekerabatan. Hal ini memberi makna dalam kehidupan masyarakat, bahwa
kekuatan akan terjalin dari kesatuan yang saling mengikat dan topang-menopang
sehingga terujud kekuatan bersama dalam menghadapi berbagai persoalan.
4. Jalo Takaka/Taserak
Jalo atau jala (alat yang terbuat dari rajutan benang untuk menangkap binatang
laut). Jalo taserak ini melambangkan sistem pemerintahan Datuk Parpatih Nan Sabatang
dalam proses mengadili seseorang yang melanggar hukum dengan cara mengumpulkan
data dan kemudian dipilah-pillih hingga akhirnya diketahui siapa yang sebenarnya
bersalah. Jalo taserak termasuk motif pengisi bidang besar.
5. Daun Bodi
Visualisasi ornamen menyerupai daun bodi memiliki arti Keselarasan hidup antara akhlak
dan budi pekerti
6. Daun Puluik – puluik
motif daun puluik-puluik, bermakna kesuburan, pendirian yang kuat, hidup subur, indah,
dan makmur.
7. Limpapeh
Limpapeh merupakan tafsiran wanita Minangkabau yang mendiami rumah gadang, yaitu
wanita yang berbudi, sopan santun, pandai menjaga diri serta berperan dalam pembinaan
pendidikan anak. Motif limpapeh termasuk motif pengisi bidang besar.
8. Itiak Pulang Patang jo saik Galamai

Segerombolan itiak (itik) selalu berjalan menurut induk rombongannya, apabila


ada diantara mereka yang jatuh, maka yang lain pun ikut menurut. Motif itiak pulang
patang (itik yang pulang di sore hari) menggambarkan barisan itik yang berjalan melalui
pematang sawah menuju kandangnya, motif ini melambangkan kesepakatan, dan
persatuan yang kokoh. Selain sebagai pengisi bidang kecil pada dinding rumah gadang,
motif ini juga banyak menghiasi benda lainnya seperti pada kalintuang. Sedangkan Ajik/
galamai adalah makanan khas Minangkabau yang dalam penyajiannya dipotong-potong
dengan teliti sehungga berbentuk jajaran genjang. Motif saik ajik/ galamai mengandung
makna kehati-hatian dalam berbuat dan menghadapi berbagai permasalahan. Motif ini
pengisi bidang kecil dan sudut di setiap ukiran
Lampiran

Gambar 18. Narasumber. Petugas PDIKM Ita Suaita

Gambar 19. Wawancara bersama. Dokumentasi: Gian Tanjung


Gambar 20. Bentuk Dalam PDIKM. Documentasi: Gian Tanjung

Gambar 21. Buku Seni Ukir Tradisonal Pada Rumah Adat Minangkabau
Gambar 22. Monumen Peletakan Batu pertama

Gambar 23. Bukti Gian Tanjung ikut ke lapangan. Dokumentasi Nurul Aini.

Anda mungkin juga menyukai