Anda di halaman 1dari 40

rumah adat seperti rumah panggung dapat menghindarkan kita dari bencana banjir,

karena bentuknya yang seperti panggung itu. Selain itu, bentuk rumah seperti rumoh aceh
juga dapat menghindarkan kita dari bencana tsunami karena bentuknya yang kokoh itu, serta
bentuk rumah adat seperti rumah adat jambi dapat menghindarkan kita dari gempa bumi.
Memang begitulah sifat buruk yang nampak dari masyarakat kita sekarang ini. Kita
sudah tidak lagi peduli dengan budaya kita sendiri. Tetapi, ketika negara lain mencuri
kebudayaan kita, kita seperti kebakaran jenggot dan beramai-ramai mengecam tindakan
mereka. Padahal, tanpa kita sadari, kitalah yang telah menyebabkan banyak kebudayaan kita
mudah dicuri negara lain. Andaikan saja dari awal kita mau melestarikan kebudayaan bangsa
dengan sungguh-sungguh, tentulah tidak akan terjadi kejadian semacam itu.
Kembali ke pembahasan mengenai rumah adat, rumah-rumah adat tersebut memiliki
fungsi yang berbeda-beda sesuai dengan kebudayaan suku-suku atau masyarakat pemiliknya.
Sesuai dengan observasi yang saya lakukan di Internet, sebagian rumah-rumah adat yang ada
di Indonesia adalah sebagai berikut yang kami rangkum dalam bentuk kliping ini.
RUMAH GADANG

Rumah adat provinsi Sumatra Barat disebut Rumah Gadang. Rumah tersebut dapat
dikenali dari tonjalan atapnya yang mencuat ke atas yang bermakna menjurus kepada Yang
Maha Esa. Tonjolan itu di namakan gojong yang banyaknya 4-7 buah.
Rumah ini memiliki keunikan bentuk arsitektur yaitu dengan atap yang menyerupai
tanduk kerbau dibuat dari bahan ijuk. Dihalaman depan Rumah Gadang biasanya selalu
terdapat dua buah bangunan Rangkiang digunakan untuk menyimpan padi. Rumah Gadang
pada sayap bangunan sebelah kanan dan kirinya terdapat ruang anjuang (anjung) sebagai
tempat pengantin bersanding atau tempat penobatan kepala adat, karena itu rumah Gadang
dinamakan pula sebagai rumah Baanjuang. Anjuang pada keselarasan Bodi-Chaniago tidak
memakai tongkat penyangga di bawahnya, sedangkan untuk golongan kesalarasan Koto-
Piliang memakai tongkat penyangga. Hal ini sesuai filosofi yang dianut kedua golongan ini
yang berbeda, salah satu golongan menganut prinsip pemerintahan yang hirarkies
menggunakan anjuang yang memakai tongkat penyangga, pada golongan lainnya anjuang
seolah-olah mengapung di udara.

RUMAH GADANG (SUMATRA BARAT)


RUMAH GADANG

Rumah Gadang adalah nama untuk rumah adat Minangkabau, provinsi Sumatra Barat.
Rumah ini memiliki keunikan bentuk arsitektur yaitu dengan atap yang menyerupai tanduk
kerbau dibuat dari bahan ijuk. Dihalaman depan Rumah Gadang biasanya selalu terdapat dua
buah bangunan Rangkiang, digunakan untuk menyimpan padi. Rumah Gadang pada sayap
bangunan sebelah kanan dan kirinya terdapat ruang anjuang (anjung) sebagai tempat
pengantin bersanding atau tempat penobatan kepala adat, karena itu rumah Gadang
dinamakan pula sebagai rumah Baanjuang. Anjuang pada keselarasan Bodi-Chaniago tidak
memakai tongkat penyangga di bawahnya, sedangkan untuk golongan kesalarasan Koto-
Piliang memakai tongkat penyangga. Hal ini sesuai filosofi yang dianut kedua golongan ini
yang berbeda, salah satu golongan menganut prinsip pemerintahan yang hirarkies
menggunakan anjuang yang memakai tongkat penyangga, pada golongan lainnya anjuang
seolah-olah mengapung di udara.
Rumoh Aceh (Rumah Adat Aceh)

Setiap suku bangsa yang mendiami kepulauan Indonesia memiliki rumah adat masing-
masing. Aceh juga memiliki rumah adat yang dinamakan Rumoh Aceh (rumoh = rumah
Aceh). Walaupun masing-masing etnis di Aceh memiliki rumah adat tersendiri, namun
Rumoh Aceh disepakati sebagai bangunan rumah adat untuk mewakili masyarakat Aceh.
Sebagian masyarakat Indonesia sudah pernah melihat prototip Rumoh Aceh. Namun
masih sedikit orang memahami teknologi bangunannya. Artinya, bagaimana konstruksi
Rumoh Aceh yang sebenarnya.
Rumoh Aceh terdiri atas tiang utama (bisa lebih), yang terbuat dari kayu pilihan
berbentuk bulat lurus. Dahulu, cara pengamabilan tiang rumah (Tameh Rumoh), mempunyai
syarat tertentu. Pohon harus cukup umur, sebelum ditebang, seseorang yang ditu adatkan
mengitari pohon itu beberapa kali disertai dialog dengan bahasa isyarat. Ini wujud
penghargaan kepada sesama makhluk, dan prinsip dasar pelestarian lingkungan.
Setiap tiang dipahat tiga lubang tembus. Satu lubang untuk memasukkan lagor (toi)
serambi, satu untuk lagor utama (rumoh), dan satu lubang lagi (lebih kecil) untuk lagor kecil
(rok) penyeimbang paralel sisi memanjang. Bagian bawah dipotong rata, dan bagian atas
dibuat putting berbentuk balok, tiang didirikan dengan menggunakan tapakyang terbuat dari
coran semen atau batu. Putting atas sebagai tempat memasukkan kerangka atas yang terdiri
atas empat bara (papan 25 x 5 cm) untuk menyeimbangi bagian atas dan tempat kerangka
atap diletakkan.
Kerangka atap terdiri atas kayu bulat seukurab bambu yang disebut gaseue. Semuanya
disusun dengan jarak sekitar satu meter, dan ditengahnya diselipi belubah, yaitu tempat atap
rumbiah dirajut. Gasue, beulubah, dan atap hanya diletakkan diatas bara. Penahan semua ini
adalah tali ijuk yang dibuat mirip ramset (nok) yang jumlahnya sama dengan jumlah tiang sisi
serambi. Jika tali ini dipotong, atap bersama gaseue dan beulubah akan meluncur ke bawah.
Dinding umumnya dari papan, dan dihiasi ornamen berupa ukiran. Semua sisi ditutupi dengan
kayu berukir (peulangan). Dulu peulangan ini selain ukiran motif Aceh, juga dilukis gambar
bunga atau binatang. Pada bagian rabung yang menghadap keluar (para), Rumoh Aceh
dilengkapi dengan tulak angen yang lubangnya diukir.
Untuk menguatkan hubungan toi dengan tameh , dan sambungan menggunakan pasak.
Tidak ada paku yang digunakan pada bangunan Rumoh Aceh. Dengan demikian, jika
dibutuhkan Rumoh Aceh dapat di bongkar dari kemudian didirikan di tempat lain.
Rumah Bolon (Rumah Adat Suku Batak Toba)
Sumatera Utara

Penduduk Sumatera Utara yang terdiri dari banyak suku mempunyai beragam budaya
salah satunya adalah budaya rumah adat. Suku Batak Toba yang merupakan salah satu suku di
Sumatera Utara juga mempunyai rumah adat. Rumah adat Batak Toba disebut dengan
‘Rumah Bolon’. Dihuni oleh beberapa keluarga yang menempati ruang dalam secara terbuka
bersama. Posisinya terkelompok berdasarkan aturan adat dari yang paling penting sampai
keluarga lainnya dalam masing-masing fungsi. Sudut kanan belakang dari rumah dianggap
sebagai lokasi keramat yang hanya boleh ditempati oleh pemimpin rumah. Di bagian belakang
rumah ada bangunan tambahan yang berfungsi sebagai dapur, di mana Setiap keluarga bisa
memiliki dapur sendiri. Lumbung padi terletak pada bangunan tersendiri yang disebut dengan
’sopo’.
Untuk memasuki rumah Batak Toba dibuat tangga dengan posisi pada lubang yang
ada di bawah lantai panggung. Secara adat telah ditentukan bahwa tangga ini selayaknya
berjumlah ganjil. Tangga yang cepat aus merupakan kebanggaan bagi pemillik rumah bahwa
banyak orang dan tamu yang telah memasuki rumahnya. Tangga ini diberi nama ’tangga rege-
rege’
Ornamentasi dan dekorasi dari rumah adat Batak Toba mengandung nilai filosofi bagi
keselamatan penghuni. Lokasi elemen rumah yang dihias berada pada gevel, pintu masuk,
sudut-sudut rumah, bahkan ada yang sampai berada di keseluruhan dinding. Hiasan ini dapat
berupa ukiran, dapat diberi warna, atau hanya berupa gambar saja. Tiga elemen warna yang
penting adalah merah, putih dan hitam. Merah melambangkan pengetahuan/kecerdasan, putih
melambangkan kejujuran/kesucian dan hitam melambangkan kewibawaan/kepemimpinan.
Rumah Adat Provinsi Riau
(Rumah Melayu Selaso Jatuh Kembar)

Rumah adat di provinsi Riau bernama Rumah Melayu Selaso Jatuh Kembar. Ruangan
rumah ini terdiri dari ruangan besar untuk tempat tidur. ruangan bersila, anjungan dan dapur.
Rumah adat ini dilengkapi pula dengan Balai Adat yang dipergunakan untuk pertemuan dan
musyawarah adat. Bentuk rumah tradisional daerah Riau pada umumnya adalah rumah
panggung yang berdiri di atas tiang dengan bangunan persegi panjang. Draf beberapa bentuk
rumah ini hampir serupa, baik tangga, pintu, dinding, susunan ruangannya sama saja, kecuali
rumah lontik. Rumah lontik yang dapat juga disebut Rumah Lancang karena rumah ini bentuk
atapnya melengkung ke atas dan agak runcing sedangkan dindingnya miring keluar dengan
miring keluar dengan hiasan kaki dinding mirip perahu atau lancang. Hal ini melambangkan
penghormatan kepada Tuhan dan terhadap sesama. Rumah Lontik diperkirakan dapat
pengaruh dari kebudayaan Minangkabau karena kabanyakan terdapat di daerah yang
berbatasan dengan Sumatera Barat. Tangga rumah biasanya ganjil, bahkan Rumah Lontik
beranak tangga lima, Hal ini ada kaitannya dengan ajaran Islam yakni rukun islam yang lima.
Tiang bentuknya bermacam-macam, ada yang persegi empat, segi enam, segi tujuh,
segi delapan, dan segi sembilan. Segi empat melambangkan empat penjuru mata angin, sama
dengan segi delapan. Maksudnya rumah itu akan mendatangkan rezeki dari segala penjuru.
Tiang segi enam melambangkan Rukun Iman dalam ajaran Islam, maksudnya diharapkan
pemilik rumah tetap taat dan beriman kepada Tuhannya. Tiang segi tujuh melambangkan
tujuh tingkatan surga dan neraka. Kalau pemilik rumah baik dan soleh akan masuk ke salah
satu tujuh tingkat surga, sebaliknya kalau jahat akan masuk salah satu tujuh tingkat neraka.
Tiang persegi sembilan melambngkan bahwa pemilik rumah adalah orang mampu.
Tiang utama adalah tiang tuo, yang terletak pada pintu masuk sebelah kiri dan kanan,
dan tiang ini tidak boleh disambung karena sebagai lambang rasa hormat kepada orang tua. Di
daerah lain yakni pada suku Melayu di kepulauan, tiang yang dianggap penting adalah Tiang
Seri yang terdapat di keempat sudut rumah. Baik Tiang Tuo maupun Tiang Seri tak boleh
bersambung dan terbuat dari kayu yang besar.
Rumah Adat Provinsi Riau
(Rumah Melayu Selaso Jatuh Kembar)

Rumah adat di provinsi Riau bernama Rumah Melayu Selaso Jatuh Kembar. Ruangan
rumah ini terdiri dari ruangan besar untuk tempat tidur. ruangan bersila, anjungan dan dapur.
Rumah adat ini dilengkapi pula dengan Balai Adat yang dipergunakan untuk pertemuan dan
musyawarah adat. Bentuk rumah tradisional daerah Riau pada umumnya adalah rumah
panggung yang berdiri di atas tiang dengan bangunan persegi panjang. Draf beberapa bentuk
rumah ini hampir serupa, baik tangga, pintu, dinding, susunan ruangannya sama saja, kecuali
rumah lontik. Rumah lontik yang dapat juga disebut Rumah Lancang karena rumah ini bentuk
atapnya melengkung ke atas dan agak runcing sedangkan dindingnya miring keluar dengan
miring keluar dengan hiasan kaki dinding mirip perahu atau lancang. Hal ini melambangkan
penghormatan kepada Tuhan dan terhadap sesama. Rumah Lontik diperkirakan dapat
pengaruh dari kebudayaan Minangkabau karena kabanyakan terdapat di daerah yang
berbatasan dengan Sumatera Barat. Tangga rumah biasanya ganjil, bahkan Rumah Lontik
beranak tangga lima, Hal ini ada kaitannya dengan ajaran Islam yakni rukun islam yang lima.
Tiang bentuknya bermacam-macam, ada yang persegi empat, segi enam, segi tujuh,
segi delapan, dan segi sembilan. Segi empat melambangkan empat penjuru mata angin, sama
dengan segi delapan. Maksudnya rumah itu akan mendatangkan rezeki dari segala penjuru.
Tiang segi enam melambangkan Rukun Iman dalam ajaran Islam, maksudnya diharapkan
pemilik rumah tetap taat dan beriman kepada Tuhannya. Tiang segi tujuh melambangkan
tujuh tingkatan surga dan neraka. Kalau pemilik rumah baik dan soleh akan masuk ke salah
satu tujuh tingkat surga, sebaliknya kalau jahat akan masuk salah satu tujuh tingkat neraka.
Tiang persegi sembilan melambngkan bahwa pemilik rumah adalah orang mampu.
Tiang utama adalah tiang tuo, yang terletak pada pintu masuk sebelah kiri dan kanan,
dan tiang ini tidak boleh disambung karena sebagai lambang rasa hormat kepada orang tua. Di
daerah lain yakni pada suku Melayu di kepulauan, tiang yang dianggap penting adalah Tiang
Seri yang terdapat di keempat sudut rumah. Baik Tiang Tuo maupun Tiang Seri tak boleh
bersambung dan terbuat dari kayu yang besar.
Rumah Adat Jambi (Rumah Kejang Lako)
Rumah Kejang Lako oleh masyarakat Marga Bathin dibangun dengan tipologi
bangunan rumah panggung yang berbentuk empat persegi panjang. Rata-rata bangunan dibuat
dalam ukuran 9 m x 12 m dengan menggunakan kayu ulim yang banyak tumbuh di daerah
Jambi. Untuk merangkai kayu-kayu pada bagian rumah, masyarakat Marga Bathin
mengandalkan teknik tradisional, seperti teknik tumpuan, sambung kait, dan pengait
menggunakan pasak.
Keunikan bangunan rumah panggung Kejang Lako terletak pada struktur konstruksi
dan ukiran yang menghiasi bangunan. Konstruksi bangunan terdiri dari beberapa bagian,
seperti: Bubungan/atap dibuat seperti perahu dengan ujung bubungan bagian atas melengkung
ke atas yang sering disebut lipat kejang, atau potong jerambah. Kasau Bentuk adalah atap
bagian atas yang berfungsi untuk mencegah air hujan tidak masuk ke dalam rumah. Penteh,
bagian ini berfungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda yang jarang dipergunakan.
Tebar layar, bagian ini berfungsi sebagai dinding penutup ruang atas yang menahan
rembesan/tempias air hujan. Pelamban merupakan bangunan tambahan yang dipergunakan
untuk ruang tunggu bagi tamu yang baru datang sebelum diizinkan masuk oleh tuan rumah.
Masinding/dinding, terbuat dari papan yang diukir.
Pintu pada rumah panggung Kejang Lako terdiri dari 3 pintu, yaitu: pintu tegak, pintu
masinding, pintu balik melintang.
Rumah ini juga memiliki dua tangga, yaitu: tangga utama yang terdapat di sebelah
kanan pelamban dan tangga penteh yang dipakai untuk naik ke penteh.
Tiang rumah panggung Kejang Lako berjumlah 30 yang terdiri dari 24 tiang utama
dan 6 tiang pelamban. Tiang utama panjangnya 4,25 m yang berfungsi sebagai tonggak untuk
menopang kerangka bangunan. Di samping sebagai penopang, tiang tersebut juga berfungsi
sebagai pemisah antara satu ruang dengan ruangan yang lain menjadi 8 bagian. Adapun nama-
nama ruang tersebut adalah pelamban, ruang gaho, ruang masinding, ruang tengah, ruang
balik melintang, ruang balik menalam, ruang atas/penteh, dan ruang bawah/bauman.
Bangunan rumah panggung Kejang Lako menjadi lebih indah dengan hiasan beraneka
ragam motif ukiran khas masyarakat Jambi.
Rumah Adat Sumatera Selatan (Rumah Limas)

Rumah Bari Palembang (Rumah Adat Limas) merupakan Rumah panggung kayu.
Bari dalam bahasa Palembang berarti lama atau kuno. Dari segi arsitektur, rumah-rumah kayu
itu disebut rumah limas karena bentuk atapnya yang berupa limasan. Sumatera Selatan adalah
salah satu daerah yang memiliki ciri khas rumah limas sebagai rumah tinggal. Alam Sumatera
Selatan yang lekat dengan perairan tawar, baik itu rawa maupun sungai, membuat
masyarakatnya membangun rumah panggung. Di tepian Sungai Musi masih ada rumah limas
yang pintu masuknya menghadap ke sungai.
Bangunan rumah limas biasanya memanjang ke belakang. Ada bangunan yang ukuran
lebarnya 20 meter dengan panjang mencapai 100 meter. Rumah limas yang besar
melambangkan status sosial pemilik rumah. Biasanya pemiliknya adalah keturunan keluarga
Kesultanan Palembang, pejabat pemerintahan Hindia Belanda, atau saudagar kaya.
Bangunan rumah limas memakai bahan kayu unglen atau merbau yang tahan air.
Dindingnya terbuat dari papan-papan kayu yang disusun tegak. Untuk naik ke rumah limas
dibuatlah dua undak-undakan kayu dari sebelah kiri dan kanan.
Bagian teras rumah biasanya dikelilingi pagar kayu berjeruji yang disebut tenggalung.
Makna filosofis di balik pagar kayu itu adalah untuk menahan supaya anak perempuan tidak
keluar dari rumah.
Memasuki bagian dalam rumah, pintu masuk ke rumah limas adalah bagian yang unik.
Pintu kayu tersebut jika dibuka lebar akan menempel ke langit- langit teras. Untuk
menopangnya, digunakan kunci dan pegas.
Bagian dalam ruangan tamu, yang disebut kekijing, berupa pelataran yang luas.
Ruangan ini menjadi pusat kegiatan berkumpul jika ada perhelatan. Ruang tamu sekaligus
menjadi "ruang pamer" untuk menunjukkan kemakmuran pemilik rumah. Bagian dinding
ruangan dihiasi dengan ukiran bermotif flora yang dicat dengan warna keemasan. Tak jarang,
pemilik menggunakan timah dan emas di bagian ukiran dan lampu- lampu gantung antik
sebagai aksesori.
Rumah Adat Lampung (Nuwou Sesat)

Rumah adat di Lampung ialah Rumah Sesat (Nuwou Sesat), yang digunakan untuk
musyawarah tertinggi antara marga-marga. Jambal Agung atau Lorong Agung adalah nama
tangga menuju Rumah Sesat.
Arsitektur tradisional Lampung umumnya terdiri dari bangunan tempat tinggal disebut
Lamban, Lambahana atau Nuwou, bangunan ibadah yang disebut Mesjid, Mesigit, Surau,
Rang Ngaji, atau Pok Ngajei, bangunan musyawarah yang disebut sesat atau bantaian, dan
bangunan penyimpanan bahan makanan dan benda pusaka yang disebut Lamban Pamanohan
Rumah orang Lampung biasanya didirikan dekat sungai dan berjajar sepanjang jalan
utama yang membelah kampung, yang disebut tiyuh. Setiap tiyuh terbagi lagi ke dalam
beberapa bagian yang disebut bilik, yaitu tempat berdiam buway . Bangunan beberapa buway
membentuk kesatuan teritorial-genealogis yang disebut marga. Dalam setiap bilik terdapat
sebuah rumah klen yang besar disebut nuwou menyanak. Rumah ini selalu dihuni oleh
kerabat tertua yang mewarisi kekuasaan memimpin keluarga.
Nuwou Sesat, bangunan ini aslinya adalah balai pertemuan adat tempat para purwatin
(penyimbang) pada saat mengadakan pepung adat (musyawarah). Karena itu balai ini juga
disebut Sesat Balai Agung. Bagian bagian dari bangunan ini adalah ijan geladak (tangga
masuk yang dilengkapi dengan atap).
Atap itu disebut Rurung Agung. Kemudian anjungan (serambi yang digunakan untuk
pertemuan kecil, pusiban (ruang dalam tempat musyawarah resmi), ruang tetabuhan (tempat
menyimpan alat musik tradisional), dan ruang Gajah Merem ( tempat istirahat bagi para
penyimbang) . Hal lain yang khas di rumah sesat ini adalah hiasan payung-payung besar di
atapnya (rurung agung), yang berwarna putih, kuning, dan merah, yang melambangkan
tingkat kepenyimbangan bagi masyarakat tradisional Lampung Pepadun.
Rumah Adat Bengkulu (Bubungan Lima)
Rumah Adat Jakarta (Rumah Kebaya)

Rumah Kebaya mempunyai beberapa pasang atap, yang apabila dilihat dari samping
berlipat-lipat seperti lipatan kebaya.
Arsitekturnya seperti monas yang terpotong bagian tugunya. Rumah ini
melambangkan penduduk Jakarta yang terdiri dari berbagai suku bangsa.
Pembagian ruangannya, serambi depan disebut Paseban. Dindingnya terbuat dari
panel-panel yang dapat dibuka-buka dan digeser-geser ke tepinya. Hal ini dimaksudkan agar
ruangan terasa lebih luas.
Pada saat-saat tertentu, Rumah Kebaya sering digunakan untuk mengadakan acara
selamatan atau hajatan khas Betawi.

Struktur Bangunan Betawi


1. Konstruksi rumah betawi diawali dengan Umpak, yaitu batu yang menahan beratnya
Dinding
2. Pada bagian tengah kekuatan bertumpu pada Penglari dan pada bagian atas, aksentuasi
konstruksi pada kuda-kuda
3. Secara garis besar sistem struktur banguan yang secara keseluruhan berbeda, unsur-unsur
struktur maupun lihat dari tata letak fungsi-fungsi atau ruang-ruangnya, pola yang dimiliki
oleh rumah tradisional betawi cenderung bersifat simetris walaupun bukan hal yang
mutlak
4. Secara umum, tradisional betawi mempunyai tata ruang yang sederhana dan terdiri dari 3
kelompok yaitu ruang depan, tengah dan belakang.
Rumah Adat Prov. Bangka Belitung
(Rumah Melayu bubung Panjang)

Secara umum arsitektur di Kepulauan Bangka Belitung berciri Arsitektur Melayu


seperti yang ditemukan di daerah-daerah sepanjang pesisir Sumatera dan Malaka.
Di daerah ini dikenal ada tiga tipe yaitu Arsitektur Melayu Awal, Melayu Bubung
Panjang dan Melayu Bubung Limas. Rumah Melayu Awal berupa rumah panggung kayu
dengan material seperti kayu, bambu, rotan, akar pohon, daun-daun atau alang-alang yang
tumbuh dan mudah diperoleh di sekitar pemukiman.
Bangunan Melayu Awal ini beratap tinggi di mana sebagian atapnya miring, memiliki
beranda di muka, serta bukaan banyak yang berfungsi sebagai fentilasi. Rumah Melayu awal
terdiri atas rumah ibu dan rumah dapur, yang berdiri di atas tiang rumah yang ditanam dalam
tanah.
Berkaitan dengan tiang, masyarakat Kepulauan Bangka Belitung mengenal falsafah 9
tiang. Bangunan didirikan di atas 9 buah tiang, dengan tiang utama berada di tengah dan
didirikan pertama kali. Atap ditutup dengan daun rumbia. Dindingnya biasanya dibuat dari
pelepah/kulit kayu atau buluh (bambu). Rumah Melayu Bubung Panjang biasanya karena ada
penambahan bangunan di sisi bangunan yang ada sebelumnya, sedangkan Bubung Limas
karena pengaruh dari Palembang. Sebagian dari atap sisi bangunan dengan arsitektur ini
terpancung. Selain pengaruh arsitektur Melayu ditemukan pula pengaruh arsitektur non-
Melayu seperti terlihat dari bentuk Rumah Panjang yang pada umumnya didiami oleh warga
keturunan Tionghoa. Pengaruh non-Melayu lain datang dari arsitektur kolonial, terutama
tampak pada tangga batu dengan bentuk lengkung.
Rumah Adat Prov. Kep. Riau
(Rumah Lancang/Pecalang)

Kepulauan Riau merupakan salah satu satu provinsi di Indonesia. Daerah ini
merupakan gugusan pulau yang tersebar di perairan selat Malaka dan laut Cina selatan.
Keadaan pulau-pulau itu berbukit dengan pantai landai dan terjal. Mayoritas penduduknya
berprofesi sebagai nelayan dan petani. Sedangkan agama yang dianut oleh sebagian besar dari
mereka adalah Islam.
Rumah Lancang atau Pencalang merupakan nama salah satu Rumah tradisional
masyarakat Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, Indonesia. Selain nama Rumah Lancang atau
Pencalang, Rumah ini juga dikenal dengan sebutan Rumah Lontik. Disebut Lancang atau
Pencalang karena bentuk hiasan kaki dinding depannya mirip perahu, bentuk dinding Rumah
yang miring keluar seperti miringnya dinding perahu layar mereka, dan jika dilihat dari jauh
bentuk Rumah tersebut seperti Rumah-Rumah perahu (magon) yang biasa dibuat penduduk.
Sedangkan nama Lontik dipakai karena bentuk perabung (bubungan) atapnya melentik ke
atas.
Rumah Adat Suku Baduy (Prov. Banten)

Di Provinsi Banten terdapat Suku Baduy. Suku Baduy Dalam merupakan suku asli
Sunda Banten yang masih menjaga tradisi anti modernisasi, baik cara berpakaian maupun
pola hidup lainnya. Suku Baduy-Rawayan tinggal di kawasan Cagar Budaya Pegunungan
Kendeng seluas 5.101,85 hektare di daerah Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten
Lebak. Perkampungan masyarakat Baduy umumnya terletak di daerah aliran Sungai Ciujung
di Pegunungan Kendeng. Daerah ini dikenal sebagai wilayah tanah titipan dari nenek moyang,
yang harus dipelihara dan dijaga baik-baik, tidak boleh dirusak.
Rumah adatnya adalah rumah panggung yang beratapkan daun atap dan lantainya
dibuat dari pelupuh yaitu bambu yang dibelah-belah. Sedangkan dindingnya terbuat dari bilik
(gedek). Untuk penyangga rumah panggung adalah batu yang sudah dibuat sedemikian rupa
berbentuk balok yang ujungnya makin mengecil seperti batu yang digunakan untuk alas
menumbuk beras. Rumah adat ini masih banyak ditemukan di daerah yang dihuni oleh orang
Kanekes atau disebut juga orang Baduy.
Rumah Adat Jawa Barat

Rumah adat di Jawa Barat terdiri dari banyak macam. Khusus di tanah Parahyangan,
rumah adat biasanya dibangun di atas tanah sekitar 40-60 cm dengan menggunakan batu.
Biasanya dilengkapi golodog berupa tangga dan teras depan. Sedangkan bentuk atap atau
suhunan sangat bergantung letak geografis di mana rumah itu dibangun.
Bentuk suhunan rumah Sunda sangat disesuaikan dengan keadaan alam serta
kebutuhan masyarakat urang Sunda. Di tanah Parahyangan banyak bentuk gaya rumah, yang
umumnya diperlihatkan dari bentuk atapnya (suhunan atau hateup). Ada beberapa susuhunan
yang dikenal masyarakat Sunda, seperti suhunan jolopong atau regol, suhunan tago/jogog
anjing, suhunan badak heuay, suhunan perahu kumureb/nangkub, suhunan capit gunting,
suhunan julang ngapak, suhunan buka palayu, dan buka pongpok.
Suhunan jolopong (pelana), merupakan bentuk rumah yang atapnya memanjang. Atap
rumah jolopong ini biasa juga disebut suhunan panjang, gagajahan, dan regol. Sedangkan atap
rumah jogog atau tagog anjing, bentuknya seperti anjing yang sedang duduk. Bagian depan
mirip mulut anjing, menjulur menutupi teras rumah (ngiuhan emper imah).
Atap rumah bentuk badak heuay, biasanya bentuk atapnya mirip bentuk atap rumah
tagog anjing, tapi di bagian atas suhunan-nya ada tambahan atau atap belakang dan depan
yang menyerupai badak menguap.
Rumah Adat Kudus Jateng

Rumah Adat Kudus merupakan salah satu rumah tradisional yang mencerminkan
akulturasi kebudayaan masyarakat Kudus. Rumah Adat Kudus memiliki atap berbentuk joglo
pencu, dengan bangunan yang didominasi seni ukir empat dimensi khas Kota Kudus yang
merupakan perpaduan gaya seni ukir dari budaya Hindu, Persia (Islam), Cina, dan Eropa.
Rumah ini diperkirakan mulai dibangun pada tahun 1500-an M dengan bahan baku utama
(95%) dari kayu jati (tectona grandis) berkualitas tinggi dengan sistem pemasangan knock-
down (bongkar pasang tanpa paku).
Dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya, Rumah Adat Kudus banyak berdiri
di wilayah Kudus Kulon (Alun-alun ke barat) yang komposisi penduduknya mayoritas adalah
pengusaha dan pedagang yang secara ekonomi lebih maju dibandingkan dengan penduduk di
wilayah Kudus Wetan (Alun-alun ke timur). Pada awalnya, Rumah Adat Kudus hanya
dimiliki oleh para pedagang Cina Islam, tetapi kemudian banyak pedagang pribumi yang ikut
mendirikan rumah adat tersebut setelah usaha mereka berkembang. Rumah Adat Kudus
sebagian besar dibangun sebelum tahun 1810 M dan pernah menjadi simbol kemewahan bagi
pemiliknya pada waktu itu.
Keunikan dan keistimewaan Rumah Adat Kudus tidak hanya terletak pada keindahan
arsitekturnya yang didominasi dengan seni ukir kualitas tinggi, tetapi juga pada kelengkapan
komponen-komponen pembentuknya yang memiliki makna filosofis berbeda-beda.
RUMAH JOGLO

Bangunan ini termasuk pada banguna tahan gempa.bangunan rumah adat ini terdiri
atas stuktur beton dan pondasi yang kuat sehingga dapat menahan beban.ada tiga alasan
mengapa rumah Joglo lebih tahan terhadap gempa. Pertama, rangka utama (core frame) yang
terdiri umpak, sokoguru, dan tumpang sari, dapat menahan beban lateral yang bergerak
horizontal ketika terjadi gempa. Inilah kunci utama mengapa rumah Joglo masih dapat berdiri
ketika gempa Yogyakarta pada Mei 2006, di saat rumah atau gedung lain mengalami
keruntuhan.
Alasan kedua, adalah bahwa struktur rumah Joglo yang berbahan kayu menghasilkan
kemampuan meredam getaran/guncangan yang efektif, lebih fleksibel, dan juga stabil.
Struktur dari kayu inilah yang berfungsi meredam efek getaran/guncangan dari gempa.
Ketiga, kolom rumah yang memiliki tumpuan sendi dan rol, sambungan kayu yang
memakai sistem sambungan lidah alur, dan konfigurasi kolom anak (soko-soko emper)
terhadap kolom-kolom induk (soko-soko guru) merupakan earthquake responsive building
dari rumah Joglo. Oleh karenanya, dengan sistem ini, rumah Joglo lebih stabil pada frekuensi
gempa tinggi dengan akselerasi rendah-tinggi. Sedangkan pada frekuensi gempa rendah,
rumah Joglo lebih fleksibel. Hanya saja, Prihatmaji mengungkapkan rumah Joglo hanya tahan
pada daerah gempa III. Lebih dari itu, rumah jenis ini memerlukan beberapa modifikasi.
Hunian pada masyarakat Bali ditata sesuai dengan konsep Tri Hita Karana. Orientasi
yang digunakan menggunakan pedoman-pedoman seperti tersebut diatas. Sudut utara-timur
adalah tempat yang suci, digunakan sebagai tempat pemujaan, Pamerajan (sebagai pura
keluarga). Sebaliknya sudut barat-selatan merupakan sudut yang terendah dalam tata-nilai
rumah, merupakan arah masuk ke hunian.
Pada pintu masuk (angkul-angkul) terdapat tembok yang dinamakan aling-aling, yang
tidak saja berfungsi sebagai penghalang pandangan ke arah dalam (untuk memberikan
privasi), tetapi juga digunakan sebagai penolak pengaruh-pengaruh jahat/jelek. Angkul-
angkul ini bentuk mirip seperti pagar utama di bangunan modern, sebagai pintu masuk
penghubung antara luar dengan area dalam bangunan. Pada bagian ini terdapat bangunan
Jineng (lumbung padi) dan paon (dapur). Berturut-turut terdapat bangunan - bangunan bale
tiang sangah, bale sikepat/semanggen dan Umah meten. Tiga bangunan (bale tiang sanga, bale
sikepat, bale sekenam) merupakan bangunan terbuka (tanpa tembok, dengan bangunan dasar
berbentul Bale yang sering kita jumpai pada umumnya).
Ditengah-tengah hunian bangunan tradisional Bali, terdapat natah (court
garden/halaman) yang merupakan pusat dari hunian. Umah Meten untuk ruang tidur kepala
keluarga, atau anak gadis. Umah meten merupakan bangunan mempunyai empat buah
dinding, sesuai dengan fungsinya yang memerlukan keamanan tinggi dibandingkan ruang-
ruang lain (tempat barang-barang penting & berharga). Hunian tipikal pada masyarakat Bali
ini, biasanya mempunyai pembatas yang berupa pagar yang mengelilingi bangunan/ruang-
ruang tersebut diatas.
Rumah Panjang
(Rumah Adat Kalimantan Barat)

Sebagai salah satu daerah di Indonesia, Kalimantan Barat memiliki banyak sumber
daya alam seperti hutan hujan tropis dengan berbagai jenis flora dan fauna. Sebagian besar
daerah ini telah ditetapkan sebagai kawasan hutan konservasi.
Daerah Kalimantan Barat dihuni oleh aneka ragam suku bangsa. Suku bangsa
mayoritasnya yaitu Dayak, Melayu dan Tionghoa, selain itu terdapat juga suku-suku bangsa
lain, antara lain Bugis, Jawa, Madura, Minangkabau, Sunda, Batak.
Rumah tradisional yang ada yaitu rumah panjang di Kalimantan Barat umumnya
disebut Betang, adalah suatu bangunan tradisional yang dimiliki oleh beberapa kelompok
Dayak yang ada di Kalimantan Barat. Pembagian ruangan atau bilik yang ada didalam Betang
mencerminkan stratifikasi dari sistem yang unik dari masyarakat yang tinggal di dalamnya.
Bagian tengah dari betang adalah untuk aktivitas yang bersifat publik, sedangkan bagian
depan digunakan untuk menjemur padi dan komoditas lainnya. Ruang belakang biasanya
untuk keperluan memasak, tidur dan tempat berkumpul bagi seluruh anggota keluarga.
Pemisahan ruangan ini mencerminkan pemisahan antara wilayah sosial, individu dan fasilitas
umum.
Rumah Betang
(Rumah Adat Kalimantan Tengah)

Rumah adat kalimantan Tengah dinamakan Rumah Betang. Rumah itu panjang,
bawahkolongnya di gunakan untuk bertenun dan menumbuk padi. Satu bangunan rumah di
huni oleh kurang lebih 20 kepala keluarga.
Betang dibangun biasanya berukuran besar, panjangnya dapat mencapai 30-150 meter
serta lebarnya dapat mencapai sekitar 10-30 meter, memiliki tiang yang tingginya sekitar 3-5
meter. Betang di bangun menggunakan bahan kayu yang berkualitas tinggi, yaitu kayu ulin
(Eusideroxylon zwageri T et B), selain memiliki kekuatan yang bisa berdiri sampai dengan
ratusan tahun serta anti rayap.
Betang biasanya dihuni oleh 100-150 jiwa di dalamnya, sudah dapat dipastikan
suasana yang ada di dalamnya. Betang dapat dikatakan sebagai rumah suku, karena selain di
dalamnya terdapat satu keluarga besar yang menjadi penghuninya dan dipimpin pula oleh
seorang Pambakas Lewu. Di dalam betang terbagi menjadi beberapa ruangan yang dihuni
oleh setiap keluarga.
Betang memiliki keunikan tersendiri dapat diamati dari bentuknya yang memanjang
serta terdapat hanya terdapat sebuah tangga dan pintu masuk ke dalam Betang. Tangga
sebagai alat penghubung pada Betang dinamakan hejot. Betang yang dibangun tinggi dari
permukaan tanah dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yang meresahkan para penghuni
Betang, seperti menghindari musuh yang dapat datang tiba-tiba, binatang buas, ataupun banjir
yang terkadang melanda Betang. Hampir semua Betang dapat ditemui di pinggiran sungai-
sungai besar yang ada di Kalimantan.
Rumah Adat Banjar (Bubungan Tinggi)
Kalimantan Selatan

Rumah Banjar adalah rumah tradisional suku Banjar. Arsitektur tradisional ciri-
cirinya antara lain mempunyai perlambang, mempunyai penekanan pada atap, ornamental,
dekoratif dan simetris.
Menurut Idwar Saleh (1984:5) Rumah tradisonal Banjar adalah type-type rumah khas
Banjar dengan gaya dan ukirannya sendiri mulai sebelum tahun 1871 sampai tahun 1935.
Umumnya rumah tradisional Banjar dibangun dengan ber-anjung (ba-anjung) yaitu sayap
bangunan yang menjorok dari samping kanan dan kiri bangunan utama karena itu disebut
Rumah Baanjung. Anjung merupakan ciri khas rumah tradisional Banjar, walaupun ada pula
beberapa type Rumah Banjar yang tidak ber-anjung. Tipe rumah yang paling bernilai tinggi
adalah Rumah Bubungan Tinggi yang biasanya dipakai untuk bangunan keraton (Dalam
Sultan). Jadi nilainya sama dengan rumah joglo di Jawa yang dipakai sebagai keraton.
Keagungan seorang penguasa pada masa pemerintahan kerajaan diukur oleh kuantitas ukuran
dan kualitas seni serta kemegahan bangunan-bangunan kerajaan khususnya istana raja
(Rumah Bubungan Tinggi). Dalam suatu perkampungan suku Banjar terdiri dari bermacam-
macam jenis rumah Banjar yang mencerminkan status sosial maupun status ekonomi sang
pemilik rumah. Dalam kampung tersebut rumah dibangun dengan pola linier mengikuti arah
aliran sungai maupun jalan raya terdiri dari rumah yang dibangun mengapung di atas air,
rumah yang didirikan di atas sungai maupun rumah yang didirikan di daratan, baik pada lahan
basah (alluvial) maupun lahan kering.
Rumah Lamin (Kalimantan Timur)

Rumah Lamin berbentuk panggung setinggi 3 meter dari tanah dan dihui 25 hingga 30
kepala keluarga. Ujung atap rumah ini diberi hiasan kepala naga sebagai simbol keagungan,
budi luhur, dan kepahlawanan.
Halaman rumahnya diisi oleh patung-patung Blontang yang menggambarkan dewa-
dewa sebagai penjaga rumah atau kampung.
Rumah Lamin terbagi atas ruangan dapur, tidur, dan ruangan tengah guna menerima
tamu atau pertemuan adat. Tangga untuk naik ke dalam rumah terbuat dari kayu pohon.
Bentuk tangga ini tidak berbeda antara rumah para bangsawan dan rakyat biasa.
Dinding rumah lamin terbuat dari kayu yang diselingi daun rumbia. Sementara itu,
kolong rumah panggung ini digunakan untuk memilihara ternak.
Rumah adat yang satu ini berasal dari Kalimantan Timur. Rumah adat suku dayak
yang dinamakan rumah lamin ini merupakan rumah panggung yang panjang dan sambung
menyambung, terdiri dari banyak kamar yang ditempati banyak anggota keluarga, bahkan
dapat mencapai lebih dari 100 orang. Bahan bangunan utamanya dari kayu ulin berwarna
hitam dan tahan lama.
Ruangan los yang panjang berfungsi sebagai tempat pertemuan, upacara adat, dan
tempat tidur untuk laki-laki, pemuda, dan tamu laki-laki. Juga terdapat kamar-kamar yang
berderet untuk ruang tidur keluarga dan gadis.
Ukiran dari rumah lamin ini memiliki ciri yang berpola ukiran abstrak dengan
pengulangan garis dan seperti ular naga, burung topeng, kerangka manusia, dll.
Desain rumah ini tentu sebagai ciri khas dari rumah-rumah adat di Indonesia. Dimana
Terdapat ukiran-ukiran, patung, dan dai bahan bangunannya sendiri yang pada umumnya
menggunakan kayu.
Bangunan ini memiliki ciri bentukan yang mengulang serta memanjangBerbeda dari
rumah adat lainnya. Rumah lamin memiliki sifat yang mengutamakan fungsi dari
bangunannya. Tetapi tetap tidak menghilangkan ciri khususnya yang terdapat ukiran pada sisi
bangunannya tertentu dan mengandung arti khusus.
Rumah Adat Melayu Riau

Jenis-jenis rumah adat Melayu Riau ada 5 :


1. Balai Salaso Jatuh,
2. Rumah Adat Salaso Jatuh Kembar,
3. Rumah Melayu Atap Limas,
4. Rumah Melayu Lipat Kajang dan
5. Rumah Melayu Atap Lontik.
Bentuk rumah tradisional daerah Riau pada umumnya adalah rumah panggung yang berdiri
diatas tiang dengan bangunan persegi panjang. Dari beberapa bentuk rumah ini hampir
serupa, baik tangga, pintu, dinding, susunan ruangannya sama saja, Kecuali rumah lontik.

RUMAH LONTIK /LANCANG (RUMAH KAMPAR) & RUMAH LIMAS MELAYU


Rumah lontik yang dapat juga disebut rumah lancang karena rumah ini bentuk atapnya
melengkung keatas dan agak runcing sedangkan dindingnya miring keluar dengan hiasan
kaki dinding mirip perahu atau lancang. Hal ini melambangkan penghormatan kepada Tuhan
dan terhadap sesama. Rumah lontik diperkirakan dapat pengaruh dari kebudayaan
Minangkabau karena kabanyakan terdapat di daerah yang berbatasan dengan Sumatera Barat.
Tangga rumah biasanya ganjil, bahkan rumah lontik beranak tangga lima, Hal ini ada
kaitannya dengan ajaran islam yakni rukun islam lima.

BALAI SALASO JATUH


Balai salaso jatuh adalah bangunan seperti rumah adat tapi fungsinya bukan untuk tempat
tinggal melainkan untuk musyawarah atau rapat secara adat. Sesuai dengan fungsinya
bangunan ini mempunyai macam-macam nama antara lain : Balairung Sari, Balai Penobatan,
Balai Kerapatan dan lain-lain. Bangunan tersebut kini tidak ada lagi, didesa-desa tempat
musyawarah dilakukan di rumah Penghulu, sedangkan yang menyangklut keagamaan
dilakukan di masjid. Begitu pula Balai adat di Kabupaten Kampar yang disebut Balai Gadang
kini tidak ada lagi.
Balai Salaso Jatuh mempunyai selasar keliling yang lantainya lebih rendah dari ruang tengah,
karena itu dikatakan Salaso Jatuh. Semua bangunan baik rumah adat maupun balai adat diberi
hiasan terutama berupa ukiran.
Di puncak atap selalu ada hiasan kayu yang mencuat keatas bersilangan dan biasanya hiasan
ini diberi ukiran yang disebut Salembayung atau Sulobuyung yang mengandung makna
pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Rumah Adat Suku Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Atap rumah Sasak terbuat dari jerami dan berdinding anyaman bambu (bedek).
Lantainya dibuat dari tanah liat yang dicampur dengan kotoran kerbau dan abu jerami.
Campuran tanah liat dan kotoran kerbau membuat lantai tanah mengeras, sekeras semen.
Pengetahuan membuat lantai dengan cara tersebut diwarisi dari nenek moyang mereka.
Seluruh bahan bangunan (seperti kayu dan bambu) untuk membuat rumah adat Sasak
didapatkan dari lingkungan sekitar mereka, bahkan untuk menyambung bagian-bagian kayu
tersebut, mereka menggunakan paku yang terbuat dari bambu. Rumah adat suku Sasak hanya
memiliki satu pintu berukuran sempit dan rendah, dan tidak memiliki jendela.
Dalam masyarakat Sasak, rumah berada dalam dimensi sakral (suci) dan profan
duniawi) secara bersamaan. Artinya, rumah adat Sasak disamping sebagai tempat berlindung
dan berkumpulnya anggota keluarga juga menjadi tempat dilaksanakannya ritual-ritual sakral
yang merupakan manifestasi dari keyakinan kepada Tuhan, arwah nenek moyang (papuk
baluk), epen bale (penunggu rumah), dan sebaginya.
Rumah Lopo (Rumah Adat Pulau Timor NTT)

Lopo merupakan serambi tempat masyarakat Pulau Timor khususnya suku Dawan
(Wilayah TTU, TTS, Ambeno-Timor Leste dan sebagian Kupang Timur Laut) mengadakan
beragam acara. Mulai dari menerima tamu dan semua yang berkunjung ke tempat mereka,
berkumpul untuk membicarakan pelbagai persoalan sampai makan sirih-pinang bersama.
Lopo juga tempat menenun bagi wanita-wanita Dawan yang telah dewasa. Karya tenunan
merupakan prasyarat bagi wanita dewasa untuk masuk dalam kehidupan berkeluarga.
Arsitekturnya terdiri dari empat tiang penyanggah yang didirikan di atas dataran
bundar dengan atap ilalang serta memiliki langit-langit yang bisa berfungsi sebagai lumbung
tempat menyimpan benih untuk musim tanam berikut dan juga menyimpan hasil panen dan
berbagai benda lainnya.
Pada keadaan terkini di beberapa tempat atap ilalang sudah mulai diganti dengan plat
seng. Lopo merupakan salah satu karakteristik Atoni (Orang yang mendiami tanah kering,
sebutan untuk suku Dawan, salah satu suku terbesar di Timor).
Rumah Adat Dulohupa (Gorontalo)
Rumah Adat Dulohupa yang merupakan balai musyawarah dari kerabat kerajaan.
Terbuat dari papan dengan bentuk atap khas daerah tersebut. Pada bagian balakangnya
terdapat anjungan tempat para raja dan kerabat istana beristirahat sambil melihat kegiatan
remaja istana bermain sepak raga. Saat ini rumah adat tersebut berada di tanah seluas + 500m²
dan dilengkapi dengan taman bunga, bangunan tempat penjualan cenderamata, serta bangunan
garasi bendi kerajaan yang bernama talanggeda. Pada masa pemerintahan para raja, rumah
adat ini digunakan sebagai ruang pengadilan kerajaan. Bangunan ini terletak di Kelurahan
Limba, Kecamatan Kota Selatan, Kota Gorontalo.

Selain Rumah adat Dulohupa juga ada Rumah Adat Bandayo Pomboide yang
terletak di depan Kantor Bupati Gorontalo. Bantayo artinya 'gedung' atau 'bangunan',
sedangkan Pomboide berarti 'tempat bermusyawarah' . Bangunan ini sering digunakan sebagai
lokasi pagelaran budaya serta pertunjukan tari di Gorontalo. Di dalamnya terdapat berbagai
ruang khusus dengan fungsi yang berbeda. Gaya arsitekturnya menunjukkan nilai-nilai
budaya masyarakat Gorontalo yang bernuansa Islami.
Rumah Adat Karampuang
(Sulawesi Selatan)

Bangunan ini merupakan rumah purba yang konon merupakan tempat bertemunya
raja-raja dari Suku Makassar (Karaeng) dan raja-raja dari Suku Bugis (Puang), sehingga
akhirnya disebut Karaengpuang atau Karampuang, berada di Kecamatan Bulupoddo, berjarak
30 km tepatnya di Desa Tompobulu, dan dapat ditempuh selarna 1 jam dengan menggunakan
mobil atau sepeda motor. Rumah purba Karampuang mengikuti model rumah adat Bugis
Makassar. Keunikan dari Rumah ini antara lain : Tiangnya terbuat dari kayu bitti, antara
pasak dengan tiang tidak dipaku, lantai terbuat dari bambu yang hanya diikat dengan rotan
pada pasak, serta tangganya berada di bawah kolong rumah bagian tengah, sehingga pintu
rumah dibuka dari bawah, dan dapur berada di bagian depan setelah pintu dibuka. Setiap
tahun (pada Bulan Nopember) diadakan upacara adat Mappogau Sihanua yang dilaksanakan
oleh pemimpin adat, dengan menggelar berbagai atraksi. Lain lagi dengan atraksi Maddui
yang digelar jika ada tiang/ kayu dari rumah adat yang rusak dan harus diganti olch kayu yang
baru denganjenis sama yang harus dicari dan ditarik dari dalam hutan selama satu hari menuju
kerumah adat. Kegiatan ini dipimpin oleh pemimpin adat dan dilakukan dengan prosesi adat,
serta melibatkan masyarakat di kawasan rumah adat. Selain atraksi ini, jehisseni dan budaya
tradisional di Kabupaten Sinjai yaitu tarian tradisional Pasere Pitupitu, tari Massellung Tana,
Tari Maddongi, dan tari Marumatang.
Secara fisik, bentuk rumah adat Karampuang tidak jauh berbeda dengan rumah orang
bugis pada umumnya, yaitu rumah panggung yang terbuat dari kayu. Akan tetapi, rumah adat
ini memiliki nilai lebih karena keunikan yang dimilikinya, yakni ia disimbolkan sebagai sosok
wanita anggun. Rumah adat Karampuang memiliki ukuran 15×11 meter dengan tinggi ± 12
meter. Jika kebanyakan rumah bugis memiliki tangga dan pintu tepat dibagian depan rumah
atau menyamping searah lebar rumah, maka rumah adat Karampuang tidak demikian. Rumah
adat ini memiliki pintu masuk tepat berada di tengah-tengah rumah. Penempatan pintu dan
tangga ini merupakan simbol kelamin wanita (vagina), atau “pintu bunga mawar” tempat
orang pertama kali keluar dari rahim dan menghirup udara segar. Pintu masuk tersebut
dinamakan batu lappa. Karena posisi pintu yang rata dengan lantai rumah, maka untuk
membukanya harus di dorong ke atas atau menolaknya ke atas untuk menggeser pemberat
yang terikat dengan pintu.
Tongkonan, Rumah Adat Toraja
(Sulawesi Selatan)

Rumah asli Toraja disebut Tongkonan, berasal dari kata ‘tongkon‘ yang berarti ‘duduk
bersama-sama‘. Tongkonan selalu dibuat menghadap kearah utara, yang dianggap sebagai
sumber kehidupan. Berdasarkan penelitian arkeologis, orang Toraja berasal dari Yunan, Teluk
Tongkin, Cina. Pendatang dari Cina ini kemudian berakulturasi dengan penduduk asli
Sulawesi Selatan.
Tongkonan berupa rumah panggung dari kayu, dimana kolong di bawah rumah
biasanya dipakai sebagai kandang kerbau. Atap tongkonan berbentuk perahu, yang
melambangkan asal-usul orang Toraja yang tiba di Sulawesi dengan naik perahu dari Cina. Di
bagian depan rumah, di bawah atap yang menjulang tinggi, dipasang tanduk-tanduk kerbau.
Jumlah tanduk kerbau ini melambangkan jumlah upacara penguburan yang pernah dilakukan
oleh keluarga pemilik tongkonan. Di sisi kiri rumah (menghadap ke arah barat) dipasang
rahang kerbau yang pernah di sembelih, sedangkan di sisi kanan (menghadap ke arah timur)
dipasang rahang babi.
Di depan tongkonan terdapat lumbung padi, yang disebut ‘alang‘. Tiang-tiang
lumbung padi ini dibuat dari batang pohon palem (‘bangah‘) yang licin, sehingga tikus tidak
dapat naik ke dalam lumbung. Di bagian depan lumbung terdapat berbagai ukiran, antara lain
bergambar ayam dan matahari, yang merupakan simbol untuk menyelesaikan perkara.
Dalam paham orang Toraja, tongkonan dianggap sebagai ‘ibu‘, sedangkan alang
adalah sebagai ‘bapak‘. Tongkonan berfungsi untuk rumah tinggal, kegiatan sosial, upacara
adat, serta membina kekerabatan. Bagian dalam rumah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
bagian utara, tengah,dan selatan. Ruangan di bagian utara disebut ‘tangalok‘, berfungsi
sebagai ruang tamu, tempat anak-anak tidur, juga tempat meletakkan sesaji. Ruangan bagian
tengahdisebut ‘Sali‘, berfungsi sebagai ruang makan, pertemuan keluarga, tempat meletakkan
orang mati, juga dapur. Adapun ruangan sebelah selatan disebut ‘sumbung‘, merupakan
ruangan untuk kepala keluarga. Ruangan sebelah selatan ini juga dianggap sebagai sumber
penyakit.
4. Rumah Souroja (Sulawesi Tengah)

Rumah souraja berbentuk rumah panggung yang ditopang sejumlah tiang segiempat
dari kayu; beratap bentuk piramide segitiga: bagian depan dan belakang ditutup dengan papan
berukir (panapiri) serta pada ujung bubungan bagian depan dan belakang berhias mahkota
berukir (bangko-bangko). Bangunan terbagi atas tiga ruangan, yaitu ruang depan (lonta
karawana) untuk menerima tamu dan untuk tidur tamu yang menginap; ruang tengah (lonta
tatangana) untuk tamu keluarga; serta ruang belakang (lonta rorana), untuk ruang makan,
meskipun kadang-kadang ruang makan berada di lonta tatangana. Tempat tidur perempuan
dan anak gadis berada di pojok belakang lonta rorana. Dapur (avu), sumur, dan jamban berada
di belakang sebagai bangunan tambahan yang dihubungkan melalui hambate, yang berarti
jembatan, ke rumah induk.
Rumah Adat Buton (Sulawesi Tenggara)
Rumah adat Buton atau Buton merupakan bangunan di atas tiang, dan seluruhnya dari
bahan kayu. Banguanannya terdiri dari empat tingkat atau empat lantai. Ruang lantai pertama
lebih luas dari lantai kedua. Sedangkan lantai keempat lebih besar dari lantai ketiga, jadi
makin keatas makin kecil atau sempit ruangannya, tapi di lantai keempat sedikit lebih
melebar.
Seluruh bangunan tanpa memakai paku dalam pembuatannya, melainkan memakai
pasak atau paku kayu. Tiang-tiang depan terdiri dari 5 buah yang berjajar ke belakang sampai
delapan deret, hingga jumlah seluruhnya adalah 40 buah tiang. Tiang tengah menjulang ke
atas dan merupakan tiang utama disebut Tutumbu yang artinya tumbuh terus. Tiang-tiang ini
terbuat dari kayu wala da semuanya bersegi empat. Untuk rumah rakyat biasa, tiangnya
berbentuk bulat. Biasanya tiang-tiang ini puncaknya terpotong. Dengan melihat jumlah tiang
sampingnya dapat diketahui siapa atau apa kedudukan si pemilik. Rumah adat yang
mempunyai tiang samping 4 buah berarti rumah tersebut terdiri dari 3 petak merupakan rumah
rakyat biasa. Rumah adat bertiang samping 6 buah akan mempunyai 5 petak atau ruangan,
rumah ini biasanya dimiliki oleh pegawai Sultan atau rumah anggota adat kesultanan Buton.
Sedangkan rumah adat yang mempunyai tiang samping 8 buah berarti rumah tersebut
mempunyai 7 ruangan dan ini khusus untuk rumah Sultan Buton.
Rumah Adat Maluku (Baileo)

Jika anda memasuki satu desa atau kampung di Maluku, salah satu hal yang segera
nampak menonjol adalah satu bangunan yang berbeda dengan kebanyakan rumah
penduduknya. Bangunan ini biasanya berukuran lebih besar, dibangun dengan bahan-bahan
yang lebih baik, dan dihias dengan lebih banyak ornamen. Karena itu, bangunan tersebut
biasanya sekaligus juga merupakan marka utama (landmark) kampung atau desa yang
bersangkutan, selain mesjid atau gereja.Bangunan itu adalah rumah adat yang berfungsi
sebagai tempat penyimpanan benda-benda suci, tempat upacara adat, sekaligus tempat seluruh
warga berkumpul membahas masalah-masalah yang mereka hadapi. Di Maluku, disebut
sebagai “Baileo”, secara harafiah memang berarti “balai”. Baileo Maluku menggunakan
istilah “baileo” sebagai namanya, karena memang dimaksudkan sebagai “balai bersama”
organisasi rakyat dan masyarakat adat setempat untuk membahas berbagai masalah yang
mereka hadapi dan mengupayakan pemecahannya.
Bangunan bailem sebagai bangunan induk aslinya tidak berdinding dan merupakan
rumah panggung, yakni lantainya tinggi di atas permukaan tanah. Adapula bailem yang
lantainya di atas batu semen dan bailen yang lantainya rata dengan tanah. Di antara ketiga
macam bailen ini yang paling lazim dan paling khas adalah yang lantainya dibangun di atas
tiang. Jumlah tiangnya melambangkan jumlah klen-klen yang ada di desa tersebut. Bailen ini
tidak berdinding mengandung maksud roh-roh nenek moyang mereka bebas masuk keluar
bangunan tersebut. Sedang lantai bailen dibuat tinggi dimaksudkan agar kedudukan tempat
bersemayam roh-roh nenek moyang tersebut lebih tinggi dari tempat berdiri rakyat di desa itu.
Selain rakyat akan mengetahui bahwa permusyawaratan berlangsung dari luar ke dalam dan
dari bawah ke atas.
5. Rumah Adat Hibualamo (Halmahera Maluku Utara)

Rumah Adat Hibualamo diresmikan pada bulan April 2007 dan berfungsi sebagai
tempat dilaksanakannya upacara-upacara adat dan sebagai tempat pertemuan pemimpin dan
rakyat. Hibualamo memiliki makna universal yakni sebagai pusat kekerabatan tanpa
membedakan asal-usul seseorang selama ia menerima nilai-nilai budaya masyarakat
Hibualamo.
Dari sisi arsitektur, bangunan tradisional ini memiliki ciri khas berbentuk delapan
sudut dengan pintu masuk mengarah ke empat mata angin. Orang Tobelo mengistilahkan
dengan "wange mahiwara", pintu bagian timur, "wange madamunu", pintu bagian barat,
"koremie", pintu bagian utara, dan "korehara", pintu bagian selatan. Keempat pintu yang
menghadap ke keempat mata angin memiliki arti bahwa orang yang datang ke Hibualamo
berasal dari berbagai penjuru mata angin yang melambangkan keterbukaan. Siapa saja yang
datang akan diterima di Hibualamo.
Rumah adat ini sudah mengalami modifikasi dari bentuk aslinya dan merupakan
simbol rekonsiliasi dan persatuan bagi masyarakat Halmahera Utara. Di lokasi yang sama
juga terdapat bangunan perahu Korakora raksasa yang adalah perahu tradisional asli Tobelo-
Galela.
Rumah Adat Nias (Sumatera Utara)

Nias pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu Nias dan Nias Selatan. Secara
umum mirip, tapi tentu ada perbedaannya.
Dari segi bahasa pun berbeda. Menurut teman yang asli Nias, masyarakat Nias Selatan
bisa memahami bahasa Nias, tapi masyarakat Nias lebih sulit memahami bahasa Nias Selatan.
Dan seperti biasa terjadi di Indonesia (dan mungkin di tempat lainnya), stereotypes
berkembang bahkan diantara dua "suku" ini.
Dari rumah adat pun berbeda, walaupun keduanya menggunakan model rumah
panggung dengan dasar dari batu-batu besar yang entah bagaimana mengangkutnya!!
Berdasarkan cerita seorang teman, jaman dahulu, mereka yang memiliki rumah adat adalah
orang-orang yang disegani alias tokoh masyarakat. Masyarakat lainnya bergotong-royong,
menyumbang batu-batu yang diambil dari gunung... Kebayang gak betapa hebatnya si tokoh
masyarakat ini. (Batu yang dimaksudkan adalah yang dilingkari merah pada gambar
disamping). Nah sebagai balas jasa, si tokoh masyarakat ini memotong babi (mayoritas
masyarakat Nias beragama Kristen) untuk dimakan bersama-sama dan bahkan boleh dijadikan
oleh-oleh. Tapi aku rasa bisa saja yang dibangun bukan sekedar rumah satu keluarga, tapi satu
desa. Karena setiap marga memiliki daerah tertentu.
Kembali ke model rumah adat. Rumah ada Nias berbentuk oval sementara Nias
Selatan kotak. Yang sama dari keduanya, selain berbentuk rumah panggung adalah rumah
tersebut biasanya dibangun bersebelahan. Berjejer, nyaris dempet. Nah yang membatasi itu
hanyalah sebuah tangga. Konon, pola seperti ini sangat penting dalam perperangan. Jadi pintu
pembatas antar rumah itu dibuka, sehingga musuh tidak tahu target lari kemana. Karena ujung
yang satu terus sambung-menyambung.

Rumah Adat Nias


Rumah Adat Nias (Sumatera Utara)

Nias pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu Nias dan Nias Selatan. Secara
umum mirip, tapi tentu ada perbedaannya.
Dari segi bahasa pun berbeda. Menurut teman yang asli Nias, masyarakat Nias Selatan
bisa memahami bahasa Nias, tapi masyarakat Nias lebih sulit memahami bahasa Nias Selatan.
Dan seperti biasa terjadi di Indonesia (dan mungkin di tempat lainnya), stereotypes
berkembang bahkan diantara dua "suku" ini.
Dari rumah adat pun berbeda, walaupun keduanya menggunakan model rumah
panggung dengan dasar dari batu-batu besar yang entah bagaimana mengangkutnya!!
Berdasarkan cerita seorang teman, jaman dahulu, mereka yang memiliki rumah adat adalah
orang-orang yang disegani alias tokoh masyarakat. Masyarakat lainnya bergotong-royong,
menyumbang batu-batu yang diambil dari gunung... Kebayang gak betapa hebatnya si tokoh
masyarakat ini. (Batu yang dimaksudkan adalah yang dilingkari merah pada gambar
disamping). Nah sebagai balas jasa, si tokoh masyarakat ini memotong babi (mayoritas
masyarakat Nias beragama Kristen) untuk dimakan bersama-sama dan bahkan boleh dijadikan
oleh-oleh. Tapi aku rasa bisa saja yang dibangun bukan sekedar rumah satu keluarga, tapi satu
desa. Karena setiap marga memiliki daerah tertentu.
Kembali ke model rumah adat. Rumah ada Nias berbentuk oval sementara Nias
Selatan kotak. Yang sama dari keduanya, selain berbentuk rumah panggung adalah rumah
tersebut biasanya dibangun bersebelahan. Berjejer, nyaris dempet. Nah yang membatasi itu
hanyalah sebuah tangga. Konon, pola seperti ini sangat penting dalam perperangan. Jadi pintu
pembatas antar rumah itu dibuka, sehingga musuh tidak tahu target lari kemana. Karena ujung
yang satu terus sambung-menyambung.

Rumah Adat Nias Selatan


Rumah Adat Papua
(HONAI)
Rumah adat Masyarakat Papua, atau yang biasa disebut dengan Honai. Honai adalah
rumah khas Papua yang dihuni oleh Suku Dani. Rumah Honai terbuat dari kayu dengan atap
berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami atau ilalang. Honai mempunyai pintu yang kecil
dan tidak memiliki jendela. Sebenarnya, struktur Honai dibangun sempit atau kecil dan tidak
berjendela bertujuan untuk menahan hawa dingin pegunungan Papua.
Honai terdiri dari 2 lantai yaitu lantai pertama sebagai tempat tidur dan lantai kedua
untuk tempat bersantai, makan, dan mengerjakan kerajinan tangan. Karena dibangun 2 lantai,
Honai memiliki tinggi kurang lebih 2,5 meter. Pada bagian tengah rumah disiapkan tempat
untuk membuat api unggun untuk menghangatkan diri. Rumah Honai terbagi dalam tiga tipe,
yaitu untuk kaum laki-laki (disebut Honai), wanita (disebut Ebei), dan kandang babi (disebut
Wamai).

Anda mungkin juga menyukai