Anda di halaman 1dari 10

1.

Rumah Gadang (Sumatra Barat)

Rumah adat provinsi Sumatra Barat disebut Rumah Gadang.


Rumah tersebut dapat dikenali dari tonjalan atapnya yang mencuat ke
atas yang bermakna menjurus kepada Yang Maha Esa. Tonjolan itu di
namakan gojong yang banyaknya 4-7 buah.
Rumah ini memiliki keunikan bentuk arsitektur yaitu dengan atap
yang menyerupai tanduk kerbau dibuat dari bahan ijuk. Dihalaman
depan Rumah Gadang biasanya selalu terdapat dua buah bangunan
Rangkiang digunakan untuk menyimpan padi. Rumah Gadang pada
sayap bangunan sebelah kanan dan kirinya terdapat ruang anjuang
(anjung)  sebagai tempat pengantin bersanding atau tempat
penobatan kepala adat, karena itu rumah Gadang dinamakan pula
sebagai rumah Baanjuang.
Anjuang pada keselarasan Bodi-Chaniago tidak memakai tongkat
penyangga di bawahnya, sedangkan untuk golongan kesalarasan Koto-
Piliang memakai tongkat penyangga. Hal ini sesuai filosofi yang
dianut kedua golongan ini yang berbeda, salah satu golongan
menganut prinsip pemerintahan yang hirarkies menggunakan anjuang
yang memakai tongkat penyangga, pada golongan lainnya anjuang
seolah-olah mengapung di udara.
Rumah Gadang adalah nama untuk rumah adat Minangkabau,
provinsi Sumatra Barat. Rumah ini memiliki keunikan bentuk
arsitektur yaitu dengan atap yang menyerupai tanduk kerbau dibuat
dari bahan ijuk. Dihalaman depan Rumah Gadang biasanya selalu
terdapat dua buah bangunan Rangkiang, digunakan untuk
menyimpan padi.
Rumah Gadang pada sayap bangunan sebelah kanan dan kirinya
terdapat ruang anjuang (anjung) sebagai tempat pengantin
bersanding atau tempat penobatan kepala adat, karena itu rumah
Gadang dinamakan pula sebagai rumah Baanjuang. Anjuang pada
keselarasan Bodi-Chaniago tidak memakai tongkat penyangga di
bawahnya, sedangkan untuk golongan kesalarasan Koto-Piliang
memakai tongkat penyangga.
Hal ini sesuai filosofi yang dianut kedua golongan ini yang berbeda,
salah satu golongan menganut prinsip pemerintahan yang hirarkies
menggunakan anjuang yang memakai tongkat penyangga, pada
golongan lainnya anjuang seolah-olah mengapung di udara.
2. Rumoh Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam)

Setiap suku bangsa yang mendiami kepulauan Indonesia memiliki


rumah adat masing-masing. Aceh juga memiliki rumah adat yang
dinamakan Rumoh Aceh (rumoh = rumah Aceh). Walaupun masing-
masing etnis di Aceh memiliki rumah adat tersendiri, namun Rumoh
Aceh disepakati sebagai bangunan rumah adat untuk mewakili
masyarakat Aceh.
Sebagian masyarakat Indonesia sudah pernah melihat prototip
Rumoh Aceh. Namun masih sedikit orang memahami teknologi
bangunannya. Artinya, bagaimana konstruksi Rumoh Aceh yang
sebenarnya.
Rumoh Aceh terdiri atas tiang utama (bisa lebih), yang terbuat dari
kayu pilihan berbentuk bulat lurus. Dahulu, cara pengamabilan tiang
rumah (Tameh Rumoh), mempunyai syarat tertentu. Pohon harus
cukup umur, sebelum ditebang, seseorang yang ditu adatkan
mengitari pohon itu beberapa kali disertai dialog dengan bahasa
isyarat. Ini wujud penghargaan kepada sesama makhluk, dan prinsip
dasar pelestarian lingkungan.
Setiap tiang dipahat tiga lubang tembus. Satu lubang untuk
memasukkan lagor (toi) serambi, satu untuk lagor utama (rumoh),
dan satu lubang lagi (lebih kecil) untuk lagor kecil (rok) penyeimbang
paralel sisi memanjang. Bagian bawah dipotong rata, dan bagian atas
dibuat putting berbentuk balok, tiang didirikan dengan menggunakan
tapakyang terbuat dari coran semen atau batu. Putting atas sebagai
tempat memasukkan kerangka atas yang terdiri atas
empat bara (papan 25 x 5 cm) untuk menyeimbangi bagian atas dan
tempat kerangka atap diletakkan.
Kerangka atap terdiri atas kayu bulat seukurab bambu yang
disebut gaseue. Semuanya disusun dengan jarak sekitar satu meter,
dan ditengahnya diselipi belubah, yaitu tempat atap rumbiah
dirajut. Gasue, beulubah, dan atap hanya diletakkan diatas bara.
Penahan semua ini adalah tali ijuk yang dibuat mirip ramset (nok)
yang jumlahnya sama dengan jumlah tiang sisi serambi. Jika tali ini
dipotong, atap bersama gaseue dan beulubah akan meluncur ke
bawah.
Dinding umumnya dari papan, dan dihiasi ornamen berupa ukiran.
Semua sisi ditutupi dengan kayu berukir (peulangan).
Dulu peulangan ini selain ukiran motif Aceh, juga dilukis gambar
bunga atau binatang. Pada bagian rabung yang menghadap keluar
(para), Rumoh Aceh dilengkapi dengan tulak angen yang lubangnya
diukir.
Untuk menguatkan hubungan toi dengan tameh , dan sambungan
menggunakan pasak. Tidak ada paku yang digunakan pada bangunan
Rumoh Aceh. Dengan demikian, jika dibutuhkan Rumoh Aceh dapat
di bongkar dari kemudian didirikan di tempat lain.
3. Rumah Bolon (Sumatra Utara)

Penduduk Sumatera Utara yang terdiri dari banyak suku mempunyai


beragam budaya salah satunya adalah budaya rumah adat. Suku Batak
Toba yang merupakan salah satu suku di Sumatera Utara juga
mempunyai rumah adat. Rumah adat Batak Toba disebut dengan
‘Rumah Bolon’. Dihuni oleh beberapa keluarga yang menempati ruang
dalam secara terbuka bersama. Posisinya terkelompok berdasarkan
aturan adat dari yang paling penting sampai keluarga lainnya dalam
masing-masing fungsi.
Sudut kanan belakang dari rumah dianggap sebagai lokasi keramat
yang hanya boleh ditempati oleh pemimpin rumah. Di bagian
belakang rumah ada bangunan tambahan yang berfungsi sebagai
dapur, di mana Setiap keluarga bisa memiliki dapur sendiri. Lumbung
padi terletak pada bangunan tersendiri yang disebut dengan ’sopo’.
Untuk memasuki rumah Batak Toba dibuat tangga dengan posisi pada
lubang yang ada di bawah lantai panggung. Secara adat telah
ditentukan bahwa tangga ini selayaknya berjumlah ganjil. Tangga
yang cepat aus merupakan kebanggaan bagi pemillik rumah bahwa
banyak orang dan tamu yang telah memasuki rumahnya. Tangga ini
diberi nama ’tangga rege-rege’.
Ornamentasi dan dekorasi dari rumah adat Batak Toba mengandung
nilai filosofi bagi keselamatan penghuni. Lokasi elemen rumah yang
dihias berada pada gevel, pintu masuk, sudut-sudut rumah, bahkan
ada yang sampai berada di keseluruhan dinding. Hiasan ini dapat
berupa ukiran, dapat diberi warna, atau hanya berupa gambar saja.
Tiga elemen warna yang penting adalah merah, putih dan hitam.
Merah melambangkan pengetahuan/kecerdasan, putih
melambangkan kejujuran/kesucian dan hitam melambangkan
kewibawaan/kepemimpinan.
4. Rumah Joglo (Jawa Tengah)

Bangunan ini termasuk pada banguna tahan gempa.bangunan rumah


adat ini terdiri atas stuktur beton dan pondasi yang kuat sehingga
dapat menahan beban.ada tiga alasan mengapa rumah Joglo lebih
tahan terhadap gempa. Pertama, rangka utama (core frame) yang
terdiri umpak, sokoguru, dan tumpang sari, dapat menahan beban
lateral yang bergerak horizontal ketika terjadi gempa. Inilah kunci
utama mengapa rumah Joglo masih dapat berdiri ketika gempa
Yogyakarta pada Mei 2006, di saat rumah atau gedung lain
mengalami keruntuhan.
Alasan kedua, adalah bahwa struktur rumah Joglo yang berbahan
kayu menghasilkan kemampuan meredam getaran/guncangan yang
efektif, lebih fleksibel, dan juga stabil. Struktur dari kayu inilah yang
berfungsi meredam efek getaran/guncangan dari gempa.
Ketiga, kolom rumah yang memiliki tumpuan sendi dan rol,
sambungan kayu yang memakai sistem sambungan lidah alur, dan
konfigurasi kolom anak (soko-soko emper) terhadap kolom-kolom
induk (soko-soko guru) merupakan earthquake responsive building
dari rumah Joglo. Oleh karenanya, dengan sistem ini, rumah Joglo
lebih stabil pada frekuensi gempa tinggi dengan akselerasi rendah-
tinggi. Sedangkan pada frekuensi gempa rendah, rumah Joglo lebih
fleksibel. Hanya saja, Prihatmaji mengungkapkan rumah Joglo hanya
tahan pada daerah gempa III. Lebih dari itu, rumah jenis ini
memerlukan beberapa modifikasi.
5. Rumah Adat Tongkonan Toraja (Sulawesi
Selatan)

Rumah asli Toraja disebut Tongkonan, berasal dari kata ‘tongkon‘


yang berarti ‘duduk bersama-sama‘. Tongkonan selalu dibuat
menghadap kearah utara, yang dianggap sebagai sumber kehidupan.
Berdasarkan penelitian arkeologis, orang Toraja berasal dari Yunan,
Teluk Tongkin, Cina. Pendatang dari Cina ini kemudian berakulturasi
dengan penduduk asli Sulawesi Selatan.
Tongkonan berupa rumah panggung dari kayu, dimana kolong di
bawah rumah biasanya dipakai sebagai kandang kerbau. Atap
tongkonan berbentuk perahu, yang melambangkan asal-usul orang
Toraja yang tiba di Sulawesi dengan naik perahu dari Cina. Di bagian
depan rumah, di bawah atap yang menjulang tinggi, dipasang tanduk-
tanduk kerbau. Jumlah tanduk kerbau ini melambangkan jumlah
upacara penguburan yang pernah dilakukan oleh keluarga pemilik
tongkonan. Di sisi kiri rumah (menghadap ke arah barat) dipasang
rahang kerbau yang pernah di sembelih, sedangkan di sisi kanan
(menghadap ke arah timur) dipasang rahang babi.
Di depan tongkonan terdapat lumbung padi, yang disebut ‘alang‘.
Tiang-tiang lumbung padi ini dibuat dari batang pohon palem
(‘bangah‘) yang licin, sehingga tikus tidak dapat naik ke dalam
lumbung. Di bagian depan lumbung terdapat berbagai ukiran, antara
lain bergambar ayam dan matahari, yang merupakan simbol untuk
menyelesaikan perkara.
Dalam paham orang Toraja, tongkonan dianggap sebagai ‘ibu‘,
sedangkan alang adalah sebagai ‘bapak‘. Tongkonan berfungsi untuk
rumah tinggal, kegiatan sosial, upacara adat, serta membina
kekerabatan. Bagian dalam rumah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
bagian utara, tengah,dan selatan. Ruangan di bagian utara disebut
‘tangalok‘, berfungsi sebagai ruang tamu, tempat anak-anak tidur,
juga tempat meletakkan sesaji. Ruangan bagian tengahdisebut ‘Sali‘,
berfungsi sebagai ruang makan, pertemuan keluarga, tempat
meletakkan orang mati, juga dapur. Adapun ruangan sebelah selatan
disebut ‘sumbung‘, merupakan ruangan untuk kepala keluarga.
Ruangan sebelah selatan ini juga dianggap sebagai sumber penyakit.

Anda mungkin juga menyukai