Anda di halaman 1dari 72

Rumah Adat Di Indonesia

Berikut ini terdapat beberapa rumah adat di indonesia di 34


provinsi, terdiri atas:

1. Rumah Gadang (Sumatra Barat)

HEMOLAB

Cara Ajaib untuk Menyingkirkan Wasir selama 7 Hari!


PELAJARI LEBIH
Rumah adat provinsi Sumatra Barat disebut Rumah Gadang.
Rumah tersebut dapat dikenali dari tonjalan atapnya yang mencuat
ke atas yang bermakna menjurus kepada Yang Maha Esa. Tonjolan
itu di namakan gojong yang banyaknya 4-7 buah.

Rumah ini memiliki keunikan bentuk arsitektur yaitu dengan atap


yang menyerupai tanduk kerbau dibuat dari bahan ijuk. Dihalaman
depan Rumah Gadang biasanya selalu terdapat dua buah bangunan
Rangkiang digunakan untuk menyimpan padi. Rumah Gadang pada
sayap bangunan sebelah kanan dan kirinya terdapat ruang anjuang
(anjung) sebagai tempat pengantin bersanding atau tempat
penobatan kepala adat, karena itu rumah Gadang dinamakan pula
sebagai rumah Baanjuang.

Anjuang pada keselarasan Bodi-Chaniago tidak memakai tongkat


penyangga di bawahnya, sedangkan untuk golongan kesalarasan
Koto-Piliang memakai tongkat penyangga. Hal ini sesuai filosofi
yang dianut kedua golongan ini yang berbeda, salah satu golongan
menganut prinsip pemerintahan yang hirarkies menggunakan
anjuang yang memakai tongkat penyangga, pada golongan lainnya
anjuang seolah-olah mengapung di udara.

Rumah Gadang adalah nama untuk rumah adat Minangkabau,


provinsi Sumatra Barat. Rumah ini memiliki keunikan bentuk
arsitektur yaitu dengan atap yang menyerupai tanduk kerbau dibuat
dari bahan ijuk. Dihalaman depan Rumah Gadang biasanya selalu
terdapat dua buah bangunan Rangkiang, digunakan untuk
menyimpan padi.

Rumah Gadang pada sayap bangunan sebelah kanan dan kirinya


terdapat ruang anjuang (anjung) sebagai tempat pengantin
bersanding atau tempat penobatan kepala adat, karena itu rumah
Gadang dinamakan pula sebagai rumah Baanjuang. Anjuang pada
keselarasan Bodi-Chaniago tidak memakai tongkat penyangga di
bawahnya, sedangkan untuk golongan kesalarasan Koto-Piliang
memakai tongkat penyangga.

Hal ini sesuai filosofi yang dianut kedua golongan ini yang berbeda,
salah satu golongan menganut prinsip pemerintahan yang hirarkies
menggunakan anjuang yang memakai tongkat penyangga, pada
golongan lainnya anjuang seolah-olah mengapung di udara.

2. Rumoh Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam)

Setiap suku bangsa yang mendiami kepulauan Indonesia memiliki


rumah adat masing-masing. Aceh juga memiliki rumah adat yang
dinamakan Rumoh Aceh (rumoh = rumah Aceh). Walaupun
masing-masing etnis di Aceh memiliki rumah adat tersendiri,
namun Rumoh Aceh disepakati sebagai bangunan rumah adat
untuk mewakili masyarakat Aceh.

Sebagian masyarakat Indonesia sudah pernah melihat prototip


Rumoh Aceh. Namun masih sedikit orang memahami teknologi
bangunannya. Artinya, bagaimana konstruksi Rumoh Aceh yang
sebenarnya.

Rumoh Aceh terdiri atas tiang utama (bisa lebih), yang terbuat dari
kayu pilihan berbentuk bulat lurus. Dahulu, cara pengamabilan
tiang rumah (Tameh Rumoh), mempunyai syarat tertentu. Pohon
harus cukup umur, sebelum ditebang, seseorang yang ditu adatkan
mengitari pohon itu beberapa kali disertai dialog dengan bahasa
isyarat. Ini wujud penghargaan kepada sesama makhluk, dan
prinsip dasar pelestarian lingkungan.

Setiap tiang dipahat tiga lubang tembus. Satu lubang untuk


memasukkan lagor (toi) serambi, satu untuk lagor utama (rumoh),
dan satu lubang lagi (lebih kecil) untuk lagor kecil (rok)
penyeimbang paralel sisi memanjang. Bagian bawah dipotong rata,
dan bagian atas dibuat putting berbentuk balok, tiang didirikan
dengan menggunakan tapakyang terbuat dari coran semen atau
batu. Putting atas sebagai tempat memasukkan kerangka atas yang
terdiri atas empat bara (papan 25 x 5 cm) untuk menyeimbangi
bagian atas dan tempat kerangka atap diletakkan.

Kerangka atap terdiri atas kayu bulat seukurab bambu yang


disebut gaseue. Semuanya disusun dengan jarak sekitar satu meter,
dan ditengahnya diselipi belubah, yaitu tempat atap rumbiah
dirajut. Gasue, beulubah, dan atap hanya diletakkan diatas bara.
Penahan semua ini adalah tali ijuk yang dibuat mirip ramset (nok)
yang jumlahnya sama dengan jumlah tiang sisi serambi. Jika tali ini
dipotong, atap bersama gaseue dan beulubah akan meluncur ke
bawah.

Dinding umumnya dari papan, dan dihiasi ornamen berupa ukiran.


Semua sisi ditutupi dengan kayu berukir (peulangan).
Dulu peulangan ini selain ukiran motif Aceh, juga dilukis gambar
bunga atau binatang. Pada bagian rabung yang menghadap keluar
(para), Rumoh Aceh dilengkapi dengan tulak angen yang
lubangnya diukir.

Untuk menguatkan hubungan toi dengan tameh , dan sambungan


menggunakan pasak. Tidak ada paku yang digunakan pada
bangunan Rumoh Aceh. Dengan demikian, jika dibutuhkan Rumoh
Aceh dapat di bongkar dari kemudian didirikan di tempat lain.

3. Rumah Bolon (Sumatra Utara)


Penduduk Sumatera Utara yang terdiri dari banyak suku
mempunyai beragam budaya salah satunya adalah budaya rumah
adat. Suku Batak Toba yang merupakan salah satu suku di
Sumatera Utara juga mempunyai rumah adat. Rumah adat Batak
Toba disebut dengan ‘Rumah Bolon’. Dihuni oleh beberapa
keluarga yang menempati ruang dalam secara terbuka bersama.
Posisinya terkelompok berdasarkan aturan adat dari yang paling
penting sampai keluarga lainnya dalam masing-masing fungsi.

Sudut kanan belakang dari rumah dianggap sebagai lokasi keramat


yang hanya boleh ditempati oleh pemimpin rumah. Di bagian
belakang rumah ada bangunan tambahan yang berfungsi sebagai
dapur, di mana Setiap keluarga bisa memiliki dapur sendiri.
Lumbung padi terletak pada bangunan tersendiri yang disebut
dengan ’sopo’.
Untuk memasuki rumah Batak Toba dibuat tangga dengan posisi
pada lubang yang ada di bawah lantai panggung. Secara adat telah
ditentukan bahwa tangga ini selayaknya berjumlah ganjil. Tangga
yang cepat aus merupakan kebanggaan bagi pemillik rumah bahwa
banyak orang dan tamu yang telah memasuki rumahnya. Tangga ini
diberi nama ’tangga rege-rege’.

Ornamentasi dan dekorasi dari rumah adat Batak Toba


mengandung nilai filosofi bagi keselamatan penghuni. Lokasi
elemen rumah yang dihias berada pada gevel, pintu masuk, sudut-
sudut rumah, bahkan ada yang sampai berada di keseluruhan
dinding. Hiasan ini dapat berupa ukiran, dapat diberi warna, atau
hanya berupa gambar saja. Tiga elemen warna yang penting adalah
merah, putih dan hitam. Merah melambangkan
pengetahuan/kecerdasan, putih melambangkan kejujuran/kesucian
dan hitam melambangkan kewibawaan/kepemimpinan.

4. Rumah Melayu Selaso Jatuh Kembar (Riau)


Rumah adat di provinsi Riau bernama Rumah Melayu Selaso Jatuh
Kembar. Ruangan rumah ini terdiri dari ruangan besar untuk
tempat tidur. ruangan bersila, anjungan dan dapur. Rumah adat ini
dilengkapi pula dengan Balai Adat yang dipergunakan untuk
pertemuan dan musyawarah adat. Bentuk rumah tradisional daerah
Riau pada umumnya adalah rumah panggung yang berdiri di atas
tiang dengan bangunan persegi panjang.

Draf beberapa bentuk rumah ini hampir serupa, baik tangga, pintu,
dinding, susunan ruangannya sama saja, kecuali rumah lontik.
Rumah lontik yang dapat juga disebut Rumah Lancang karena
rumah ini bentuk atapnya melengkung ke atas dan agak runcing
sedangkan dindingnya miring keluar dengan miring keluar dengan
hiasan kaki dinding mirip perahu atau lancang. Hal ini
melambangkan penghormatan kepada Tuhan dan terhadap sesama.
Rumah Lontik diperkirakan dapat pengaruh dari kebudayaan
Minangkabau karena kabanyakan terdapat di daerah yang
berbatasan dengan Sumatera Barat. Tangga rumah biasanya ganjil,
bahkan Rumah Lontik beranak tangga lima, Hal ini ada kaitannya
dengan ajaran Islam yakni rukun islam yang lima.

Tiang bentuknya bermacam-macam, ada yang persegi empat, segi


enam, segi tujuh, segi delapan, dan segi sembilan. Segi empat
melambangkan empat penjuru mata angin, sama dengan segi
delapan. Maksudnya rumah itu akan mendatangkan rezeki dari
segala penjuru. Tiang segi enam melambangkan Rukun Iman dalam
ajaran Islam, maksudnya diharapkan pemilik rumah tetap taat dan
beriman kepada Tuhannya.

Tiang segi tujuh melambangkan tujuh tingkatan surga dan neraka.


Kalau pemilik rumah baik dan soleh akan masuk ke salah satu tujuh
tingkat surga, sebaliknya kalau jahat akan masuk salah satu tujuh
tingkat neraka. Tiang persegi sembilan melambngkan bahwa
pemilik rumah adalah orang mampu.

Tiang utama adalah tiang tuo, yang terletak pada pintu masuk
sebelah kiri dan kanan, dan tiang ini tidak boleh disambung karena
sebagai lambang rasa hormat kepada orang tua. Di daerah lain
yakni pada suku Melayu di kepulauan, tiang yang dianggap penting
adalah Tiang Seri yang terdapat di keempat sudut rumah. Baik
Tiang Tuo maupun Tiang Seri tak boleh bersambung dan terbuat
dari kayu yang besar.

5. Rumah Kejang Lako (Jambi)


Rumah Kejang Lako oleh masyarakat Marga Bathin dibangun
dengan tipologi bangunan rumah panggung yang berbentuk empat
persegi panjang. Rata-rata bangunan dibuat dalam ukuran 9 m x 12
m dengan menggunakan kayu ulim yang banyak tumbuh di daerah
Jambi. Untuk merangkai kayu-kayu pada bagian rumah,
masyarakat Marga Bathin mengandalkan teknik tradisional, seperti
teknik tumpuan, sambung kait, dan pengait menggunakan pasak.

Keunikan bangunan rumah panggung Kejang Lako terletak pada


struktur konstruksi dan ukiran yang menghiasi bangunan.
Konstruksi bangunan terdiri dari beberapa bagian, seperti:
Bubungan/atap dibuat seperti perahu dengan ujung bubungan
bagian atas melengkung ke atas yang sering disebut lipat kejang,
atau potong jerambah. Kasau Bentuk adalah atap bagian atas yang
berfungsi untuk mencegah air hujan tidak masuk ke dalam rumah.
Penteh, bagian ini berfungsi sebagai tempat menyimpan benda-
benda yang jarang dipergunakan.

Tebar layar, bagian ini berfungsi sebagai dinding penutup ruang


atas yang menahan rembesan/tempias air hujan. Pelamban
merupakan bangunan tambahan yang dipergunakan untuk ruang
tunggu bagi tamu yang baru datang sebelum diizinkan masuk oleh
tuan rumah. Masinding/dinding, terbuat dari papan yang diukir.

Pintu pada rumah panggung Kejang Lako terdiri dari 3 pintu, yaitu:
pintu tegak, pintu masinding, pintu balik melintang.

Rumah ini juga memiliki dua tangga, yaitu: tangga utama yang
terdapat di sebelah kanan pelamban dan tangga penteh yang
dipakai untuk naik ke penteh.

Tiang rumah panggung Kejang Lako berjumlah 30 yang terdiri dari


24 tiang utama dan 6 tiang pelamban. Tiang utama panjangnya
4,25 m yang berfungsi sebagai tonggak untuk menopang kerangka
bangunan. Di samping sebagai penopang, tiang tersebut juga
berfungsi sebagai pemisah antara satu ruang dengan ruangan yang
lain menjadi 8 bagian. Adapun nama-nama ruang tersebut adalah
pelamban, ruang gaho, ruang masinding, ruang tengah, ruang balik
melintang, ruang balik menalam, ruang atas/penteh, dan ruang
bawah/bauman.

Bangunan rumah panggung Kejang Lako menjadi lebih indah


dengan hiasan beraneka ragam motif ukiran khas masyarakat
Jambi.

6. Rumah Limas (Sumatra Selatan)


Rumah Bari Palembang (Rumah Adat Limas) merupakan Rumah
panggung kayu. Bari dalam bahasa Palembang berarti lama atau
kuno. Dari segi arsitektur, rumah-rumah kayu itu disebut rumah
limas karena bentuk atapnya yang berupa limasan. Sumatera
Selatan adalah salah satu daerah yang memiliki ciri khas rumah
limas sebagai rumah tinggal. Alam Sumatera Selatan yang lekat
dengan perairan tawar, baik itu rawa maupun sungai, membuat
masyarakatnya membangun rumah panggung. Di tepian Sungai
Musi masih ada rumah limas yang pintu masuknya menghadap ke
sungai.

Bangunan rumah limas biasanya memanjang ke belakang. Ada


bangunan yang ukuran lebarnya 20 meter dengan panjang
mencapai 100 meter. Rumah limas yang besar melambangkan
status sosial pemilik rumah. Biasanya pemiliknya adalah keturunan
keluarga Kesultanan Palembang, pejabat pemerintahan Hindia
Belanda, atau saudagar kaya.

Bangunan rumah limas memakai bahan kayu unglen atau merbau


yang tahan air. Dindingnya terbuat dari papan-papan kayu yang
disusun tegak. Untuk naik ke rumah limas dibuatlah dua undak-
undakan kayu dari sebelah kiri dan kanan.

Bagian teras rumah biasanya dikelilingi pagar kayu berjeruji yang


disebut tenggalung. Makna filosofis di balik pagar kayu itu adalah
untuk menahan supaya anak perempuan tidak keluar dari rumah.

Memasuki bagian dalam rumah, pintu masuk ke rumah limas


adalah bagian yang unik. Pintu kayu tersebut jika dibuka lebar akan
menempel ke langit- langit teras. Untuk menopangnya, digunakan
kunci dan pegas.

Bagian dalam ruangan tamu, yang disebut kekijing, berupa


pelataran yang luas. Ruangan ini menjadi pusat kegiatan
berkumpul jika ada perhelatan. Ruang tamu sekaligus menjadi
“ruang pamer” untuk menunjukkan kemakmuran pemilik rumah.
Bagian dinding ruangan dihiasi dengan ukiran bermotif flora yang
dicat dengan warna keemasan. Tak jarang, pemilik menggunakan
timah dan emas di bagian ukiran dan lampu- lampu gantung antik
sebagai aksesori.

7. Nuwou Sesat (Lampung)


Rumah adat di Lampung ialah Rumah Sesat (Nuwou Sesat), yang
digunakan untuk musyawarah tertinggi antara marga-marga.
Jambal Agung atau Lorong Agung adalah nama tangga menuju
Rumah Sesat.

Arsitektur tradisional Lampung umumnya terdiri dari


bangunan tempat tinggal disebut Lamban, Lambahana atau Nuwou,
bangunan ibadah yang disebut Mesjid, Mesigit, Surau, Rang Ngaji,
atau Pok Ngajei, bangunan musyawarah yang disebut sesat atau
bantaian, dan bangunan penyimpanan bahan makanan dan benda
pusaka yang disebut Lamban Pamanohan.

Rumah orang Lampung biasanya didirikan dekat sungai dan


berjajar sepanjang jalan utama yang membelah kampung, yang
disebut tiyuh. Setiap tiyuh terbagi lagi ke dalam beberapa bagian
yang disebut bilik, yaitu tempat berdiam buway . Bangunan
beberapa buway membentuk kesatuan teritorial-genealogis yang
disebut marga. Dalam setiap bilik terdapat sebuah rumah klen yang
besar disebut nuwou menyanak. Rumah ini selalu dihuni oleh
kerabat tertua yang mewarisi kekuasaan memimpin keluarga.

Nuwou Sesat, bangunan ini aslinya adalah balai pertemuan adat


tempat para purwatin (penyimbang) pada saat mengadakan pepung
adat (musyawarah). Karena itu balai ini juga disebut Sesat Balai
Agung. Bagian bagian dari bangunan ini adalah ijan geladak (tangga
masuk yang dilengkapi dengan atap).

Atap itu disebut Rurung Agung. Kemudian anjungan (serambi yang


digunakan untuk pertemuan kecil, pusiban (ruang dalam tempat
musyawarah resmi), ruang tetabuhan (tempat menyimpan alat
musik tradisional), dan ruang Gajah Merem ( tempat istirahat bagi
para penyimbang). Hal lain yang khas di rumah sesat ini adalah
hiasan payung-payung besar di atapnya (rurung agung), yang
berwarna putih, kuning, dan merah, yang melambangkan tingkat
kepenyimbangan bagi masyarakat tradisional Lampung Pepadun.

8. Bubungan Lima (Bengkulu)


Rumah Adat Bubungan Lima ialah rumah watak Panggung
Tradisional dari Provinsi Bengkulu. Rumah . Rumah Adat
Bubungan Lima sejatinya merujuk pada atap dari rumah panggung
tersebut. Selain “bubungan lima”, rumah panggung khas Bengkulu
ini mempunyai bentuk atap lainnya, menyerupai “bubungan limas”,
“bubungan haji”, dan “bubungan jembatan”.

Rumah Adat Bubungan Lima mempunyai model menyerupai


rumah panggung yang ditopang oleh beberapa tiang penopang.
Rumah Adat Bubungan Lima biasanya digunakan untuk program
watak masyarakat Bengkulu
Rumah Bubungan Lima, ialah salah satu prototipe hunian tahan
banjir, yang merepresentasikan nilai-nilai kearifan lokal pada
masyarakat Bengkulu. Rumah Bubungan Lima dibangun tinggi
supaya menghindari pemilik rumah beserta keluarga dari serangan
hewan liar dan juga dari musibah menyerupai banjir.

Karena tinggi Rumah Bubungan Lima ini, maka orang-orang yang


hendak masuk ke dalam rumah pun harus memakai tangga.Tangga
yang digunakan untuk masuk ke dalam rumah umumnya
mempunyai jumlah anak tangga yang ganjil sesuai dengan
kepercaaan masyarakat Bengkulu.

Rumah Bubungan Lima dibangun tinggi supaya menghindari


pemilik rumah beserta keluarga dari serangan hewan liar dan juga
dari musibah menyerupai banjir. Karena tinggi Rumah Bubungan
Lima ini, maka orang-orang yang hendak masuk ke dalam rumah
pun harus memakai tangga.Tangga yang digunakan untuk masuk ke
dalam rumah umumnya mempunyai jumlah anak tangga yang
ganjil sesuai dengan kepercaaan masyarakat Bengkulu.

Pada umumnya rumah watak tersebut mempunyai 15 tiang yang


tinggginya mencapai 1,8 meter dan beralas batu. Memiliki atap dari
ijuk yang berbentuk limas dengan tinggi 3,5 meter. Memiliki lantai
kayu dan tangga, anak tangga berjumlah ganjil alasannya ialah
sesuai dengan watak yang ada di Bengkulu. Rumah terdiri dari
beberapa bab yaitu barendo sebagai daerah untuk mendapatkan
tamu yang sedang memberikan pesan, hall untuk mendapatkan
tamu dari kerabat dekat.

Material utama yang digunakan ialah kayu medang kemuning atau


surian balam, yang berkarakter lembut namun tahan lama.
Lantainya terbuat dari papan, sementara atapnya terbuat dari ijuk
enau atau sirap. Sementara di bab depan, terdapat tangga untuk
naik-turun rumah, yang jumlahnya biasanya ganjil (berkaitan
dengan nilai adat).
Menilik sejumlah literatur yang membuktikan ihwal rumah watak
ini, kesimpulan sementara yang sanggup diambil adalah, rumah ini
bukanlah jenis daerah tinggal yang umum ditempati masyarakat.

Rumah Bubungan Lima (juga jenis rumah watak lainnya di


Bengkulu) ialah rumah dengan fungsi khusus yang digunakan
untuk ritus-ritus watak atau program khusus, menyerupai
penyambutan tamu, kelahiran, perkawinan, atau kematian.

9. Rumah Kebaya (Jakarta)

Rumah Kebaya mempunyai beberapa pasang atap, yang apabila


dilihat dari samping berlipat-lipat seperti lipatan kebaya.

Arsitekturnya seperti monas yang terpotong bagian tugunya.


Rumah ini melambangkan penduduk Jakarta yang terdiri dari
berbagai suku bangsa.

Pembagian ruangannya, serambi depan disebut Paseban.


Dindingnya terbuat dari panel-panel yang dapat dibuka-buka dan
digeser-geser ke tepinya. Hal ini dimaksudkan agar ruangan terasa
lebih luas.
Pada saat-saat tertentu, Rumah Kebaya sering digunakan untuk
mengadakan acara selamatan atau hajatan khas Betawi.

Struktur Bangunan Betawi

1. Konstruksi rumah betawi diawali dengan Umpak, yaitu batu


yang menahan beratnya Dinding
2. Pada bagian tengah kekuatan bertumpu pada Penglari dan
pada bagian atas, aksentuasi konstruksi pada kuda-kuda
3. Secara garis besar sistem struktur banguan yang secara
keseluruhan berbeda, unsur-unsur struktur maupun lihat dari
tata letak fungsi-fungsi atau ruang-ruangnya, pola yang
dimiliki oleh rumah tradisional betawi cenderung bersifat
simetris walaupun bukan hal yang mutlak

Secara umum, tradisional betawi mempunyai tata ruang yang


sederhana dan terdiri dari 3 kelompok yaitu ruang depan, tengah
dan belakang.

10. Rumah Melayu Bubung Panjang (Bangka


Belitung)
Secara umum arsitektur di Kepulauan Bangka Belitung berciri
Arsitektur Melayu seperti yang ditemukan di daerah-daerah
sepanjang pesisir Sumatera dan Malaka.

Di daerah ini dikenal ada tiga tipe yaitu Arsitektur Melayu Awal,
Melayu Bubung Panjang dan Melayu Bubung Limas. Rumah
Melayu Awal berupa rumah panggung kayu dengan material seperti
kayu, bambu, rotan, akar pohon, daun-daun atau alang-alang yang
tumbuh dan mudah diperoleh di sekitar pemukiman.

Bangunan Melayu Awal ini beratap tinggi di mana sebagian atapnya


miring, memiliki beranda di muka, serta bukaan banyak yang
berfungsi sebagai fentilasi. Rumah Melayu awal terdiri atas rumah
ibu dan rumah dapur, yang berdiri di atas tiang rumah yang
ditanam dalam tanah.
Berkaitan dengan tiang, masyarakat Kepulauan Bangka Belitung
mengenal falsafah 9 tiang. Bangunan didirikan di atas 9 buah tiang,
dengan tiang utama berada di tengah dan didirikan pertama kali.
Atap ditutup dengan daun rumbia. Dindingnya biasanya dibuat dari
pelepah/kulit kayu atau buluh (bambu). Rumah Melayu Bubung
Panjang biasanya karena ada penambahan bangunan di sisi
bangunan yang ada sebelumnya, sedangkan Bubung Limas karena
pengaruh dari Palembang.

Sebagian dari atap sisi bangunan dengan arsitektur ini terpancung.


Selain pengaruh arsitektur Melayu ditemukan pula pengaruh
arsitektur non-Melayu seperti terlihat dari bentuk Rumah Panjang
yang pada umumnya didiami oleh warga keturunan Tionghoa.
Pengaruh non-Melayu lain datang dari arsitektur kolonial, terutama
tampak pada tangga batu dengan bentuk lengkung.

11. Rumah Rakit (Bangka Belitung)


Rumah Rakit sesuai dengan namanya yaitu rumah yang berada di
atas perairan dengan bentuk seperti rakit. Mengingat Bangka
Belitung terbatasi oleh perairan baik sungai maupun lautan maka
banyak masyarakat Bangka yang membuat rumah diatas air sebagai
tempat tinggal dan tempat bisnis ekonomi.

Seperti halnya rakit, rumah ini berbahan utama bambu khususnya


bambu manyan dan bambu ini digunakan untuk pelampung rumah
rakit agar tidak tenggelam ketika digunakan oleh pemiliknya.
Kelebihan dari rumah ini adalah dapat bertahan lama untuk ukuran
tempat tinggal, meskipun terkena hujan dan panas diatas perairan
serta memiliki bentuk yang besar dan cocok untuk tinggal banyak
orang, namun sulitnya rumah ini berada di atas perairan dan tentu
tidak stabil.

12. Rumah Panggung (Bangka Belitung)

Di Sumatera memang di dominansi oleh rumah Panggung yang


menjadi rumah utama, begitupun dengan rumah panggung Bangka
Belitung. Dengan mewarisi gaya seperti Melayu Awal, Melayu
Bubungan Limas dan juga rumah Melayu Bubung Panjang.

Rumah ini banyak digunakan oleh masyarakat Bangka dengan


bentuk atau bahan seperti kayu, rotan, bambu dan dedaunan. Serta
akar pohon dan alang yang kuat dan juga tahan lama.
Ciri khas lainnya dari Rumah Panggung yaitu bentuk atap yang
tinggi dan sedikit miring. Rumah ini juga memiliki jendela yang
banyak.

Bagian di dalam rumah terdiri dari rumah induk atau ibu dan juga
rumah dapur tempat para wanita dan anak gadisnya memasak dan
belajar mengurus rumah. Rumah ini juga anti menggunakan cat
sehingga warna alamilah yang digunakan.

13. Rumah Adat Melayu Atap Lontik (Bangka


Belitung)
Rumah adat Provinsi Riau ini juga disebut dengan rumah lancang
atau pancalang. Mengapa disebut demikian? Hal tersebut
dikarenakan rumah ini mempunyai hiasan di dinding depan rumah
dengan bentuk perahu. Selain itu ternyata ada sebutan lain untuk
rumah tradisional ini, yakni lontik. Disebut begitu karena rumah ini
memiliki parabung atap yang meletik ke atas.

Rumah adat Riau ini dipengaruhi oleh kebudayaan Minangkabau.


Hal ini karena sebagian besar rumah terletak di daerah perbatasan
dengan Sumatera Barat. Keunikan rumah Melayu Atap Lontik
adalah adanya anak tangga dengan jumlah lima atau ganjil.
Alasannya adalah adanya keyakinan tentang lima rukun Islam,
yakni syahadat, sholat, zakat, puasa, dan haji. Selanjutnya bentuk
tiang yang ada juga mempunyai variasi, mulai dari segi empat, segi
enam, segi tujuh, segi delapan, hingga segi sembilan.

14. Rumah Rumah Lancang atau Pencalang


(Kepulauan Riau)

Kepulauan Riau merupakan salah satu satu provinsi di Indonesia.


Daerah ini merupakan gugusan pulau yang tersebar di perairan
selat Malaka dan laut Cina selatan. Keadaan pulau-pulau itu
berbukit dengan pantai landai dan terjal. Mayoritas penduduknya
berprofesi sebagai nelayan dan petani. Sedangkan agama yang
dianut oleh sebagian besar dari mereka adalah Islam.

Rumah Lancang atau Pencalang merupakan nama salah satu


Rumah tradisional masyarakat Kabupaten Kampar, Provinsi Riau,
Indonesia. Selain nama Rumah Lancang atau Pencalang, Rumah ini
juga dikenal dengan sebutan Rumah Lontik. Disebut Lancang atau
Pencalang karena bentuk hiasan kaki dinding depannya mirip
perahu, bentuk dinding Rumah yang miring keluar seperti
miringnya dinding perahu layar mereka, dan jika dilihat dari jauh
bentuk Rumah tersebut seperti Rumah-Rumah perahu (magon)
yang biasa dibuat penduduk. Sedangkan nama Lontik dipakai
karena bentuk perabung (bubungan) atapnya melentik ke atas.

15. Rumah Adat Suku Baduy (Banten)


Di Provinsi Banten terdapat Suku Baduy. Suku Baduy Dalam
merupakan suku asli Sunda Banten yang masih menjaga tradisi anti
modernisasi, baik cara berpakaian maupun pola hidup lainnya.
Suku Baduy-Rawayan tinggal di kawasan Cagar Budaya
Pegunungan Kendeng seluas 5.101,85 hektare di daerah Kanekes,
Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Perkampungan
masyarakat Baduy umumnya terletak di daerah aliran Sungai
Ciujung di Pegunungan Kendeng. Daerah ini dikenal sebagai
wilayah tanah titipan dari nenek moyang, yang harus dipelihara dan
dijaga baik-baik, tidak boleh dirusak.

Rumah adatnya adalah rumah panggung yang beratapkan daun


atap dan lantainya dibuat dari pelupuh yaitu bambu yang dibelah-
belah. Sedangkan dindingnya terbuat dari bilik (gedek). Untuk
penyangga rumah panggung adalah batu yang sudah dibuat
sedemikian rupa berbentuk balok yang ujungnya makin mengecil
seperti batu yang digunakan untuk alas menumbuk beras. Rumah
adat ini masih banyak ditemukan di daerah yang dihuni oleh orang
Kanekes atau disebut juga orang Baduy.

16. Rumah Adat Parahu Kumureb (Jawa Barat)

Imah Parahu Kumureb Dan yang terakhir adalah desain rumah


Parahu Kumureb atau kalau dalam bahasa indonesia perahu
tengkurap. Desain atap rumah adat Jawa Barat ini memiliki 4
bagian utama. Dua bagian pada bagian di depan dan belakang
berbentuk trapesium, dan dua bagian lagi di sisi kanan kiri
berbentuk segitiga sama sisi. Untuk di Palembang, desain atap
Parahu Kumureb juga biasa disebut desain atap Limasan.

Sesuai dengan namanya, atap rumah adat Sunda yang satu ini
memang tampak terlihat seperti sebuah perahu yang terbalik atau
tengkurap. DI Karenakan memiliki terlalu banyak sambungan,
desain atap seperti ini sering kali mudah bocor sehingga jarang
yang menggunakannya. Kendati demikian, masyarakat Kampung
Kuta di Kabupaten Ciamis ternyata masih ada yang
menggunakannya.

17. Rumah Adat Jolopong (Jawa Barat)


Rumah adat jolopong di antara desain rumah adat Jawa Barat yang
lainnya, Jolopong menjadi paling familiar karena yang paling sering
banyak digunakan. Jolopong banyak dipilih karena bangunannya
lebih mudah dibuat juga lebih hemat pada bahan material. Sesuai
dengan namanya yang berarti “terkulai”, rumah Jolopong ini
memang memiliki atap yang tampak tergolek lurus.
Ada 2 bagian atapnya yang saling bersatu sama panjang. dan jika
ditarik garis imajiner, antara ujung atap satu dengan ujung atap
lainnya akan menghasilkan bentuk sebuah segitiga sama kaki.
Desain rumah yang juga kerap disebut dengan Suhunan Panjang ini
sampai kini masih digunakan sebagian masyarakat Kampung
Dukuh di Garut.

18. Rumah Adat Julang Ngapak (Jawa Barat)

Julang Ngapak kalau dalam bahasa Indonesia yang berarti seekor


burung mengepakkan sayapnya. Nama rumah tersebut memang di
lihat dari desain atapnya tampak melebar pada bagian sisi-sisinya,
dan bila dilihat dari depan, bentuk atapnya memang terlihat seperti
seekor burung yang sedang mengepakkan sayapnya.

Rumah dengan memiliki desain atap Julang Ngapak pada


umumnya akan dilengkapi dengan capit hurang atau cagak gunting
di bagian bubungannya. Pada keduanya sama-sama memiliki fungsi
untuk mencegah rembesnya pertemuan air di bagian atap yang
terletak di ujung atas rumah. Atapnya tersebut dapat dibuat dari
bahan rumbia, ijuk, atau alang-alang yang diikat pada kerangka
atap dari bambu.

Desain rumah Julang Ngapak yang hingga kini masih dapat kita
dijumpai di Kuningan; Kampung Dukuh, Kampung Naga,
Tasikmalaya; dan beberapa daerah lainnya yang ada di Jawa Barat.
Bahkan selain itu, pada gedung Institut Teknologi Bandung
beberapa di antaranya menggunakan desain atap rumah adat Jawa
Barat yang satu ini.

19. Rumah Adat Kudus (Jawa Tengah)


Rumah Adat Kudus merupakan salah satu rumah tradisional yang
mencerminkan akulturasi kebudayaan masyarakat Kudus. Rumah
Adat Kudus memiliki atap berbentuk joglo pencu, dengan bangunan
yang didominasi seni ukir empat dimensi khas Kota Kudus yang
merupakan perpaduan gaya seni ukir dari budaya Hindu, Persia
(Islam), Cina, dan Eropa. Rumah ini diperkirakan mulai dibangun
pada tahun 1500-an M dengan bahan baku utama (95%) dari kayu
jati (tectona grandis) berkualitas tinggi dengan sistem pemasangan
knock-down (bongkar pasang tanpa paku).

Dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya, Rumah Adat


Kudus banyak berdiri di wilayah Kudus Kulon (Alun-alun ke barat)
yang komposisi penduduknya mayoritas adalah pengusaha dan
pedagang yang secara ekonomi lebih maju dibandingkan dengan
penduduk di wilayah Kudus Wetan (Alun-alun ke timur). Pada
awalnya, Rumah Adat Kudus hanya dimiliki oleh para pedagang
Cina Islam, tetapi kemudian banyak pedagang pribumi yang ikut
mendirikan rumah adat tersebut setelah usaha mereka
berkembang. Rumah Adat Kudus sebagian besar dibangun sebelum
tahun 1810 M dan pernah menjadi simbol kemewahan bagi
pemiliknya pada waktu itu.

Keunikan dan keistimewaan Rumah Adat Kudus tidak hanya


terletak pada keindahan arsitekturnya yang didominasi dengan seni
ukir kualitas tinggi, tetapi juga pada kelengkapan komponen-
komponen pembentuknya yang memiliki makna filosofis berbeda-
beda.

20. Rumah Joglo (Jawa Tengah)

Bangunan ini termasuk pada banguna tahan gempa.bangunan


rumah adat ini terdiri atas stuktur beton dan pondasi yang kuat
sehingga dapat menahan beban.ada tiga alasan mengapa rumah
Joglo lebih tahan terhadap gempa. Pertama, rangka utama (core
frame) yang terdiri umpak, sokoguru, dan tumpang sari, dapat
menahan beban lateral yang bergerak horizontal ketika terjadi
gempa. Inilah kunci utama mengapa rumah Joglo masih dapat
berdiri ketika gempa Yogyakarta pada Mei 2006, di saat rumah atau
gedung lain mengalami keruntuhan.

Alasan kedua, adalah bahwa struktur rumah Joglo yang berbahan


kayu menghasilkan kemampuan meredam getaran/guncangan yang
efektif, lebih fleksibel, dan juga stabil. Struktur dari kayu inilah
yang berfungsi meredam efek getaran/guncangan dari gempa.

Ketiga, kolom rumah yang memiliki tumpuan sendi dan rol,


sambungan kayu yang memakai sistem sambungan lidah alur, dan
konfigurasi kolom anak (soko-soko emper) terhadap kolom-kolom
induk (soko-soko guru) merupakan earthquake responsive building
dari rumah Joglo. Oleh karenanya, dengan sistem ini, rumah Joglo
lebih stabil pada frekuensi gempa tinggi dengan akselerasi rendah-
tinggi. Sedangkan pada frekuensi gempa rendah, rumah Joglo lebih
fleksibel. Hanya saja, Prihatmaji mengungkapkan rumah Joglo
hanya tahan pada daerah gempa III. Lebih dari itu, rumah jenis ini
memerlukan beberapa modifikasi.

21. Rumah Adat Tajug (Jawa Tengah)


Setiap rumah tradisional di Jawa Tengah memiliki filosofi
tersendiri. Kita bahkan dapat mengatakan jika masing-masing
memiliki fungsi yang hampir selalu berbeda. Seperti rumah
tradisional Tajug yang satu ini.

Rumah Tajug tradisional adalah rumah tradisional yang biasa


digunakan untuk bangunan suci seperti masjid dan bangunan
lainnya. Jika penggunaannya untuk keperluan perumahan tentu
tidak diotorisasi.

Memang, rumah Tajug tradisional dianggap sebagai jenis rumah


yang dimurnikan. Jadi, tidak sembarang bangunan bisa
menggunakan rumah adat jenis ini. Hanya bangunan tertentu yang
dianggap sesuai dengan filosofi.

Biasanya rumah tradisional ini memiliki atap runcing. Kita dapat


mengatakan bahwa bentuknya terlihat seperti kotak. Untuk
jenisnya sendiri, tidak hanya ada satu jenis rumah Tajug
tradisional. Di sisi lain, jumlah total tipe rumah tradisional
mencapai hingga 13 jenis.

22. Rumah Adat Panggang Pe (Jawa Tengah)

Ternyata rumah tradisional Jawa yang populer bukan hanya rumah


tradisional Joglo. Namun, Anda dapat menemukan di sini rumah
tradisional lain, rumah tradisional Panggang Pe. Rumah ini cukup
terkenal di Jawa Tengah.
Untuk model rumah tradisional sendiri adalah rumah yang
memiliki empat hingga enam tiang. Di pos depan biasanya sengaja
disingkat dari pos belakang. Jadi Anda bisa menyebutnya jika
rumah tradisional cukup unik.

Umumnya rumah tradisional ini digunakan untuk memasang kios


dan warung. Saat ini, ada aliran yang berbeda dari rumah
tradisional Panggang Pe. Tetapi ada sekolah yang memiliki
kesamaan.

Cere Gancet, Empyak Satangkep, Gedhang Salirang dan Gedhang


Setangkep adalah contoh rumah tradisional yang memiliki
kesamaan. Keempat rumah tradisional ini terdiri dari dua rumah
Panggang Pe yang sengaja dirakit.

23. Rumah Adat Panjang (Kalimantan Barat)


Sebagai salah satu daerah di Indonesia, Kalimantan Barat memiliki
banyak sumber daya alam seperti hutan hujan tropis dengan
berbagai jenis flora dan fauna. Sebagian besar daerah ini telah
ditetapkan sebagai kawasan hutan konservasi.

Daerah Kalimantan Barat dihuni oleh aneka ragam suku bangsa.


Suku bangsa mayoritasnya yaitu Dayak, Melayu dan Tionghoa,
selain itu terdapat juga suku-suku bangsa lain, antara lain Bugis,
Jawa, Madura, Minangkabau, Sunda, Batak.

Rumah tradisional yang ada yaitu rumah panjang di Kalimantan


Barat umumnya disebut Betang, adalah suatu bangunan tradisional
yang dimiliki oleh beberapa kelompok Dayak yang ada di
Kalimantan Barat. Pembagian ruangan atau bilik yang ada didalam
Betang mencerminkan stratifikasi dari sistem yang unik dari
masyarakat yang tinggal di dalamnya.

Bagian tengah dari betang adalah untuk aktivitas yang bersifat


publik, sedangkan bagian depan digunakan untuk menjemur padi
dan komoditas lainnya. Ruang belakang biasanya untuk keperluan
memasak, tidur dan tempat berkumpul bagi seluruh anggota
keluarga. Pemisahan ruangan ini mencerminkan pemisahan antara
wilayah sosial, individu dan fasilitas umum.

24. Rumah Adat Betang (Kalimantan Barat)


Rumah tradisional Betang dihuni oleh keluarga besar orang Dayak
sehingga sangat besar. Rumah Betang memiliki panjang 150 meter
dan lebar 30 meter dan bahkan ada juga yang lebih besar dari itu.
Keunikan rumah tradisional di Kalimantan Barat ini dapat dilihat
dari bentuknya yang sangat bervariasi tergantung dari jumlah
anggota keluarga.

Rumah tradisional Betang di Kalimantan Barat dibangun dalam


bentuk pemandangan setinggi tiga sampai lima meter dari
permukaan tanah. Tujuan membangun rumah dari bawah ke atas
adalah untuk mengantisipasi datangnya banjir. Masyarakat
umumnya akan hidup bersama dan dipersatukan dalam satu rumah
untuk beberapa generasi atau tradisi.

Setiap rumah tangga atau keluarga akan tinggal di kabin atau


kamar yang telah ditutup di rumah Betang yang besar. Selain itu,
suku Dayak umumnya memiliki beberapa rumah individu yang
dibangun sementara yang dapat digunakan untuk kegiatan
lapangan. Rumah terpisah ini dibangun karena jarak antara sawah
dan daerah perumahan yang cukup jauh.

25. Rumah Adat Betang Muara Mea (Kalimantan


Tengah)
Seperti halnya nama bangunannya, rumah ini berlokasi di desa
Muara Mea. Rumah betang Muara Mea dibangun oleh para suku
Dayak yang tinggal di sekitar Gunung Purei. Berbeda dengan
tambaba, desain dan arsitektur rumah ini terkesan lebih modern.
Pada dindingnya diberi cat dan dilukis.

Jika Anda mengamatinya dengan seksama, gambarnya yang


terdapat pada dinding menggambarkan identitas suku Dayak.

Beberapa wisatawan yang datang ke rumah tradisional ini, biasanya


sambil mengunjungi Taman Nasional Gunung Lumut yang letaknya
tidak begitu jauh dari Muara Mea.

Lingkungan di sekitar bangunan adat ini memang masih terlihat


alami karena masih dipenuhi rerumputan dan pepohonan.
26. Rumah Adat Banjar atau Bubungan Tinggi
(Kalimantan Tengah)

Rumah Banjar adalah rumah tradisional suku Banjar. Arsitektur


tradisional ciri-cirinya antara lain mempunyai perlambang,
mempunyai penekanan pada atap, ornamental, dekoratif dan
simetris.
Menurut Idwar Saleh (1984:5) Rumah tradisonal Banjar adalah
type-type rumah khas Banjar dengan gaya dan ukirannya sendiri
mulai sebelum tahun 1871 sampai tahun 1935. Umumnya rumah
tradisional Banjar dibangun dengan ber-anjung (ba-anjung) yaitu
sayap bangunan yang menjorok dari samping kanan dan kiri
bangunan utama karena itu disebut Rumah Baanjung.

Anjung merupakan ciri khas rumah tradisional Banjar, walaupun


ada pula beberapa type Rumah Banjar yang tidak ber-anjung. Tipe
rumah yang paling bernilai tinggi adalah Rumah Bubungan Tinggi
yang biasanya dipakai untuk bangunan keraton (Dalam Sultan).
Jadi nilainya sama dengan rumah joglo di Jawa yang dipakai
sebagai keraton. Keagungan seorang penguasa pada masa
pemerintahan kerajaan diukur oleh kuantitas ukuran dan kualitas
seni serta kemegahan bangunan-bangunan kerajaan khususnya
istana raja (Rumah Bubungan Tinggi).

Dalam suatu perkampungan suku Banjar terdiri dari bermacam-


macam jenis rumah Banjar yang mencerminkan status sosial
maupun status ekonomi sang pemilik rumah. Dalam kampung
tersebut rumah dibangun dengan pola linier mengikuti arah aliran
sungai maupun jalan raya terdiri dari rumah yang dibangun
mengapung di atas air, rumah yang didirikan di atas sungai
maupun rumah yang didirikan di daratan, baik pada lahan basah
(alluvial) maupun lahan kering.

27. Rumah Adat Lamin (Kalimantan Timur)


Rumah Lamin berbentuk panggung setinggi 3 meter dari tanah dan
dihui 25 hingga 30 kepala keluarga. Ujung atap rumah ini diberi
hiasan kepala naga sebagai simbol keagungan, budi luhur, dan
kepahlawanan.

Halaman rumahnya diisi oleh patung-patung Blontang yang


menggambarkan dewa-dewa sebagai penjaga rumah atau kampung.

Rumah Lamin terbagi atas ruangan dapur, tidur, dan ruangan


tengah guna menerima tamu atau pertemuan adat. Tangga untuk
naik ke dalam rumah terbuat dari kayu pohon. Bentuk tangga ini
tidak berbeda antara rumah para bangsawan dan rakyat biasa.
Dinding rumah lamin terbuat dari kayu yang diselingi daun rumbia.
Sementara itu, kolong rumah panggung ini digunakan untuk
memilihara ternak.

Rumah adat yang satu ini berasal dari Kalimantan Timur. Rumah
adat suku dayak yang dinamakan rumah lamin ini merupakan
rumah panggung yang panjang dan sambung menyambung, terdiri
dari banyak kamar yang ditempati banyak anggota keluarga,
bahkan dapat mencapai lebih dari 100 orang. Bahan bangunan
utamanya dari kayu ulin berwarna hitam dan tahan lama.

Ruangan los yang panjang berfungsi sebagai tempat pertemuan,


upacara adat, dan tempat tidur untuk laki-laki, pemuda, dan tamu
laki-laki. Juga terdapat kamar-kamar yang berderet untuk ruang
tidur keluarga dan gadis.

Ukiran dari rumah lamin ini memiliki ciri yang berpola ukiran
abstrak dengan pengulangan garis dan seperti ular naga, burung
topeng, kerangka manusia, dll.

Desain rumah ini tentu sebagai ciri khas dari rumah-rumah adat di
Indonesia. Dimana Terdapat ukiran-ukiran, patung, dan dai bahan
bangunannya sendiri yang pada umumnya menggunakan kayu.

Bangunan ini memiliki ciri bentukan yang mengulang serta


memanjangBerbeda dari rumah adat lainnya. Rumah lamin
memiliki sifat yang mengutamakan fungsi dari bangunannya.
Tetapi tetap tidak menghilangkan ciri khususnya yang terdapat
ukiran pada sisi bangunannya tertentu dan mengandung arti
khusus.
28. Rumah Adat Suku Sasak di Lombok (NTB)

Atap rumah Sasak terbuat dari jerami dan berdinding anyaman


bambu (bedek). Lantainya dibuat dari tanah liat yang dicampur
dengan kotoran kerbau dan abu jerami. Campuran tanah liat dan
kotoran kerbau membuat lantai tanah mengeras, sekeras semen.
Pengetahuan membuat lantai dengan cara tersebut diwarisi dari
nenek moyang mereka.

Seluruh bahan bangunan (seperti kayu dan bambu) untuk membuat


rumah adat Sasak didapatkan dari lingkungan sekitar mereka,
bahkan untuk menyambung bagian-bagian kayu tersebut, mereka
menggunakan paku yang terbuat dari bambu. Rumah adat suku
Sasak hanya memiliki satu pintu berukuran sempit dan rendah, dan
tidak memiliki jendela.

Dalam masyarakat Sasak, rumah berada dalam dimensi sakral


(suci) dan profan duniawi) secara bersamaan. Artinya, rumah adat
Sasak disamping sebagai tempat berlindung dan berkumpulnya
anggota keluarga juga menjadi tempat dilaksanakannya ritual-ritual
sakral yang merupakan manifestasi dari keyakinan kepada Tuhan,
arwah nenek moyang (papuk baluk), epen bale (penunggu rumah),
dan sebaginya.

29. Rumah Adat Lopo (NTT)


Lopo merupakan serambi tempat masyarakat Pulau Timor
khususnya suku Dawan (Wilayah TTU, TTS, Ambeno-Timor Leste
dan sebagian Kupang Timur Laut) mengadakan beragam acara.
Mulai dari menerima tamu dan semua yang berkunjung ke tempat
mereka, berkumpul untuk membicarakan pelbagai persoalan
sampai makan sirih-pinang bersama. Lopo juga tempat menenun
bagi wanita-wanita Dawan yang telah dewasa. Karya tenunan
merupakan prasyarat bagi wanita dewasa untuk masuk dalam
kehidupan berkeluarga.

Arsitekturnya terdiri dari empat tiang penyanggah yang didirikan di


atas dataran bundar dengan atap ilalang serta memiliki langit-langit
yang bisa berfungsi sebagai lumbung tempat menyimpan benih
untuk musim tanam berikut dan juga menyimpan hasil panen dan
berbagai benda lainnya.

Pada keadaan terkini di beberapa tempat atap ilalang sudah mulai


diganti dengan plat seng. Lopo merupakan salah satu karakteristik
Atoni (Orang yang mendiami tanah kering, sebutan untuk suku
Dawan, salah satu suku terbesar di Timor).

30. Rumah Adat Dulohupa (Gorontalo)


Rumah Adat Dulohupa yang merupakan balai musyawarah dari
kerabat kerajaan. Terbuat dari papan dengan bentuk atap khas
daerah tersebut. Pada bagian balakangnya terdapat anjungan
tempat para raja dan kerabat istana beristirahat sambil melihat
kegiatan remaja istana bermain sepak raga. Saat ini rumah adat
tersebut berada di tanah seluas + 500 m² dan dilengkapi dengan
taman bunga, bangunan tempat penjualan cenderamata, serta
bangunan garasi bendi kerajaan yang bernama talanggeda. Pada
masa pemerintahan para raja, rumah adat ini digunakan sebagai
ruang pengadilan kerajaan. Bangunan ini terletak di Kelurahan
Limba, Kecamatan Kota Selatan, Kota Gorontalo.

Selain Rumah adat Dulohupa juga ada Rumah Adat Bandayo


Pomboide yang terletak di depan Kantor Bupati Gorontalo.
Bantayo artinya ‘gedung’ atau ‘bangunan’, sedangkan Pomboide
berarti ‘tempat bermusyawarah’ . Bangunan ini sering digunakan
sebagai lokasi pagelaran budaya serta pertunjukan tari di
Gorontalo. Di dalamnya terdapat berbagai ruang khusus dengan
fungsi yang berbeda. Gaya arsitekturnya menunjukkan nilai-nilai
budaya masyarakat Gorontalo yang bernuansa Islami.
31. Rumah Adat Bangsal Kencono (D.I.
Jogyakarta)

Rumah Bangsal Kencono Kraton merupakan salah satu rumah adat


Daerah Instimewa Yogyakarta. Selain rumah ini dikenal sebagai
tempat tinggal Raja, Bangsal Kencone ketika kita lihat sekilas mirip
dengan rumah joglo tetapi ukuran dari rumah ini lebih luas, lebar
dan besar.

Rumah adat yang kedua dari Yogyakarta ini ada tambahan sedikit
arsitektur khas dari Cina, Portugis dan Belanda, tapi secara
keseluruhan tetap dapat kita lihat sebagai rumah dengan ciri khas
ada dari Jawa. Ciri khas terlihat jelas adalah dari bagian atas,
dinding rumah dan juga tiang yang ada dibangunan rumah.
Atas dari Rumah Bangsal Kencono memiliki desain yang mirip
dengan rumah jawa, untuk bangunannya dan pondasinya tinggi
sehingga bagunan harus ditopang dengan 4 buah tiang di bagian
tengahnya, tiang ini sering disebut dengan istilah Soko Guru.

Bahan yang digunakan untuk membuat genting yang dibuat dari


tanah liat atau tanah sirap, sedangkan untuk bagian dinding dan
juga tiang dibuat dari kayu yang memiliki kualitas terbaik. Untuk
tiangnya biasanya memiliki warna hitam dan hijau tua, dan pada
bagian atas umpak batu memiliki warna hitam keemasan. Untuk
bahan lantai dibuat dari marmer atau granit dengan memiliki
struktur yang lebih tinggi dari permukaan lainnya.

Ciri khas Rumah adat Bangsal Kencono Yogyakarta:

1. Ukuran Rumah, pada rumah ini memiliki desain mirip dengan


padepokan yang bermanfaat untuk tempat tinggal keluarga
dari kerajaan pada jaman dahulu, sehingga membuat ukuran
dari bangunan rumah memiliki ukuran di setiap ruangan yang
besar dan luas atau sesuai dengan kebutuhan dari setiap
ruangan.
2. Desain dan Motif Ukiran, pada rumah model ini di halaman
utama akan ditanami beberapa jenis tanaman yang hijau,
selain itu akan terdapat sangkar burung. Desain ini
menunjukan filosofi yang mengutamakan kecintaan kepada
alam. Sedangkan untuk motif dominan yang ada pada rumah
ini adalah nuansa kejawan yang dipadukan dengan budaya
dari bangsa eropa terutama Portugis, Belanda dan China serta
juga terdapat nuansa Hindu.
3. Untuk fungsi dari Bangsal Kencono ini cukup banyak, selain
digunakan untuk tempat tinggal dari keluarga kerajaan yang
berasal dari Yogyakarta, rumah ini juga menjadi tempat atau
juga pusat penyelenggraan upacara adat atau ritual keagaman
masyarakat sekitar.
32. Rumah Adat Tanean Lanjhang (Madura)

Tanean Lanjhang adalah Permukiman tradisional Madura


adalah suatu kumpulan rumah yang terdiri atas keluargakeluarga
yang mengikatnya. Letaknya sangat berdekatan dengan lahan
garapan, mata air atau sungai. Antara permukiman dengan lahan
garapan hanya dibatasi tanaman hidup atau peninggian tanah yang
disebut galengan atau tabun, sehingga masing-masing kelompok
menjadi terpisah oleh lahan garapannya.

Satu kelompok rumah terdiri atas 2 sampai 10 rumah, atau dihuni


sepuluh keluarga yaitu keluarga batih yang terdiri dari orang tua,
anak, cucu, cicit dan seterusnya. Jadi hubungan keluarga kandung
merupakan ciri khas dari kelompok ini.
33. Rumah Gapura Candi Bentar (Bali)

Rumah Gapura Candi Bentar sejatinya merujuk pada


bangunan gapura yang menjadi gerbang rumah-rumah adat Bali.
Gapura tersebut terdiri dari dua buah candi yang serupa dan
sebangun dan membatasi sisi kiri dan sisi kanan pintu masuk ke
pekarangan rumah. Gapura-gapura tersebut tidak memiliki atap
penghubung pada bagian atasnya sehingga kedua sisinya terpisah
sempurna, dan hanya terhubung di baagian dalam olehk-anak
tangga yang menjadi jalan masuk.
Gapura Candi Bentar dalam arsitektur Bali merupakan sebuah
perwujudan bangunan yang berfungsi untuk masuk-keluar dari satu
sisi ke sisi lainnya (dari luar ke dalam dan atau sebaliknya). Pada
awalnya ketika arsitektur Bali masih sesuai dengan keadaan pada
masa kerajaan, Gapura Candi Bentar hanya dibangun di lingkungan
Puri (Istana Raja) dan Pura (tempat suci agama Hindu). Tidak
ditemukan adanya Candi Bentar di perumahan masyarakat
kebanyakan.

Bentuknya merupakan gapura, atau candi yang terbelah dua tepat


di tengah-tengahnya sehingga menjadi bentukan yang simetri. Baik
di puri mau pun di pura, Candi Bentarmenempati posisi di areal
paling luar, menjadi pembuka jalansekaligus penerimabagi mereka
yang akan mengunjungitempat tersebut. Para Undagi yang
mengerjaakan bangunan ini sudah memiliki kepekaan yang tinggi
terhadap lingkungannya, sehingga hasil yang dicapai sesuai dengan
peruntukannya.Undagi memahami betul, di mana dan kapan Candi
Bentar harus tampil megah, tampil normal (akrab), kokoh dan
sebagainya.

Di Pura yang merupakan Kahyangan Jagat seperti Pura Ulun Danu


Batur (di Kintamani, Bangli), atau di Pura Besakih (Karangasem),
tampak bahwa Gapura Candi Bentar berdiri kokoh, besar, tinggi
atau dengan kata lain: megah. Areal Pura yang luas dan topografi
yang tidak rata (rendah di arah luar, dan meninggi menuju ke areal
Pura yang lebih di dalam), ikut mendukung kemegahan yang
terwujud. Dalam teori modern, para undagi telah
memperhitungkan dan menerapakan beberapa aspek estetika,
dalam hal ini skala dan proporsi.

34. Rumah Adat Karampuang (Sulawesi


Selatan)
Bangunan ini merupakan rumah purba yang konon merupakan
tempat bertemunya raja-raja dari Suku Makassar (Karaeng) dan
raja-raja dari Suku Bugis (Puang), sehingga akhirnya disebut
Karaengpuang atau Karampuang, berada di Kecamatan Bulupoddo,
berjarak 30 km tepatnya di Desa Tompobulu, dan dapat ditempuh
selarna 1 jam dengan menggunakan mobil atau sepeda motor.
Rumah purba Karampuang mengikuti model rumah adat Bugis
Makassar.

Keunikan dari Rumah ini antara lain : Tiangnya terbuat dari kayu
bitti, antara pasak dengan tiang tidak dipaku, lantai terbuat dari
bambu yang hanya diikat dengan rotan pada pasak, serta tangganya
berada di bawah kolong rumah bagian tengah, sehingga pintu
rumah dibuka dari bawah, dan dapur berada di bagian depan
setelah pintu dibuka. Setiap tahun (pada Bulan Nopember)
diadakan upacara adat Mappogau Sihanua yang dilaksanakan oleh
pemimpin adat, dengan menggelar berbagai atraksi.
Lain lagi dengan atraksi Maddui yang digelar jika ada tiang/ kayu
dari rumah adat yang rusak dan harus diganti olch kayu yang baru
denganjenis sama yang harus dicari dan ditarik dari dalam hutan
selama satu hari menuju kerumah adat. Kegiatan ini dipimpin oleh
pemimpin adat dan dilakukan dengan prosesi adat, serta
melibatkan masyarakat di kawasan rumah adat. Selain atraksi ini,
jehisseni dan budaya tradisional di Kabupaten Sinjai yaitu tarian
tradisional Pasere Pitupitu, tari Massellung Tana, Tari Maddongi,
dan tari Marumatang.

Secara fisik, bentuk rumah adat Karampuang tidak jauh berbeda


dengan rumah orang bugis pada umumnya, yaitu rumah panggung
yang terbuat dari kayu. Akan tetapi, rumah adat ini memiliki nilai
lebih karena keunikan yang dimilikinya, yakni ia disimbolkan
sebagai sosok wanita anggun. Rumah adat Karampuang memiliki
ukuran 15×11 meter dengan tinggi ± 12 meter. Jika kebanyakan
rumah bugis memiliki tangga dan pintu tepat dibagian depan
rumah atau menyamping searah lebar rumah, maka rumah adat
Karampuang tidak demikian.

Rumah adat ini memiliki pintu masuk tepat berada di tengah-


tengah rumah. Penempatan pintu dan tangga ini merupakan simbol
kelamin wanita (vagina), atau “pintu bunga mawar” tempat orang
pertama kali keluar dari rahim dan menghirup udara segar. Pintu
masuk tersebut dinamakan batu lappa. Karena posisi pintu yang
rata dengan lantai rumah, maka untuk membukanya harus di
dorong ke atas atau menolaknya ke atas untuk menggeser pemberat
yang terikat dengan pintu.

35. Rumah Adat Tongkonan Toraja (Sulawesi


Selatan)
Rumah asli Toraja disebut Tongkonan, berasal dari kata ‘tongkon‘
yang berarti ‘duduk bersama-sama‘. Tongkonan selalu dibuat
menghadap kearah utara, yang dianggap sebagai sumber
kehidupan. Berdasarkan penelitian arkeologis, orang Toraja berasal
dari Yunan, Teluk Tongkin, Cina. Pendatang dari Cina ini kemudian
berakulturasi dengan penduduk asli Sulawesi Selatan.

Tongkonan berupa rumah panggung dari kayu, dimana kolong di


bawah rumah biasanya dipakai sebagai kandang kerbau. Atap
tongkonan berbentuk perahu, yang melambangkan asal-usul orang
Toraja yang tiba di Sulawesi dengan naik perahu dari Cina. Di
bagian depan rumah, di bawah atap yang menjulang tinggi,
dipasang tanduk-tanduk kerbau. Jumlah tanduk kerbau ini
melambangkan jumlah upacara penguburan yang pernah dilakukan
oleh keluarga pemilik tongkonan. Di sisi kiri rumah (menghadap ke
arah barat) dipasang rahang kerbau yang pernah di sembelih,
sedangkan di sisi kanan (menghadap ke arah timur) dipasang
rahang babi.
Di depan tongkonan terdapat lumbung padi, yang disebut ‘alang‘.
Tiang-tiang lumbung padi ini dibuat dari batang pohon palem
(‘bangah‘) yang licin, sehingga tikus tidak dapat naik ke dalam
lumbung. Di bagian depan lumbung terdapat berbagai ukiran,
antara lain bergambar ayam dan matahari, yang merupakan simbol
untuk menyelesaikan perkara.

Dalam paham orang Toraja, tongkonan dianggap sebagai ‘ibu‘,


sedangkan alang adalah sebagai ‘bapak‘. Tongkonan berfungsi
untuk rumah tinggal, kegiatan sosial, upacara adat, serta membina
kekerabatan. Bagian dalam rumah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
bagian utara, tengah,dan selatan. Ruangan di bagian utara disebut
‘tangalok‘, berfungsi sebagai ruang tamu, tempat anak-anak tidur,
juga tempat meletakkan sesaji. Ruangan bagian tengahdisebut
‘Sali‘, berfungsi sebagai ruang makan, pertemuan keluarga, tempat
meletakkan orang mati, juga dapur. Adapun ruangan sebelah
selatan disebut ‘sumbung‘, merupakan ruangan untuk kepala
keluarga. Ruangan sebelah selatan ini juga dianggap sebagai
sumber penyakit.

36. Rumah Adat Souraja (Sulawesi Tengah)


Rumah souraja berbentuk rumah panggung yang ditopang
sejumlah tiang segiempat dari kayu; beratap bentuk piramide
segitiga: bagian depan dan belakang ditutup dengan papan berukir
(panapiri) serta pada ujung bubungan bagian depan dan belakang
berhias mahkota berukir (bangko-bangko).

Bangunan terbagi atas tiga ruangan, yaitu ruang depan (lonta


karawana) untuk menerima tamu dan untuk tidur tamu yang
menginap; ruang tengah (lonta tatangana) untuk tamu keluarga;
serta ruang belakang (lonta rorana), untuk ruang makan, meskipun
kadang-kadang ruang makan berada di lonta tatangana.

Tempat tidur perempuan dan anak gadis berada di pojok


belakang lonta rorana. Dapur (avu), sumur, dan jamban berada di
belakang sebagai bangunan tambahan yang dihubungkan
melalui hambate, yang berarti jembatan, ke rumah induk.
37. Rumah Adat Buton (Sulawesi Tenggara)

Rumah adat Buton atau Buton merupakan bangunan di atas tiang,


dan seluruhnya dari bahan kayu. Banguanannya terdiri dari empat
tingkat atau empat lantai. Ruang lantai pertama lebih luas dari
lantai kedua. Sedangkan lantai keempat lebih besar dari lantai
ketiga, jadi makin keatas makin kecil atau sempit ruangannya, tapi
di lantai keempat sedikit lebih melebar.

Seluruh bangunan tanpa memakai paku dalam pembuatannya,


melainkan memakai pasak atau paku kayu. Tiang-tiang depan
terdiri dari 5 buah yang berjajar ke belakang sampai delapan deret,
hingga jumlah seluruhnya adalah 40 buah tiang. Tiang tengah
menjulang ke atas dan merupakan tiang utama disebut Tutumbu
yang artinya tumbuh terus. Tiang-tiang ini terbuat dari kayu wala
da semuanya bersegi empat.
Untuk rumah rakyat biasa, tiangnya berbentuk bulat. Biasanya
tiang-tiang ini puncaknya terpotong. Dengan melihat jumlah tiang
sampingnya dapat diketahui siapa atau apa kedudukan si pemilik.
Rumah adat yang mempunyai tiang samping 4 buah berarti rumah
tersebut terdiri dari 3 petak merupakan rumah rakyat biasa.

Rumah adat bertiang samping 6 buah akan mempunyai 5 petak


atau ruangan, rumah ini biasanya dimiliki oleh pegawai Sultan atau
rumah anggota adat kesultanan Buton. Sedangkan rumah adat yang
mempunyai tiang samping 8 buah berarti rumah tersebut
mempunyai 7 ruangan dan ini khusus untuk rumah Sultan Buton.

38. Rumah Adat Baileo (Maluku)

Jika anda memasuki satu desa atau kampung di Maluku, salah satu
hal yang segera nampak menonjol adalah satu bangunan yang
berbeda dengan kebanyakan rumah penduduknya. Bangunan ini
biasanya berukuran lebih besar, dibangun dengan bahan-bahan
yang lebih baik, dan dihias dengan lebih banyak ornamen. Karena
itu, bangunan tersebut biasanya sekaligus juga merupakan marka
utama (landmark) kampung atau desa yang bersangkutan, selain
mesjid atau gereja.

Bangunan itu adalah rumah adat yang berfungsi sebagai tempat


penyimpanan benda-benda suci, tempat upacara adat, sekaligus
tempat seluruh warga berkumpul membahas masalah-masalah
yang mereka hadapi. Di Maluku, disebut sebagai “Baileo”, secara
harafiah memang berarti “balai”. Baileo Maluku menggunakan
istilah “baileo” sebagai namanya, karena memang dimaksudkan
sebagai “balai bersama” organisasi rakyat dan masyarakat adat
setempat untuk membahas berbagai masalah yang mereka hadapi
dan mengupayakan pemecahannya.

Bangunan bailem sebagai bangunan induk aslinya tidak berdinding


dan merupakan rumah panggung, yakni lantainya tinggi di atas
permukaan tanah. Adapula bailem yang lantainya di atas batu
semen dan bailen yang lantainya rata dengan tanah. Di antara
ketiga macam bailen ini yang paling lazim dan paling khas adalah
yang lantainya dibangun di atas tiang. Jumlah tiangnya
melambangkan jumlah klen-klen yang ada di desa tersebut.

Bailen ini tidak berdinding mengandung maksud roh-roh nenek


moyang mereka bebas masuk keluar bangunan tersebut. Sedang
lantai bailen dibuat tinggi dimaksudkan agar kedudukan tempat
bersemayam roh-roh nenek moyang tersebut lebih tinggi dari
tempat berdiri rakyat di desa itu. Selain rakyat akan mengetahui
bahwa permusyawaratan berlangsung dari luar ke dalam dan dari
bawah ke atas.

39. Rumah Adat Hibualamo (Maluku Utara)


Rumah Adat Hibualamo diresmikan pada bulan April 2007 dan
berfungsi sebagai tempat dilaksanakannya upacara-upacara adat
dan sebagai tempat pertemuan pemimpin dan rakyat. Hibualamo
memiliki makna universal yakni sebagai pusat kekerabatan tanpa
membedakan asal-usul seseorang selama ia menerima nilai-nilai
budaya masyarakat Hibualamo.
Dari sisi arsitektur, bangunan tradisional ini memiliki ciri khas
berbentuk delapan sudut dengan pintu masuk mengarah ke empat
mata angin. Orang Tobelo mengistilahkan dengan “wange
mahiwara”, pintu bagian timur, “wange madamunu”, pintu bagian
barat, “koremie”, pintu bagian utara, dan “korehara”, pintu bagian
selatan. Keempat pintu yang menghadap ke keempat mata angin
memiliki arti bahwa orang yang datang ke Hibualamo berasal dari
berbagai penjuru mata angin yang melambangkan keterbukaan.
Siapa saja yang datang akan diterima di Hibualamo.

Rumah adat ini sudah mengalami modifikasi dari bentuk aslinya


dan merupakan simbol rekonsiliasi dan persatuan bagi masyarakat
Halmahera Utara. Di lokasi yang sama juga terdapat bangunan
perahu Korakora raksasa yang adalah perahu tradisional asli
Tobelo-Galela.

40. Rumah Adat Honai (Papua)


Rumah adat Masyarakat Papua, atau yang biasa disebut
dengan Honai. Honai adalah rumah khas Papua yang dihuni oleh
Suku Dani. Rumah Honai terbuat dari kayu dengan atap berbentuk
kerucut yang terbuat dari jerami atau ilalang. Honai mempunyai
pintu yang kecil dan tidak memiliki jendela. Sebenarnya, struktur
Honai dibangun sempit atau kecil dan tidak berjendela bertujuan
untuk menahan hawa dingin pegunungan Papua.

Honai terdiri dari 2 lantai yaitu lantai pertama sebagai tempat tidur
dan lantai kedua untuk tempat bersantai, makan, dan mengerjakan
kerajinan tangan. Karena dibangun 2 lantai, Honai memiliki tinggi
kurang lebih 2,5 meter. Pada bagian tengah rumah disiapkan
tempat untuk membuat api unggun untuk menghangatkan diri.
Rumah Honai terbagi dalam tiga tipe, yaitu untuk kaum laki-laki
(disebut Honai), wanita (disebut Ebei), dan kandang babi
(disebut Wamai).
41. Rumah Adat Nias (Kepulauan Nias, Sumatra
Utara)

Rumah adat Nias (bahasa Nias: Omo Hada) adalah suatu bentuk
rumah panggung tradisional orang Nias, yaitu untuk masyarakat
pada umumnya. Selain itu terdapat pula rumah adat Nias jenis lain,
yaitu Omo Sebua, yang merupakan rumah tempat kediaman para
kepala negeri (Tuhenori), kepala desa (Salawa), atau kaum
bangsawan.

Rumah panggung ini dibangun di atas tiang-tiang kayu nibung


(Oncosperma tigillarium) yang tinggi dan besar, yang beralaskan
rumbia (Metroxylon sagu). Bentuk denahnya ada yang bulat telur
(di Nias utara, timur, dan barat), ada pula yang persegi panjang (di
Nias tengah dan selatan). Bangunan rumah panggung ini tidak
berpondasi yang tertanam ke dalam tanah, serta sambungan antara
kerangkanya tidak memakai paku, hingga membuatnya tahan
goyangan gempa. Ruangan dalam rumah adat ini terbagi dua, pada
bagian depan untuk menerima tamu menginap, serta bagian
belakang untuk keluarga pemilik rumah.
Di halaman muka rumah dahulu biasanya terdapat patung batu,
tempat duduk batu untuk berpesta adat, serta di lapangan desa ada
batu-batu besar yang sering dipakai dalam upacara lompat batu.
Saat ini peninggalan batu dari masa Megalitik seperti itu yang
keadaanya masih baik dapek dilihat di desa-desa Bawomataluwo jo
Hilisimaetano.
NOVENA ROH KUDUS HARI PERTAMA

Allah pokok keselamatan kami, karena kebangkitan Kristus kami lahir kembali dalam
pembabtisan dan menjalani hidup baru. Arahkanlah hati kami kepada Kristus yang
kini duduk di sebelah kanan-Mu. Semoga Roh-Mu menjaga kami sampai
Penyelamat kami datang dalam kemuliaan, sebab Dialah Tuhan, Pengantara kami,
kini dan sepanjang masa. Amin

Secara berurutan, Rosario Roh Kudus di daraskan sebagai berikut:

Tanda salib: ....

Doa Tobat:

Datanglah Roh Pencipta

Datanglah hai Roh Pencipta

kunjungilah jiwa kami semua

penuhilah dengan rahmat-Mu

hati kami ciptaan-Mu.

Gelar-Mu ialah penghibur

rahmat Allah yang mahaluhur

Sumber Hidup, Api Kasih

dan Pengurapan Ilahi.

Engkaulah sumber sapta karunia

jemari tangan Sang Ilahi.

Engkaulah janji sejati Allah Bapa

yang mempergandakan bahasa.

Terangilah akal budi,

curahkan cinta di setiap hati.

Segala kelemahan kami

semoga Kau lindungi dan Kau kuatkan.


Jauhkanlah semua musuh segera,

anugrahkanlah kedamaian jiwa,

dengan Engkau sebagai penuntun kami

kejahatan tak'kan mempengaruhi.

Perkenalkanlah kami kepada Bapa

ajarilah agar mengakui Putra

serta Engkau, Roh dari Keduanya

yang kami imani dan puji selamanya.

Segala kemuliaan bagi Allah Bapa

dan bagi Sang Putra

yang telah bangkit dari mati

serta bagi-Mu Roh Kudus pula

sepanjang segala abad.

Amin

Misteri Pertama:"Dari Roh Kuduslah Yesus dikandung Perawan Maria."

(Renungan Luk: 1:35: Jawab malaikat itu kepadanya: "Roh Kudus akan turun
atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak
yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah.)

Ujud khusus:

Dengan tekun, mintalah bantuan dari Roh Ilahi serta perantaraan Bunda maria untuk
mengikuti kebajikan-kebajikan Yesus Kristus, contohlah segala kebajikan-Nya,
sehingga kita dapat menjadi serupa dengan citra Putra Allah.

Renungan dan doa pribadi ...


Misteri Kedua:"Roh Allah turun atas Yesus." (Renungan Mat. : 3:16: Sesudah
dibaptis, Yesus segera keluar dari air dan pada waktu itu juga langit terbuka dan Ia
melihat Roh Allah r seperti burung merpati turun ke atas-Nya )

Ujud khusus:

Peliharalah dengan penuh kesungguhan anugrah yang tak ternilai, rahmat


pengudusan yang dicurahkan dan ditanamkan dalam jiwa kita oleh Roh Kudus pada
saat pembabtisan. Peganglah dengan teguh janji baptis yang telah kita ucapkan:
tingkatkan iman, harapan dan cinta kasih melalui tindakan nyata, serta hiduplah
sebagai anak-anak Allah dan anggota Gereja Allah yang sejati agar kelak kita dapat
memperoleh warisan surgawi.

Renungan dan doa pribadi ...

Bapa Kami ...

Salam Maria ...

Kemuliaan ... (7x)

Misteri Ketiga:"Oleh Roh Kudus, Yesus dibimbing menuju padang gurun untuk
dicobai."

(Renungan Luk. 4:1-2: Yesus, yang penuh dengan Roh Kudus, kembali dari sungai
Yordan, lalu dibawa oleh Roh Kudus ke padang gurun. Di situ Ia tinggal empat puluh
hari lamanya dan dicobai Iblis Selama di situ Ia tidak makan apa-apa dan sesudah
waktu itu Ia lapar.)

Ujud khusus:

Bersyukurlah selalu atas ketujuh karunia Roh Kudus yang dicurahkan pada kita saat
menerima Sakramen Penguatan: Roh kebijaksanaan, pengertian, nasihat,
keperkasaan, pengenalan akan Allah, kesalehan, dan rasa takut akan Allah.
Serahkan diri kita dengan setia kepada bimbingan Ilahi-Nya, sehingga di atas segala
godaan dan pencobaan

hidup kita berlaku secara perkasa sebagai seorang Kristen sejati dan prajurit Kristus
yang berani.

Renungan dan doa pribadi ...

Bapa Kami ...

Salam Maria ...

Kemuliaan ... (7x)

Misteri Keempat:"Peranan Roh Kudus dalam Gereja."


(Renungan Kis 2:1-3: Ketika tiba hari Pentakosta, semua orang percaya
berkumpul di satu tempat. Tiba-tiba turunlah dari langit suatu bunyi seperti tiupan
angin keras yang memenuhi seluruh rumah, di mana mereka duduk; dan tampaklah
kepada mereka lidah-lidah seperti nyala api yang bertebaran dan hinggap pada
mereka masing-masing. Maka penuhlah mereka dengan Roh Kudus.)

Ujud khusus:

Bersyukurlah kepada Tuhan karena Ia menjadikan kita sebagai anggota Gereja-Nya


yang selalu dijiwai dan diarahkan oleh Roh Kudus, Roh yang diturunkan ke dunia
untuk tugas itu pada hari Pentekosta. Dengarlah dan patuhilah Takhta Suci,
wakil Roh Kudus yang tidak dapat salah, serta Gereja, pilar dan dasar kebenaran.
Junjunglah ajaran-ajarannya dan belalah hak-haknya.

Renungan dan doa pribadi ...

Bapa Kami ...

Salam Maria ...

Kemuliaan ... (7x)

Misteri Kelima:"Roh Kudus dalam jiwa-jiwa orang beriman."

(Renungan 1Kor6:19: Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh
Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, --dan
bahwa kamu bukan milik kamu sendiri?)

Ujud khusus:

Sadarilah keberadaan Roh Kudus dalam diri kita, peliharalah dengan seksama
kemurnian tubuh dan jiwa, ikutilah dengan setia bimbingan Ilahi-Nya, sehingga kita
dapat menghasilkan buah-buah Roh: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran,
kemurahan hati, kebaikan, kesetiaan, kelemah lembutan, iman, kerendahan hati,
penguasaan diri,

dan kemurnian.

Renungan dan doa pribadi ...

Bapa Kami ...

Salam Maria ...

Anda mungkin juga menyukai