Anda di halaman 1dari 7

PEKERJAAN RUMAH TENTANG RUMAH ADAT DI INDONESIA

RUMAH GADANG
NAMA SISWA: JEFFERSON ALLO

KELAS IV

KUPANG, FEBRUARI 2018


RUMAH GADANG

Rumah Gadang atau Rumah Godang adalah nama untuk rumah adat Minangkabau yang merupakan rumah
tradisional dan banyak di jumpai di Provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Rumah ini juga disebut dengan
nama lain oleh masyarakat setempat dengan nama Rumah Bagonjong atau ada juga yang menyebut dengan
nama Rumah Baanjuang.

Gambar 1. Provinsi Sumatera Barat

Gambar 1. Rumah Gadang Gajah Maharam di Kawasan Seribu Rumah Gadang, Solok Selatan

Rumah dengan model ini juga banyak dijumpai di Sumatra Barat, Namun tidak semua kawasan di
Minangkabau (darek) yang boleh didirikan rumah adat ini, hanya pada kawasan yang sudah memiliki status
sebagai nagari saja Rumah Gadang ini boleh didirikan. Begitu juga pada kawasan yang disebut dengan
rantau, rumah adat ini juga dahulunya tidak ada yang didirikan oleh para perantau Minangkabau.
Fungsi

Rumah Gadang sebagai tempat tinggal keluarga besar di Minangkabau, terutama kaum perempuan.

Rumah Gadang sebagai tempat tinggal bersama, mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri. Jumlah kamar
bergantung kepada jumlah perempuan yang tinggal di dalamnya. Setiap perempuan dalam kaum tersebut
yang telah bersuami memperoleh sebuah kamar. Sementara perempuan tua dan anak-anak memperoleh
tempat di kamar dekat dapur. Gadis remaja memperoleh kamar bersama di ujung yang lain.

Gambar 2. Rumah Gadang sebagai tempat tinggal keluarga besar di Minangkabau, terutama
kaum perempuan

Seluruh bagian dalam Rumah Gadang merupakan ruangan lepas kecuali kamar tidur. Bagian dalam terbagi
atas lanjar dan ruang yang ditandai oleh tiang. Tiang itu berbanjar dari muka ke belakang dan dari kiri ke
kanan. Tiang yang berbanjar dari depan ke belakang menandai lanjar, sedangkan tiang dari kiri ke kanan
menandai ruang. Jumlah lanjar bergantung pada besar rumah, bisa dua, tiga dan empat. Ruangnya terdiri
dari jumlah yang ganjil antara tiga dan sebelas.

Rumah Gadang biasanya dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku/kaum tersebut
secara turun temurun dan hanya dimiliki dan diwarisi dari dan kepada perempuan pada kaum tersebut. Di
halaman depan Rumah Gadang biasanya selalu terdapat dua buah bangunan Rangkiang, digunakan untuk
menyimpan padi. Rumah Gadang pada sayap bangunan sebelah kanan dan kirinya terdapat ruang anjung
(Bahasa Minang: anjuang) sebagai tempat pengantin bersanding atau tempat penobatan kepala adat, karena
itu rumah Gadang dinamakan pula sebagai rumah Baanjuang. Anjung pada kelarasan Koto-Piliang
memakai tongkat penyangga, sedangkan pada kelarasan Bodi-Chaniago tidak memakai tongkat penyangga
di bawahnya. Hal ini sesuai filosofi yang dianut kedua golongan ini yang berbeda, golongan pertama
menganut prinsip pemerintahan yang hierarki menggunakan anjung yang memakai tongkat penyangga,
pada golongan kedua anjuang seolah-olah mengapung di udara. Tidak jauh dari komplek Rumah Gadang
tersebut biasanya juga dibangun sebuah surau kaum yang berfungsi sebagai tempat ibadah, tempat
pendidikan dan juga sekaligus menjadi tempat tinggal lelaki dewasa kaum tersebut yang belum menikah.

Arsitektur

Rumah adat ini memiliki keunikan bentuk arsitektur dengan bentuk puncak atapnya runcing yang
menyerupai tanduk kerbau dan dahulunya dibuat dari bahan ijuk yang dapat tahan sampai puluhan tahun,[3]
namun belakangan atap rumah ini banyak berganti dengan atap seng. Rumah Gadang ini dibuat berbentuk
empat persegi panjang dan dibagi atas dua bahagian, muka dan belakang. Bagian depan dari Rumah Gadang
biasanya penuh dengan ukiran ornamen dan umumnya bermotif akar, bunga, daun serta bidang persegi
empat dan genjang[1]. Sedangkan bagian luar belakang dilapisi dengan belahan bambu. Rumah tradisional
ini dibina dari tiang-tiang panjang, bangunan rumah dibuat besar ke atas, namun tidak mudah rebah oleh
goncangan[1], dan setiap elemen dari Rumah Gadang mempunyai makna tersendiri yang dilatari oleh
tambo yang ada dalam adat dan budaya masyarakat setempat.

Pada umumnya Rumah Gadang mempunyai satu tangga yang terletak pada bagian depan. Sementara dapur
dibangun terpisah pada bagian belakang rumah yang didempet pada dinding.

Karena wilayah Minangkabau rawan gempa sejak dulunya karena berada di pegunungan Bukit Barisan,
maka arsitektur Rumah Gadang juga memperhitungkan desain yang tahan gempa. Seluruh tiang Rumah
Gadang tidak ditanamkan ke dalam tanah, tetapi bertumpu ke atas batu datar yang kuat dan lebar. Seluruh
sambungan setiap pertemuan tiang dan kasau (kaso) besar tidak memakai paku, tetapi memakai pasak yang
juga terbuat dari kayu. Ketika gempa terjadi Rumah Gadang akan bergeser secara fleksibel seperti menari
di atas batu datar tempat tonggak atau tiang berdiri. Begitu pula setiap sambungan yang dihubungkan oleh
pasak kayu juga bergerak secara fleksibel, sehingga Rumah Gadang yang dibangun secara benar akan tahan
terhadap gempa.

Ukiran

Pada bagian dinding Rumah Gadang di buat dari bahan papan, sedangkan bagian belakang dari bahan
bambu. Papan dinding dipasang vertikal, sementara semua papan yang menjadi dinding dan menjadi
bingkai diberi ukiran, sehingga seluruh dinding menjadi penuh ukiran. Penempatan motif ukiran tergantung
pada susunan dan letak papan pada dinding Rumah Gadang.
Gambar 3. Ragam ukir khas Minangkabau pada dinding bagian luar dari Rumah Gadang

Pada dasarnya ukiran pada Rumah Gadang merupakan ragam hias pengisi bidang dalam bentuk garis
melingkar atau persegi. Motifnya umumnya tumbuhan merambat, akar yang berdaun, berbunga dan
berbuah. Pola akar biasanya berbentuk lingkaran, akar berjajaran, berhimpitan, berjalinan dan juga
sambung menyambung. Cabang atau ranting akar berkeluk ke luar, ke dalam, ke atas dan ke bawah.

Disamping motif akar, motif lain yang dijumpai adalah motif geometri bersegi tiga, empat dan genjang.
Motif daun, bunga atau buah dapat juga diukir tersendiri atau secara berjajaran.

Proses pembuatan

Menurut tradisinya, tiang utama Rumah Gadang yang disebut tonggak tuo yang berjumlah empat
buah/batang diambil dari hutan secara gotong royong oleh anak nagari, terutama kaum kerabat, dan
melibatkan puluhan orang. Batang pohon yang ditebang biasanya adalah pohon juha yang sudah tua dan
lurus dengan diameter antara 40 cm hingga 60 cm. Pohon juha terkenal keras dan kuat. Setelah di bawa ke
dalam nagari pohon tersebut tidak langsung di pakai, namun direndam dulu di kolam milik kaum atau
keluarga besar selama bertahun-tahun.

Setelah cukup waktu batang pohon tersebut diangkat atau dibangkit untuk dipakai sebagai tonggak tuo.
Prosesi mengangkat/membangkit pohon tersebut disebut juga sebagai mambangkik batang tarandam
(membangkitkan pohon yang direndam), lalu proses pembangunan Rumah Gadang berlanjut ke prosesi
berikutnya, mendirikan tonggak tuo atau tiang utama sebanyak empat buah, yang dipandang sebagai
menegakkan kebesaran.

Batang pohon yang sudah direndam selama bertahun-tahun tersebut kemudian menjadi sangat keras dan
tak bisa dimakan rayap, sehingga bisa bertahan sebagai tonggak tuo atau tiang utama selama ratusan tahun.
Perendaman batang pohon yang akan dijadikan tonggak tuo selama bertahun-tahun tersebut merupakan
salah satu kunci yang membuat Rumah Gadang tradisional mampu bertahan hingga ratusan tahun melintasi
zaman.

Adopsi

Keunikan bentuk atap Rumah Gadang yang melengkung dan lancip, telah menginspirasi beberapa arsitek
di belahan negeri lain, seperti Ton van de Ven di Negeri Belanda yang mengadopsi desain Rumah Gadang
pada bangunan The House of the Five Senses. Bangunan yang dioperasikan sejak tahun 1996 itu digunakan
sebagai gerbang utama dari Taman Hiburan Efteling.[4] Bangunan setinggi 52 meter dan luas atap 4500
meter persegi itu merupakan bangunan berkonstruksi kayu dengan atap jerami yang terbesar di dunia
menurut Guinness Book of Records.

Gambar 4. The House of the Five Senses di Negeri Belanda yang mengadopsi desain Rumah
Gadang Minangkabau.
Simbol

Gonjong (bagian atap yang melengkung dan lancip) Rumah Gadang menjadi simbol atau ikon bagi
masyarakat Minangkabau di samping ikon yang lain, seperti warna hitam-merah-kuning emas, rendang,
dan lainnya. Hampir seluruh kantor pemerintahan di Sumatera Barat memakai desain Rumah Gadang
dengan atap gonjongnya, walaupun dibangun secara permanen dengan semen dan batu. Ikon gonjong juga
dipakai di bagian depan rumah makan Padang yang ada di berbagai tempat di luar Sumatera Barat. Logo-
logo lembaga atau perkumpulan masyarakat Minang juga banyak yang memakai ikon gonjong dengan
segala variasinya.

Dikutip dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Gadang

Anda mungkin juga menyukai