NIM : I0219024
MK : Arsitektur Jawa
Kelompok : 4
KAJIAN PUSTAKA
ARSITEKTUR RUMAH JAWA
3. Rumah Limasan
Nama rumah Limasan diambil dari bentuk atapnya yang membentuk limas.
Atap rumah tersebut memiliki empat sisi dan terlihat mirip dengan rumah adat
Sumatra Selatan. Biasanya rumah jenis ini digunakan oleh keluarga Jawa yang
memiliki kedudukan. Rumah Limasan biasanya dibangun dari material bata merah,
dan tidak dicat atau dibalut lapisan lainnya. Bangunan dengan gaya limasan tergolong
cukup fleksibel. Sambungan antara kayu dengan kayu pada bangunan ini tidak saling
kaku. Bangunan rumah adat limasan yang cukup fleksibel ini sangat bagus dan cocok
untuk digunakan di daerah yang rawan terhadap bencana gempa. Dewasa kini, desain
atap rumah Limasan banyak ditiru pada hunian modern, membuat rumah terlihat lebih
besar dan tinggi.
4. Rumah Kampung
Rumah Kampung memiliki fungsi yang sama dengan Joglo, yaitu sebagai
tempat tinggal. Berbeda dengan Joglo, rumah ini dibangun untuk rakyat biasa seperti
petani, peternak, dan pekerja pasar. Rumah Kampung harus memiliki tiang
berkelipatan 4, dengan jumlah terkecil 8 tiang. Layaknya rumah biasa, rumah
Kampung terdiri dari ruang tamu, ruang keluarga, dapur, kamar tidur, dan teras.
5. Panggang pe
Bangunan ini memiliki empat atau enam tiang, dengan separuh tiang berada di
depan dan sengaja dibuat lebih pendek dari tiang bagian belakang. Rumah Pe
merupakan salah satu rumah mayoritas penduduk Jawa Tengah pada zaman dahulu
dan dihuni oleh rakyat biasa. Selain sebagai tempat tinggal, rumah ini juga di gunakan
sebagai tempat untuk berjualan (warung/kios).
Elemen bangunan dan jenis ragam hias yang dipakai disesuaikan dengan tipe
bangunannya. Kelompok rumah dalem seperti joglo dan limasan menggunakan elemen-
elemen arsitektur lebih banyak dan lebih mewah. Kelompok rumah kampung dan
panggang pe menggunakan elemen-elemen arsitektur yang terbatas. Ragam hiasnya pada
rumah jawa dominan menggunakan motif flora, fauna, dan alam. Flora yang dipergunakan
sebagai ragam hias pada bangunan tradisional Jawa memiliki makna suci. Ragam hias flora
lebih banyak jenisnya. Arti ragam hias ini adalah keindahan dan kebaikan berwarna merah,
hijau, dan kuning (emas).
Ragam hias fauna menekankan pada makna mencegah bencana dan kejahatan, serta
kekuatan dan keberanian. Letaknya biasanya pada elemen struktur atau non-struktur yang
ada di atas bangunan, dan pintu masuk ruang utama atau ruang sakral.
Ragam hias agama mewujudkan hubungan dengan Tuhan melalui simbol-simbol yang
bernuansa keagungan atau “ke atas” dengan makna perlindungan. Letaknya disesuaikan
dengan fungsi bangunan. Ruang merupakan bagian yang penting, sehingga usaha untuk
mengartikulasikan fungsi dan simbol. Fungsi ruang, pengguna, dan ornamen menjadi satu
kesatuan. Pengguna dilihat dalam kajian domestik dan sosial, maupun status dan gender.
Ragam hias alam menekankan peran semesta dan Tuhan. Kosmologi dualisme (laki-laki
perempuan, siang-malam), orientasi, dan topografi ditransformasikan dalam wujud simbol
air, sinar, gunung, awan, dan matahari.
D. Aturan Bahan dan Struktur Rumah Tradisional Jawa
Dalam naskah Sêrat Kawruh Griyå memuat teks yang menguraikan tentang
tradisi membuat rumah tradisional Jawa. Tradisi yang terdapat di dalam naskah itu
dimulai dari pemilihan dan pengadaan bahan bangunan, menebang kayu, menentukan
ukuran rumah, menentukan jumlah usuk, dan menempatkan tanda atau sarana (têtêngêr
atau sarånå) dalam pembuatan rumah, serta larangan menghadapnya rumah.
Tradisi dalam melakukan pemilihan dan pengadaan bahan bangunan dalam
Sêrat Kawruh Griyå adalah dengan cara menentukan kayu yang keras serta
pemilihan kayu yang mempunyai pengaruh baik terhadap penghuninya. Dalam
naskah, jenis kayu jati yang dianggap keras adalah jati bang, dan jati kembang,
sedangkan yang dianggap lunak adalah jati kawur. Setelah memilih atau menentukan
kayu yang dianggap pantas dan mempunyai pengaruh baik, terdapat juga aturan-aturan
dalam menebang kayu untuk bahan bangunan rumah.
Selain itu terdapat juga aturan panjang (pamidhangan atau blandar) dan lebar
(pangêrêt) setiap rumah. Tradisi ketentuan panjang dan lebar suatu rumah dalam
Sêrat Kawruh Griyå adalah sebagai berikut.
1. Rumah belakang harus berukuran panjang dan lebar yang jika dikurangi lima-lima
tersisa satu.
2. Rumah pendapa harus berukuran Panjang dan lebar yang jika dikurangi lima-lima
tersisa 2.
3. Rumah kampung atau gandhok harus berukuran panjang dan lebar yang jika
dikurangi lima-lima tersisa 3.
4. Masjid harus berukuran panjang dan lebar sama dan jika dikurangi lima-lima
tersisa 3.
Tidak berbeda dengan panjang dan lebar yang mempunyai ketentuan, jumlah
usuk suatu rumah juga ada ketentuan masing-masing. Tradisi ketentuan jumlah usuk
suatu rumah dalam Sêrat Kawruh Griyå adalah sebagai berikut.
1. Jumlah usuk rumah limasan yang memang dipakai sebagai rumah limasan
harus tersisa 1 jika dikurangi lima-lima.
2. Jumlah usuk rumah joglo yang memang dipakai sebagai pendapa, paringgitan
dan pasanggrahan harus tersisa 2 jika dikurangi lima-lima.
3. Jumlah usuk rumah kampung yang memang dipakai sebagai gandhok, langgar,
pawon, gêdhogan, dan kandhang råjå kåyå harus tersisa 3 jika dikurangi limalima.
4. Jumlah usuk régol, pasowanan, dan bangsal harus tersisa 4 jika dikurangi
lima-lima.
5. Jumlah rumah tempat penyimpanan barang dan lumbung harus tersisa 4 jika
dikurangi lima-lima.
Rumah tradisional Jawa memiliki kerangka yang besar-besar. Untuk
menghubungkan kerangka tersebut, dalam Sêrat Kawruh Griyå terdapat tanda yang
dianggap mempunyai pengaruh baik terhadap penghuni rumah yang dihuni. Tanda yang
mempunyai pengaruh baik tersebut adalah nåråsunyå, ganéyå, nurwitri, dan byå-byå.
Ada ketentuan dalam menempatkan tanda-tanda itu, yaitu:
1. nåråsunyå bertempat di utara agak timur
2. ganéyå bertempat di selatan agak timur,
3. nurwitri bertempat di selatan agak barat,
4. byå-byå bertempat di utara bagian barat bagian rumah.
Menghadapnya rumah tradisional Jawa tidak boleh sembarangan.Tradisi yang
terdapat dalam Sêrat Kawruh Griyå untuk menghadapkan rumah tradisional Jawa, yaitu
tidak boleh menghadap tepat ke arah mata angin, melainkan harus agak menyerong.
Sumber bacaan:
Cahyandari, G. O. I. (2012). Tata Ruang dan Tata Elemen Arsitektur pada Rumah Jawa di
Yogyakarta sebagai Wujud Kategori Pola Aktivitas dalam Rumah Tangga. Jurnal Arsitektur
KOMPOSISI, Volume 10, Nomor 2, 105-108.
Yuniarto, Dwi. 2012. Kajian Filologi dan Isi dalam Serat Kawruh Griya. Skripsi. Tidak Diterbitkan.
Fakultas Bahasa dan Seni. Universitas Negeri Yogyakarta: Yogyakarta.
https://www.99.co/blog/indonesia/gambar-rumah-adat-jawa-tengah