Anda di halaman 1dari 9

Nama : Belinda Sekar Ayu N.

NIM : I0219024
MK : Arsitektur Jawa
Kelompok : 4

KAJIAN PUSTAKA
ARSITEKTUR RUMAH JAWA

A. Tipologi Arsitektur Tradisional Jawa


Arsitektur memiliki peran penting sebagai penanda kekuatan, status, dan privasi
sehubungan dengan keyakinan kosmologis. Kosmologi Jawa juga mencakup makna
dikotomi, misalnya, sakral dan profan, pria dan wanita, depan dan belakang, dan privat
dan publik (Ronald, 1988). Tipologi arsitektur Jawa diklasifikasi terutama dalam karakter
atap dan pembagian ruang. Bentuk bangunan terbagi dalam susunan mulai dari tingkatan
yang tertinggi yaitu tajug (masjid), joglo (golongan ningrat), limasan (golongan
menengah), kampung (rakyat biasa), dan panggang pe (rakyat biasa). Rumah-rumah
tersebut memiliki jenis atap yang berbeda untuk menunjukkan kedudukan sosial dan
ekonomi pemilik rumah.
1. Tajug
Rumah Tajug adalah salah satu rumah adat Jawa Tengah yang dimanfaatkan
untuk tempat beribadah. Ciri-ciri rumah Tajug adalah atapnya yang berlapis dan
berbetuk bujur sangkar. Selain itu, rumah ini memiliki ujung lancip dan biasanya
dihiasi oleh sebuah kubah ramping dan kecil. Salah satu contoh rumah Tajug adalah
Masjid Agung Demak.
2. Joglo
Rumah Joglo biasanya dibangun oleh kalangan menengah ke atas, seperti para
bangsawan atau golongan ningrat. Denah rumah Joglo selalu berbentuk persegi.
Rumah Joglo memiliki bentuk atap ruang yang tinggi dan disangga oleh empat tiang
yang disebut “soko guru”. Bentuk dan ukuran rumah Joglo terlihat lebih besar dengan
atap bertingkat-tingkat dibandingkan dengan rumah adat jawa yang lain membuat
rumah joglo ini memiliki kelebihan pada sirkulasi udara yang sangat baik. Bentuk
atapnya merupakan perpaduan antara dua bidang yaitu atap segitiga dan trapesium.

3. Rumah Limasan
Nama rumah Limasan diambil dari bentuk atapnya yang membentuk limas.
Atap rumah tersebut memiliki empat sisi dan terlihat mirip dengan rumah adat
Sumatra Selatan. Biasanya rumah jenis ini digunakan oleh keluarga Jawa yang
memiliki kedudukan. Rumah Limasan biasanya dibangun dari material bata merah,
dan tidak dicat atau dibalut lapisan lainnya. Bangunan dengan gaya limasan tergolong
cukup fleksibel. Sambungan antara kayu dengan kayu pada bangunan ini tidak saling
kaku. Bangunan rumah adat limasan yang cukup fleksibel ini sangat bagus dan cocok
untuk digunakan di daerah yang rawan terhadap bencana gempa. Dewasa kini, desain
atap rumah Limasan banyak ditiru pada hunian modern, membuat rumah terlihat lebih
besar dan tinggi.
4. Rumah Kampung
Rumah Kampung memiliki fungsi yang sama dengan Joglo, yaitu sebagai
tempat tinggal. Berbeda dengan Joglo, rumah ini dibangun untuk rakyat biasa seperti
petani, peternak, dan pekerja pasar. Rumah Kampung harus memiliki tiang
berkelipatan 4, dengan jumlah terkecil 8 tiang. Layaknya rumah biasa, rumah
Kampung terdiri dari ruang tamu, ruang keluarga, dapur, kamar tidur, dan teras.

5. Panggang pe
Bangunan ini memiliki empat atau enam tiang, dengan separuh tiang berada di
depan dan sengaja dibuat lebih pendek dari tiang bagian belakang. Rumah Pe
merupakan salah satu rumah mayoritas penduduk Jawa Tengah pada zaman dahulu
dan dihuni oleh rakyat biasa. Selain sebagai tempat tinggal, rumah ini juga di gunakan
sebagai tempat untuk berjualan (warung/kios).

B. Kategori Pola Aktivitas dan Pola Ruang pada Rumah Jawa


Tidur dan duduk merupakan hal yang signifikan untuk menjadikan rumah diliputi
dengan makna-makna karena keduanya berhubungan dengan dua gagasan utama tentang
kedomestikan, yakni kehidupan pribadi dan terlibat dalam hubungan sosial dengan orang-
orang lain. (Santoso, 2000) Laki-laki berperan dalam melindungi dan mewakili. Laki-laki
berhak duduk di ruang tamu sebagai perwakilan dari keluarga. Hanya kepala rumah tangga
dan keluarga yang berhak
menggunakan perabot di
dalam omah dalem. Ruang
dalem diurus oleh para
perempuan dan tamu
perempuan biasanya dapat
diterima di dapur (pawon)
atau di gandhok samping.
Bagian belakang rumah
disebut senthong yang
berarti kamar yang
berdinding (tertutup/privat), yang memiliki filosofi bahwa setiap permasalahan dalam
keluarga jangan sampai keluar ‘dinding rumah’ atau diketahui orang lain. Senthong kiwa
(timur) berfungsi untuk menyimpan senjata atau barang-barang keramat. Senthong tengen
(barat) untuk tempat tidur. Senthong tengah digunakan untuk menyimpan benih atau bibit
akar-akaran dan gabah, untuk berdoa, dan tempat pemujaan kepada Dewi Sri. Aktivitas
publik yang berhubungan dengan masyarakat atau tetangga berada di pendhapa yang
terbuka (tidak memiliki dinding). Hal ini memiliki filosofi bahwa keluarga Jawa bersifat
terbuka pada siapapun yang datang berkunjung. Adapun aktivitas sosial bagi orang berada
biasanya sekalian menampilkan pertunjukan, dan pringgitan digunakan sebagai tempat
pertunjukan wayang. Selain itu, gandhok adalah ruang tambahan di sisi samping rumah,
biasanya digunakan sebagai gudang, lumbung panen, dan tempat ternak. Pekiwan adalah
tempat membersihkan diri dan juga sumur sehingga diletakkan di bagian paling belakang
rumah, sedangkan seketheng adalah pintu samping (bukan pintu utama/regol).
Pada rumah limasan,
kampung, dan panggang pe tidak
memiliki pendhapa dan pringgitan
yang sangat terpisah dari dalem.
Biasanya bagian depan rumah hanya
suatu teras yang berpagar, dengan atap
yang merupakan perpanjangan atap
utama. Keberadaan senthong juga
biasanya tidak di samping-samping dalem karena keterbatasan lahan, sehingga biasanya
rumah limasan, kampung, dan panggang pe memiliki denah persegi panjang ke belakang.
C. Elemen Arsitektur pada Rumah Jawa

Elemen bangunan dan jenis ragam hias yang dipakai disesuaikan dengan tipe
bangunannya. Kelompok rumah dalem seperti joglo dan limasan menggunakan elemen-
elemen arsitektur lebih banyak dan lebih mewah. Kelompok rumah kampung dan
panggang pe menggunakan elemen-elemen arsitektur yang terbatas. Ragam hiasnya pada
rumah jawa dominan menggunakan motif flora, fauna, dan alam. Flora yang dipergunakan
sebagai ragam hias pada bangunan tradisional Jawa memiliki makna suci. Ragam hias flora
lebih banyak jenisnya. Arti ragam hias ini adalah keindahan dan kebaikan berwarna merah,
hijau, dan kuning (emas).

Ragam hias fauna menekankan pada makna mencegah bencana dan kejahatan, serta
kekuatan dan keberanian. Letaknya biasanya pada elemen struktur atau non-struktur yang
ada di atas bangunan, dan pintu masuk ruang utama atau ruang sakral.
Ragam hias agama mewujudkan hubungan dengan Tuhan melalui simbol-simbol yang
bernuansa keagungan atau “ke atas” dengan makna perlindungan. Letaknya disesuaikan
dengan fungsi bangunan. Ruang merupakan bagian yang penting, sehingga usaha untuk
mengartikulasikan fungsi dan simbol. Fungsi ruang, pengguna, dan ornamen menjadi satu
kesatuan. Pengguna dilihat dalam kajian domestik dan sosial, maupun status dan gender.

Ragam hias alam menekankan peran semesta dan Tuhan. Kosmologi dualisme (laki-laki
perempuan, siang-malam), orientasi, dan topografi ditransformasikan dalam wujud simbol
air, sinar, gunung, awan, dan matahari.
D. Aturan Bahan dan Struktur Rumah Tradisional Jawa
Dalam naskah Sêrat Kawruh Griyå memuat teks yang menguraikan tentang
tradisi membuat rumah tradisional Jawa. Tradisi yang terdapat di dalam naskah itu
dimulai dari pemilihan dan pengadaan bahan bangunan, menebang kayu, menentukan
ukuran rumah, menentukan jumlah usuk, dan menempatkan tanda atau sarana (têtêngêr
atau sarånå) dalam pembuatan rumah, serta larangan menghadapnya rumah.
Tradisi dalam melakukan pemilihan dan pengadaan bahan bangunan dalam
Sêrat Kawruh Griyå adalah dengan cara menentukan kayu yang keras serta
pemilihan kayu yang mempunyai pengaruh baik terhadap penghuninya. Dalam
naskah, jenis kayu jati yang dianggap keras adalah jati bang, dan jati kembang,
sedangkan yang dianggap lunak adalah jati kawur. Setelah memilih atau menentukan
kayu yang dianggap pantas dan mempunyai pengaruh baik, terdapat juga aturan-aturan
dalam menebang kayu untuk bahan bangunan rumah.
Selain itu terdapat juga aturan panjang (pamidhangan atau blandar) dan lebar
(pangêrêt) setiap rumah. Tradisi ketentuan panjang dan lebar suatu rumah dalam
Sêrat Kawruh Griyå adalah sebagai berikut.
1. Rumah belakang harus berukuran panjang dan lebar yang jika dikurangi lima-lima
tersisa satu.
2. Rumah pendapa harus berukuran Panjang dan lebar yang jika dikurangi lima-lima
tersisa 2.
3. Rumah kampung atau gandhok harus berukuran panjang dan lebar yang jika
dikurangi lima-lima tersisa 3.
4. Masjid harus berukuran panjang dan lebar sama dan jika dikurangi lima-lima
tersisa 3.
Tidak berbeda dengan panjang dan lebar yang mempunyai ketentuan, jumlah
usuk suatu rumah juga ada ketentuan masing-masing. Tradisi ketentuan jumlah usuk
suatu rumah dalam Sêrat Kawruh Griyå adalah sebagai berikut.
1. Jumlah usuk rumah limasan yang memang dipakai sebagai rumah limasan
harus tersisa 1 jika dikurangi lima-lima.
2. Jumlah usuk rumah joglo yang memang dipakai sebagai pendapa, paringgitan
dan pasanggrahan harus tersisa 2 jika dikurangi lima-lima.
3. Jumlah usuk rumah kampung yang memang dipakai sebagai gandhok, langgar,
pawon, gêdhogan, dan kandhang råjå kåyå harus tersisa 3 jika dikurangi limalima.
4. Jumlah usuk régol, pasowanan, dan bangsal harus tersisa 4 jika dikurangi
lima-lima.
5. Jumlah rumah tempat penyimpanan barang dan lumbung harus tersisa 4 jika
dikurangi lima-lima.
Rumah tradisional Jawa memiliki kerangka yang besar-besar. Untuk
menghubungkan kerangka tersebut, dalam Sêrat Kawruh Griyå terdapat tanda yang
dianggap mempunyai pengaruh baik terhadap penghuni rumah yang dihuni. Tanda yang
mempunyai pengaruh baik tersebut adalah nåråsunyå, ganéyå, nurwitri, dan byå-byå.
Ada ketentuan dalam menempatkan tanda-tanda itu, yaitu:
1. nåråsunyå bertempat di utara agak timur
2. ganéyå bertempat di selatan agak timur,
3. nurwitri bertempat di selatan agak barat,
4. byå-byå bertempat di utara bagian barat bagian rumah.
Menghadapnya rumah tradisional Jawa tidak boleh sembarangan.Tradisi yang
terdapat dalam Sêrat Kawruh Griyå untuk menghadapkan rumah tradisional Jawa, yaitu
tidak boleh menghadap tepat ke arah mata angin, melainkan harus agak menyerong.

Sumber bacaan:

Cahyandari, G. O. I. (2012). Tata Ruang dan Tata Elemen Arsitektur pada Rumah Jawa di
Yogyakarta sebagai Wujud Kategori Pola Aktivitas dalam Rumah Tangga. Jurnal Arsitektur
KOMPOSISI, Volume 10, Nomor 2, 105-108.

Yuniarto, Dwi. 2012. Kajian Filologi dan Isi dalam Serat Kawruh Griya. Skripsi. Tidak Diterbitkan.
Fakultas Bahasa dan Seni. Universitas Negeri Yogyakarta: Yogyakarta.

https://www.99.co/blog/indonesia/gambar-rumah-adat-jawa-tengah

Anda mungkin juga menyukai