Anda di halaman 1dari 11

ARSITEKTUR TRADISIONAL JAWA

NAMA : MUH. RUSMAN

NIM : 142

UNIVERITAS NEGERI MAKASSAR


Rumah merupakan salah satu wujud kedudukan sosial. Pembagian

ruang berdasarlan jender, sebagai gagasan mengatur prilaku pria dan

wanita. Seringkali membawa pada pemahaman umum bahwa wanita

dikaitkan dengan, bagian dalam atau belakang rumah, sedangkan pria

dengan bagian depan.

Kebudayaan jawa memiliki sistem kekerabatan yang unik, yang

memperlihatkan kedudukan dan peran seseorang didalam kehidupan

berkeluarga dan bermasyarakat, termasuk didalamnya memperlihatkan

sistem kekerabatan antara pria dan wanita. Masyarakat jawa merupakan

masyarakat patriarki yang memiliki batasan tertentu dalam relasi jender

yang memperlihatkan kedudukan dan peran pria yang lebih dominan

disbanding wanita. Wanita jawa diharapkan dapat menjadi pribadi yang

selalu tunduk dan patuh pada hegemoni kekuasaan seorang pria, yang

mada masa dulu terlihat dalam sistem kekuasaan kerajaan jawa (kraton).

(Indrawati, 2005).

Rumah tradisonal jawa dikelompokkan sesuai status sosial

pemiliknya mulai dari ningrat hingga rakyat biasa bentuk rumahnya

berjengjang tingkatannya mulai dari joglo hingga kampung. Kategori ini

berpengaruh pada pola tata ruang dan tata elemen arsitektural yang

menyampaikan peran dan simbol tertentu. Dalam hal ini, lingkup fungsi

bangunannya adalah rumah tinggal. Tata elemen arsitektural dibagi

menjadi elemen pengisi, elemen pembatas, dan elemen pelengkap ruang

(Markus et al, 1972).


Rumah tradisional jawa merupakan salah satu kekayaan arsitektur

nusantara yang patutdilestarikan. Rumah ini digolongkan menjadi 5 bagian

yaitu, panggangpe, limasan, joglo, tajug,dan kampung. Masing-masing

rumah memiliki ciri khas dan fungsi yang berbeda-beda sesuaidengan

status sosial kepemilikan dan kedudukan pemiliknya dalam lingkungan

masyarakat.Tiap-tiap rumah diatas juga memiliki jenis-jenis rumah yang

beraneka ragam pula.Bentuk fisik dari rumah adat jawa ini sangatlah

sederhana dengan bentuk serupa yaitu bujursangkar, dandengan atap

berbentuk limasan. Selain itu, rumah ini juga terdiri dari saka-saka

yangmenopangnya. Bentuk ini tidak jauh berbeda dengan rumah tradisional

bali.

Adapun filosofi-filosofi yang mendasari arsitektur tradisional jawa

adalah :

a. Masing-masing rumah dibedakan kepemilikannya berdasarkan

status sosial ataupunkedudukan pemiliknya dalam

masyarakat.Dalam suasana kehidupan feodal, sebagai raja,misalnya

tidak dibenarkan membangun rumah tempat tinggal (dhatulaya, istana)

denganmenggunakan bangun sinom mangkurat untuk Sasana

Prabasuyasa, bangun limasan atau joglo atau kampung tetapi

sebaliknya menggunakan bangun sinom mangkurat untuk Sasana

Prabasuyasa. Bangun limasanatau joglo hanyalah untuk

bangunan pelengkapsaja, misalnya untuk kantor, pertemuan,

perlengkapan, paseban dan sejenisnya. Bagigolongan ningrat

(bangsawan sentana dalem) dan abdi dalem derajat tertentu


berhak membuat rumah tempat tingga; dengan bentuk limasan, sinom,

ataupun joglo. Sedangkanuntuk bangunan pelengkap boleh membuat

bangun rumah yang lain yang tingkatannyalebih rendah, misalnya

daragepak, sethong, kalabang nyander, dan sebagainya.

b. Di dalam bangunan rumah adat Jawa tersebut ditentukan

ukuran, kondisi perawatanrumah, kerangka, dan ruang-ruang di

dalam rumah serta situasi di sekeliling rumah, yangdikaitkan dengan

status pemiliknya. Di samping itu, latar belakang sosial,

dankepercayaannya ikut berperan.

c. Agar memperoleh ketentraman, kesejahteraan, kemakmuran,

maka sebelum membuat rumah di’petang’ (diperhitungkan) dahulu

tentang waktu, letak, arah, cetak pintu utama rumah, letakpintu

pekarangan, kerangka rumah, ukuran dan bangunan rumah yang

akandibuat, dan sebagainya.

d. Di dalam suasana kehidupan kepercayaan masyarakat Jawa,

setiap akan membuat rumahbaru, tidak dilupakan adanya sesajen,

yaitu benda-benda tertentu yang disajikan untuk badan halus,

danghyang desa, kemulan desa dan sebagainya, agar dalam

usahapembangunan rumah baru tersebut memperoleh keselamatan.

e. Dalam perkembangan selanjutnya, bangunan rumah adat Jawa

berkembang sesuai dengankemajuan. Berdasarkan tinjauan

perubahan atapnya, maka bangunan rumah adat Jawadigolongkan

menjadi lima macam yaitu, bentuk panggang pe, limasan, joglo, tajug,

dan kampung.
Tipologi rumah atau tempat tinggal yangdigunakan sebagai

tempat bernaung bagimasyarakat di pulau jawadisebut

“omah”. D i m a n a kehidupanorang jawa mencakup 3

s y a r a t sebagai ungkapan pengertian hidup yaitumencakup :

Sandang (pakaian yang wajar), Pangan (minum dan makan ) dan papan

(tempat tinggal).

Untuk syarat yang ketiga yaitu kebutuhan akan rumah tinggal

haruslah terpenuhiuntuk mencapai kehidupan yang

sejahtera.Bentukan rumah yang sederhana adalah

ungkapankesederhanaan hidup masyarakat jawa. Hal itu dapat terlihat

dari penggambaran bentuk denahyang cukup sederhana. Biasanya bentuk

denah yang diterapkan adalah berbentuk persegi yaitubujur sangkar dan

persegi panjang. Hal tersebut sesuai dengan estetika hidup orang jawa

yangmempunyai ketegasan prinsip dalam menjalankan tanggung jawab

terhadap hidupnya.Sedangkan tipologi bentuk denah oval atau bulat tidak

terdapat pada bentuk denahrumah tinggalorang jawa. Bentuk persegi

empat ini dalam perkembangannya mengalami perubahan denganadanya

penambahan-penambahan ruang pada sisi bagian bangunannya dan tetap

merupakankesatuan bentuk dari denah persegi empat.


Berdasarkan pada sejarah pembelajaran perkembangan bentuk

rumah tinggal orang jawadapat dikategorikaan menjadi 4 macam bentukan

yang mendasarinya sebagai bentuk rumah tinggal yaitu :

1. Rumah panggangpe

Rumah “panggangpe” merupakan bentuk bangunan yang

paling sederhana dan bahkan merupakan bentuk bangunan dasar.

Bangunan “panggangpe” ini merupakan bangunan pertama yang

dipakai orang untuk berlindung dari gangguan angin, dingin, panas

matahari dan hujan.

Ciri-ciri dari rumah tradisional jawa bentuk panggangpe adalah

sebagai berikut :

 Bangunannya berbentuk sederhana

 Mempunyai bentuk pokok berupa tiang atau “saka” sebanyak 4 atau

6 buah
 Pada bagian sisi sekelilingnya diberi dinding yang hanya sekedar

untuk menahan hawa lingkungan sekitar atau dapat dikatakan

sebagai bentuk perlindungan yang lebih bersifat privat dari gangguan

alam

2. Rumah kampong

Rumah bentuk Kampung adalah rumah dengan denah empat

persegi panjang, bertiangempat dengan dua buah atap persegi panjang

pada sisi samping atas ditutup dengan tutupkeyong. Rumah ini

kebanyakan dimiliki oleh orang kampung atau orang jawa

menyebutnyadesa.Kampung berarti desa. Pada masa lalu rumah

bentuk kampung merupakan tempattinggal yang paling banyak

ditemukan. Sehingga ada sebagian masyarakat yang

berpendapatbahwa rumah kampung sebagian besar dimiliki oleh orang-

orang desa yang kemampuanfinansial/ ekonominya berada di bawah.


3. Rumah Limasan

Rumah limasan mrupakan salah satu betuk rumah tradisional

jawa yang dipergunakan sebagai tempat tinggal, khususnya didaerah

Jawa Tengah, Jawa Timur dan beberapa daerah di Jawa Barat serta

pesisir pantai Utara dan Selatan.

Ciri-ciri rumah limasan :

 Dinamakan Limasan, karena jenis rumah tradisional ini mempunyai

denah empat persegi panjang atau berbentuk limas.

 Pada masa lalu rumah jenis ini kebanyakan dimiliki oleh masyarakat

dengan status ekonomi menengah.

 Terdiri dari empat buah atap, dua buah atap bernama kejen/ cocor

serta dua buah atap bernama bronjong yang berbentuk jajaran

genjang sama kaki, Kejen berbentuk segitiga sama kaki seperti

enam atap kenyong, namun memiliki fungsi yang berbeda. Pada

perkembangannya selanjutnya rumah limasan diberi penambahan

pada sisi-sisiny yang disebut empyak emper atau atap emper.


 Sistem dari kontruksi bangunannya dapat dibongkar pasang (knock

down) tanpa merusak keadaan rumah tersebut.

 Menggunakan material kayu jati secara keseluruhan pada sistem

kontruksinya

 Selain dari kontruksi utamanya yang terbuat dari kayu, kontruksi

dinding pengisi juga terbuat dari lembaran kayu solid dengan

bukaan-bukaan jendela yang juga terbuat dari kayu.

4. Rumah joglo

Bentuk rumah joglo mempunyai ukuran lebih besar dibandingkat

dengan bentuk bangunan lainnya seperti “panggangpe”, “kampong”,

dan “limasan” yang merupakan tradisi bentuk bngunan rumah di tanah

Jawa. Disebut joglo karena atapnya yang berbentuk joglo. Joglo

merupakan bangunan yang paling popular, bahkan masyarakat awam

sering menganggap jenis rumah tradisional ini sebagai satu-satunya

bentuk rumah tradisional masyarakat Jawa. Jenis rumah tipe ini

kebanyakan dimiliki oleh anggota masyarakat dengan strata social


menengah ke atas, baik itu golongan bangsawan ataupun priyayi. Hal

ini dapat dipahami, karena bentuk rumah joglo membutuhkan bahan

bangunan yang lebih banyak dan lahan yang lebih luas dari pada jenis

rumah yang lain. Mungkin karena factor itu pula, muncul mitos dalam

masyarakat bahwa joglo tidak pantas untuk dimiliki oleh rakyat jelata,

melainkan hanya dapat dimiliki orang terpandang atau terhormat.


DAFTAR PUSTAKA

Indrawati, Y. 2005. Pergeseran Konsep Gender pada Rumah Tradisonal


Jawa Joglo. Thesis S2 Desain Interior. Bandung :FSRD, ITB.
Markus, T. A., Whyman, P., Morgan, J., Whitton, D., Maver, T., Canter, D.,
Fleming, J., 1972. Building Fermomance. London : Applied
Science Publishers Ltd.

Anda mungkin juga menyukai