Anda di halaman 1dari 15

RUMAH JOGLO

Joglo adalah rumah adat masyarakat Jawa. Bagian-bagian joglo yaitu:

1. Pendapa: Bagian pendapa adalah bagian paling depan Joglo yang mempunyai ruangan luas
tanpa sekat-sekat, biasanya digunakan sebagai tempat pertemuan untuk acara besar bagi
penghuninya. Seperti acara pagelaran wayang kulit, tari, gamelan dan yang lain. Pada waktu
ada acara syukuran biasanya sebagai tempat tamu besar. Pendopo biasanya terdapat soko
guru, soko pengerek, dan tumpang sari.
2. Pringgitan: Bagian Pringgitan adalah bagian penghubung antara pendopo dan rumah dalem.
Bagian ini dengan pendopo biasanya di batasi dengan seketsel dan dengan dalem dibatasi
dengan gebyok. Fungsi bagian pringgitan biasanya sebagai ruang tamu.
3. Dalem: Bagian Dalem adalah bagian tempat bersantai keluarga. Bagian ruangan yang
bersifat lebih privasi.
4. sentong.
5. gandok tengen.
6. gandok kiwo.

Jenis Joglo

1. Joglo Limasan Lawakan (atau “Joglo Lawakan”).


2. Joglo Sinom
3. Joglo Jompongan
4. Joglo Pangrawit
5. Joglo Mangkurat
6. Joglo Hageng
7. Joglo Semar Tinandhu
8. Joglo Kudus
9. Joglo Jepara

Penyebaran

Penyebaran di Pulau Jawa, karena kedekatan budayanya bangunan ini juga banyak ditemukan di
Pulau Madura dan Pulau Bali.

Rumah Adat Joglo: Sebelum mengupas tentang arsitektur rumah adat Jawa Tengah, penulis merasa
kurang pede karena begitu kental dan panjang campur tangan sejarah yang ada pada tanah Jawa
yang mempengaruhi bentuk, macam dan falsafah dari rumah tradisional orang Jawa ini. Penulis
hanya dapat mengupas kulit dari rumah adat jawa tengah ini secara global tidak mendetail, pada
umumnya rumah adat di Jawa sangat banyak fariasinya karena begitu luasnya wilayah Jawa, tapi
mereka mempunyai pakem bentuk yang hampir sama pada dasarnya, mulai dari rumah adat jawa
barat, jawa tengah sampai jawa timur. Kali ini kita membahas global dari arsitektur rumah adat
Jawa Tengah termasuk Derah Istimewa Jogjakarta. Ilmu yang mempelajari seni bangunan oleh
masyarakat Jawa biasa disebut Ilmu Kalang atau disebut juga Wong Kalang
Berdasarkan sejarah panjang tanah Jawa, bentuk rumah tinggal orang jawa dapat dikategorikan
menjadi 5 macam, ini untuk arsitektur tradisonal yaitu:

a. bentuk Panggangpe = bangunan hanya dengan atap sebelah sisi.


b. bentuk Kampung = bangunan dengan atap 2 belah sisi, sebuah bubungan di tengah saja.
c. bentuk Limasan = bangunan dengan atap 4 belah sisi, sebuah bubungan di tengahnya.
d. bentuk Joglo atau Tikelan = bangunan dengan Soko Guru dan atap 4 belah sisi, sebuah
bubungan di tengahnya.
e. Tajug = bangunan dengan Soko Guru atap 4 belah sisi, tanpa bubungan, jadi meruncing.

Dibanding bentuk lainnya, rumah joglo lebih familier untuk masyarakat pada umumnya.
dari 5 macam kategori tersebut berfungsi untuk membedakan bentuk, ukuran dan fungsi dari
bangunan tersebut. Jadi tidak mungkin orang jawa membangun rumah tinggalnya berbentuk Tajug,
karena bentuk Tajug hanya digunakan untuk bangunan yang disucikan semisal bangunan Masjid,
tahtah Raja atau Makam orang yang disucikan. Untuk penerapan bentuk bangunan rumah
tradisional Jawa tengah secara lengkap dapat di lihat dari:
Pintu gerbang biasa menggunakan bentuk kampung
Tempat tinggal atau biasa disebut pendopo menggunakan bentuk joglo
Pringgitan berbentuk limasan Di daerah bagian pesisir bentuk rumah mengalami modifikasi sedikit
dengan penggunaan kaki atau rumah yang tidak menempel tanah alias mempunyai kolong, ini
diperuntukkan untuk jaga-jaga jika laut pasang atau banjir.

Soko Guru

Rumah Joglo

Rumah adat Jawa Timur Joglo dasar filosofi dan arsitekturnya sama dengan rumah adat di Jawa
Tengah Joglo. Rumah adat Joglo di Jawa Timur masih dapat kita temui banyak di daerah Ponorogo.
Pengaruh Agama Islam yang berbaur dengan kepercayaan animisme, agama Hindu dan Budha
masih mengakar kuat dan itu sangat berpengaruh dalam arsitekturnya yang kentara dengan filsafat
sikretismenya. Rumah Joglo umumnya terbuat dari kayu Jati. Sebutan Joglo mengacu pada bentuk
atapnya, mengambil stilasi bentuk sebuah gunung. Stilasi bentuk gunung bertujuan untuk
pengambilan filosofi yang terkandung di dalamnya dan diberi nama atap Tajug, tapi untuk rumah
hunian atau sebagai tempat tinggal, atapnya terdiri dari 2 tajug yang disebut atap Joglo/Juglo /
Tajug Loro. Di dalam kehidupan khas orang Jawa gunung merupakan sesuatu yang tinggi dan
disakralkan karena banyak dituangkan ke dalam berbagai simbol, terutama untuk simbol-simbol
yang berkaitan dengan hal-hal yang berbau magis atau mistis. Hal ini karena adanya pengaruh kuat
keyakinan bahwa gunung atau tempat yang tinggi adalah tempat yang dianggap suci dan tempat
tinggal para Dewa. Disebabkan karena adanya pengaruh kuat keyakinan bahwa gunung atau tempat
yang tinggi itu disebut suci atau tempat tinggal para Dewa. Pengaruh kepercayaan animisme, Hindu
dan Budha masih sangat kental mempengaruhi bentuk dan tata ruang rumah Joglo tersebut
contohnya:

Adapun juga kepercayaan animisme Hindu dan Budha yang pengaruhnya masih sangat
kental terhadap bentuk dan tata ruang rumah Joglo Dalam rumah adat Joglo, umumnya sebelum
memasuki ruang induk kita akan melewati sebuah pintu yang memiliki hiasan  sulur gelung atau
makara. Hiasan ini ditujukan untuk tolak balak, menolak maksud – maksud jahat dari luar hal ini
masih dipengaruhi oleh kepercayaan animisme.

Kamar tengah merupakan kamar sakral. Dalam kamar ini pemiliki rumah biasanya
menyediakan tempat tisur atau katil yang dilengkapi dengan bantal guling, cermin dan sisir dari
tanduk. Umumnya juga dilengkapi dengan lampu yang menyala siang dan malam yang berfungsi
sebagai pelita, serta ukiran yang memiliki makna sebagai pendidikan rohani, hal ini masih dalam
pengaruh ajaran Hindu dan Budha.

Untuk rumah Joglo yang terletak di pesisir pantai utara seperti Tuban, Gresik dan Lamongan
unsur-unsur di atas di tiadakan karena pengaruh Islam masuk. Melalui akultrasi budaya jawa yang
harmoni, penyebaran Islam berbaur harmonis dengan budaya dan adat istiadat kepercayaan
animisme, Hindu dan Budha. Islam pun mulai menjalar ke berbagai daerah di Jawa Timur, seperti
di Madiun, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan, Kediri, Tulungagung, Blitar, Trenggalek, dan
sebagian Bojonegoro, sedangkan kota-kota di bagian barat Jawa timur memiliki kemiripan rumah
adat Jawa Tengah, terutama Surakarta dan Yogyakarta yang disebut sebagai kota pusat peradaban
Jawa.

Rumah Joglo juga menyiratkan kepercayaan kejawen masyarakat Jawa yang berdasarkan
sinkretisme. Keharmonisan hubungan antara manusia dan sesamanya (“kawulo” dan “gusti”), serta
hubungan antara manusia dengan lingkungan alam di sekitarnya (“microcosmos” dan
“macrocosmos”), tecermin pada tata bangunan yang menyusun rumah joglo. Baik itu pada pondasi,
jumlah saka guru (tiang utama), bebatur (tanah yang diratakan dan lebih tinggi dari tanah
disekelilingnya), dan beragam ornamen penyusun rumah joglo.

Rumah Joglo mempunyai banyak jenis seperti

 Joglo Lawakan
 Joglo Sinom
 Joglo Jompongan
 Joglo Pangrawit
 Joglo Mangkurat

Arsitektur rumah Joglo menyiratkan pesan-pesan kehidupan manusia terhadap kebutuhan


“papan”. Bahwa rumah bukankah sekadar tempat berteduh, tapi ia juga merupakan “perluasan” dari
diri manusia itu sendiri. Berbaur harmoni dengan alam di sekitarnya. Rumah Joglo pada umumnya
sama pada bentuk global dan tata ruangnya.
Interior Rumah Joglo

Rumah adat joglo yang memiliki dua ruangan yaitu:

a. Ruang depan (pendopo) yang difungsikana sebagai:


a. tempat menerima tamu
b. balai pertemuan (karena awalnya hanya dimiliki oleh bangsawan dan kepala desa)
c. tempat untuk mengadakan upacara – upacara adat
b. Ruang belakang yang terdiri dari:
a. kamar – kamar
b. dapur (pawon)

Sedangkan ruang utama atau ruang induk pada rumah joglo dibagi menjadi 3 ruangan, yaitu:

a. sentong kiwo (kamar kiri)


b. sentong tengan (kamar tengah)
c. sentong tangen (kamar kanan)

Dan umumnya rumah joglo di bagian sebelah kiri terdapat dempil yang berfungsi sebagai
tempat tidur orang tua yang langsung dihubungkan dengan serambi belakang (pasepen) yang
digunakan untuk aktifitas membuat kerjinan tangan. Sedangkan disebelah kanan terdapat dapur,
pendaringan dan tempat yang difungsikan untuk menyimpan alat pertanian. Rumah adat Jawa
Timur tidak hanya berbentuk Joglo saja sebenarnya, ada juga yang berbentuk limasan (dara gepak),
dan bentuk srontongan (empyak setangkep).

Rumah Adat Jawa Tengah

Secara sosial, dulunya tidak banyak yang mempunyai rumah adat dikarenakan rumah ini
merupakan lambang status sosial bagi orang-orang Jawa yang mempunya kemampuan ekonomi
yang berlebih. Rumah Joglo adalah jenis rumah yang membutuhkan banyak bahan materi rumah
yang mahal, terutama dari kayu. Umumnya pemilik rumah Joglo dulunya berasal dari kalangan
ningrat atau bangsawan. Rumah jenis ini biasanya juga membutuhkan lahan yang luas dikarenakan
beberapa bagian rumahnya digunakan untuk menerima tamu atau memuat banyak orang.
Bagian-bagian dalam Rumah Adat Jawa Tengah

Umumnya bagian rumah adat Jawa Tengah terdiri dari tiga bagian utama: pendhopo,
pringgitan, dan omah ndalem atau omah njero. Pendhopo adalah bagian rumah yang biasanya
digunakan untuk menerima tamu. Pringgitan adalah bagian ruang tengah yang digunakan untuk
pertunjukan wayang kulit; berasal dari akar kata “ringgit” yang artinya wayang kulit. Bagian ketiga
adalah omah ndalem atau omah njero, yang merupakan ruang keluarga. Dalam omah njero terdapat
tiga buah kamar (senthong), yaitu senthong kanan, tengah, dan kiri.

Dilihat dari strukturnya, rumah adat Jawa Tengah mungkin terlihat lebih sederhana. 
Pembangunan bagian rumah seperti pendhopo membutuhkan empat buah tiang penyangga guna
menyangga berdirinya rumah. Tiang-tiang tersebut dinamakan soko guru, yang juga merupakan
lambang penentu arah mata angin. Dari empat soko guru tersebut, terdapat juga tumpang sari yang
merupakan susunan terbalik yang tersangga soko guru. Ndalem atau omah njero digunakan sebagai
inti dari sebuah Joglo. Dilihat dari struktur tata ruangnya, bagian ndalem mempunyai 2 ketinggian
yang berbeda. Hal ini bertujuan agar terdapat ruang sebagai tempat sirkulasi udara.

Joglo adalah jenis rumah adat suku Jawa yang terlihat sederhana dan digunakan sebagai
lambang atau penanda status sosial seorang priyayi atau bangsawan Jawa. Rumah ini mempunyai
keunikan atau kekhasan tersendiri dengan adanya tiang-tiang penyangga atau soko guru, beserta
tumpang sari nya. Setiap bagian rumah merepresentasikan fungsi yang berbeda, yang dibangun di
atas lahan yang luas juga; oleh karena itu, rumah ini hanyalah dipunyai orang dari kalangan
berpunya saja. Beberapa hal penting lain tentang rumah adat Jawa Tengah dapat anda cari dari
sumber lain, dari wikipedia.

RUANG RUMAH JOGLO


Pada arsitektur bangunan rumah joglo, seni arsitektur bukan sekadar pemahaman seni
konstruksi rumah, juga merupakan refleksi nilai dan norma masyarakat pendukungnya. Kecintaan
manusia pada cita rasa keindahan, bahkan sikap religiusitasnya terefleksikan dalam arsitektur rumah
dengan gaya ini.

Istilah Joglo berasal dari kerangka bangunan utama dari rumah adat jawa terdiri atas soko
guru berupa empat tiang utama dengan pengeret tumpang songo (tumpang sembilan) atau tumpang
telu (tumpang tiga) di atasnya. Struktur joglo yang seperti itu, selain sebagai penopang struktur
utama rumah, juga sebagai tumpuan atap rumah agar atap rumah bisa berbentuk pencu. Hal ini
melambangkan bahwa, pada hakekatnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa menjalani
hidup seorang diri, melainkan harus saling bantu membantu satu sama lain, selain itu soko guru
juga melambangkan empat hakikat kesempurnaan hidup dan juga ditafsirkan sebagi hakikat dari
sifat manusia.
Pada bagian pintu masuk memiliki tiga buah pintu, yakni pintu utama di tengah dan pintu
kedua yang berada di samping kiri dan kanan pintu utama. Ketiga bagian pintu tersebut memiliki
makna simbolis bahwa kupu tarung yang berada di tengah untuk keluarga besar, sementara dua
pintu di samping kanan dan kiri untuk besan, hal ini melambangkan bahwa tamu itu adalah raja
yang harus di hormati dan di tempatkan di tempat yang berbeda dengan keluarga inti ataupun
keluarga dari mempelai, demi menghormati kehadiran mereka dan memberi tempat yang berbeda
dari keluarga sendiri dan itu adalah cara atau tata krama yangb pantas untuk menyambut tamu.

Pada ruang bagian dalam yang disebut gedongan dijadikan sebagai mihrab, tempat Imam
memimpin salat yang dikaitkan dengan makna simbolis sebagai tempat yang disucikan, sakral, dan
dikeramatkan. Gedongan juga merangkap sebagai tempat tidur utama yang dihormati dan pada
waktu-waktu tertentu dijadikan sebagai ruang tidur pengantin bagi anak-anaknya, ruang tengah
melambangkan bahwa di dalam rumah tinggal harus ada tempat khusus yang disakralkan atau di
sucikan supaya digunakan ketika acara-acara atau kegiatan tertentu yang sakral atau berhubungan
dengan Tuhan, hal ini adalah salah satu cara bagi penghuni rumah untuk selalu mengingat
keberadaan Tuhan ketika berada di dalam Rumah mereka.
Ruang depan yang disebut jaga satru disediakan untuk umat dan terbagi menjadi dua bagian,
sebelah kiri untuk jamaah wanita dan sebelah kanan untuk jamaah pria. Masih pada ruang jaga satru
di depan pintu masuk terdapat satu tiang di tengah ruang yang disebut tiang keseimbangan atau
soko geder, selain sebagai simbol kepemilikan rumah, tiang tersebut juga berfungsi sebagai
pertanda atau tonggak untuk mengingatkan pada penghuni tentang keesaan Tuhan.

Pemilihan dan penggunaan bahan bangunan adalah faktor keempat. Penggunaan kayu untuk
dinding (gebyok) dan genteng tanah liat untuk atap disebabkan material ini bersifat ringan sehingga
relatif tidak terlalu membebani bangunan. Sirkulasi keluar masuknya udara pada rumah joglo sangat
baik karena penghawaan pada ruma. joglo ini dirancang dengan menyesuaikan dengan lingkungan
sekitar. rumah joglo, yang biasanya mempunyai bentuk atap yang bertingkat-tingkat, semakin ke
tengah, jarak antara lantai dengan atap yang semakin tinggi dirancang bukan tanpa maksud, tetapi
tiap-tiap ketinggian atap tersebut menjadi suatu hubungan tahap-tahap dalam pergerakan manusia
menuju ke rumah joglo dengan udara yang dirasakan oleh manusia itu sendiri, sehingga hal itu
menyebabkan penghuni merasa nyaman ketika berada di dalam bangunan dan hal itu membuat
penghuni lebih sering berkumpul dengan keluarga dan merasakan kebersamaan yang kuat seperti
struktur yang menopang rumah Adat Joglo ini.
Ciri khas atap joglo, dapat dilihat dari bentuk atapnya yang merupakan perpaduan antara dua
buah bidang atap segi tiga dengan dua buah bidang atap trapesium, yang masing-masing
mempunyai sudut kemiringan yang berbeda dan tidak sama besar. Atap joglo selalu terletak di
tengah-tengah dan selalu lebih tinggi serta diapit oleh atap serambi. Bentuk gabungan antara atap
ini ada dua macam, yaitu: Atap Joglo Lambang Sari dan Atap Joglo Lambang Gantung. Atap Joglo
Lambang Sari mempunyai ciri dimana gabungan atap Joglo dengan atap Serambi disambung secara
menerus, sementara atap Lambang Gantung terdapat lubang angin dan cahaya, dan hal ini
melambangkan filosofi kehidupan manusia, bahwa kehidupan semakin sukses (berada diatas) maka
cobaan pun akan semakin berat, semakin kuat diterpa angin, dan selalu rawan untuk jatuh apabila
tidak hati-hati, dan alangkah baiknya jika hidup kita seperti kontruksi Rumah dan Penataan Ruang
pada Rumah joglo ini, yang saling mengikat satu sama lain, mengormati, bantu membatu, dan tidak
ada yang dirugikan.
Kesimpulan: sistem yang terkandung dalam penataan ruang dan struktur Rumah adat joglo ini,
selain menuntun manusia untuk hidup sosial dan bantu membantu adalah menjadikan diri manusia
tidak sombong dan menghormati satu sama lain, dan juga tidak pernah lupa akan keberadaan Yang
Maha Kuasa.
Rumah tradisional Jawa merupakan salah satu kekayaan arsitektural indonesia yang perlu kita
lestarikan. Ada beberapa tipe rumah dalam desain tradisional jawa yang sangat sesuai dengan alam
tropis.  Arsitektur tradisional jawa ini adalah hasil olah seni para leluhur, yang juga merefleksikan
nilai dan norma masyarakat Jawa yang penuh dengan simbolisme.  Pada eranya rumah joglo hanya
dimiliki oleh orang orang kaya dan para pejabat atau para priyayi jawa saja. 
Desain rumah tradisional ini punya nilai tersendir dari sisi pelestarian budaya dan daya tarik karena
sudah mulai langka.  Dari sisi atapnya dikenal 3 tipe dasar rumah tradisional Jawa yaitu:

1) Joglo
2) Limasan
3) Kampung
Limasan berasal dari kata "lima-lasan" (limabelas) yakni perhitungan sederhana ukuran "molo"
3 meter dan "blandar" 5 meter. Akan tetapi bila molo 10 meter, maka blandar harus memakai
ukuran 15 meter = bahasa Jawa limalasan (Lima belasan). Bagian-bagian Ruah tradisional Jawa
yaitu:
1. pendapa.
2. pringgitan.
3. dalem.
4. sentong.
5. gandok tengen.
6. gandok kiwo.

Bagian pendapa adalah bagian paling depan yang mempunyai ruangan luas tanpa sekat-sekat,
biasanya digunakan sebagai tempat pertemuan untuk acara besar bagi penghuninya. Seperti acara
pagelaran wayang kulit, tari, gamelan dan yang lain. Pada waktu ada acara syukuran biasanya
sebagai tempat tamu besar. Pendopo biasanya terdapat soko guru,soko pengerek,tumpang sari.
Bagian Pringgitan adalah bagian penghubung antara pendopo dan rumah dalem. Bagian ini dengan
pendopo biasanya di batasi dengan seketsel dan dengan dalem dibatasi dengan gebyok. Fungsi
bagian pringgitan biasanya sebagai ruang tamu. Bagian Dalem adalah bagian tempat bersantai
keluarga. Bagian ruangan yang bersifat lebih privasi. Seiring perkembangan jaman sebagian
pemilik rumah joglo mendesain ulang rumah joglonya untuk keperluan tempat tinggal yang lebih
dinamis dan modern namun tidak meninggalkan filosofinya tradisi rumah joglo tersebut merupakan
bentuk rumah tradisional dengan ciri khas memiliki empat tiang dengan tumpangsari dan berdenah
bujur sangkar.

Rumah bentuk Joglo dapat dibedakan sebagai berikut:

a. Rumah Joglo Kepuhan Limasan: Rumah ini memakai uleng ganda, sunduk bandang lebih
panjang dan ander agak pendek, sehingga empyak/atap brunjung lebih panjang.
b. Rumah Joglo Kepuhan Lawakan: Ialah Rumah Joglo tanpa memakai geganja, atap brunjung
agak tegak sehingga kelihatan tinggi.

c. Rumah Joglo Jempongan: Merupakan Joglo yang memakai dua buah pengeret dengan denah
bujur sangkar.

d. Rumah Joglo Pengrawit: Disebut Rumah Joglo Pengrawit karena memakai lambang
gantung, atap bronjong merenggang dari atap penanggap, atap emper merenggang dari atap
penanggap, tiap sudut diberi tiang (saka) bentung tertancap pada sudut, tumpang lima buah,
memakai singup dan geganja.

e. Rumah Joglo Cebloka: Merupakan rumah yang memakai saka pendem (terdapat bagian
tiang sebelah bawah terpendam). Rumah bentuk ini terkadang tidak memakai sunduk.

f. Rumah Joglo Apitan: Rumah Joglo dengan empyak bronjong lebih tinggi karena pengeret
lebih pendek. Bentuk rumah ini kelihatan kecil tetapi langsing.

g. Rumah Joglo Lambangsari: Rumah Joglo yang memakai lambangsari, tanpa empyak emper,
dengan tumpangsari lima tingkat, uleng ganda dan godegan.

h. Rumah Joglo Apitan/ Rumah Joglo Trajumas: Ialah Rumah Joglo yang memakai tiga buah
pengeret, tiga atau lima buah tumpang dan empat empyak (atap) emper.

i. Rumah Joglo Semar Tinandu: Rumah Joglo yang memakai dua buah pengeret dan dua buah
tiang (saka) guru diantara dua buah pengeret. Biasanya dua buah tiang tadi diganti dengan
tembok sambungan dari beteng kebanyakan rumah bentuk ini dipakai sebagai regol
(gapura).

j. Rumah Joglo Hageng (besar): Hampir sama dengan rumah joglo pengrawit tetapi ukuran
lebih rendah dan ditambah atap yang disebut peningrat dan ditambah tratak keliling.

k. Rumah Joglo Mangkurat: Pada dasarnya sama dengan Joglo Pengrawit, tetapi lebih tinggi
dan cara menyambung atap penanggap dengan penitih.

l. Rumah Joglo Wantah Apitan: Rumah Joglo memakai lima buah tumpang, singup dan takir
lumajang. Biasanya rumah bentuk ini kelihatan langsing.

Joglo merupakan bangunan yang paling populer, bahkan masyarakat awam sering menganggap
jenis rumah tradisional ini sebagai satu-satunya bentuk rumah tradisional masyarakat Jawa. Jenis
rumah tipe ini kebanyakan dimiliki oleh anggota masyarakat dengan strata sosial menengah ke atas,
baik itu golongan bangsawan ataupun priyayi. Hal ini dapat dipahami, karena bentuk rumah Joglo
membutuhkan bahan bangunan yang lebih banyak dan lahan yang lebih luas daripada jenis rumah
yang lain. Mungkin karena faktor itu pula, muncul mitos dalam masyarakat bahwa joglo tidak
pantas untuk dimiliki oleh rakyat jelata, melainkan hanya dapat dimiliki orang terpandang
atau terhormat.

BAGIAN-BAGIAN RUMAH JOGLO:

a. Pendopo: Pendopo merupakan bangunan terdepan dari rumah joglo yang berfungsi sebagai
tempat menerima tamu atau tempat mengadakan upacara-upacara adat. Pada umumnya
pendopo selalu terbuka atau tidak diberi dinding penutup. Kalaupun memakai penutup,
maka yang digunakan adalah dinding dari kayu yang mudah dibuka atau gebyok. Secara
filosofis, hal ini menggambarkan adanya prinsip keterbukaan yang dianut oleh tuan rumah.

b. Sentong: Bagian ini pada prinsipnya digunakan sebagai tempat tidur. Tetapi sebelum orang
tua menikahkan anaknya, maka pintu sentong akan selalu tertutup atau terkunci. Sentong
baru dibuka atau dipakai untuk tidur setelah anaknya dinikahkan. Sentong ini terbagi
menjadi tiga yaitu:

1) Sentong Tengen (Kanan): Sentong Tengen dipergunakan sebagai tempat tidur bagi
anak laki-laki yang telah dinikahkan.

2) Sentong kiwo (Kiri): Sentong ini merupakan tempat tidur bagi anak perempuan yang
telah dinikahkan.

3) Sentong Tengah: Sentong Tengah disebut juga Petanen, Pasren, Pedaringan atau
Krobongan. Sentong ini dianggap sakral dan digunakan untuk pemujaan. Masyarakat
Jawa yang mayoritas menggantungkan hidupnya pada bidang pertanian, percaya
bahwa Sentong Tengah adalah tempat bersemayamnya roh nenek moyang
yakni Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan. Karena dianggap sakral, maka tidak
sembarangan orang boleh memasukinya kecuali ada keperluan. Orang yang masuk
sentong inipun harus hati-hati dan bersifat menghormati tuan rumah dalam hal ini
Dewi Sri. Di sentong tengah ini diletakkan tempat tidur atau kantil lengkap dengan
bantal guling, cermin dan sisir. Selain itu ada lampu minyak yang selalu menyala,
baik di siang hari maupun malam hari.

c. Gandok: Gandok merupakan bangunan yang terletak di samping (pavilium). Biasanya


menempel dengan bangunan bagian belakang. Arah membujur gandok melintang pada
rumah belakang. Gandok berfungsi sebagai tempat penyimpanan perabot dapur, ruang
makan dan terkadang berfungsi sebagai dapur.

d. Pringgitan: Pringgitan merupakan bangunan yang biasanya terletak di antara pendopo dan
dalem.  Bangunan ini dipakai untuk pementasan wayang/ ringgit.

e. Kuncung: Kuncung adalah bangunan yang terletak di samping atau depan pendopo yang
berfungsi sebagai tempat bersantai misalnya minum teh atau membaca koran.

f. Pawon: Pawon merupakan bagaian dari suatu rumah joglo yang dipergunakan sebagai
tempat untuk memasak.

Spesialis Rumah Adat Kudus

Mengapa kami spesialis Rumah Adat Kudus? Ya. Model Rumah Adat Kudus itu termasuk yang
paling detail, paling rumit, paling sulit membuatnya. Ukiran tiga dimensi, kecil-kecil, rapi, berpola
dan kaya dengan filosofi hidup. Karena rumah adalah cermin sebuah keluarga. Model Rumah Adat
Kudus ini juga dikenal dengan gaya Mojopahitan (ala Majapahit). Jika Anda berkendara dari Kota
Semarang ke Kudus, sekitar 60 kilometer, selepas kota Demak, di sepanjang kiri kanan jalan akan
anda temui, model rumah adat Kudus yang khas. Gentingnya ada ornamen-ornamen mirip kepala
wayang kulit, dari kiri kanan, dan sampai di puncak. Di paling tengah puncaknya itu dibuat paling
besar, seperti mustika-nya, atau crown-nya.
Mengapa Rumah Adat Kudus ini paling mahal? Pertama, karena semua terbuat dari kayu jati,
minimal 95 persen. Kedua, semua sisi diukir lembut, detail, berpola. Ketiga, mahal tidaknya
tergantung dari lebar dan panjang soko guru, empat tiang yang ada di paling tengah, yang
menyangga beban paling besar. Pembuatan atau produksi rumah adat Kudus ini membutuhkan
waktu 7 bulan, untuk ukuran 10×12 meter, plus 2 meter teras rumahnya. Proses pemasangan,
dibutuhkan waktu 7 hari non stop. Tumpangsari juga menentukan status social dan mahal tidaknya
harga rumah kayu ini. Paling tinggi derajadnya, dengan 9 tumpang sari.
AKULTURASI
Bangsa Indonesia itu sangat menghargai seni dan budaya. Bukan hanya yang asli dari negeri, tetapi
juga yang berasal dari luar. Rumah Adat Kudus adalah rumah tradisional yang mencerminkan
akulturasi kebudayaan warga Kudus. Ada atap berbentuk Joglo Pencu, dengan bangunan yang
didominasi seni ukir empat dimensi khas Kota Kudus. Jika dilihat dari motif ukirannya, itu yang
merupakan perpaduan gaya seni ukir Hindu, Persia (Islam), Cina, dan Eropa.
Rumah model ini diperkirakan mulai dibangun sekitar tahun 1500-an M dengan bahan baku utama
(95%) dari kayu jati berkualitas tinggi dengan sistem pemasangan knock-down ( bongkar pasang
tanpa paku).

BERMAKNA
Bukan hanya keindahan arsitekturnya menjadi andalan Rumah Adat Kudus. Tetapi ada juga
kelengkapan komponen pembentuknya yang memiliki makna filosofis berbeda-beda.

a. Pertama:
Bentuk dan motif ukirannya mengikuti pola, semacam laba-laba berkaki banyak, gajah
penunggu, rangkaian bunga melati, motif ular naga, buah nanas (sarang lebah), motif
burung, dll.

b. Kedua:
Tata ruang rumah adat, ada jogo satru ruang tamu dengan soko geder/tiang tunggal sebagai
simbol Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila Pertama dari Pancasila. Bagian ini berfungsi
sebagai pengingat bagi penghuni rumah agar senantiasa menjaga keimanan dan
kepercayaannya.

c. Ketiga:
Gedhongan senthong/ruang keluarga yang ditopang empat buah soko guru/tiang penyangga,
yang biasanya dibuat paling besar, tinggi dan lurus. Empat tiang itu maknanya, ajakan agar
penghuni rumah mampu menyangga kehidupannya sehari-hari, dengan mengendalikan
empat sifat dasar manusia. Yakni amarah (dorongan untuk melakukan kemaksiatan),
lawwamah (dorongan mengkoreksi diri sendiri), shofiyah (kelembutan hati), mutmainnah
(dorongan untuk berbuat kebajikan).

d. Keempat:
Pawon/dapur di bagian paling belakang bangunan rumah, tempat masak memasak. Saat ini
dalam rumah modern, yang berkembang adalah, dapur di tengah atau depan. Ada istilah
dapur basah, dapur kering.

e. Kelima:
Pakiwan (kamar mandi) sebagai simbol agar manusia selalu membersihkan diri baik fisik
maupun non fisik.

f. Keenam:
Tanaman direkomendasi dipelihara di sekitar pakiwan, antara lain: pohon belimbing, yang
melambangkan lima rukun Islam, karena ada lima sisir di belimbing. Pandan wangi, sebagai
simbol rejeki yang harum/halal dan baik. Bunga melati, untuk melukiskan keharuman,
perilaku yang baik budi pekerti luhur, dan kesucian.

g. Ketujuh:
Menghadap ke Selatan, maknanya agar si pemilik rumah seolah-olah tidak “memangku”
Gunung Muria (yang terletak di sebelah utara), karena rumah ini berkembang di Kudus.
Dengan begitu tidak memperberat kehidupannya sehari-hari.
Kalau di daerah Solo, Jogja, ada mitos sebaiknya menghadap ke laut selatan, untuk
menghormati penguasa laut selatan.

UKIRAN KHAS KUDUS

Mengapa Rumah Adat Kudus itu paling tersohor? Paling terkenal di jagad seni ukir kuno di
Indonesia? Lebih punya nama daripada Jogjakarta dan Surakarta yang memiliki keraton dengan
tradisi ukir? Baik di Kasultanan, Paku Alaman Jogja, maupun Kasunanan dan Mangkunegaran
Solo? Bahkan lebih popular dengan ukiran Jepara, yang banyak disebut sebagai Kota Ukir?

Ini jawabannya. Sejarah seni ukir di Kudus sejatinya sudah dimulai sejak seorang imigran dari
Tiongkok yang bernama The Ling Sing tiba pada abad 15. Beliau datang ke lereng Gunung Muria
itu tidak hanya menyebarkan ajaran Islam, tetapi juga menekuni keahliannya dalam kesenian
mengukir. Aliran kesenian The Ling Sing adalah Sun Ging. Seni ukir yang halus dan bermotif
indah. Dari daerah Kudus inilah beliau banyak menerima murid yang mempelajari agama maupun
seni ukir.

Beda Ukiran Kudus dan Jepara

1. Seni ukir di Kudus berkembang pada pembuatan rumah.


2. Ukirannya halus dan indah.
3. bunganya kecil-kecil dan bisa 2 atau 3 dimensi.

Sedangkan ukiran Jepara

1. Seni Ukir Jepara berkembang pada peralatan rumah tangga.


2. Misalnya almari, meja, tempat tidur, kursi dan lain-lain.
3. Bentuk sulur ukir-ukirannya besar-besar.

Ukiran Kudus itu tercermin dari rumah adat Kudus. Rumah adat Kudus terdiri dari beberapa motif
ukiran yang dipengaruhi budaya Cina, Hindu, Islam, Eropa.

VARIASI MOTIF

Motif dan gaya seni ukir itu bervariasi:

a. Motif China berupa ukiran naga yang terletak pada bangku kecil untuk masuk ruang dalam.
b. Motif Hindu digambarkan dalam bentuk perpaduan yang terdapat di gebyok (pembatas
antara ruang Jogo Satru dan ruang dalam)
c. Motif Persia / Islam digambarkan dalam bentuk bunga, terdapat dalam ruang Jogo Satru
d. Motif Eropa digambarkan dalam bentuk mahkota yang terdapat diatas pintu masuk ke
gedongan.

Ragam hias ukiran, misalnya: pola kala dan gajah penunggu, rangkaian bunga melati (sekar
rinonce), motif ular naga, buah nanas (sarang lebah), motif burung phoenix, dan lain-lain.
GENTING RUMAH ADAT KUDUS

Salah satu yang memikat perhatian orang adalah genting rumah adat Kudus. Dari bentuk rumah
adatnya sendiri sudah unik. Namanya Joglo Pencu. Tengahnya tetap ada 4 sokoguru, ada tumpang
sari, atapnya tinggi menjulang, berkesan anggun dan perkasa. Perhatikan atap rumah adat Kudur
baik-baik! Di atas genteng bertengger gendeng yang pada umumnya kepala gendeng bermotif
tumbuh-tumbuhan (sulur-suluran) sebagai ciri budaya Islam. Ada beberapa jenis gendeng yaitu
gendeng wedok (gelung cekak), gendeng gajah (gendeng pendamping di bubungan atap), gendeng
raja (gendeng tengah pada bubungan atap). Pada puncak atap bertengger gendeng raja dengan motif
tumbuh-tumbuhan.

LEVELING RUMAH KUDUS (ilustrasi foto trap-trapan, bantalan rel kereta api, sketsa)

Fisik bangunan rumah adat Kudus berdiri di atas landasan alas yang terdiri dari 5 trap di atas
permukaan tanah yaitu bancik kapisan (trap terbawah), bancik kapindo (kedua), bancik katelu
(ketiga), Jogan Jogosatru (trap lantai ruang depan), Jogan Lebet (trap lantai ruang dalam).

TATA RUMAH KUDUS

Tata rumah adat Kudus tampak sederhana, dan terdiri beberapa ruangan yaitu: Jogo satru
yaitu ruangan depan yang sekarang difungsikan sebagai ruang tamu. Didalam ruangan Jogo satru
terdapat satu tiang yang disebut Soko Geder. Ruang dalam (inti) berfungsi sebagai kamar-kamar
dan gedongan (kamar utama) yang digunakan untuk menyimpan kekayaan dan sebagai kamar tidur
kepala keluarga.

Di ruang dalam ini terdapat kerangka bangunan yang ditumpu oleh 4 buah sokoguru. Di atas
keempat soko guru terdapat Pangeret Tumpang Songo (kamuncak berlapis sembilan) yang semakin
ke atas semakin mengecil. Pawon (ruang keluarga) digunakan untuk aktifitas keluarga (ruang
makan, ruang bermain anak dan dapur). Sebagai kelengkapan gaya arsitektur tradisional rumah adat
Kudus ini terdapat Pakiwan (berupa sumur, kamar mandi dan padasan/tempat wudlu) Biasanya
terletak di depan rumah sebelah kiri sejajar dengan pawon. Pada umumnya rumah adat Kudus selalu
menghadap ke selatan karena:

1. Sinar matahari pagi bisa masuk kedalam rumah sehingga kesehatan penghuninya terjamin.
2. Bila musim kemarau tritisan depan rumah tidak langsung terkena sinar matahari sehingga
tetap adem
3. Bila musim penghujan tritisan rumah terlindung dari hujan sehingga bagian depan rumah
tidak diterpa air hujan terus menerus dan aman dari bahaya lapuk

PERAWATAN UKIRAN RUMAH KUDUS

Salah satu keunikan Rumah Adat Kudus yang juga cukup menarik adalah tatacara perawatan nya.
Ada cara yang mudah, murah, dan sudah terbukti bagus dengan cara tradisional dan sudah turun-
temurun dari generasi ke generasi. Jenis bahan dasar yang digunakan adalah ramuan yang diperoleh
dari pengalaman empiris pemiliknya. Yakni ramuan APT (Air Pelepah Pohon Pisang dan
Tembakau) dan ARC (Air Rendaman Cengkeh). Ramuan ini terbukti efisien dan efektif mampu
mengawetkan kayu jati, bahan dasar Rumah Adat Kudus, dari serangan rayap (termite) dan
sekaligus meningkatkan pamor dan permukaan kayu menjadi lebih bersih, karena ramuan APT dan
ARC dioleskan berulang-ulang ke permukaan dan komponen-komponen bangunan kayu jati.

Anda mungkin juga menyukai