Smk n nusawungu Tahun pelajaran 2014/2015 Jenis Jenis Rumah Adat Jawa ,Bagian Ruang Dan Rangka Rumah Adat Jawa
1. Rumah Adat Jawa Tengah: Joglo
Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi penting di Pulau Jawa. Selain karena hiruk-pikuk ekonominya, Provinsi ini juga tersohor karena unsur kebudayaannya yang masih terjaga. Salah satu warisan leluhur yang menjadi daya pikat provinsi ini adalah Joglo. Apa Joglo itu? Hakekatnya Joglo adalah sebutan bagi rumah adat Jawa Tengah. Bangunan ini menarik dikaji, baik itu dari segi historis maupun arsitekturnya yang sarat dengan nilai filosofis khas Jawa.
Joglo Dan Unsur Pembangunnya
Sangat menarik untuk mengkaji rumah adat Jawa Tengah ini sebab kita secara langsung akan bersinggungan dengan nilai-nilai luhur. Jadi, Joglo bukan sekedar hunian. Lebih dari itu, ia adalah simbol. Simak saja kerangka rumahnya yang berupa soko guru. Jika diamati, ada empat pilar utama yang menjadi penyangga utama rumah. Tiang utama ini masing-masing mewakili arah angin, barat-utara-selatan-timur. Lebih detil lagi, di dalam soko guru terdapat apa yang dikenal dengan tumpangsari yang disusun dengan pola yang terbalik dari soko guru.
Simbol Status Sosial
Sama seperti rumah adat di daerah lainnya, Joglo juga bisa dijadikan acuan untuk menakar status sosial seseorang. Meski diakui sebagai rumah adat Jawa Tengah, tapi tidak semua rakyat atau masyarakat Jawa Tengah memiliki rumah ini. Mengapa? Sebab meski tampilannya cukup sederhana, namun kerumitan bahan baku serta pembuatan menjadikan proses pembangunan Joglo memakan biaya juga waktu yang melimpah. Dahulu, hanya kalangan priyayi dan bangsawan yang memiliki rumah apin ini. Kini, mereka yang bukan bangsawan tapi berduit bisa saja membangun rumah elegan dan klasik tersebut.
Bagian (Ruang) dalam rumah joglo
Jadi dalam pemetaan ruang rumah Joglo ada tiga peta ruang utama yaitu : Pendopo Pringgitan, dan Dalem
Pendopo Pendopo letaknya di depan, dan tidak mempunyai dinding atau terbuka, hal ini berkaitan dengan filosofi orang Jawa yang selalu bersikap ramah, terbuka dan tidak memilih dalam hal menerima tamu. Pada umumnya pendopo tidak di beri meja ataupun kursi, hanya diberi tikar apabila ada tamu yang datang, sehingga antara tamu dan yang punya rumah mempunyai kesetaraan dan juga dalam hal pembicaraan atau ngobrol terasa akrab rukun (rukun agawe santosa).
Pringgitan Pringgitan memiliki makna konseptual yaitu tempat untuk memperlihatkan diri sebagai simbolisasi dari pemilik rumah bahwa dirinya hanya merupakan bayang-bayang atau wayang dari Dewi Sri (dewi padi) yang merupakan sumber segala kehidupan, kesuburan, dan kebahagiaan (Hidayatun, 1999:39). Menurut Rahmanu Widayat (2004: 5), pringgitan adalah ruang antara pendhapa dan dalem sebagai tempat untuk pertunjukan wayang (ringgit), yaitu pertunjukan yang berhubungan dengan upacara ruwatan untuk anak sukerta (anak yang menjadi mangsa Bathara Kala, dewa raksasa yang maha hebat).
Dalem (Ruang Utama) Dalem atau ruang utama dari rumah joglo ini merupakan ruang pribadi pemilik rumah. Dalam ruang utama dalem ini ada beberapa bagian yaitu ruang keluarga dan beberapa kamar atau yang disebut senthong. Pada masa dulu, kamar atau senthong hanya dibuat tiga kamar saja, dan peruntukkan kamar inipun otomatis hanya menjadi tiga yaitu kamar pertama untuk tidur atau istirahat laki-laki kamar kedua kosong namun tetap diisi tempat tidur atau amben lengkap dengan perlengkapan tidur, dan yang ketiga diperuntukkan tempat tidur atau istirahat kaum perempuan. Kamar yang kedua atau yang tengah biasa disebut dengan krobongan yaitu tempat untuk menyimpan pusaka dan tempat pemujaan terhadap Dewi Sri. Senthong tengah atau krobongan merupakan tempat paling suci/privat bagi penghuninya. Di dalam dalem atau krobongan disimpan harta pusaka yang bermakna gaib serta padi hasil panen pertama, Dewi Sri juga dianggap sebagai pemilik dan nyonya rumah yang sebenarnya. Di dalam krobongan terdapat ranjang, kasur, bantal, dan guling, adalah kamar malam pertama bagi para pengantin baru, hal ini dimaknai sebagai peristiwa kosmis penyatuan Dewa Kamajaya dengan Dewi Kama Ratih yakni dewa-dewi cinta asmara perkawinan(Mangunwijaya, 1992: 108). Di dalam rumah tradisi Jawa bangsawan Yogyakarta, senthong tengah atau krobongan berisi bermacam-macam benda-benda lambang (perlengkapan) yang mempunyai kesatuan arti yang sakral (suci). Macam-macam benda lambang itu berbeda dengan benda-benda lambang petani. Namun keduanya mempunyai arti lambang kesuburan, kebahagiaan rumah tangga yang perwujudannya adalah Dewi Sri (Wibowo dkk., 1987 : 63).
Bagian Rangka Rumah Adat Joglo
Berdasarkan bentuk keseluruhan tampilan dan bentuk kerangka, bangunan joglo dapat dibedakan menjadi 4 bagian : Muda (Nom) : Joglo yang bentuk tampilannya cenderung memanjang dan meninggi (melar). Tua (Tuwa) : Joglo yang bentuk tampilannya cenderung pendek (tidak memanjang) dan atapnya tidak tegak / cenderung rebah (nadhah). Laki-laki (lanangan) : Joglo yang terlihat kokoh karena rangkanya relatif tebal. Perempuan (wadon / padaringan kebak) : Joglo yang rangkanya relatif tipis / pipih.
2. Rumah Adat Jawa Limasan
Limasan adalah salah satu jenis rumah arsitektur tradisional Jawa. Rumah tradisional sudah ada sejak nenek moyang suku Jawa sejak lama. Terbukti dengan adanya relief yang menggambarkan keberadaannya. Tidak hanya asal bangun, rumah Limasan mengandung falsafah yang sarat makna dan nilai-nilai sosiokultural. Selain itu, rumah Limasan juga dikenal memiliki desain yang sederhana dan indah. Kelebihan lain pada arsitektur bangunan limasan rumah ini juga dapat meredam gempa.
Bangunan ini dicirikan dengan pemakaian konstruksi atap yang kokoh dan berbentuk lengkungan-lengkungan yang terpisah pada satu ruang dengan ruang lainnya. Sebuah rumah limasan terbangun dari empat tiang utama.
Bangunan tradisional limasan banyak memakai elemen natural. Kemampuannya dalam meredam gempa karena sistim struktur yang digunakan. Struktur limasan berupa rangka yang memperlihatkan batang-batang kayu yang disusun dengan menerapkan bentuk kubus beratap limas. Hal ini didasarkan pada sistem dan sifat sambungan kayu yang digunakan, semuanya bersifat mengantisipasi gaya tarik.
Singkatnya, kemampuannya meredam gempa adalah karena antarstruktur dan materialnya saling berkait, dan juga karena sambungan antarkayunya yang tidak kaku. Hal ini membuat bangunannya fleksibel dan memiliki toleransi tinggi terhadap gempa.
Hal lain yang membuatnya dapat meredam guncangan gempa adalah sistem tumpuan dan sambungannya. Sistem tumpuan bangunan Limasan menggunakan sendi. Hal ini berfungsi mengimbangi struktur atas yang bersifat jepit. Sistem sambungannya yang tidak memakai paku, tetapi menggunakan lidah alur yang memungkinkan toleransi terhadap gaya-gaya yang bekerja pada batang-batang kayu. Toleransi ini menimbulkan friksi, sehingga bangunan dapat akomodatif menerima gaya-gaya gempa.
Tidak hanya itu, kemampuannya meredam gempa adalah juga karena material yang digunakan.Limasan menggunakan kayu untuk dindingnya, dan genteng tanah liat untuk atapnya. Material ini baik karena bersifat ringan sehingga relatif tidak terlalu membebani bangunan. Penutup atap yang digunakan juga berupa jerami, daun kelapa, daun tebu, sirap, dan ilalang yang sifatnya ringan. Di bawah ini beberapa jenis Limasan :
Jenis Limasan Lambang Gantung Rangka Kutuk Ngambang Jenis Limasan Lambang Sari Jenis Limasan Trajumas Lawakan Jenis Limasan Trajumas Jenis Limasan Lambang Gantung Jenis Limasan Semar Tinandhu Jenis Limasan Lambang Teplok
Bagian Ruang Pada Rumah Limasan
Secara horisontal, omah limasan terbagi menjadi beberapa petak ruang. Di bagian paling depan merupakan tritikan atau teras. Teras merupakan bagian rumah terbuka dan menjadi area publik. Di tempat ini sering dipasang lincak, seperangkat kursi, ataupun amben kecil, untuk berbagai keperluan. Aktivitas keseharian yang bersifat santai dan nonformal banyak dilakukan di tempat ini, mulai dari sekedar duduk dan berbincang, pepetan mencari kutu rambut bagi kaum ibu, hingga tempat leyeh-leyeh melepas penat sehabis seharian bekerja di sawah sambil nglaras uyon-uyon atau campur sari.
Batas bagian luar dan dalam omah limasan dibatasi dengan papan blabak ataupun anyaman dinding gedhek. Melalui pintu utama di bagian depan, dari tritikan kita akan memasuki ruang dalam utama. Ruang utama merupakan bagian terluas dari omah limasan. Ruang utama menjadi ruang keluarga, sekaligus tempat untuk menerima tamu secara formal. Di tengah ruang utama, berdiri kokoh soko guru yang mengajarkan kekuatan untuk bersatu padu diantara semua anggota keluarga. Di samping terdapat seperangkat kursi tamu, di ruang inipun biasa terdapat amben gedhe.
Sedikit masuk lebih ke dalam, terdapat tiga buah ruang bilik atau kamar dalam yang sering disebut sebagai senthong, ada senthong tengah yang diapit oleh senthong tengen dan kiwo. Senthong tengah merupakan pusat kesakralan dan kesucian rumah tangga. Tempat ini biasa dipergunakan untuk beribadah, atau mushola di dalam rumah. Adapun senthong tengen ataupun kiwo biasa difungsikan sebagai kamar tidur kaum perempuan maupun tempat penyimpanan barang berharga ataupun persediaan bahan makanan. Melengkapi struktur bangunan omah limasan di sisi belakang ataupun samping adalah dapur dan pakiwon. Di pakiwon biasanya terdapat sumur dan padasan untuk mengambil air wudhu. Di masa kini, pakiwon kebanyakan berwujud kamar mandi yang dilengkapi sarana kakus.
Di dalam omah limasan terdapat pembagian ruang aktivitas yang berimbang untuk anggota keluarga laki-laki dan perempuan. Seorang laki-laki sebagai kepala rumah tangga memiliki tugas utama mencari nafkah di luar rumah. Sedangkan kaum perempuan lebih banyak memegang peranan untuk mengurus rumah tangga dengan segala hal yang terkait. Ruang utama, senthong, pawon hingga pakiwon merupakan domain perempuan yang bertanggung jawab untuk merawat dan memelihara kebersihan serta kerapiannya. Seorang ibu rumah tangga memiliki kekuasaan penuh dalam hal pengaturan rumah tangga secara internal. Di sinilah sebenarnya nenek moyang kita telah mengajarkan pembagian peran antara kaum pria dan perempuan secara sejajar, adil, serta berimbang untuk secara terpadu menjunjung tinggi kebersamaan sebuah keluarga yang harmonis.
Bagian Rangka Dalam Rumah Limasan
Omah limasan merupakan satu bangunan tunggal, dengan ciri utama bagian atap terdiri atas empat sisi empyak. Dua sisi empyak di bagian paling depan dan belakang lebih mendatar, sedangkan sepasang empyak di bagian tengah lebih curam, bertemu di bagian puncak omah keong, sekaligus membentuk struktur limas dengan lima sisi.
Sebagai penopang struktur atap, di pusat bangunan terdapat empat buah soko guru yang dilengkapi dengan 14 soko pendamping. Hal ini melambangkan keberadaan sekawan keblat gangsal pancer, yang merupakan perlambang empat arah mata angin dan penjuru dunia kehidupan manusia. Secara vertikal, bangunan omah limasan dapat dibagi menjadi tiga bagian utama, masing-masing bantala atau tanah, struktur penegak, dan bagian atap. Gambaran ini secara filosofi merupakan warisan nilai-nilai Budha dengan perlambang alam kamadhatu, rupadhatu, dan arupadhatu. Struktur itupun juga menyimpan nilai ajaran Hindu mengenai konsep tri hita karana, pembagian jagad menjadi jagad palemahan, pawongan, dan parahyangan.
3. RUMAH KAMPUNG
Rumah tradisional jenis kampung ini dapat dikatakan rumah standart yang sampai sekarang masih diminati oleh masyarakat jawa. Bentuknya yang sederhana ternyata mempunyai ciri khas dan karakter kuat sebagai bangunan sederhana yang sempurna secara struktural. Bangunan pokoknya terdiri dari tiang-tiang atau saka yang berjumlah 4,6 atau bisa juga 8 buah dan seterusnya karena bentuknya dapat memanjang sesuai keinginan si pemiliknya. Biasanya yang dipakai sebagai tiang struktur utama sampai dengan 8 buah saka. Hal ini menandakan bahwa bangunan model kampung merupakan bangunan standart yang dapat dimodifikasi menjadi bentukan lain atau dikombinasikan dengan model-model baru yang lebih ekstrim atau classic. Bentukan atap hanya berbentuk segitiga jika dilihat dari sisi samping dengan atap terdapat pada kedua belah sisinya dan menggunakan bubungan atau wuwungan. Keseluruhan struktur rumah dari tiang-tiang penyangga,balok,kayu usuk sampai kayu reng menggunakan kayu jati atau kayu kuat jenis lain seperti kayu nangka,kayu mahoni atau kayu jawa lainnya. Rumah tradisional Jenis Kampung Pacul Gowang Rumah Tradisional Jenis Kampung Srotong Rumah Tradisional Jenis Kampung Dara Gepak Rumah Tradisional Jenis Kampung Klabang Nyander Rumah tradisional Jenis Kampung Gajah Njerum Rumah Tradisional Jenis Kampung Cere Gancet Rumah Tradisional Jenis Kampung Semar Pinondhong Rumah Tradisional Jenis Kampung Lambang Teplok Semar Tinandhu RUMAH KAMPUNG LAMBANG TEPLOK
Bagian Ruang Rumah Kampung
secara tidak langsung mencerminkan penghuninya yang terbiasa hidup tertib. Kedua kampung sama-sama memiliki tata ruang paranti tempat beresih atau umpluk wangunan beresih serta paranti tempat kokotor atau umpluk wangunan kokotor dengan definisi dan fungsi yang sama. Dalam pengaturannya, tata ruang atau zoning bersih menempati bagian depan dari pola kampung, sedangkan zoning kotor berada pada bagian belakangnya. Tata ruang yang berada pada bagian depan (lapis kesatu) berfungsi untuk melayani kebutuhan primer bagi penghuni dan tamu, sedangkan yang menempati bagian belakang (lapis kedua) untuk melayani kebutuhan sekunder. Pada tata ruang Kampung Ciptarasa dan Ciptagelar, rumah tinggal sesepuh girang sama-sama berada pada daerah yang lebih tinggi, sedangkan rumah tinggal warganya menempati daerah yang lebih rendah. Bumi ageung di Ciptarasa dan Ciptagelar sama-sama menghadap ke selatan, sedangkan rumah serta massa bangunan yang berada di sekitarnya berorientasi ke bumi ageung sebagai pusatnya. Selatan dan bumi ageung memiliki makna simbolik sesuai dengan kepercayaan warga kasepuhan, demikian juga arah timur dan barat. Perletakan massa bangunan pada tata ruang bumi ageung dan bumi warga, sama-sama berorientasi kepada bumi ageung yang berada pada sumbu utara-selatan. Berdasarkan perletakan tersebut, maka kedua kampung memiliki pola yang memusat.
Bagian Rangka Rumah Kampung
Rumah panggung terdiri dari tiga bagian: suku atau calana merupakan bagian paling bawah menyimbolkan kematian (dunia bawah), awak atau pakaya adalah bagian tengah-tengah sebagai simbol kehidupan (dunia tengah), sedangkan hulu atau mahkuta melambangkan hubungan manusa ka Gustina, artinya hubungan vertikal manusia kepada Tuhan (dunia atas). Menurut Adimihardja (1987:89-90), dunia tengah merupakan pusat alam semesta dan manusia menempatkan diri sebagai pusatnya, karena itulah tempat tinggal manusia harus terletak di tengah- tengah, tidak ke dunia bawah (bumi) dan dunia atas (langit). Dengan demikian, rumah harus memakai tiang yang di beri alas di bawahnya berupa batu umpak, sehingga lantai rumah tidak menempel langsung pada tanah.
4. RUMAH PANGGANG PE Panggang artinya dipanaskan, Epe artinya dijemur. Karena namanya rumah ini biasanya oleh masyarakat pedesaan digunakan untuk menjemur barang barang seperti daun teh, pati, ketela pohon, dsb. Sedangkan menurut istilahnya Rumah Panggang-Pe adalah rumah yang berdenah persegi panjang dengan atap yang terdiri dari satu sisi atap miring serta dengan bentuk yang amat sangat sederhana. Selain itu sering pula digunakan untuk warung, pasar untuk berjualan ( bango ), gubuk kecil ditengah sawah untuk mengusir burung, gudang, dsb.
Bagian Ruang Rumah Panggang PE Kalaupun untuk rumah tinggal ruangan bagian dalamnya lebih sebagai ruang serba guna yang pembagian antar ruang menggunakan dinding berupa sekat sekat seperti anyaman bambu, dsb. Jenis bangunan ini sangat mudah dibuat dan ringan sehingga bila rusak sangat mudah untuk diperbaiki.
Bagian Rangka Rumah Panggang PE
Hanya terbentuk oleh satu atap yang miring
5. Masjidan
Mesjidan/Tajugan, yaitu bangunan dengan Soko Guru atap 4 belah sisi, tanpa bubungan, jadi meruncing. Bentuk Rumah TajugDipergunakan sebagai tempat suci, semisal : Masjid, tempat raja bertahta, makam. Tidak ada yang untuk tempat tinggal.
Bagian Ruang Masjidan
berdenah bujur sangkar, lantainya selalu di atas tanpa bertingkat.
Bagian Rangka Masjidan
pada atap berbentuk runcing, soko guru dengan blandar-blandar tumpang sari