Anda di halaman 1dari 10

RUMAH JOGLO

Rumah joglo merupakan bangunan arsitektur tradisional jawa tengah, rumah joglo mempunyai kerangka bangunan utama yang terdiri dari soko guru berupa empat tiang utama penyangga struktur bangunan serta tumpang sari yang berupa susunan balok yang disangga soko guru.

Susunan ruangan pada Joglo umumnya dibagi menjadi tiga bagian yaitu ruangan pertemuan yang disebut pendhapa, ruang tengah atau ruang pringgitan, dan ruang belakang yang disebut dalem atau ruang keluarga.

Seiring perkembangan waktu banyak rumah joglo di redesign untuk keperluan tempat tinggal yang lebih modern namun tidak meninggalkan filosofinya tradisi rumah joglo tersebut.

http://rumahjoglo.net/

Sejarah rumah Joglo


Berdasarkan sejarah, perkembangan bentuk rumah tinggal orang jawa dapat dikategorikan menjadi 4 macam yaitu rumah tradisional: bentuk Panggangpe, bentuk Kampung, bentuk Limasan bentuk Joglo. Dibanding bentuk lainnya, rumah bentuk joglo lebih dikenal masyarakat pada umumnya. Rumah Joglo kebanyakan hanya dimiliki oleh mereka yang mampu. Mengapa? Jalarannya rumah joglo butuh bahan lebih banyak dan mahal ketimbang rumah bentuk lain. Masyarakat jawa dulu menganggap bahwa rumah joglo tidak boleh dimiliki oleh sembarang orang, oleh orang kebanyakan, tapi hanya diperkenankan bagi kaum bangsawan, raja, dan pangeran, serta mereka yang terhormat dan terpandang. Namun dewasa ini rumah joglo digunakan pula oleh segenap lapisan masyarakat dan juga untuk berbagai fungsi lain, seperti gedung pertemuan serta perkantoran. Pada dasarnya rumah bentuk joglo berdenah bujur sangkar, dengan empat pokok tiang di tengah yang di sebut saka guru, dan digunakan blandar bersusun yang di sebut tumpangsari. Bentuk persegi empat ini dalam perkembangannya mengalami perubahan dengan adanya penambahanpenambahan ruang di sisi bangunannya namun tetap merupakan kesatuan bentuk dari denah persegi empat.

Dari perubahan-perubahan itu muncullah aneka bentuk rumah joglo dengan aneka nama yaitu: joglo jompongan, joglo kepuhan lawakan, joglo ceblokan, joglo kepuhan limolasan, joglo sinom apitan, joglo pengrawit, joglo kepuhan apitan, joglo semar tinandu, joglo lambangsari, joglo wantah apitan, joglo hageng, dan joglo mangkurat.

http://serbajadul.blogspot.com/2009/02/rumah-joglo-ala-jogya.html

Filosofi rumah joglo


Rumah joglo merupakan bangunan arsitektur tradisional jawa tengah, rumah joglo mempunyai kerangka bangunan utama yang terdiri dari soko guru berupa empat tiang utama penyangga struktur bangunan serta tumpang sari yang berupa susunan balok yang disangga soko guru. Susunan ruangan pada Joglo umumnya dibagi menjadi tiga bagian yaitu ruangan pertemuan yang disebut pendhapa, ruang tengah atau ruang yang dipakai untuk mengadakan pertunjukan wayang kulit disebut pringgitan, dan ruang belakang yang disebut dalem atau omah jero sebagai ruang keluarga. Dalam ruang ini terdapat tiga buah senthong (kamar) yaitu senthong kiri, senthong tengah dan senthong kanan.

Terjadi penerapan prinsip hirarki dalam pola penataan ruangnya. Setiap ruangan memiliki perbedaan nilai, ruang bagian depan bersifat umum (publik) dan bagian belakang bersifat khusus (pribadi/privat). Uniknya, setiap ruangan dari bagian teras, pendopo sampai bagian belakang (pawon dan pekiwan) tidak hanya memiliki fungsi tetapi juga sarat dengan unsur filosofi hidup etnis Jawa. Unsur religi/kepercayaan terhadap dewa diwujudkan dengan ruang pemujaan terhadap Dewi Sri (Dewi

kesuburan dan kebahagiaan rumah tangga) sesuai dengan mata pencaharian masyarakat Jawa (petani-agraris). Ruang tersebut disebut krobongan, yaitu kamar yang selalu kosong, namun lengkap dengan ranjang, kasur, bantal, dan guling dan bisa juga digunakan untuk malam pertama bagi pengantin baru (Widayat, 2004: 7). Krobongan merupakan ruang khusus yang dibuat sebagai penghormatan terhadap Dewi Sri yang dianggap sangat berperan dalam semua sendi kehidupan masyarakat Jawa. Jadi dalam pemetaan ruang rumah Joglo ada tiga peta ruang utama yaitu :

Pendopo Pringgitan, dan Dalem

Pendopo Pendopo letaknya di depan, dan tidak mempunyai dinding atau terbuka, hal ini berkaitan dengan filosofi orang Jawa yang selalu bersikap ramah, terbuka dan tidak memilih dalam hal menerima tamu. Pada umumnya pendopo tidak di beri meja ataupun kursi, hanya diberi tikar apabila ada tamu yang datang, sehingga antara tamu dan yang punya rumah mempunyai kesetaraan dan juga dalam hal pembicaraan atau ngobrol terasa akrab rukun (rukun agawe santosa).

Pringgitan Pringgitan memiliki makna konseptual yaitu tempat untuk memperlihatkan diri sebagai simbolisasi dari pemilik rumah bahwa dirinya hanya merupakan bayang-bayang atau wayang dari Dewi Sri (dewi padi) yang merupakan sumber segala kehidupan, kesuburan, dan kebahagiaan (Hidayatun, 1999:39). Menurut Rahmanu Widayat (2004: 5), pringgitan adalah ruang antara pendhapa dan dalem sebagai tempat untuk pertunjukan wayang (ringgit), yaitu pertunjukan yang berhubungan dengan upacara ruwatan untuk anak sukerta (anak yang menjadi mangsa Bathara Kala, dewa raksasa yang maha hebat).

Dalem (Ruang Utama) Dalem atau ruang utama dari rumah joglo ini merupakan ruang pribadi pemilik rumah. Dalam ruang utama dalem ini ada beberapa bagian yaitu ruang keluarga dan beberapa kamar atau yang disebut senthong. Pada masa

dulu, kamar atau senthong hanya dibuat tiga kamar saja, dan peruntukkan kamar inipun otomatis hanya menjadi tiga yaitu kamar pertama untuk tidur atau istirahat laki-laki kamar kedua kosong namun tetap diisi tempat tidur atau amben lengkap dengan perlengkapan tidur, dan yang ketiga diperuntukkan tempat tidur atau istirahat kaum perempuan. Kamar yang kedua atau yang tengah biasa disebut dengan krobongan yaitu tempat untuk menyimpan pusaka dan tempat pemujaan terhadap Dewi Sri. Senthong tengah atau krobongan merupakan tempat paling suci/privat bagi penghuninya. Di dalam dalem atau krobongan disimpan harta pusaka yang bermakna gaib serta padi hasil panen pertama, Dewi Sri juga dianggap sebagai pemilik dan nyonya rumah yang sebenarnya. Di dalam krobongan terdapat ranjang, kasur, bantal, dan guling, adalah kamar malam pertama bagi para pengantin baru, hal ini dimaknai sebagai peristiwa kosmis penyatuan Dewa Kamajaya dengan Dewi Kama Ratih yakni dewa-dewi cinta asmara perkawinan(Mangunwijaya, 1992: 108). Di dalam rumah tradisi Jawa bangsawan Yogyakarta, senthong tengah atau krobongan berisi bermacam-macam benda-benda lambang (perlengkapan) yang mempunyai kesatuan arti yang sakral (suci). Macam-macam benda lambang itu berbeda dengan benda-benda lambang petani. Namun keduanya mempunyai arti lambang kesuburan, kebahagiaan rumah tangga yang perwujudannya adalah Dewi Sri (Wibowo dkk., 1987 : 63).

Sumber : Wacana Nusantara

http://www.macapat.web.id/article-35-filosofi-rumah-joglo.html

NILAI KEINDAHAN RUMAH JOGLO

Tak hanya megah, indah, sarat makna dan nilai-nilai sosiokultural, arsitektur bangunan joglo juga dapat meredam gempa. Bagaimana desainnya? Sebuah bangunan joglo yang menimbulkan interpretasi arsitektur Jawa mencerminkan ketenangan, hadir di antara bangunan- bangunan yang beraneka ragam. Interpretasi ini memiliki ciri pemakaian konstruksi atap yang kokoh dan bentuk lengkung-lengkungan di ruang per ruang. Rumah adat joglo yang merupakan rumah peninggalan adat kuno dengan karya seninya yang

bermutu memiliki nilai arsitektur tinggi sebagai wujud dan kebudayaan daerah yang sekaligus merupakan salah satu wujud seni bangunan atau gaya seni bangunan tradisional. Joglo merupakan kerangka bangunan utama dari rumah adat Kudus terdiri atas soko guru berupa empat tiang utama dengan pengeret tumpang songo (tumpang sembilan) atau tumpang telu (tumpang tiga) di atasnya. Struktur joglo yang seperti itu, selain sebagai penopang struktur utama rumah, juga sebagai tumpuan atap rumah agar atap rumah bisa berbentuk pencu.

Konstruksi Rumah Joglo Pada arsitektur bangunan rumah joglo, seni arsitektur bukan sekadar pemahaman seni konstruksi rumah, juga merupakan refleksi nilai dan norma masyarakat pendukungnya. Kecintaan manusia pada cita rasa keindahan, bahkan sikap religiusitasnya terefleksikan dalam arsitektur rumah dengan gaya ini. Pada bagian pintu masuk memiliki tiga buah pintu, yakni pintu utama di tengah dan pintu kedua yang berada di samping kiri dan kanan pintu utama. Ketiga bagian pintu tersebut memiliki makna simbolis bahwa kupu tarung yang berada di tengah untuk keluarga besar, sementara dua pintu di samping kanan dan kiri untuk besan. Pada ruang bagian dalam yang disebut gedongan dijadikan sebagai mihrab, tempat Imam memimpin salat yang dikaitkan dengan makna simbolis sebagai tempat yang disucikan, sakral, dan dikeramatkan. Gedongan juga merangkap sebagai tempat tidur utama yang dihormati dan pada waktuwaktu tertentu dijadikan sebagai ruang tidur pengantin bagi anak-anaknya.

Keindahan Rumah Joglo Ruang depan yang disebut jaga satru disediakan untuk umat dan terbagi menjadi dua bagian, sebelah kiri untuk jamaah wanita dan sebelah kanan untuk jamaah pria. Masih pada ruang jaga satru di depan pintu masuk terdapat satu tiang di tengah ruang yang disebut tiang keseimbangan atau

soko geder, selain sebagai simbol kepemilikan rumah, tiang tersebut juga berfungsi sebagai pertanda atau tonggak untuk mengingatkan pada penghuni tentang keesaan Tuhan. Begitu juga di ruang dalam terdapat empat tiang utama yang disebut soko guru melambangkan empat hakikat kesempurnaan hidup dan juga ditafsirkan sebagi hakikat dari sifat manusia. Untuk membedakan status sosial pemilik rumah, kehadiran bentangan dan tiang penyangga dengan atap bersusun yang biasanya dibiarkan menyerupai warna aslinya menjadi ciri khas dari kehadiran sebuah pendopo dalam rumah dengan gaya ini, tutur Zulfikar Latief, pemilik galeri Rumah Jawa, yang menyediakan rumah adat joglo dan furnitur etniknya. Kesan yang akan timbul dari arsitektur bangunan tradisional joglo sering kali terasa antik dan kuno, hal ini timbul melalui kehadiran perabot hingga pernak-pernik pendukung bernuansa lawas yang dibiarkan apa adanya. Namun, dalam penataan hunian bergaya ini tidak ada salahnya bila dikombinasikan dengan gaya modern maupun minimalis. (chaerunnisa/sindo/via) sumber: http://www.okezone.com

kebudayaan jawa dan rumah joglo

Rumah Joglo (Yogyakarta) Rumah bagi orang Jawa merupakan patokan tentramnya suatu keluarga, sebab dengan sudah mampu memiliki rumah, keluarga tersebut sudah merasa tenang, tidak harus nyewa atau ngindung (numpang). Rumah-rumah yang ada di daerah perkotaan sangat padat, sehingga hampir tidak ada batas atau garis pemisah antara rumah satu dengan lainnya. Berbeda dengan rumah-rumah yang ada di daerah pedesaan, yang penduduknya masih memiliki pekarangan cukup luas, maka batas antar rumah sangat jelas, misalnya dibatasi pagar, pohon atau tanaman. Dahulu hanya orang yang tergolong dan terpandang dalam masyarakatlah, yang dapat membangun rumah joglo yang besar dan megah. Berbeda dengan orang biasa, pada umumnya mereka membangun rumah setengah permanen, atau rumah bentuk kampung ata rumah limasan sederhana. Perbedaan dari sebutan rumah itu dilihat dari atapnya dan kelengkapan ruangan dalam satu rumah. Tapi sekarang Rumah Joglo sudah dapat dibuat oleh golongan manapun asalkan cukup biayanya. Bentuk Rumah Orang Jawa menyebut rumah omah yang berarti tempat tinggal. Bentuknya empat persegi panjang atau bujur sangkar. Bentuk rumah joglo merupakan bentuk rumah tradisional Jawa yang paling sempurna. Bangunan ini memiliki bentuk dan teknik pembuatan tinggi, sehingga tampak sangat megah dan artistik. Keistimewaan rumah joglo terletak pada empat soko guru yang menyangga blandar tumpang sari. Kemudian bagian kerangka yang disebut brunjung yaitu bagian atas keempat

soko guru atau tiang utama sampai bubungan yang disebut molo atau suwunan. Oleh karenanya rumah joglo banyak membutuhkan kayu sebagai bahan bangunannya. Rumah tradisional Jawa bukanlah berbentuk panggung. Sebagai fondosi (bebatur) dibuat dari tanah yang ditinggikan dan dipadatkan atau diperkeras, yang menurut istilah setempat disebut dibrug. Tiang rumah didirikan di atas ompak, yaitu alas tiang dari batu alam berbentuk persegi empat, bulat atau segi delapan. Pada mulanya rumah joglo hanya bertiang empat seperti yang ada di bagian tengah rumah joglo jaman sekarang (soko guru). Selanjutnya joglo diberi tambahan pada bagian samping dan bagian lain, sehingga tiangnya bertambah sesuai dengan kebutuhan. Susunan Ruangan Dari halaman depan, pertama-tama yang kita temui adalah ruangan lepas terbuka yang disebut pendopo. Ruang ini berfungsi sebagai tempat menerima tamu, pertemuan bila ada musyawarah serta kegiatan kesenian seperti menari, bermain sandiwara atau pementasan wayang. Pada bagian pinggir pendopo, yaitu bagian emperannya dahulu tempat anak-anak perempuan bermain dakon. Pada waktu ada upacara atau pagelaran kesenian, pendopo ini menjadi tempat pertunjukkan. Sementara para undangan duduk di bagian kanan dan kiri ruang pendopo. Ruang terdepan diperuntukkan bagi iringan gamelan atau musik pemilik rumah beserta keluarga duduk dalam ruangan pendopo menghadap keluar searah bangunan. Selanjutnya masuk ke ruangan tengah yang disebut pringgitan, tempat untuk mementaskan wayang (pringgit). Kadang-kadang antara pendopo dan pringgitan dibuat terpisah oleh gang kecil yang disebut longkangan. Ruang tersebut digunakan untuk jalan kendaraan kereta atau mobil keluarga. Bila pendopo bersambung dengan pringgitan, maka untuk pemberhentian kendaraan dibuat di depan pendopo, yang disebut kuncung. Dari ruang tengah kemudian menuju ruang belakang, yang disebut dalem atau omah jero. Ruangan ini berfungsi sebagai ruang keluarga atau tempat menerima tamu wanita. Di kala ada pementasan wayang kulit, dahulu wanita hanya diperbolehkan menyaksikan di balik kelir, di ruangan ini. Di dalem atau rumah jero, terdapat tiga buah kamar atau senthong yaitu senthong kiwo (kiri), senthong tengah dan senthong tengen (kanan). Pada para petani, senthong kiwo berfungsi untuk menyimpan senjata atau barang-barang keramat. Senthong tengah untuk menyimpan benih atau bibit akar-akaran atau gabah. Sedangkan senthong tengen untuk ruang tidur. Kadang-kadang senthong tengah dipakai pula untuk berdoa dan pemujaan kepada Dewi Sri. Oleh karenanya disebut juga pasren atau petanen. Senthong tengah tersebut diberi batas kain yang disebut langse atau gedhek, berhias anyaman yang disebut patang aring. Pada rumah joglo milik bangsawan, senthong tengah ini berisi bermacam-macam benda lambang (perlengkapan) yang mempunyai kesatuan arti yang sakral (suci). Setiap benda memiliki arti lambang kesuburan dan kebahagiaan rumah tangga. Sebelah kiri, kanan dan belakang senthong terdapat gandhok, yaitu bangunan kecil yang digunakan untuk tempat tinggal kerabat. Bila ada upacara atau kenduri, gandhok ini dipakai untuk tempat para wanita mengerjakan segala keperluan dan persiapan upacara terutama mengatur makanan yang sudah dimasak di dapur. Dapur (pawon) terletak di belakang dalem, yang selain untuk memasak, juga berfungsi sebagai tempat menyimpan perkakas dapur serta bahan makanan seperti kelapa, palawija, beras dan sebagainya. Antara gadhok kiri dan kanan dengan dalem, dibuat gerbang kecil yang disebut seketheng.

Ragam Hias Fungsi hiasan pada suatu bangunan adalah untuk memberi keindahan, yang diharapkan dapat memberi ketentraman dan kesejukan bagi yang menempatinya. Pada orang Jawa di Yogyakarta, hiasan rumah tersebut banyak diilhami oleh flora, fauna, dan alam. Pada alas tiang yang disebut umpak, biasanya diberi hiasan terutama umpak pada soko guru. Hiasan tersebut berupa ukiran bermotif bunga mekar, yang disebut Padma. Padma adalah bunga teratai merah sebagai lambang kesucian, kokoh dan kuat yang tidak mudah tergoyahkan oleh segala macam bencana yang menimpanya. Ragam hias lung-lungan merupakan ragam hias yang paling banyak dijumpai. Lung-lungan berarti batang tumbuh-tumbuhan melata yang masih muda. Hiasan ini biasanya diukirkan pada kayu, banyak mengambil gambar bunga teratai, bunga melati, daun markisa dan tanaman lain yang bersifat melata. Semua hiasan itu memberi arti ketentraman, di samping sifat wingit dan angker. Ragam hias saton dan tlacapan merupakan dua kesatuan yang tidak terpisahkan, memberi arti persatuan dan kesatuan. Ragam hias nanasan, mengambil contoh buah nanas yang penuh duri, melambangkan bahwa untuk mendapat sesuatu yang diinginkan, harus mampu mengatasi rintangan yang penuh duri. Ragam hias yang banyak bernuansa fauna banyak mengambil gambar burung garuda, ayam jago, kala, dan ular. Burung garuda merupakan jenis burung yang paling besar yang mampu terbang tinggi di angkasa, melambangkan pemberantas kejahatan. Biasanya ragam hias garuda dipadukan dengan ragam hias ular, karena ular mempunyai unsur jahat. Ragam hias jago yang mengambil gambar ayam jago, memiliki arti penghuni rumah mempunyai andalan pada berbagai bidang, baik anak laki-laki maupun perempuan, sebab andalan itu merupakan kebanggaan seluruh keluarga. Ragam hias perwujudan alam berupa gunung, matahari, dan sebagainya. Ragam hias gunungan berarti hiasan yang bentuknya mirip dengan gunung. Gunungan merupakan lambang alam semesta dengan puncaknya yang melambangkan pula keagungan dan keesaan. Sedangkan kayon atau pohonnya melambangkan tempat berlindung dan ketentraman. Dengan demikian ragam hias tersebut memberi arti bahwa keluarga yang menempati rumah itu dapat berteduh dan mendapatkan ketentraman, keselamatan serta dilindungi Tuhan Yang Maha Kuasa. Ragam hias praba berarti sinar, mengandung arti menyinari tiang-tiang yang terpancang di rumah tersebut, sehingga dapat menyinari rumah secara keseluruhan. Ragam hias mega mendhung berarti awan putih dan awan hitam. Mega mendhung melambangkan dua sisi yang berbeda, seperti ada siang ada malam, laki-laki dan perempuan, baik dan buruk, tegak dan datar, hidup dan mati dan sebagainya. Dengan demikian ragam hias tersebut mengandung makna bahwasannya manusia dalam hidup di dunia ini harus selalu ingat bahwa di dunia ini ada dua sifat yang sangat berbeda, oleh karenanya setiap manusia harus mampu membedakan keduanya dan mana yang lebih bermanfaat dalam hidup sebagai pilihan.

Dewi I (Asdep Pemberdayaan Masyarakat/Proyek Pemanfaatan Kebudayaan) Sumber: www.hupelita.com

Anda mungkin juga menyukai