Anda di halaman 1dari 6

MAKNA SIMBOLIS

PADA TATA RUANG RUMAH JOGLO


1. Pendahuluan
Rumah adat di Indonesia bermacam-macam bentuknya dan mempunyai nilai seni masingmasing. Karena rumah merupakan suatu yang sangat penting, selain sebagai tempat
tinggal rumah berfungsi untuk melindungi dari tantangan alam dan lingkungannya. Kita
juga dapat melakukan aktivitas penting didalamnya, tidak hanya diluar rumah saja.
Dalam berfilosofi, orang Jawa seringkali menggunakan unen-unen untuk menata hidup
manusia, termasuk ketika diaplikasikan ke kehidupan sehari-hari dalam mewujudkan
kebutuhannya akan sandang, pangan dan papan. Dalam hal ini pemenuhan kebutuhan
sarana hidup berupa rumah tinggal tak lepas dari hal-hal yang bersifat filosofis.
Sebagian orang Jawa berusaha menselaraskan beberapa konsep pandangan leluhur,
dengan adab islami, mengenai alam kodrati ( dunia ini ) dan alam adikodrati ( alam gaib
atau supranatural )
Orang Jawa percaya bahwa Tuhan adalah pusat alam semesta dan pusat segala kehidupan
karena sebelum semuanya terjadi di dunia ini Tuhanlah yang pertama kali ada. Tuhan
tidak hanya menciptakan alam semesta beserta isinya tetapi juga bertindak sebagai
pengatur, karena segala sesuatunya bergerak menurut rencana dan atas ijin serta
kehendakNya. Pusat yang dimaksud dalam pengertian ini adalah sumber yang dapat
memberikan penghidupan, keseimbangan dan kestabilan, yang dapat juga memberi
kehidupan dan penghubung individu dengan dunia atas. Pandangan orang Jawa yang
demikian biasa disebut Manunggaling Kawula Lan Gusti, yaitu pandangan yang
beranggapan bahwa kewajiban moral manusia adalah mencapai harmoni dengan kekuatan
terakhir dan pada kesatuan terakhir, yaitu manusia menyerahkan dirinya selaku kawula
terhadap Gusti Allah

1. Arsitektur Rumah Adat Jawa


Berbicara tentang arsitektur rumah adat jawa maka tak lepas dari pengaruh berbagai
budaya yang masuk ke tanah jawa yang mempengaruhi bentuk, macam dan falsafah dari
rumah tradisional orang Jawa. Pengaruh yang datang ke budaya jawa selain berhubungan
dengan adat kebiasaan juga terhadap konsep ketuhanan seperti yang telah disinggung
sebelumnya.
Pada arsitektur bangunan rumah joglo, seni arsitektur bukan sekadar pemahaman seni
konstruksi rumah, juga merupakan refleksi nilai dan norma masyarakat pendukungnya.
Kecintaan manusia pada cita rasa keindahan, bahkan sikap religiusitasnya terefleksikan
dalam arsitektur rumah dengan gaya ini.
Rumah adat Joglo merupakan rumah peninggalan adat yang bernilai seni terutama dari
sisi arsitektural dan merupakan perwujudan kebudayaan daerah dan juga merupakan salah
satu wujud dan gaya seni bangunan tradisional.
Bagian Rumah Adat Jawa ( Joglo )
Istilah Joglo berasal dari kerangka bangunan utama dari rumah adat jawa terdiri atas soko
guru berupa empat tiang utama dengan pengeret tumpang songo (tumpang sembilan) atau
tumpang telu (tumpang tiga) di atasnya. Struktur joglo yang seperti itu, selain sebagai
penopang struktur utama rumah, juga sebagai tumpuan atap rumah agar atap rumah bisa
berbentuk pencu.

Rumah dengan berbagai keindahan dengan karakter khusus ini tampil memikat melalui
kerumitan yang cukup tinggi pada ornamen hias yang ada pada hampir setiap ruang yang ada
pada rumah joglo pencu. Karakter spesifik yang ada tersebut sangat berbeda dengan apa yang
ada di dalam bangunan tradisional yang ada di Jawa pada umumnya.
Perbedaan lain dapat dijumpai pada bentuk ornamen ukir yang diterapkan, pola susunan
ruang dan dimensi yang kemudian berdampak pada proporsi ukuran dari masing-masing
ruangnya. Meskipun ruang yang digunakan sama, tetapi terjadi perbedaan yang cukup besar
pada dimensi-dimensi ruangan yang terjadi jika dibandingkan dengan rumah tradisional Jawa
pada umumnya.
Pada bagian pintu masuk memiliki tiga buah pintu,yakni pintu utama di tengah dan pintu
kedua yang berada di samping kiri dan kanan pintu utama. Ketiga bagian pintu tersebut
memiliki makna simbolis bahwa kupu tarung yang berada di tengah untuk keluarga besar,
sementara dua pintu di samping kanan dan kiri untuk besan.
Pada ruang bagian dalam yang disebut gedongan dijadikan sebagai mihrab, tempat Imam
memimpin salat yang dikaitkan dengan makna simbolis sebagai tempat yang disucikan,
sakral, dan dikeramatkan. Gedongan juga merangkap sebagai tempat tidur utama yang
dihormati dan pada waktuwaktu tertentu dijadikan sebagai ruang tidur pengantin bagi anakanaknya.
Ruang depan yang disebut jaga satru disediakan untuk umat dan terbagi menjadi dua bagian,
sebelah kiri untuk jamaah wanita dan sebelah kanan untuk jamaah pria. Masih pada ruang
jaga satru di depan pintu masuk terdapat satu tiang di tengah ruang yang disebut tiang
keseimbangan atau soko geder, selain sebagai simbol kepemilikan rumah, tiang tersebut juga
berfungsi sebagai pertanda atau tonggak untuk mengingatkan pada penghuni tentang keesaan
Tuhan.
Dari sisi struktural, bangunan tradisional rumah joglo banyak memakai elemen natural di
dalamnya. Joglo disebut memiliki struktur rangka karena memang terlihat batang-batang
kayu yang disusun membentuk rangka. Struktur joglo menerapkan sistem tenda atau tarik.
Hal ini didasarkan pada sistem dan sifat sambungan kayu yang digunakan (cathokan dan ekor
burung), semuanya bersifat mengantisipasi gaya tarik. Sistem struktur tarik inilah yang
membuat joglo bersifat fleksibel sehingga dapat tanggap terhadap gaya-gaya gempa.

Bangunan joglo memiliki soko guru (tiang utama) 4 buah dan 12 buah soko pengarak.
Ruang yang tercipta dari keempat soko guru disebut rong-rongan, yang merupakan struktur
inti joglo. Soko-soko guru disatukan oleh balok-balok (blandar-pengeret dan sunduk-kili) dan
dihimpun-kakukan oleh susunan kayu yang berbentuk punden berundak terbalik di tepi
(tumpangsari) dan berbentuk piramida di tengah (brunjung).
Begitu juga di ruang dalam terdapat empat tiang utama yang disebut soko guru
melambangkan empat hakikat kesempurnaan hidup dan juga ditafsirkan sebagi hakikat dari
sifat manusia.
Susunan kayu ini bersifat jepit dan menciptakan kekakuan sangat rigid. Soko-soko pengarak
di peri-peri dipandang sebagai pendukung struktur inti. Faktor ketiga adalah sistem tumpuan
dan sistem sambungan. Sistem tumpuan bangunan joglo menggunakan umpak yang bersifat
sendi. Hal ini untuk mengimbangi perilaku struktur atas yang bersifat jepit. Sistem
sambungannya tidak memakai paku , tetapi menggunakan sistem lidah alur, memungkinkan
toleransi terhadap gaya-gaya yang bekerja pada batang-batang kayu.
Pemilihan dan penggunaan bahan bangunan adalah faktor keempat. Penggunaan kayu untuk
dinding (gebyok) dan genteng tanah liat untuk atap disebabkan material ini bersifat ringan
sehingga relatif tidak terlalu membebani bangunan.
Sirkulasi keluar masuknya udara pada rumah joglo sangat baik karena penghawaan pada
rumah joglo ini dirancang dengan menyesuaikan dengan lingkungan sekitar. rumah joglo,
yang biasanya mempunyai bentuk atap yang bertingkat-tingkat, semakin ke tengah, jarak
antara lantai dengan atap yang semakin tinggi dirancang bukan tanpa maksud, tetapi tiap-tiap
ketinggian atap tersebut menjadi suatu hubungan tahap-tahap dalam pergerakan manusia
menuju ke rumah joglo dengan udara yang dirasakan oleh manusia itu sendiri.
Ciri khas atap joglo, dapat dilihat dari bentuk atapnya yang merupakan perpaduan antara dua
buah bidang atap segi tiga dengan dua buah bidang atap trapesium, yang masing-masing
mempunyai sudut kemiringan yang berbeda dan tidak sama besar. Atap joglo selalu terletak
di tengah-tengah dan selalu lebih tinggi serta diapit oleh atap serambi. Bentuk gabungan
antara atap ini ada dua macam, yaitu: Atap Joglo Lambang Sari dan Atap Joglo Lambang
Gantung. Atap Joglo Lambang Sari mempunyai ciri dimana gabungan atap Joglo dengan atap

Serambi disambung secara menerus, sementara atap Lambang Gantung terdapat lubang angin
dan cahaya.

DAFTAR PUSTAKA

http://opunx.blogdetik.com/falsafah-jawa/
http://www.okezone.com
Bonnef, Marcel (1983) Islam di Jawa Dilihat Dari Kudus, dalam Citra Masyarakat Indonesia.
Sinar Harapan, Jakarta.
Castles, Lance (1982) Tingkah Laku Agama Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok
Kretek Kudus. Sinar Harapan, Jakarta. Salam, Solikin (1977) Kudus Purbakala Dalam
Perjuangan Islam. Menara Kudus, Kudus. Sardjono, Agung B. (1996)
Rumah-rumah di Kota Lama Kudus. Tesis Program Pascasardjana UGM, Yogyakarta.
Triyanto (1992)
Makna Ruang Pada Rumah Tradisional Kudus. Tesis Program Pasca Sardjana Fak. Sastra
Universitas Indonesia. Wikantari, Ria R. (1995)
Safe Guarding A Lifing Heritage A Model for The Architectural Conservation of an Historic
Islamic District of Kudus Indonesia. Thesis University of Tasmania, Tasmania.

Anda mungkin juga menyukai