Disusun oleh:
Jasmine Meysa Ariella (221501003)
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Dra. Sunarmi, M.Hum.
2023
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan rahmat dan
karunia-Nya, penulis mampu menyelesaikan makalah yang berjudul “ESTETIKA
TRILOKA”. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada baginda kita Nabi besar
Muhammad SAW.Makalah ini dapat terselesaikan tidak lepas dari bantuan dan dukungan
dari berbagai pihak yang tulus dan sabar memberikan sumbangan baik berupa materi
pembahasan, ide, serta bantuan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas wawasan mengenai kajian
konsep triloka dan konsep mandala pada rumah adat Jawa yang penulis sajikan dari berbagai
sumber informasi dan referensi. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki
banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis memohon kritik dan
saran dari dosen pengampu serta para pembaca demi kelancaran pembuatan makalah penulis
di masa yang akan datang.
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebudayaan Jawa terbentuk dan berkembang secara historis dan terus
berlanjut hingga masa kini telah mampu melakukan revisi, reinterpretasi, dan
transformasi di sepanjang perjalanan sejarah kebudayaannya yang telah melewati
beberapa kali pergantian zaman, yaitu zaman prasejarah, zaman sejarah (Jawa Hindu,
Jawa Islam) sampai ke Jawa Baru, dan akhirnya Jawa Modern di era kemerdekaan
Indonesia (Herusatoto, 2008:15). Oleh sebab itu sudut pandang yang digunakan dalam
mengurai konsep Tribuana/Triloka ini yakni Jawa Hindu sesuai pada masanya.
Konsep Tribuana/Triloka dalam ekspresi budaya Jawa tampak melalui
perilaku orang Jawa dalam falsafah kehidupannya yang menggambarkan sisi
kehidupan dengan tiga macam jagad, yaitu jagad atas (alam niskala), jagad tengah
(alam sakala-niskala) dan jagad bawah (alam sakala). Ketiga jagad tersebut harus
diupayakan terus keselarasannya untuk menjaga keseimbangan secara horisontal dan
vertikal (Dharsono, 2007:151). Konsep Tribuana/Triloka merupakan simbolisasi satu
kesatuan dan keseimbangan tiga alam antara alam niskala (alam atas), alam sakala
niskala (alam tengah), dan alam sakala (alam bawah) atau dengan kata lain sering
disebut Bhur Loka, Bhuvah Loka, dan. Svah Loka. Pada dasarnya ketiga alam
tersebut saling berkaitan dan bersirkulasi untuk menjaga kesatuan dan keseimbangan
antara yang satu dengan yang lainnya.
Konsep Mandala berasal dari terminologi Hindu yang secara harafiah berarti
lingkaran. Mandala adalah salah satu bentuk yantra (dapat berupa alat, makna, atau
emblem), berbentuk diagram geometris yang digunakan untuk kepentingan ritual
Seringkali mandala berhubungan dengan atribut ke-llahian secara spesifik, atau
dengan bentuk bentuk mantra yang kemudian memberikan ekspresi visual yang
cenderung spiritual (Cirlot. 2001). Schuyler Van Rensselaer Cammann, penulis buku
Suggested Origin of the Tibetan Mandala Paintings tahun 1950, mengemukakan
bahwa mandala pada awalnya dibawa dari India menuju Tibet oleh guru besar Padma
Sambhava pada Abad ke-8 sebelum Maschi, kemudian ditemukan tersebar luas di
daerah-daerah tersebut, dan selalu dengan pemaknaan menuju kontemplasi dan
konsentrasi,
Menurut Carl Gustav Jung dalam bukunya The Self mandala dipahami juga
sebagai lingkaran, namun lebih jauh lagi, lingkaran magis. la melambangkan titik
pusat dari tujuan hidup atau melambangkan self sebagai keseluruhan psikis. Mandala
merupakan hasil penjelmaan diri dari proses psiskis pemfokusan, penciptaan, dan dari
satu titik pusat baru milik kepribadian (Jung, 1987 (terj.)). Maka dari itu, tidak ada
satu pun mandala yang identik satu sama lainnya, hal ini dikarenakan hadirnya konsep
diri dari author atas mandala tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kajian rumah tradisi Jawa sebagai tuntutan dan tontonan?
2. Bagaimana kajian Konsep Triloka pada Rumah Tradisi Jawa?
3. Bagaimana kajian Konsep Mandala pada Rumah Tradisi Jawa?
BAB II
PEMBAHASAN
Adapun kajian rumah tradisi Jawa sebagai tontonan yaitu dapat dipahami bahwa
benda secara visual indah dilihat. Di sini saya akan mengambil ornamen yang terdapat
pada rumah tradisi Jawa.
1. Flora
a) Lung-Lungan
Berasal dari kata “Lung” yang berarti batang tumbuhan yang melata dan
masih muda sehingga berbentuk lengkung. Peletakan Berada pada Balok rumah,
pemidangan, tebeng pintu,jendela,daun pintu, patang aring.
b) Saton
Berasal dari kata ‘Satu” ialah nama jenis makanan berbentuk kotak dengan
hiasan daun/bunga. Memiliki Warna dasar: merah tua, hijau tua; warna lung-
lungan: kuning emas,sunggingan. Peletakan berada pada Tiang bag. Bawah, balok
blandar, sunduk, pengeret, tumpang, ander,pengisipada ujung dan pangkal.
c) Wajikan
Seperti irisan wajik yang berbentuk belah ketupat sama sisi, isinya berupa
daun yang memusat/bunga. Memiliki Warna dasar: merah tua, Warna: kuning
emas.Peletakan pada Tiang tengah/ titik persilangan kayu/sudut.
d) Nanasan
e) Tlacapan
Berasal dari kata “tlacap”, brupa deretan segi tiga. Memiliki warna dasar:
merah tua, hijau tua; warna lung-lungan: kuning emas,sunggingan. Terletak pada
pangkal dan ujung balok kerangka bangunan
f) Kebenan
Dari kata keben yaitu tuah berbentuk empat meruncing Bagai mahkota.
Memiliki Warna dasar: merah tua Warna: kuning emas, terletak pada Kancing
blandar tumpang ujung bawah.
g) Patron
Dari kata ‘patra’ yang berarti daun, memiliki warna polos atau sunggingan,
terletak pada Balok-balok kerangka bangunan, blandar.
h) Padma
Berasal dari bentuk profil singgasana budha yang berbenyuk bunga padma.
Memiliki Warna polos/ sunggingan, terletak pada Upak, sebagai alas tiang.
2. Fauna
a) Kemamang
Arti menelan segala sesuatu yang bersifat jahat yang hendak masuk, memiliki
warna polos atau sunggingan, terletak pada pintu regol.
b) Peksi garuda
c) Jago
Melambangkan kejantanan, keberanian. Memiliki Warna polos/ sunggingan
terletak Bubungan rumah.
d) Mirong
3. Alam
a) Gunungan
Sering disebut kayon yang artinyamirip gunungan, memiliki warna natural,
terletak pada Tengah bubungan rumah.
b) Makutha
c) Praba
Berasal dari kata praba yang berarti sinar, memiliki warna emas, terletak pada
Tiang bangunan utama, pada bagian bawah.
d) Kepetan
Berasal dari kata kepet berarti kipas, agar mendapat penerangan dalam hidup.
Memiliki warna polos, terletak pada Diatas pintu utama (tebeng).
e) Panah
Maksud agar rumah mendapat keamanan, arah panah menuju 1 titik. Memiliki
Warna polos, terletak pada Diatas pintu utama (tebeng).
f) Mega Mendhung
Berarti awan putih dan hitam, dunia ada yang baik dan buruk. Memiliki
Warna: polos, kuning emas, gelap terang. Terletak pada Hiasan tebeng pintu,
jendela.
g) Banyu Tetes
4. Anyaman
Tidak memiliki arti tertentu, hanya unutk keindahan. Memiliki Warna polos,
terletak pada Dinding atau sekat, daun pintu
Gambar 1
Jika dikaitkan dengan ajaran agama Hindu, salah satu konsepnya adalah triloka yaitu
membagi ruang atas tiga bagian secara vertikal. Bhurloka adalah gambaran dari alam
dunia bawah, Bwahloka merupakan gambar dari dunia tengah Di mana pondasi atau
umpak merupakan gambaran dari dunia bawah Bhahloka.
Gambar 2
3. Konsep Mandala pada Rumah Tradisi Jawa
Struktur bangunan rumah Jawa merupakan susunan ruang yang mencerminkan satu
bangunan khas seperti pendhapa, pringgitan, dalem, dapur, gandhok, dan gadri. Relasi
antarsusunan ini merupakan struktur yang proses perwujudan- nya sangat dipengaruhi
oleh mitologi dan kosmologi Jawa (Suhardi, 2004:28). Ini berarti bahwa rumah
tradisional Jawa bukan sekedar tempat untuk berteduh (fungsi praktis), melainkan juga
dimaknai sebagai bentuk perwujudan dari cita-cita dan pandangan hidupnya atau fungsi
simbolis (Santosa, 2000:68).
Dalam konsepsi joglo yang memiliki empat saka guru atau tiang utama, dalam konsep
Jawa susunan memusat yang kelilingi empat elemen yang bertalian dalam satu kesatuan
struktur merupakan bentuk konkret pandangan orang Jawa tentang papat kiblat lima
pancer. Struktur tersebut menggambarkan mandala yang susunannya meliputi empat
anasir yang di tengahnya terdapat pancer sebagaimana dikatakan orang ahli bangunan
Jawa:
bahwa semua yang diciptakan Tuhan Yang Esa selalu bermula dari empat sudut dan satu
yang berasal dari tengah yang orang Jawa menyebut empat kiblat lima pancer. Semua
kejadian berasal dari lima penjuru tersebut. Rumah joglo adalah merupakan wujud yang
dianggap mikro tetapi juga makro bagi alam raya. Ia merupakan peniruan alam, maka
harus berpijak pada pedoman pajupat dimana dalem adalah titik pusatnya yang dikelilingi
bangunan lainnya.
Rumah tradisi Jawa memiliki beberapa ruangan yang simetris dan terdapat hierarki
ruang di dalamnya. Dari luar terdapat ruang publik yang bersifat umum, semakin ke
dalam ruangan yang ada bersifat pribadi (private). Bagian luar yang disebut teras
merupakan ruangan terbuka tanpa atap. Teras juga merupakan ruang publik sebagai area
peralihan dari luar ke dalam rumah.
Gambar 3 (teras)
Gambar 4 (pendhapa)
Pendhapa menggambar- kan gaya hidup masyarakat Jawa yang rukun. Bentuk salah
satu ruang dalam rumah tradisi Jawa tersebut memperlihatkan adanya konsep 1 filosofis
tentang makna ruang yang dalam dengan keberadaan pendhapa sebagai perwujudan
konsep kerukunan dalam gaya hidup masyarakat 1 Jawa. Pendhapa tidak hanya sekadar
sebuah tempat, tetapi mempunyai makna filosofis yang lebih mendalam, yaitu sebagai
tempat untuk mengaktualisasi suatu bentuk/konsep kerukunan antara penghuni dengan
kerabat dan masyarakat sekitarnya (Hidayatun, 1999:7). Pendhapa merupakan aplikasi
sebuah ruang publik dalam masyarakat Jawa.
Pringgitan merupakan ruang peralihan antara area publik dan privat yang terletak di
antara pendhapa dan dalem ageng. Pringgitan juga berfungsi sebagai tempat pertunjukan
wayang kulit apabila ada acara khitanan, ruwatan, perkawinan, dan sebagainya. Ruangan
yang disebut dalem ageng merupakan ruang privat (pribadi), yang salah satu fungsinya
adalah sebagai ruang berkumpul seluruh anggota keluarga. Bentuk ruangan ini persegi
dengan dilingkupi dinding pada setiap sisinya.
Gambar 5 (pringgitan)
Di dalam ruangan dalem ageng terdapat tiga petak ruangan yang berukuran sama
besar yang disebut senthong. Senthong kiwa dan senthong tengen di sisi kanan dan kiri
merupakan tempat tidur anggota keluarga pria dan wanita, sedangkan senthong tengah
merupakan senthong paling sakral/suci. Senthong tengah atau krobongan merupakan
tempat pemujaan kepada Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan dan kebahagiaan rumah
tangga. Senthong tengah merupakan area paling privat (pribadi) bagi pemilik rumah
tradisi Jawa.
Gambar 6 (senthong)
Bagian rumah lain yang bersifat privat adalah gandhok, pawon, dan pekiwan.
Gandhok merupakan ruangan belakang yang memanjang di sisi dalem ageng dan
pringgitan. Pawon merupakan bangunan di belakang dalem ageng dan terletak jauh dari
tempat paling suci (senthong tengah/krobongan) yang berfungsi sebagai dapur. Ruangan
yang berfungsi sebagai WC adalah pekiwan. Ruangan-ruangan yang dianggap "kotor" ini
diletakkan jauh-jauh dari ruangan- ruangan utama sebelumnya, seperti dalem ageng atau
krobongan sebagai tempat suci pemujaan Dewi Sri.
KESIMPULAN
Pengaruh Hinduisme sangat kental dalam budaya Jawa. Jika dikaitkan dengan ajaran
agama Hindu, salah satu konsepnya adalah triloka yaitu membagi ruang atas tiga bagian
secara vertikal. Bhurloka adalah gambaran dari alam dunia bawah, Bwahloka merupakan
gambar dari dunia tengah Di mana pondasi atau umpak merupakan gambaran dari dunia
bawah Bhahloka.
Dalam konsepsi joglo yang memiliki empat saka guru atau tiang utama, dalam konsep
Jawa susunan memusat yang kelilingi empat elemen yang bertalian dalam satu kesatuan
struktur merupakan bentuk konkret pandangan orang Jawa tentang papat kiblat lima pancer.
Struktur tersebut menggambarkan mandala yang susunannya meliputi empat anasir yang di
tengahnya terdapat pancer sebagaimana dikatakan orang ahli bangunan Jawa:
Bahwa semua yang diciptakan Tuhan Yang Esa selalu bermula dari empat sudut dan
satu yang berasal dari tengah yang orang Jawa menyebut empat kiblat lima pancer. Semua
kejadian berasal dari lima penjuru tersebut. Rumah joglo adalah merupakan wujud yang
dianggap mikro tetapi juga makro bagi alam raya. Ia merupakan peniruan alam, maka harus
berpijak pada pedoman pajupat dimana dalem adalah titik pusatnya yang dikelilingi
bangunan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Meylinda, M., Tulistyantoro, L., & Suprobo, F. P. (2018). Relasi antara Kepercayaan dan
Hunian Masyarakat Jawa di Kediri Jawa Timur. Intra, 6(2), 557-562.
Djono, D., Utomo, T. P., & Subiyantoro, S. (2012). Nilai kearifan lokal rumah tradisional
jawa. Humaniora, 24(3), 269-278.