Anda di halaman 1dari 21

(http://www.hdesignideas.

com/2011/01/tata-
ruang-rumah-adat-jawa-tengah.html)
 

tata ruang rumah rakyat biasa

tata ruang rumah bangsawan

http://www.wacana.co/2009/01/filosofi-rumah-tradisional-jawa/

Bangunan tradisi atau rumah adat merupakan salah satu


wujud budaya yang bersifat konkret. Dalam konstruksi,
setiap bagian/ruang dalam rumah adat sarat dengan nilai
dan norma yang berlaku pada masyarakat pemilik
kebudayaan tersebut. Begitu juga dengan rumah tradisional
Jawa. Konstruksi bangunannya khas dengan fungsi.

Akibat perubahan masyarakat dewasa ini, tradisi-tradisi


lama cenderung ditinggalkan. Hal ini terjadi akibat
perubahan pola pikir yang didukung oleh perubahan sosial
dan lingkungan masyarakat. Begitu pula dengan rumah
tradisional yang semakin jarang ditemukan.

Di perkotaan pada umumnya, masyarakat lebih nyaman


membangun rumah dengan konsep modern atau tinggal di
perumahan dan apartemen. Tidak hanya di kota, masyarakat
pedesaan pun mulai mengubah tempat tinggalnya menjadi
bangunan modern.

Perubahan tersebut tentu saja disesuaikan dengan


kebutuhan saat ini. Maka tidak mengherankan apabila
generasi muda etnis Jawa sendiri tidak mengenal secara
mendalam tentang rumah adat Jawa. Selain sulit untuk
menemukan rumah tersebut di lingkungan tempat
tinggalnya, sedikit sekali sumber informasi yang bisa mereka
peroleh.

Banyak bangunan bernilai historis ber-arsitektur Jawa


maupun etnis lain yang tidak terpelihara atau bahkan
dibongkar karena tidak dapat difungsikan lagi dan diganti
dengan gedung/bangunan modern.

Dan Menariknya, kini rumah Tradisional, khususnya rumah


tradisional Jawa banyak diminati oleh mereka yang
mengerti tentang estetika di atas rasa cinta terhadap budaya.
Rumah Tradisional Jawa

Rumah tradisional Jawa masih bisa ditemukan pada


Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta. berciri tropis
sebagai upaya penyesuaian terhadap kondisi lingkungan
yang beriklim tropis.

Salah satu bentuk penyesuaian terhadap kondisi tersebut


dengan membuat teras depan yang luas, terlindung dari
panas matahari oleh atap gantung yang lebar, mengembang
ke segala sudut yang terdapat pada atap joglo (Indrani,
2005: 47).

Menurut Rahmanu Widayat (2004: 2) Rumah tradisional


Jawa yang bentuknya beraneka ragam mempunyai
pembagian ruang yang khas yaitu terdiri
dari pendopo, pringgitan, dan dalem.

Terjadi penerapan prinsip hirarki dalam pola penataan


ruangnya. Setiap ruangan memiliki perbedaan nilai, ruang
bagian depan bersifat umum (publik) dan bagian belakang
bersifat khusus (pribadi/privat).

Uniknya, setiap ruangan dari bagian teras, pendopo sampai


bagian belakang (pawon dan pekiwan) tidak hanya memiliki
fungsi tetapi juga sarat dengan unsur filosofi hidup etnis
Jawa.

Unsur religi/kepercayaan terhadap dewa diwujudkan


dengan ruang pemujaan terhadap Dewi Sri (Dewi kesuburan
dan kebahagiaan rumah tangga) sesuai dengan mata
pencaharian masyarakat Jawa (petani-agraris).

Ruang tersebut disebut krobongan, yaitu kamar yang selalu


kosong, namun lengkap dengan ranjang, kasur, bantal, dan
guling dan bisa juga digunakan untuk malam pertama bagi
pengantin baru (Widayat, 2004: 7).
Krobongan merupakan ruang khusus yang dibuat sebagai
penghormatan terhadap Dewi Sri yang dianggap sangat
berperan dalam semua sendi kehidupan masyarakat Jawa.

Rumah tradisional Jawa banyak memengaruhi rumah


tradisional lainnya, diantaranya rumah abu (bangunan yang
didirikan oleh keluarga semarga dan digunakan sebagai
rumah sembahyang dan rumah tinggal untuk menghormati
leluhur etnis Cina). Oleh karena itu, struktur rumah abu
memiliki banyak persamaan dengan rumah tradisional Jawa
dalam berbagai segi.

Tulisan ini akan mengungkap konstruksi rumah tradisional


Jawa secara fisik dan meninjau-nya dari segi filosofis
masyarakat Jawa. Bangunan atau rumah tradisional tidak
hanya dibangun sebagai tempat tinggal tetapi juga
diharapkan membawa kebahagiaan dan kesejahteraan bagi
penghuninya melalui penggabungan unsur makrokosmos
dan mikrokosmos di dalam rumah tersebut.

Dengan demikian diharapkan keseimbangan hidup tercapai


dan membawa dampak positif bagi penghuninya.
Mendalami unsur filosofis dalam rumah tradisional Jawa
membuka kemungkinan usaha generasi muda sebagai
pewaris kebudayaan di masa yang akan datang untuk
memelihara dan melestarikan warisan generasi
pendahulunya.
Konstruksi Rumah Tradisional Jawa
Konstruksi Rumah Tradisional Jawa

Rumah tradisional Jawa mengalami beberapa fase


perubahan yang panjang. Salah satunya adalah bangunan
rumah Jawa yang terdapat pada relief-relief  Candi
Borobudur berbentuk rumah panggung (Widayat, 2004: 4).

Teras dan Pendopo

Di bagian depan, rumah tradisional Jawa memiliki teras


yang tidak memiliki atap dan pendopo (pendhapa) yaitu
bagian depan rumah yang terbuka dengan empat tiang (saka
guru) yang merupakan tempat tuan rumah menyambut dan
menerima tamu-tamunya.

Bentuk pendopo umumnya persegi, di mana denah


berbentuk segi empat selalu diletakkan dengan sisi panjang
ke arah kanan-kiri rumah sehingga tidak memanjang ke
arah dalam tetapi melebar ke samping (Indrani, 2005: 7).

Pendopo pada rumah Jawa terbuka tanpa pembatas pada


keempat sisinya, hal ini melambangkan sikap keterbukaan
pemilik rumah terhadap siapa saja yang datang.

Pendopo biasanya dibangun lebih tinggi dari halaman, ini


dimaksudkan untuk memudahkan penghuni menerima
tamu, bercakap-cakap sambil duduk bersila di lantai beralas
tikar sesuai tradisi masyarakat Jawa yang mencerminkan
suasana akrab dan rukun.

Bentuk salah satu ruang dalam rumah tradisional Jawa


tersebut memperlihatkan adanya konsep filosofis tentang
makna ruang yang dalam di mana keberadaan pendopo
sebagai perwujudan konsep kerukunan dalam gaya hidup
masyarakat Jawa.

Pendopo tidak hanya sekadar sebuah tempat tetapi


mempunyai makna filosofis yang lebih mendalam, yaitu
sebagai tempat untuk mengaktualisasi suatu bentuk/konsep
kerukunan antara penghuni dengan kerabat dan masyarakat
sekitarnya (Hidayatun, 1999:7). Pendopo merupakan
aplikasi sebuah ruang publik dalam masyarakat Jawa.

Pringgitan

Ruang yang masih berfungsi sebagai ruang publik adalah


ruang peralihan dari pendopo menuju ke dalem
ageng disebut pringgitan, yang juga berfungsi sebagai
tempat mengadakan pertunjukan wayang kulit pada acara-
acara tertentu.

Pringgitan memiliki makna konseptual yaitu tempat untuk


memperlihatkan diri sebagai simbolisasi dari pemilik rumah
bahwa dirinya hanya merupakan bayang-bayang atau
wayang dari Dewi Sri (dewi padi) yang merupakan sumber
segala kehidupan, kesuburan, dan kebahagiaan (Hidayatun,
1999:39).

Menurut Rahmanu Widayat (2004: 5), pringgitan adalah


ruang antara pendhapa  dan dalem  sebagai tempat untuk
pertunjukan wayang (ringgit), yaitu pertunjukan yang
berhubungan dengan upacara ruwatan untuk
anak sukerta (anak yang menjadi mangsa Bathara Kala,
dewa raksasa yang maha hebat).
Dalem Ageng

Semakin masuk ke bagian dalam rumah tradisional Jawa,


semakin menunjukkan hierarki dalam pola penataan
ruangnya. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya,
semakin masuk ke bagian belakang ruangan tersebut
bersifat khusus (pribadi/privat).

Bagian dalam dari rumah tradisional Jawa disebut dalem


ageng. Ruangan ini berbentuk persegi yang dikelilingi oleh
dinding pada keempat sisinya.

Dalem ageng merupakan bagian terpenting dalam rumah


tradisional Jawa sebab di dalamya terdapat
tiga senthong atau tiga kamar. Tiga senthong  tersebut
dinamakan senthong kiwa, senthong tengah dan senthong
tengen. Senthong tengah dinamakan juga krobongan yaitu
tempat untuk menyimpan pusaka dan tempat pemujaan
terhadap Dewi Sri.

Senthong tengah atau krobongan merupakan tempat paling


suci/privat bagi penghuninya.
Sedangkan senthong kiwa dan senthong tengen berfungsi
sebagai ruang tidur anggota keluarga.

Senthong kiwa merupakan ruang tidur anggota keluarga


laki-laki dan senthong tengen berfungsi sebagai ruang tidur
anggota keluarga perempuan. Berikut ini denah pembagian
ruangan dalam rumah tradisional Jawa:
Krobongan

Kepercayaan masyarakat Jawa terhadap Dewi Sri tidak lepas


dari kehidupan mereka yang agraris. Dewi Sri merupakan
dewi kesuburan yang berperan penting dalam menentukan
kesejahteraan masyarakat agraris (para petani). Agar dalam
berusaha lancar maka perlu menyediakan tempat yang
khusus di rumahnya untuk menghormati Sang Tani.

Y.B. Mangunwijaya (1992 : 108) menjelaskan yang dimaksud


dengan Sang Tani adalah bukan manusia si petani pemilik
rumah, melainkan para dewata, atau tegasnya Dewi Sri.

Di dalam dalem atau krobongan disimpan harta pusaka


yang bermakna gaib serta padi hasil panen pertama, Dewi
Sri juga dianggap sebagai pemilik dan nyonya rumah yang
sebenarnya.

Di dalam krobongan terdapat ranjang, kasur, bantal, dan


guling, adalah kamar malam pertama bagi para pengantin
baru, hal ini dimaknai sebagai peristiwa kosmis
penyatuan Dewa Kamajaya  dengan Dewi Kama
Ratih yakni dewa-dewi cinta asmara
perkawinan(Mangunwijaya, 1992: 108).

Di dalam rumah tradisional Jawa bangsawan


Yogyakarta, senthong tengah atau krobongan  berisi
bermacam-macam benda-benda lambang (perlengkapan)
yang mempunyai kesatuan arti yang sakral (suci).

Macam-macam benda lambang itu berbeda dengan benda-


benda lambang petani. Namun keduanya mempunyai arti
lambang kesuburan, kebahagiaan rumah tangga yang
perwujudan-nya adalah Dewi Sri (Wibowo dkk., 1987 : 63).
Bangsal Witana dengan Krobongan Bale Manguneng

Gandhok dan Pawon

Ruangan di bagian belakang dinamakan gandhok yang


memanjang di sebelah kiri dan
kanan pringgitan dan dalem. Juga terdapat pawon yang
berfungsi sebagai dapur dan pekiwan  sebagai wc/toilet.
Ruangan-ruangan tersebut terpisah dari ruangan-ruangan
utama, apalagi dari ruangan yang bersifat sakral/suci bagi
penghuninya.

Pola organisasi ruang dalam rumah tradisional Jawa dibuat


berdasarkan tingkatan atau nilai masing-masing ruang yang
ter-urut mulai dari area publik menuju area private atau
sakral. Pembagian ruang simetris dan menganut pola closed
ended plan yaitu simetris keseimbangan yang berhenti
dalam suatu ruang, yaitu senthong  tengah (Indrani, 2005:
11).

Dewi Sri dalam Krobongan  Rumah Tradisional


Jawa

Dewi Sri sangat akrab dengan masyarakat agraris Jawa. Bagi


mereka, Dewi Sri merupakan icon sekaligus tokoh penting
yang sangat berperan dalam menentukan hasil panen-nya
nanti. Maka tidak aneh apabila di rumah pribadi mereka,
terdapat tempat khusus yang digunakan sebagai tempat
pemujaan terhadap Dewi Sri. Selain itu, Dewi Sri juga
dikenal sebagai lambang kesuburan dan kesejahteraan
rumah tangga.

Dewi Sri dalam buku Sejarah Wayang Purwa (Hardjowirogo,


1982 : 72) dijelaskan Dewi Sri adalah putri Prabu
Srimahapunggung dari negara Medangkamulan. Dewi Sri
bersaudara laki-laki yang bernama Raden Sadana.
Penggambaran Dewi Sri dalam Wayang Purwa

Dewi Sri meninggalkan Medangkamulan untuk menyusul


saudaranya yang menolak untuk dikawinkan. Ia mendapat
berbagai cobaan dalam perjalanannya. Seorang raksasa
terus menggodanya.

Setelah itu ia dikutuk menjadi ular sawah oleh ayahnya


namun kemudian ia berhasil kembali menjadi Dewi Sri
seperti semula. Selama perjalanan, Dewi Sri banyak
mendapat pengalaman yang berhubungan dengan pertanian.

Menurut Lombard (1996: 82), walaupun mitos Dewi Sri


berasal dari India namun di beberapa pulau di Nusantara
yang tidak tersentuh pengaruh India pun mengenal sosok
Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan.

Ceritanya pun hampir sama, yaitu Dewi Sri yang


dikorbankan lalu dari seluruh bagian tubuhnya tumbuh
berbagai tanaman budidaya yang utama seperti padi. Mitos
tersebut sangat kental dengan pengaruh Hindu.

Hal ini bisa saja terjadi akibat adanya asimilasi antara


Kepercayaan Asli dan Hindu. Hasilnya muncul seorang
tokoh simbolik kaum petani Jawa, yang melindungi
tanaman padinya terhadap gangguan-gangguan hama
tanaman padi, yang dianggap berasal dari
para lelembut atau jin mrekayangan  (Widayat, 2004: 10).

Berbagai cerita padi muncul di Jawa sebelum datangnya


pengaruh Hindu dan ada kemungkinan cerita tersebut
setelah datangnya paham Hindu diubah dan disesuaikan
dengan ajaran Hindu.

Penghormatan terhadap Dewi Sri juga dilakukan dalam


upacara-upacara adat. Salah satunya adalah upacara bersih
desa. Dalam upacara tersebut digelar pertunjukan wayang
kulit dengan lakon berjudul Srimantun yang
menggambarkan reinkarnasi Dewi Sri sebagai Dewi
Kemakmuran dan anugerah dari dewata terhadap negara
agar menjadi negara yang makmur dan sejahtera serta tidak
kekurangan apapun.

Untuk upacara bersih desa biasanya dipersembahkan


sesajian yang diletakkan di dekat sawah antara lain terdiri
atas :

1. Kelapa muda
2. Nasi dan telur ayam (puncak manik )
3. Rujak manis (pisang, asam)
4. Ketupat
5. Lepet
6. Cermin
7. Minyak kelapa
8. Minyak wangi (Widayat, 2004: 13).

Krobongan sebagai ruangan khusus sebagai bentuk


penghormatan terhadap Dewi Sri memiliki makna yang
terdapat pada setiap benda yang ada di dalamnya.

Padi; Dewi Sri merupakan Dewi Kesuburan dan


dilambangkan oleh apdi di dalam krobongan.

Patung Loro-Blonyo;  patung mempelai pria dan wanita adat


Jawa ini diletakkan di depan krobongan yang
melambangkan kebahagiaan suami istri dan lambang
kesuburan.

Pusaka/keris; pusaka/keris yang merupakan benda suci


maka akan diletakkan di tempat suci  pula
seperti krobongan.

Kain Cindai/patola India; penutup tempat tidur dan bantal


serta guling di dalam krobongan merupakan kain
cindai/patola India. Karena memiliki pola yang sarat dengan
makna Hindu (pola jlamprang dan cakra-senjata Dewa
Wisnu dan delapan tataran yoga)maka kain ini dianggap
memiliki kesaktian dan keberadaannya pun dikeramatkan.

Hiasan Naga; hiasan naga pada krobongan muncul setelah


mendapat pengaruh Hindu. Cerita Amertamanthana (dalam
cerita Mahabarata) yang menceritakan sewaktu ular Basuki
melilit pada pinggang gunung Mandara yang membantu
untuk keluarnya air amerta  (abadi) yang dibutuhkan para
dewa untuk diminum (Wibowo dkk., 1987 : 157).
Sebelum datangnya Hindu ke Nusantara (zaman
Neolitikum), dunia dianggap memiliki dua bagian yaitu
dunia atas dan dunia bawah yang memiliki sifat-sifat
bertentangan.

Dunia atas dilambangkan dengan matahari, terang, atas,


rajawali, kuda sedangkan dunia bawah dilambangkan
dnegan gelap, bumi, bulan, gelap, air, ular, kura-kura, buaya
(Soegeng, 1957 : 11).

Berdasarkan kepercayaan neolitikum dan cerita


Mahabarata, ular selalu dikaitkan dengan air Makna hiasan
ular pada krobongan merupakan simbol agar dalam bertani
tidak akan kekurangan air (Widayat, 2004: 17).

Hiasan Burung Garuda; hiasan garuda


pada krobongan merupakan simbol penyeimbang dari
hiasan naga atau ular yang melmbangkan dunia bawah,
maka garuda melambangkan dunia atas. Selain itu, burung
garuda mengingaktkan pada cerita Gurudeya.

Burung garuda yang merupakan anak Winata


menyelamatkan ibunya dari perbudakan dan menjadikan
para dewa tidak mati. Dalam cerita tersebut, burung garuda
menjadi sosok pemberantas kejahatan, dan hal inilah yang
diharapkan sehingga hiasan burung garuda diletakkan
pada krobongan  (Widayat, 2004: 17).
Rumah Tradisional Jawa

Simpulan

Rumah tradisional Jawa memiliki beberapa ruangan yang


simetris dan terdapat hierarki ruang di dalamnya. Dari luar
terdapat ruang publik yang bersifat umum, semakin ke
dalam ruangan yang ada bersifat pribadi (private).

Bagian luar yang disebut teras merupakan ruangan terbuka


tanpa atap. Teras juga merupakan ruang publik sebagai area
peralihan dari luar ke dalam rumah.
Ruangan selanjutnya yaitu Pendopo yang masih berfungsi
sebagai ruang publik, di ruangan inilah biasanya tuan rumah
menerima tamu-tamunya. Pendopo memiliki bentuk
ruangan persegi dan memiliki empat tiang (soko guru) yang
terdapat di tengah-tengah pendopo.

Ruangan ini tidak memiliki pembatas pada keempat sisinya,


hal ini melambangkan keterbukaan pemiliknya terhadap
siapa saja yang datang. Pendopo menggambarkan gaya
hidup masyarakat Jawa yang rukun.

Pringgitan merupakan ruang peralihan antara area publik


dan privat, yaitu terletak diantara pendopo dan dalem
ageng. Pringgitan  juga berfungsi sebagai tempat
pertunjukan wayang kulit apabila ada acara khitanan,
ruwatan, perkawinan, dsb. Ruangan yang disebut dalem
ageng merupakan ruang privat (pribadi), salah satu
fungsinya sebagai ruang berkumpul-nya seluruh anggota
keluarga.

Bentuk ruangan ini persegi dengan dilingkupi dinding pada


setiap sisinya. Di dalam ruangan dalem ageng terdapat tiga
petak ruangan yang berukuran sama besar disebut senthong.

Senthong kiwa dan senthong tengen  di sisi kanan dan kiri


merupakan tempat tidur anggota keluarga pria dan wanita,
sedangkan senthong tengah merupakan senthong paling
sakral/suci. Senthong tengah atau krobongan merupakan
tempat pemujaan kepada Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan
dan kebahagiaan rumah tangga. Senthong
tengah merupakan area paling privat (pribadi) bagi pemilik
rumah tradisional Jawa.
Bagian rumah lain yang bersifat privat
adalah gandhok, pawon dan pekiwan. Gandhok merupakan
ruangan belakang yang memanjang di sisi dalem ageng dan
pringgitan. Sedangkan pawon  merupakan bangunan di
belakang dalem ageng dan terletak jauh dari tempat paling
suci (senthong tengah/krobongan) fungsinya sebagai dapur.

Ruangan yang berfungsi sebagai wc adalah pekiwan.


Ruangan-ruangan yang dianggap ‘kotor’ ini diletakkan jauh-
jauh dari ruangan-ruangan utama sebelumnya,
seperti dalem ageng atau krobongan sebagai tempat suci
pemujaan Dewi Sri.

Krobongan  sebagai tempat suci bagi para penghuni rumah


tradisional Jawa erat kaitannya dengan mitos dan
kepercayaan masyarakat agraris Jawa terhadap Dewi Sri.
Dewi Sri yang melambangkan kesuburan dan kebahagiaan
dalam rumah tangga sangat dekat dengan kehidupan
masyarakat Jawa.

Di ruangan sakral tersebut tersimpan benda-benda pusaka


yang dipercaya memiliki kekuatan magis yang juga disertai
dengan alat-alat penuh makna mistis yang dikaitkan dengan
paham Hindu dan zaman sebelumnya.

Keberadaan krobongan dalam rumah tradisi Jawa


menggambarkan dunia orang Jawa tidak dapat dipisahkan
dari pemahaman tentang keseimbangan makrokosmos dan
mikrokosmos.

Segala sesuatunya selalu dikaitkan dengan kekuatan-


kekuatan alam, sesuatu yang metafisik, sebagaimana orang
Jawa memahami rumah Jawanya. Keseimbangan kosmologi
tersebut dibangun di atas pemahaman yang selalu dalam
bentuk dualitas, seperti adanya siang-malam, panas-dingin,
utara-selatan, dan laki-laki-perempuan; selain itu juga
adanya makna simbolik yang mengacu pada tiga, empat atau
lima kutub.

Anda mungkin juga menyukai