JUDUL :
OLEH :
19/446409/TK/49514
ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
TAHUN 2020
BAB I
LATAR BELAKANG
Negara Indonesia merupakan sebuah negara yang terdiri dari banyak pulau. Dari
pulau – pulau tersebut terdapat berbagai kebudayaan yang dijadikan sebagai ciri khas
wilayah tersebut. Salah satu ciri khas yang menonjol adalah karya arsitektur vernakular yaitu
rumah adat. Setiap rumah adat yang ada di wilayah pulau Indonesia memiliki desain, simbol,
dan makna filosofis yang mencerminkan kebudayaan atau sisi religius masyarakat setempat.
Salah satu Rumah adat yang kaya akan makna – makna simbolis dan filosofis adalah
Rumah adat tradisional Jawa Tengah. Oleh karena itu, rumah adat ini perlu dilestarikan dan
dipahami makna – maknanya.
Rumah adat tersebut dahulu dibangun oleh masyarakat tradisional Jawa Tengah
dengan bersendikan pada ritual, agama, dan spiritual serta hukum – hukum alam semesta.
Oleh karena itu, masyarakat tradisional Jawa Tengah memaknai rumah adat tersebut
sebagai tempat dimana mereka bisa bersosialisasi dengan sesamanya dan berharap selalu
mendapatkan kesejahteraan dan kebahagiaan dari pencipta-Nya.
Maka dari itu, laporan ini ditulis dengan tujuan mengingatkan kembali pada generasi
muda mengenai bagaimana dahulu awal mula arsitektur bangunan di Jawa Tengah,
terutama pada skala horizontal yaitu pembagian ruangnya. Karena, pada dasarnya makna –
makna dari rumah adat tradisonal tersebut sangat menarik untuk dibahas dan dapat
menambah wawasan bagi para arsitek dalam mendirikan bangunan futuristik yang
dikombinasikan dengan bangunan tradisonal sehingga nilai – nilai budaya di suatu wilayah
senantiasa dilestarikan.
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Sumber : https://guratgarut.com/rumah-adat-jawa-tengah/
Bangunan tradisi atau rumah adat merupakan salah satu wujud budaya yang bersifat
konkret. Dalam konstruksinya, setiap bagian atau ruang dalam rumah maupun
konstruksinya sarat akan nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat pemilik kebudayaan
tersebut. Hal yang sama juga terdapat pada rumah adat tradisional Jawa Tengah. Rumah
adat tradisional Jawa Tengah memiliki konstruksi bangunan yang khas dengan fungsi dan
pembagian ruang yang mengandung makna filosofis serta nilai – nilai religi, kepercayaan,
budaya, etnis, dan historikal.
2
Perkembangan sejarah rumah adat tradisional Jawa Tengah tidak terlepas dari
bangunan suci zaman purba yang memiliki struktur dan bentuk bersusun memusat semakin
ke atas semakin kecil, yaitu punden berundak.
Bangunan rumah adat tradisional Jawa Tengah erat kaitannya dengan aspek
spiritual/religius dan kosmologis. Aspek spiritual atau religius (konteks mistik kejawen)
tercermin dari skala vertikal rumah adat tradisional Jawa Tengah. Pada skala vertikal rumah
adat dibagi menjadi bagian bawah/lantai dasar yang disebut kaki (umpak, bebatur), tubuh
(tiang, dinding), dan bagian atas yang disebut kepala atau atap.
Kepala
Badan
Kaki
Sumber : https://hurahura.wordpress.com/2017/08/11/arsitektur-tradisional-
jawa-kosmologi-estetika-dan-simbolisme-budaya-jawa/
Skala vertikal pada rumah adat merupakan struktur tegak yang berupa oposisi antara dunia
transenden (immaterial) dengan dunia imanen (material). Sedangkan skala horizontal
mencerminkan pembagian ruang yang merupakan tempat manusia beraktivitas.
Apabila dicermati lebih lanjut, rumah adat tradisional Jawa Tengah memiliki
struktur dan bentuk rumah yang sama dengan candi Hindu. Dalam ajaran Hindu terdapat
teori yang menjelaskan tingkatan struktur yang dijelaskan oleh Fu Yi-Tuan yang dikenal
sebagai Tri Loka. Konsep Tri Loka dapat dimaknai pula sebagai tiga tingkatan alam semesta
yang terdiri dari BhurLoka, Bhuvar-Loka, dan Svar-Loka. Lumpur dimaknai sebagai
simbolisasi alam BhurLoka (alam peralihan), BhuvarLoka (alam manusia), dan udara
dipadankan dengan alam SvarLoka (alam dewata) (Debroy dan Debroy 768).
3
Konsep pembagian ruang dalam ajaran Hindu (Tri Loka)
Sumber : https://dewey.petra.ac.id/repository/jiunkpe/jiunkpe/s1/desi/2018/jiunkpe-is-
s1-2018-41414021-43095-hunian-chapter2.pdf
Bagi masyarakat tradisional Jawa Tengah rumah merupakan lambang hubungan
manusia dengan alam semesta dan perwujudan konsep hidup sekaligus jati diri. Bahkan
pada saat pembangunan rumah adat, selalu mengedepankan unsur – unsur konstruktif yang
dilandaskan pada pandangan hidup filosofis masyarakat tradisional Jawa Tengah.
Pandangan hidup orang Jawa ini tidak terlepas dengan peran Raja dan kekuasaan
dalam Keraton. Mengingat kedudukan Keraton sebagai pusat jagad raya, maka pengaturan
bangunan di dalam Keraton tidak terlepas dari usaha Raja untuk menyelaraskan kehidupan
warga komunitas Keraton dengan jagad raya itu. Kedudukan Raja tidak lepas dari otoritas
kekuasan yang dimiliki, kaitannya pula dengan konsep spiritual yang diduga akibat pengaruh
kultur India (Darsiti, 1989: 3). Dari konsep spiritual tersebut, terdapat tiga tingkatan
kepercayaan masyarakat tradisional Jawa Tengah, yaitu :
4
3. Tingkatan ketiga, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa. Kepercayaan ini
berkembang ketika agama-agama mulai dianut oleh masyarakat Jawa yang pada
akhirnya mengubah pandangan masyarakat namun tidak meninggalkan kepercayaan
lamanya (Ronald 2005, 53).
Selain itu, rumah juga merupakan lambang kemantapan yang berarti ketentraman
bagi penghuninya dan lambang dari tujuan batin (Wondoamiseno 1986, 3). Ketentraman itu
akan tercapai apabila terdapat keseimbangan antara manusia, lingkungan alam, dan
lingkungan buatan yaitu rumah (Ronald 1990, 189). Begitupun filosofi masyarakat Jawa yang
berpandangan bahwa dalam kehidupan ini peranan mereka sebagai bagian dari
mikrokosmos haruslah memperhatikan alam sebagai bagian dari makrokosmos.
5
Diagram konsep ruang dan waktu pada tubuh manusia
Sumber :
https://dewey.petra.ac.id/repository/jiunkpe/jiunkpe/s1/desi/2018/jiunkpe-is-s1-
2018-41414021-43095-hunian-chapter2.pdf
Penggambaran postur tubuh manusia terhadap pemaknaan ruang menurut Yi- Fu Tuan
dapat dijelaskan sebagai berikut:
6
Pada kosmologi Jawa, menurut Morgan (dalam Waterson, 1990), masyarakat Jawa,
secara asli memiliki Java mancapat, yaitu sistem klasifikasi primitif bagi masyarakat Jawa,
berupa hubungan antar desa, pada 4 arah dengan pusat berupa desa ke-5.
Sumber : https://core.ac.uk/download/pdf/290207958.pdf
Morgan menekankan adanya hubungan adanya faham ini dengan konsep kosmologi Hindu,
dimana alam, dunia, merupakan makrokosmos (buana agung), dan pribadi/rumah
merupakan mikrokosmos (dunia alit). Ungkapan mikrokosmos di dalam bangunan rumah
terekspresi pada lay out, struktur, ornamen sebagai konsep kesatuan alam dan sosial.
Rumah dan permukiman selalu memiliki makna penuh fungsi dan makna secara simbolis.
Disebutkan bahwa semua manipulasi simbolik awalnya merupakan ungkapan struktur
mistik, yang diungkapkan secara fisik. Adanya faham primordial ini sangat mempengaruhi
manusia Jawa dalam menempatkan permukimannya. Posisi permukiman Jawa menurut
Endraswara (2003) selalu tumbuh sesuai dengan papanpanggonannya, yaitu antara dataran
tinggi dan air.
Sumber : https://core.ac.uk/download/pdf/290207958.pdf
7
Pada kosmologi Jawa mikrokosmos, terdapat kepercayaan yang sangat berpengaruh
pada kehidupan masyarakat Jawa yaitu mengenai sedulur papat limo pancer, konsep
kepercayaan ini adalah sebuah pedoman masyarakat Jawa untuk menjalani kehidupan.
Herwati (9) menjelaskan bahwa sedulur papat limo pancer adalah sebuah konsep
keseimbangan dari masyarakat Jawa, pernyataan jika salah satu unsur lebih dominan maka
kehidupan manusia akan terganggu dan menjadi tidak seimbang. Berikut adalah gambaran
dari sedulur papat limo pancer.
Sumber :
https://dewey.petra.ac.id/repository/jiunkpe/jiunkpe/s1/desi/2018/jiunkpe-is-s1-
2018-41414021-43095-hunian-chapter2.pdf
Kemudian, kepercayaan mancapat atau pembagian lima juga tercermin dari arah
orientasi, yaitu keblat papat lima pancer yang merupakan transformasi dari struktur alam
8
berupa empat arah mata angin, yaitu Utara, Selatan, Barat, dan Timur, serta satu titik pusat
di tengah, yang merupakan persinggungan ke empat arah mata angin tersebut,
sebagaimana dikatakan oleh ahli bangunan Jawa:
“ Bahwa semua yang diciptakan Tuhan Yang Esa selalu bermula dari empat sudut
dan satu yang berasal dari tengah yang orang Jawa menyebut empat kiblat lima
pancer. Semua kejadian berasal dari lima penjuru tersebut. Rumah joglo adalah
merupakan wujud yang dianggap mikro tetapi juga makro bagi alam raya. Ia
merupakan peniruan alam, maka harus berpijak pada pedoman pajupat dimana
dalem adalah titik pusatnya yang dikelilingi bangunan lainnya”.
Sumber : https://core.ac.uk/download/pdf/290207958.pdf
9
Konsep lokal tentang keblat papat ini bila dilakukan dialog secara teoritis mirip
dengan ungkapan Endraswara atau watak tentang keblat papat-lima pancer.
Sumber : https://core.ac.uk/download/pdf/290207958.pdf
10
BAB III
ANALISIS
Pada bab ini akan menganalisis makna – makna simbolis dan filosofis rumah adat
tradisional Jawa Tengah dalam skala horizontal mikrokosmos yaitu penataan atau
pembagian fungsi ruang didalamnya.
Sumber :
https://dewey.petra.ac.id/repository/jiunkpe/jiunkpe/s1/desi/2018/jiunkpe-is-s1-
2018-41414021-43095-hunian-chapter2.pdf
Pemaknaan Jawa dari kepercayaan tersebut adalah :
11
1. Sedulur Tua: Ketuban. Disebut Sedulur Tua karena ketuban keluar terlebih dahulu
sebelum bayi lahir.
2. Sedulur Enom: ari-ari. Disebut Sedulur Anom karena ari-ari keluar setelah bayi lahir.
3. Pembantu Setia: darah. Darah merupakan pembantu setia karena selalu ada dari
janin terbentuk sampai lahir dan ajal.
4. Pemberi Makan: pusar. Pusar ini merupakan tali penghubung antara sang ibu dengan
janin. Makanan untuk janin disalurkan dari sang ibu melalui tali pusar ini.
5. Pancer: diri sendiri; sang jabang bayi.
12
Ruang – ruang yang termasuk dari klasifikasi pembantu setia yaitu pawon dan
pakiwan.
4. Pemberi Makan: pusar
Ruang – ruang yang termasuk dari klasifikasi pemberi makan yaitu yaitu
pendhapa, pringgitan, dan seketheng.
5. Pancer: diri sendiri; sang jabang bayi.
Ruang – ruang yang termasuk dari klasifikasi pancer yaitu omah ndalem,
senthong kiwa, senthong tengah, dan senthong tengen.
B. Interpretasi Makna pada Penataan dan Fungsi Ruang dalam Rumah Adat Tradisional
Jawa Tengah
1. Pendhapa
Pendhapa merupakan ruang dalam rumah adat tradisional Jawa Tengah yang
letaknya paling depan. Pada pendhapa terdapat saka guru (empat tiang utama di
tengah ruang) dengan bagian atasnya yang disebut mayangkara, dhadhapeksi,
dan bagian langit – langit (singub) yang disusun oleh balok – balok tumpangsari.
Ruang pendhapa ini memiliki desain yang terbuka sehingga terkesan memiliki
dialog dengan lingkungan luar. Ruang ini dalam klasifikasi pemberi makan atau
pusar. Pusar ini merupakan tali penghubung antara sang ibu dengan janin,
makanan untuk janin disalurkan dari sang ibu melalui tali pusar ini.
Interpretasinya adalah sosok ‘ibu’ disini adalah sebenarnya ayah yang akan
berhubungan langsung dengan dunia luar untuk mencari nafkah guna membeli
13
makanan maupun keperluan lainnya bagi anak dan istrinya yang berada di dalam
omah ndalem.
2. Pringgitan
14
Omah ndalem terletak di belakang pringgitan. Ruang ini merupakan pancer
atau pusat dari segala susunan ruang karena berada di tengah – tengah. Omah
ndalem berfungsi sebagai ruang keluarga yang bersifat pribadi atau privasi dan
tidak boleh dimasuki oleh selain anggota keluarga sehingga memiliki desain yang
tertutup dengan dinding.
4. Senthong Kiwa
5. Senthong Tengah
15
Senthong tengah merupakan ruang yang juga terletak di dalam omah
ndalem. Senthong tengah sering disebut dengan krobogan yang merupakan
senthong paling privat dari kedua senthong lainnya. Ruang ini merupakan ruang
sakral yang digunakan sebagai tempat untuk menghormati Dewi Sri yang
dianggap sebagai sumber dari segala kehidupan, kesuburan dan kebahagiaan.
6. Senthong Tengen
16
Gandhok merupakan bangunan tambahan yang mengitari bangunan inti.
Gandhok merupakan tempat tinggal anggota keluarga dan tempat menginap
tamu.
Gandhok kiwa merupakan bagian dari klasifikasi sedulur enom: ari-ari,
disebut Sedulur enom karena ari-ari keluar setelah bayi lahir. Pada kepercayaan
Jawa kejawen ari – ari dipercayai sebagai saudara tidak hidup dari jabang bayi
yang baru lahir. Sehingga, interpretasinya adalah sesuai fungsi dari gandhok kiwa
yaitu tempat tidur anggota keluarga atau saudara laki – laki dari jabang bayi
tersebut.
8. Gandhok Tengen
17
Pawon letaknya ada di belakang gadri. Gadri ini merupakan tempat
dibelakang senthong yang menghadap kearah pawon sebagai temay untuk
makan dan bersantai.
Pawon termasuk dalam klasifikasi pembantu setia: darah. Darah merupakan
pembantu setia karena selalu ada dari janin terbentuk sampai lahir dan ajal. Hal
tersebut diinterpretasikan dari fungsi pawon yang merupakan tempat
menyimpan peralatan dan bahan memasak untuk menghasilkan makanan yang
merupakan nutrisi yang akan mengalir di dalam darah tubuh jabang bayi seperti
siklus.
10. Pakiwan
Pakiwan merupakan kamar mandi yang terletak di sebelah kiri rumah di dekat
pawon. Pakiwan termasuk dalam klasifikasi pembantu setia: darah. Darah
merupakan pembantu setia karena selalu ada dari janin terbentuk sampai lahir
dan ajal. Interpretasinya adalah di dalam kamar mandi terdapat air, sama seperti
18
darah, air juga merupakan sumber kehidupan yang selalu dibutuhkan dalam
hidup manusia karena manusia bisa meninggal jika tidak kekurangan air dan tidak
ada air yang mengalir dalam tubuhnya.
11. Seketheng
19
KESIMPULAN
Dalam pembangunan rumah adat tradisional Jawa Tengah tidak terlepas dari aspek
spiritiual atau religius masyarakat Jawa yang memercayai Tuhan sebagai penyeimbang
kehidupan dan hal – hal gaib. Pandangan hidup orang Jawa juga tidak terlepas dengan peran
Raja dan kekuasaan dalam Keraton. Mengingat kedudukan Keraton sebagai pusat jagad
raya, maka pengaturan bangunan di dalam Keraton tidak terlepas dari usaha Raja untuk
menyelaraskan kehidupan warga komunitas Keraton dengan jagad raya itu.
Aspek – aspek tersebut merupakan nilai – nilai filosofis dan norma – norma yang ditaati oleh
masyarakat tradisional Jawa Tengah sebagai pedoman hidup untuk mencapai makna keseimbangan
yang merupakan manifestasi dari keselarasan hidup, yaitu hidup selaras dengan sesamanya, hidup
selaras dengan alamnya, dan hidup selaras dengan Tuhannya.
20
DAFTAR PUSTAKA
A.B.N.S. Kusuma, Thodorus, dan Andry Hikari Damai. 2020. Rumah Tradisional Jawa dalam
Tinjauan Kosmologi, Estetika, dan Simbolisme Budaya. Kindai Etam, 6(1), 45 – 56.
Aries Brian, Thodorus. 2017. Arsitektur Tradisional Jawa: Kosmologi, Estetika, dan
Simbolisme Budaya Jawa. https://hurahura.wordpress.com/2017/08/11/arsitektur-
tradisional-jawa-kosmologi-estetika-dan-simbolisme-budaya-jawa/ (diakses tanggal 13
Desember 2020)
Rejeki, Sri, Nindyo Soewarno, Sudaryono, dan T. Yoyok Wahyu Subroto. 2010. Nilai
Kosmologi pada Tata Spasial Permukiman Desa Kapencar, Lereng Gunung Sindoro,
Wonosobo. Forum Teknik, 33(3), 140 – 148.
Djono, Tri Prasetyo Utomo, dan Slamet Subiyantoro. 2012. Nilai Kearifan Lokal Rumah
Tradisional Jawa. Humaniora, 24(3), 269 – 278.
21