Anda di halaman 1dari 22

ARSITEKTUR VERNAKULAR

JUDUL :

MAKNA SIMBOLIS RUANG RUMAH ADAT TRADISIONAL JAWA TENGAH

OLEH :

ARMAVIERA INTAN NABIILAH

19/446409/TK/49514

ARSITEKTUR

DEPARTEMEN TEKNIK ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

TAHUN 2020
BAB I

LATAR BELAKANG

Negara Indonesia merupakan sebuah negara yang terdiri dari banyak pulau. Dari
pulau – pulau tersebut terdapat berbagai kebudayaan yang dijadikan sebagai ciri khas
wilayah tersebut. Salah satu ciri khas yang menonjol adalah karya arsitektur vernakular yaitu
rumah adat. Setiap rumah adat yang ada di wilayah pulau Indonesia memiliki desain, simbol,
dan makna filosofis yang mencerminkan kebudayaan atau sisi religius masyarakat setempat.

Salah satu Rumah adat yang kaya akan makna – makna simbolis dan filosofis adalah
Rumah adat tradisional Jawa Tengah. Oleh karena itu, rumah adat ini perlu dilestarikan dan
dipahami makna – maknanya.

Rumah adat tersebut dahulu dibangun oleh masyarakat tradisional Jawa Tengah
dengan bersendikan pada ritual, agama, dan spiritual serta hukum – hukum alam semesta.
Oleh karena itu, masyarakat tradisional Jawa Tengah memaknai rumah adat tersebut
sebagai tempat dimana mereka bisa bersosialisasi dengan sesamanya dan berharap selalu
mendapatkan kesejahteraan dan kebahagiaan dari pencipta-Nya.

Namun, seiring berkembangnya zaman dan pergantian generasi, sudah sedikit


ditemukan rumah yang menerapkan makna – makna tersebut dan banyak terjadi
pergeseran fungsi ruang. Walaupun pada beberapa tempat terdapat bangunan komersial
seperti hotel, restaurant, dan butik yang menerapkan arsitektur rumah adat tradisional Jawa
Tengah. Tetapi, bangunan – bangunan tersebut hanya mengadaptasi bentuk dari atap atau
pendapa dengan soko tunggal rumah adat tradisonal Jawa Tengah.

Maka dari itu, laporan ini ditulis dengan tujuan mengingatkan kembali pada generasi
muda mengenai bagaimana dahulu awal mula arsitektur bangunan di Jawa Tengah,
terutama pada skala horizontal yaitu pembagian ruangnya. Karena, pada dasarnya makna –
makna dari rumah adat tradisonal tersebut sangat menarik untuk dibahas dan dapat
menambah wawasan bagi para arsitek dalam mendirikan bangunan futuristik yang
dikombinasikan dengan bangunan tradisonal sehingga nilai – nilai budaya di suatu wilayah
senantiasa dilestarikan.

1
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Sumber : https://guratgarut.com/rumah-adat-jawa-tengah/

Bangunan tradisi atau rumah adat merupakan salah satu wujud budaya yang bersifat
konkret. Dalam konstruksinya, setiap bagian atau ruang dalam rumah maupun
konstruksinya sarat akan nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat pemilik kebudayaan
tersebut. Hal yang sama juga terdapat pada rumah adat tradisional Jawa Tengah. Rumah
adat tradisional Jawa Tengah memiliki konstruksi bangunan yang khas dengan fungsi dan
pembagian ruang yang mengandung makna filosofis serta nilai – nilai religi, kepercayaan,
budaya, etnis, dan historikal.

Rumah jika diartikan dalam bahasa Jawa halus biasa disebut


dengan griya atau dalem. Asal kata griya sendiri berarti gunung agung yang diartikan oleh
masyarakat Jawa sebagai gunung besar yang menjadi sumber kehidupan. Dalem pun jika
diartikan dalam bahasa Jawa halus berarti rumah atau saya. Sangatlah jelas hubungan yang
keterikatan yang terjadi antara pengertian rumah dan keadaan pribadi seseorang. Dalam
budaya Jawa rumah dapat dikategorikan sebagai sebuah bangunan yang tidak berdiri sendiri
melainkan berhubungan erat dengan pemiliknya. Hubungan tersebut dapat berupa
hubungan sosial, budaya, dan ekonomi (Adrisijanti 1999, 111).

2
Perkembangan sejarah rumah adat tradisional Jawa Tengah tidak terlepas dari
bangunan suci zaman purba yang memiliki struktur dan bentuk bersusun memusat semakin
ke atas semakin kecil, yaitu punden berundak.

Bangunan rumah adat tradisional Jawa Tengah erat kaitannya dengan aspek
spiritual/religius dan kosmologis. Aspek spiritual atau religius (konteks mistik kejawen)
tercermin dari skala vertikal rumah adat tradisional Jawa Tengah. Pada skala vertikal rumah
adat dibagi menjadi bagian bawah/lantai dasar yang disebut kaki (umpak, bebatur), tubuh
(tiang, dinding), dan bagian atas yang disebut kepala atau atap.

Kepala

Badan

Kaki

Sumber : https://hurahura.wordpress.com/2017/08/11/arsitektur-tradisional-
jawa-kosmologi-estetika-dan-simbolisme-budaya-jawa/

Skala vertikal pada rumah adat merupakan struktur tegak yang berupa oposisi antara dunia
transenden (immaterial) dengan dunia imanen (material). Sedangkan skala horizontal
mencerminkan pembagian ruang yang merupakan tempat manusia beraktivitas.

Apabila dicermati lebih lanjut, rumah adat tradisional Jawa Tengah memiliki
struktur dan bentuk rumah yang sama dengan candi Hindu. Dalam ajaran Hindu terdapat
teori yang menjelaskan tingkatan struktur yang dijelaskan oleh Fu Yi-Tuan yang dikenal
sebagai Tri Loka. Konsep Tri Loka dapat dimaknai pula sebagai tiga tingkatan alam semesta
yang terdiri dari BhurLoka, Bhuvar-Loka, dan Svar-Loka. Lumpur dimaknai sebagai
simbolisasi alam BhurLoka (alam peralihan), BhuvarLoka (alam manusia), dan udara
dipadankan dengan alam SvarLoka (alam dewata) (Debroy dan Debroy 768).

3
Konsep pembagian ruang dalam ajaran Hindu (Tri Loka)

Sumber : https://dewey.petra.ac.id/repository/jiunkpe/jiunkpe/s1/desi/2018/jiunkpe-is-
s1-2018-41414021-43095-hunian-chapter2.pdf
Bagi masyarakat tradisional Jawa Tengah rumah merupakan lambang hubungan
manusia dengan alam semesta dan perwujudan konsep hidup sekaligus jati diri. Bahkan
pada saat pembangunan rumah adat, selalu mengedepankan unsur – unsur konstruktif yang
dilandaskan pada pandangan hidup filosofis masyarakat tradisional Jawa Tengah.

Pandangan hidup orang Jawa ini tidak terlepas dengan peran Raja dan kekuasaan
dalam Keraton. Mengingat kedudukan Keraton sebagai pusat jagad raya, maka pengaturan
bangunan di dalam Keraton tidak terlepas dari usaha Raja untuk menyelaraskan kehidupan
warga komunitas Keraton dengan jagad raya itu. Kedudukan Raja tidak lepas dari otoritas
kekuasan yang dimiliki, kaitannya pula dengan konsep spiritual yang diduga akibat pengaruh
kultur India (Darsiti, 1989: 3). Dari konsep spiritual tersebut, terdapat tiga tingkatan
kepercayaan masyarakat tradisional Jawa Tengah, yaitu :

1. Tingkatan pertama, kepercayaan terhadap adanya kekuatan gaib yang


menggambarkan dunia roh. Masyarakat Jawa percaya bahwa leluhur mereka selalu
mengawasi dan akan menegur bila terjadi kesalahan. Oleh karena itulah dalam
setiap kegiatan selalu diadakan upacara selamatan sebagai bagian dari permintaan
izin dalam melakukan kegiatan agar berjalan lancar.
2. Tingkatan kedua, kepercayaan akan kekuatan alam semesta. Masyarakat Jawa
percaya pada keseimbangan dunia yang terbagi dalam makrokosmos dan
mikrokosmos. Tanpa adanya keseimbangan maka kehidupan ini tidak akan bahagia.

4
3. Tingkatan ketiga, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa. Kepercayaan ini
berkembang ketika agama-agama mulai dianut oleh masyarakat Jawa yang pada
akhirnya mengubah pandangan masyarakat namun tidak meninggalkan kepercayaan
lamanya (Ronald 2005, 53).

Selain itu, rumah juga merupakan lambang kemantapan yang berarti ketentraman
bagi penghuninya dan lambang dari tujuan batin (Wondoamiseno 1986, 3). Ketentraman itu
akan tercapai apabila terdapat keseimbangan antara manusia, lingkungan alam, dan
lingkungan buatan yaitu rumah (Ronald 1990, 189). Begitupun filosofi masyarakat Jawa yang
berpandangan bahwa dalam kehidupan ini peranan mereka sebagai bagian dari
mikrokosmos haruslah memperhatikan alam sebagai bagian dari makrokosmos.

Pandangan tentang mikrokosmos dan makrokosmos tersebut merupakan bagian dari


teori kosmologi arsitektur. Kosmologi merupakan ilmu astronomi yang menyelidiki asal –
usul, struktur, dan hubungan ruang waktu dari alam semesta asal-usul kejadian bumi. Secara
etimologis kosmologi berasal dari bahasa Yunani yakni, kosmos yang diartikan sebagai dunia
dan logos yang berarti ilmu pengetahuan. Sehingga kosmologi dapat di artikan sebagai ilmu
yang mempelajari tentang dunia dan alam semesta. Menurut Tuan (36), ruang (space)
memiliki makna yang abstrak sedangkan tempat (place) merupakan ruang atau tempat fisik
yang memiliki nilai tersendiri (added value) atau makna. Pengalaman ruang harus dimulai
dengan memahami dan merasakan kualitas spasial dengan tinggal ditempat itu. Setiap
orang akan punya pengalaman berbeda sehigga menciptakan presepsi tentang konsep
ruang dan tempat (space and place) yang berbeda berdasarkan pengalaman tersebut.
Pengalaman ini terkait dengan proporsi tubuh manusia dan juga waktu. pemaknaan ruang
dapat digambarkan dalam postur tubuh manusia dengan manusia itu sendiri sebagai
pusatnya.

5
Diagram konsep ruang dan waktu pada tubuh manusia

Sumber :
https://dewey.petra.ac.id/repository/jiunkpe/jiunkpe/s1/desi/2018/jiunkpe-is-s1-
2018-41414021-43095-hunian-chapter2.pdf

Penggambaran postur tubuh manusia terhadap pemaknaan ruang menurut Yi- Fu Tuan
dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Atas, tengah dan bawah


Penggambaran atas dan bawah dapat menggambarkan status. Posisi tubuh
yang berdiri menunjukkan bahwa kepala di atas sehingga ketika melihat ke bawah
berarti melihat sesuatu dengan status yang lebih rendah. Posisi atas-bawah
menunjukkan status, hierarki atau derajat. Sementara itu posisi tengah atau pusat
seringkali menggambarkan tempat hidup atau pusat dunia.
2. Depan dan belakang
Posisi depan dan belakang seringkali menunjukkan makna waktu. Di mana
depan merupakan cerminan dari sebuah masa depan yang dianggap lebih sakral dan
belakang adalah yang bersifat gelap berhubungan dengan masa lalu.
3. Kiri dan kanan
Kiri dan kanan tidak sekuat yang lainnya, lebih menunjukkan segi penampilan
(simetri-asimetri) atau pemisahan yang bersifat kefungsian. Di beberapa
kebudayaan, bagian kanan lebih baik atau lebih penting. menurut Yi-Fu Tuan (36),
manusia adalah sebuah ukuran yang dalam hal ini berarti, tubuh manusia adalah
ukuran dari arah, lokasi dan jarak.

6
Pada kosmologi Jawa, menurut Morgan (dalam Waterson, 1990), masyarakat Jawa,
secara asli memiliki Java mancapat, yaitu sistem klasifikasi primitif bagi masyarakat Jawa,
berupa hubungan antar desa, pada 4 arah dengan pusat berupa desa ke-5.

Pola Hubungan Antar Desa Secara Mancapat

Sumber : https://core.ac.uk/download/pdf/290207958.pdf
Morgan menekankan adanya hubungan adanya faham ini dengan konsep kosmologi Hindu,
dimana alam, dunia, merupakan makrokosmos (buana agung), dan pribadi/rumah
merupakan mikrokosmos (dunia alit). Ungkapan mikrokosmos di dalam bangunan rumah
terekspresi pada lay out, struktur, ornamen sebagai konsep kesatuan alam dan sosial.
Rumah dan permukiman selalu memiliki makna penuh fungsi dan makna secara simbolis.
Disebutkan bahwa semua manipulasi simbolik awalnya merupakan ungkapan struktur
mistik, yang diungkapkan secara fisik. Adanya faham primordial ini sangat mempengaruhi
manusia Jawa dalam menempatkan permukimannya. Posisi permukiman Jawa menurut
Endraswara (2003) selalu tumbuh sesuai dengan papanpanggonannya, yaitu antara dataran
tinggi dan air.

Lokasi Pemukiman dengan Pertimbangan Faham Primordial Jawa

Sumber : https://core.ac.uk/download/pdf/290207958.pdf

7
Pada kosmologi Jawa mikrokosmos, terdapat kepercayaan yang sangat berpengaruh
pada kehidupan masyarakat Jawa yaitu mengenai sedulur papat limo pancer, konsep
kepercayaan ini adalah sebuah pedoman masyarakat Jawa untuk menjalani kehidupan.
Herwati (9) menjelaskan bahwa sedulur papat limo pancer adalah sebuah konsep
keseimbangan dari masyarakat Jawa, pernyataan jika salah satu unsur lebih dominan maka
kehidupan manusia akan terganggu dan menjadi tidak seimbang. Berikut adalah gambaran
dari sedulur papat limo pancer.

Pemaknaan Sedulur Papat Limo Pancer oleh masyarakat Jawa

Sumber :
https://dewey.petra.ac.id/repository/jiunkpe/jiunkpe/s1/desi/2018/jiunkpe-is-s1-
2018-41414021-43095-hunian-chapter2.pdf

Pemaknaan Jawa dari kepercayaan tersebut adalah :


1. Sedulur Tua: Ketuban. Disebut Sedulur Tua karena ketuban keluar terlebih dahulu
sebelum bayi lahir.
2. Sedulur Enom: ari-air. Disebut Sedulur Anom karena ari-ari keluar setelah bayi lahir.
3. Pembantu Setia: darah. Darah merupakan pembantu setia karena selalu ada dari
janin terbentuk sampai lahir dan ajal.
4. Pemberi Makan: pusar. Pusar ini merupakan tali penghubung antara sang ibu dengan
janin. Makanan untuk janin disalurkan dari sang ibu melalui tali pusar ini.
5. Pancer: diri sendiri; sang jabang bayi.

Kemudian, kepercayaan mancapat atau pembagian lima juga tercermin dari arah
orientasi, yaitu keblat papat lima pancer yang merupakan transformasi dari struktur alam
8
berupa empat arah mata angin, yaitu Utara, Selatan, Barat, dan Timur, serta satu titik pusat
di tengah, yang merupakan persinggungan ke empat arah mata angin tersebut,
sebagaimana dikatakan oleh ahli bangunan Jawa:

“ Bahwa semua yang diciptakan Tuhan Yang Esa selalu bermula dari empat sudut
dan satu yang berasal dari tengah yang orang Jawa menyebut empat kiblat lima
pancer. Semua kejadian berasal dari lima penjuru tersebut. Rumah joglo adalah
merupakan wujud yang dianggap mikro tetapi juga makro bagi alam raya. Ia
merupakan peniruan alam, maka harus berpijak pada pedoman pajupat dimana
dalem adalah titik pusatnya yang dikelilingi bangunan lainnya”.

Pada penelitian yang dilakukan di Desa Kapencar, disebutkan terdapat ungkapan


mancapat atau ‘pembagian lima’ dalam Faham Primordial Jawa tentang tatanan kosmologi
Jawa. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat setempat dikatakan bahwa ungkapan
merupakan ungkapan budaya dari masyarakat sawah, terungkap dengan adanya arah
orientasi keblat papat lima pancer. Adanya kosmologi Jawa tersebut memengaruhi arahan
pola spasial pada masyarakat Desa Kapencar, yaitu pada anjuran mengarahkan luweng
tungku pawon dan orientasi bangunan atau pintu utama bangunan kearah ngidul, ngalor,
atau ngulon. Karena adanya pantangan menghadapkan rumah atau pintu masuk utama
maupun luweng pawon kearah ngetan. Larangan tersebut disebabkan oleh pemaknaan
bahwa kiblat ngetan sama dengan wetan sama dengan wiwitan, yaitu merupakan lambang
wiwitannya seseorang hidup, sehingga diartikan sebagai pemberi hidup, orang tua,
termasuk tempat muncul (lahir)nya srengenge. Adanya posisi wetan sebagai ungkapan asal
mula tersebut, maka seseorang tidak boleh melawannya.

Konsep Keblat bagi Masyarakat Desa Kapencar

Sumber : https://core.ac.uk/download/pdf/290207958.pdf

9
Konsep lokal tentang keblat papat ini bila dilakukan dialog secara teoritis mirip
dengan ungkapan Endraswara atau watak tentang keblat papat-lima pancer.

Konsep Jawa: Keblat Papat –Lima Pancer

Sumber : https://core.ac.uk/download/pdf/290207958.pdf

10
BAB III

ANALISIS

Pada bab ini akan menganalisis makna – makna simbolis dan filosofis rumah adat
tradisional Jawa Tengah dalam skala horizontal mikrokosmos yaitu penataan atau
pembagian fungsi ruang didalamnya.

Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dituliskan, terdapat beberapa pemahaman


mengenai interpretasi makna – makna simbolis dan filosofis dari peletakan serta fungsi
ruang rumah adat tradisional Jawa Tengah. Namun, yang akan dijadikan acuan pada bab ini
adalah interpretasi berdasarkan pemahaman sedulur papat lima pancer.

Konsep pemahaman kepercayaan sedulur papat lima pancer adalah sebuah


pedoman masyarakat Jawa untuk menjalani kehidupan. Herwati (9) menjelaskan bahwa
sedulur papat limo pancer adalah sebuah konsep keseimbangan dari masyarakat Jawa,
pernyataan jika salah satu unsur lebih dominan maka kehidupan manusia akan terganggu
dan menjadi tidak seimbang. Berikut adalah gambaran dari sedulur papat limo pancer.

Pemaknaan Sedulur Papat Limo Pancer oleh masyarakat Jawa

Sumber :
https://dewey.petra.ac.id/repository/jiunkpe/jiunkpe/s1/desi/2018/jiunkpe-is-s1-
2018-41414021-43095-hunian-chapter2.pdf
Pemaknaan Jawa dari kepercayaan tersebut adalah :

11
1. Sedulur Tua: Ketuban. Disebut Sedulur Tua karena ketuban keluar terlebih dahulu
sebelum bayi lahir.
2. Sedulur Enom: ari-ari. Disebut Sedulur Anom karena ari-ari keluar setelah bayi lahir.
3. Pembantu Setia: darah. Darah merupakan pembantu setia karena selalu ada dari
janin terbentuk sampai lahir dan ajal.
4. Pemberi Makan: pusar. Pusar ini merupakan tali penghubung antara sang ibu dengan
janin. Makanan untuk janin disalurkan dari sang ibu melalui tali pusar ini.
5. Pancer: diri sendiri; sang jabang bayi.

A. Denah Rumah Adat Tradisional Jawa Tengah

Dari denah rumah tersebut jika diklasifikasikan berdasarkan konsep pemahaman


sedulur papat lima pancer, maka pembagiannya adalah sebagai berikut :
1. Sedulur Tua: Ketuban.
Ruang – ruang yang termasuk dari klasifikasi sedulur tua yaitu gandhok tengen.
2. Sedulur Enom: ari-ari
Ruang – ruang yang termasuk dari klasifikasi sedulur enom yaitu gandhok kiwa.
3. Pembantu Setia: darah

12
Ruang – ruang yang termasuk dari klasifikasi pembantu setia yaitu pawon dan
pakiwan.
4. Pemberi Makan: pusar
Ruang – ruang yang termasuk dari klasifikasi pemberi makan yaitu yaitu
pendhapa, pringgitan, dan seketheng.
5. Pancer: diri sendiri; sang jabang bayi.
Ruang – ruang yang termasuk dari klasifikasi pancer yaitu omah ndalem,
senthong kiwa, senthong tengah, dan senthong tengen.

B. Interpretasi Makna pada Penataan dan Fungsi Ruang dalam Rumah Adat Tradisional
Jawa Tengah
1. Pendhapa

Pendhapa merupakan ruang dalam rumah adat tradisional Jawa Tengah yang
letaknya paling depan. Pada pendhapa terdapat saka guru (empat tiang utama di
tengah ruang) dengan bagian atasnya yang disebut mayangkara, dhadhapeksi,
dan bagian langit – langit (singub) yang disusun oleh balok – balok tumpangsari.
Ruang pendhapa ini memiliki desain yang terbuka sehingga terkesan memiliki
dialog dengan lingkungan luar. Ruang ini dalam klasifikasi pemberi makan atau
pusar. Pusar ini merupakan tali penghubung antara sang ibu dengan janin,
makanan untuk janin disalurkan dari sang ibu melalui tali pusar ini.
Interpretasinya adalah sosok ‘ibu’ disini adalah sebenarnya ayah yang akan
berhubungan langsung dengan dunia luar untuk mencari nafkah guna membeli

13
makanan maupun keperluan lainnya bagi anak dan istrinya yang berada di dalam
omah ndalem.
2. Pringgitan

Pringgitan merupakan ruang yang difungsikan sebagai perantara antara


pendhapa dan omah ndalem, atau biasanya disimbolkan sebagai perantara
antara kehidupan dunia luar dengan kehidupan di dalam rumah.
Pringgitan letaknya dibelakang pendhapa dan tertutupi oleh pagar
seketheng. Ruang ini dalam klasifikasi pemberi makan atau pusar. Pusar ini
merupakan tali penghubung antara sang ibu dengan janin, makanan untuk janin
disalurkan dari sang ibu melalui tali pusar ini. Ruang pringgitan ini merupakan
interpretasi dari ‘tali penghubung yang digunakan untuk menyalurkan’ karena
sesuai dengan fungsinya yang merupakan ruang perantara antara dunia luar
dengan kehidupan di dalam rumah.
3. Omah Ndalem

14
Omah ndalem terletak di belakang pringgitan. Ruang ini merupakan pancer
atau pusat dari segala susunan ruang karena berada di tengah – tengah. Omah
ndalem berfungsi sebagai ruang keluarga yang bersifat pribadi atau privasi dan
tidak boleh dimasuki oleh selain anggota keluarga sehingga memiliki desain yang
tertutup dengan dinding.
4. Senthong Kiwa

Senthong kiwa terletak di dalam omah ndalem. Senthong kiwa berfungsi


sebagai tempat tidur suami istri atau pengantin baru pemilik rumah adat ini.
Ruang ini termasuk dalam klasifikasi pancer = diri sendiri = sang jabang bayi.
Interpretasinya adalah senthong kiwa digunakan sebagai tempat sepasang suami
istri tersebut melakukan hubungan intim dan memiliki hubungan dengan
senthong tengah atau krobogan yang merupakan tempat tinggal Dewi Sri, yang
diharapkan dapat memberikan kesuburan dan rezeki berupa kelahiran sang
jabang bayi.

5. Senthong Tengah

15
Senthong tengah merupakan ruang yang juga terletak di dalam omah
ndalem. Senthong tengah sering disebut dengan krobogan yang merupakan
senthong paling privat dari kedua senthong lainnya. Ruang ini merupakan ruang
sakral yang digunakan sebagai tempat untuk menghormati Dewi Sri yang
dianggap sebagai sumber dari segala kehidupan, kesuburan dan kebahagiaan.
6. Senthong Tengen

Senthong tengen juga merupakan ruang yang terletak di dalam omah


ndalem. Senthong tengen berfungsi sebagai tempat tidur anak perempuan dan
tempat menyimpan harta benda.
Ruang ini termasuk dalam klasifikasi pancer = diri sendiri = jabang bayi.
Interpretasinya adalah ketika anak tersebut lahir dari rahim pengantin wanita,
kemudian anak tersebut akan diletakkan atau ditidurkan di ruangan tersebut.
7. Gandhok Kiwa

16
Gandhok merupakan bangunan tambahan yang mengitari bangunan inti.
Gandhok merupakan tempat tinggal anggota keluarga dan tempat menginap
tamu.
Gandhok kiwa merupakan bagian dari klasifikasi sedulur enom: ari-ari,
disebut Sedulur enom karena ari-ari keluar setelah bayi lahir. Pada kepercayaan
Jawa kejawen ari – ari dipercayai sebagai saudara tidak hidup dari jabang bayi
yang baru lahir. Sehingga, interpretasinya adalah sesuai fungsi dari gandhok kiwa
yaitu tempat tidur anggota keluarga atau saudara laki – laki dari jabang bayi
tersebut.
8. Gandhok Tengen

Gandhok merupakan bangunan tambahan yang mengitari bangunan inti.


Gandhok merupakan tempat tinggal anggota keluarga dan tempat menginap
tamu.
Gandhok tengen merupakan bagian dari klasifikasi sedulur tua: ketuban.
Disebut sedulur tua karena ketuban keluar terlebih dahulu sebelum bayi lahir.
Interpretasinya sama dengan gandhok kiwa yaitu ‘sedulur’, dimana gandhok
tengen berfungsi sebagai tempat tidur anggota keluarga atau saudara
perempuan dari sang jabang bayi.
9. Pawon

17
Pawon letaknya ada di belakang gadri. Gadri ini merupakan tempat
dibelakang senthong yang menghadap kearah pawon sebagai temay untuk
makan dan bersantai.
Pawon termasuk dalam klasifikasi pembantu setia: darah. Darah merupakan
pembantu setia karena selalu ada dari janin terbentuk sampai lahir dan ajal. Hal
tersebut diinterpretasikan dari fungsi pawon yang merupakan tempat
menyimpan peralatan dan bahan memasak untuk menghasilkan makanan yang
merupakan nutrisi yang akan mengalir di dalam darah tubuh jabang bayi seperti
siklus.
10. Pakiwan

Pakiwan merupakan kamar mandi yang terletak di sebelah kiri rumah di dekat
pawon. Pakiwan termasuk dalam klasifikasi pembantu setia: darah. Darah
merupakan pembantu setia karena selalu ada dari janin terbentuk sampai lahir
dan ajal. Interpretasinya adalah di dalam kamar mandi terdapat air, sama seperti

18
darah, air juga merupakan sumber kehidupan yang selalu dibutuhkan dalam
hidup manusia karena manusia bisa meninggal jika tidak kekurangan air dan tidak
ada air yang mengalir dalam tubuhnya.
11. Seketheng

Seketheng merupakan pagar pembatas antara pendhapa dengan ruang –


ruang privat yang digunakan sebagai tempat aktivitas pemilik rumah.

19
KESIMPULAN
Dalam pembangunan rumah adat tradisional Jawa Tengah tidak terlepas dari aspek
spiritiual atau religius masyarakat Jawa yang memercayai Tuhan sebagai penyeimbang
kehidupan dan hal – hal gaib. Pandangan hidup orang Jawa juga tidak terlepas dengan peran
Raja dan kekuasaan dalam Keraton. Mengingat kedudukan Keraton sebagai pusat jagad
raya, maka pengaturan bangunan di dalam Keraton tidak terlepas dari usaha Raja untuk
menyelaraskan kehidupan warga komunitas Keraton dengan jagad raya itu.

Selain aspek spiritual, aspek yang memengaruhi adalah konsep kosmologis


mikrokosmos masyarakat Jawa yang memengaruhi konsepsi penataan spasial di dalam
rumah adat tradisional Jawa Tengah. Konsepsi tersebut berdasarkan pandangan masyarakat
tradisional Jawa Tengah terhadap papat kiblat lima pancer yang menggambarkan mandala
yang susunannya merupakan peniruan alam semesta yang berpijak pada pedoman pajupat
dimana dalem adalah titik pusatnya yang dikelilingi bangunan lainnya .

Aspek – aspek tersebut merupakan nilai – nilai filosofis dan norma – norma yang ditaati oleh
masyarakat tradisional Jawa Tengah sebagai pedoman hidup untuk mencapai makna keseimbangan
yang merupakan manifestasi dari keselarasan hidup, yaitu hidup selaras dengan sesamanya, hidup
selaras dengan alamnya, dan hidup selaras dengan Tuhannya.

20
DAFTAR PUSTAKA
A.B.N.S. Kusuma, Thodorus, dan Andry Hikari Damai. 2020. Rumah Tradisional Jawa dalam
Tinjauan Kosmologi, Estetika, dan Simbolisme Budaya. Kindai Etam, 6(1), 45 – 56.
Aries Brian, Thodorus. 2017. Arsitektur Tradisional Jawa: Kosmologi, Estetika, dan
Simbolisme Budaya Jawa. https://hurahura.wordpress.com/2017/08/11/arsitektur-
tradisional-jawa-kosmologi-estetika-dan-simbolisme-budaya-jawa/ (diakses tanggal 13
Desember 2020)

Rejeki, Sri, Nindyo Soewarno, Sudaryono, dan T. Yoyok Wahyu Subroto. 2010. Nilai
Kosmologi pada Tata Spasial Permukiman Desa Kapencar, Lereng Gunung Sindoro,
Wonosobo. Forum Teknik, 33(3), 140 – 148.

Djono, Tri Prasetyo Utomo, dan Slamet Subiyantoro. 2012. Nilai Kearifan Lokal Rumah
Tradisional Jawa. Humaniora, 24(3), 269 – 278.

Budhiwiyanto, Joko. 2009. Makna Penataan Interior Rumah Tradisional Jawa.


https://jurnal.isi-ska.ac.id/index.php/pendhapa/article/download/1681/1623 (diakses
tanggal 25 November 2020)
Dewey.petra.ac.id. 2018. Hunian Chapter 2.
https://dewey.petra.ac.id/repository/jiunkpe/jiunkpe/s1/desi/2018/jiunkpe-is-s1-2018-
41414021-43095-hunian-chapter2.pdf (diakses tanggal 13 Desember 2020)

21

Anda mungkin juga menyukai