Anda di halaman 1dari 3

Louisa Elizabeth Shenelo – B12200055

Essay Refleksi Belajar


Pengaruh Hindu dan Buddha dalam Arsitektur Indonesia
Pengaruh masuknya Hindu-Buddha di Indonesia sulit dipisahkan satu sama lain karena periode masuk
kedua agama yang saling berdekatan dan berasimilasi. Kedua agama ini juga berasal dari negara yang
sama, yaitu India. Percampuran kedua agama ini menunjukkan toleransi beragama yang sangat besar
dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam bidang arsitektur bangunan, pengaruh masuknya
kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia adalah dengan munculnya bangunan-bangunan berupa candi.
Candi yang ditemukan merupakan perwujudan dari akulturasi atau pencampuran dari dua budaya, yaitu
antara budaya Nusantara dengan budaya India.
Dalam kosmologi Hindu-Buddha, candi merupakan simbol atau replika dari gunung Mahameru. Ekspresi
gunung yang menjulang tinggi dimaknai sebagai penghubung antara bumi dan langit. Gambaran
lingkungan kosmos ditunjukkan melalui desain halaman yang ditata bertingkat dan memusat dengan
halaman pusat di tempat tertinggi, candi yang merupakan lambang dari gunung Mahameru diletakkan di
tengah sebagai pusat. Dengan pengertian itulah, masyarakat pada waktu itu membangun candi dengan
harapan dapat hidup sedekat mungkin dengan pusat dan dapat berkomunikasi dengan dunia
transendental.
Karakteristik ruang sakral candi tampak dari rancangan desain ruang dan bangunannya. Pada dinding
candi terpahat ornamen yang dikenal dalam mitologi Hindu-Buddha dan beberapa candi dilengkapi
dengan relief cerita tentang keagamaan yang menjadi pelengkap kesakralan bangunan suci. Berdasarkan
konsep kosmologi, ruang sakral candi dapat ditelusuri maknanya. Candi dan tata ruang halaman
merepresentasikan gambaran kosmos yang terwujud secara vertikal disebut triloka. Pada candi Hindu
terdiri atas kaki candi yang disebut bhurloka melambangkan bumi, tubuh candi yang disebut bhuvarloka
melambangkan alam antara, dan atap candi yang disebut svarloka melambangkan nirwana. Pada candi
Buddha terdiri atas kaki candi yang disebut kamadatu melambangkan kama, nafsu, keinginan; tubuh candi
yang disebut rupadatu melambangkan rupa dan bentuk; dan atap candi yang disebut arupadatu
melambangkan terbebas dari hawa nafsu serta masalah-masalah duniawi.
Louisa Elizabeth Shenelo – B12200055

Pola dasar dari candi-candi di Indonesia berasal dari bangunan punden berundak yang mulai berkembang
pada masa megalithikum, bisa dilihat pada candi-candi di Indonesia yang pada umumnya memiliki
tingkatan. Bagian paling dasar atau paling bawah berukuran paling besar dan mengerucut menjadi lebih
kecil pada tingkat-tingkat di atasnya.

Ada beberapa elemen arsitektur candi yang memiliki maknanya masing-masing, antara lain kalamakara,
dwarapala, jaladwara, arca, dan relief. Di antara elemen-elemen tersebut, salah satu elemen terpenting
pada arsitektur candi yaitu arca. Arca yang dianggap sebagai penjelmaan dari dewa membuat arca
menjadi bagian terpenting dari candi. Pada candi bercorak Hindu, arca-arca berupa seperti dewa Siwa,
dewa Wisnu, dan dewa Brahma. Sedangkan pada candi bercorak Buddha, arca-arcanya adalah Budha atau
Bodhisatwa.
Pada umumnya, candi-candi yang bercorak Hindu tidak mengenal penguburan mayat namun dengan cara
membakar mayat dan kemudian melarung abu jenazah ke laut, hal ini menggambarkan bahwa seseorang
tersebut sudah berpisah dengan duniawi dan kembali ke kehidupannya sebelum diciptakan. Setelah
beberapa upacara dilakukan, barulah didirikan candi untuk menyimpan peripih di bagian fondasi candi.
Berbeda halnya dengan candi-candi bercorak Buddha, tujuan didirikannya candi yaitu untuk tempat
ibadah serta menyimpan abu jenazah raja-raja di dalam stupa. Stupa merupakan salah satu dari objek
religius terpenting, khususnya Buddhisme alira Vajrayana. Makna terdalam dari stupa adalah simbol dari
Tubuh Dharma Buddha.
Beberapa perbedaan mendasar lainnya dari candi bercorak Hindu dan Buddha dapat dilihat melalui
bentuk candi, bentuk puncak, arah pintu utama, serta material bangunannya. Pada candi bercorak Hindu,
bentuk candi terlihat ramping. Sedangkan pada candi bercorak Buddha, bentuk candi terlihat tambun.
Untuk puncaknya, candi bercorak Hindu memilki bentuk ratna, sedangkan pada candi bercorak Buddha
memiliki bentuk puncak stupa. Pintu utama candi bercorak Hindu menghadap ke arah barat sedangkan
pada candi bercorak Buddha menghadap ke timur. Material yang digunakan pada candi bercorak Hindu
adalah batu merah sedangkan pada candi bercorak Buddha menggunakan material batu andesit.
Salah satu pengaruh Hindu-Buddha dapat terlihat pada arsitektur bangunan Gereja Poh Sarang yang
terletak di Kediri dan didesain oleh Ir. Henri Maclaine Pont, seorang arsitek yang lahir di Jatinegara, Jakarta
pada tahun 1985 dari seorang Ibu yang keturunan Bugis, dan Ayah yang orang Belanda. Dibangunnya
Gereja Poh Sarang ini dilakukan atas inisiatif Romo Jan Wolters CM pada tahun 1936. Arsitektur Gereja
Pohsarang membuat siapapun mengenali kuatnya akulturasi budaya saat proses pembangunan
berlangsung, khususnya budaya Jawa yang kental dan masuknya filosofi kepercayaan Hindu dan Buddha.
Perancangan Gereja Poh Sarang diawali sebagai “post missi” untuk berkembangnya agama Roma Katolik
di Jawa yang kemudian memunculkan konsep padepokan. Konsep padepokan ini diharapkan membuat
guru-guru dapat mengajar murid-muridnya di sebuah tempat terbuka yang teduh, bukan di bangunan
tertutup seperti sekolah. Selain itu, pada desain digunakan juga visualisasi yang mudah dicerna oleh
Louisa Elizabeth Shenelo – B12200055

masyarakat setempat, seperti halnya ketika masyarakat Jawa memahami agama Hindu melalui visualisasi
relief yang ada di candi.
Adanya pengaruh pengetahuan lokal yang mempengaruhi bentukan bangunan utama gereja Poh Sarang
adalah Gunung Meru, yang secara masif berbentuk piramida segi empat. Bentukan ini diasumsikan
sebagai susunan dasar semesta raya atau Gunung Semeru, yang merupakan gunung tertinggi di pulau
Jawa. Masyarakat Jawa pada masa lalu menganggap bahwa semakin tinggi letak kita berpijak, dan semakin
mendekati pusat kita berada , maka kita akan semakin dekat dengan Sang Pencipta. Hal ini mengakibatkan
dalam tradisi Jawa, bentuk ini dianggap sebagai bentukan yang suci. Hal ini kemudian diadopsi oleh Pont
sebagai bentukan yang paling mendominasi dan menjadi emphasis pada bangunan utama Gereja Poh
Sarang.

Pada fasad bangunan, Gereja Poh Sarang ingin menyiratkan perpaduan antara elemen-elemen arsitektur
Melayu, konsep candi, konsep wayang, serta aspek teologis gereja, spiritual, dan liturgis. Konsep candi
digunakan guna menunjukkan citra rasa arsitektur yang tinggi semenjak zaman keemasan Hindu-Buddha
di tanah Melayu (Nusantara). Konsep candi ini terlihat melalui bentukan candi yang menampilkan simbol-
simbol religius.
Pada pengolahan tapak dan letak bangunan, tapak dibuat berundak atau bertingkat untuk menunjukkan
hirarkhi yang paling tinggi pada bagian bangunan utama diletakkan. Selain itu, ada tiga tingkatan yang
terpengaruh kuat dari filsafat hidup orang Jawa saat itu yang sebagian besar memiliki kepercayaan Hindu
dan Buddha. Terdapat tingkatan Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu. Pembagian tingkatan
kehidupan ini terbagi menjadi tiga tahapan. Kamadhatu merupakan tahap duniawi, Rupadhatu
merupakan tahap transisi dan Arupadhatu merupkan kesempurnaan dan kesucian. Kamadhatu
digambarkan pada tingkat paling bawah yang merupakan pelataran gereja yang berada di sebelah timur.
Kemudian naik tingkat kedua yang berupa Rupadhatu, dan tingkat ketiga lokasi gereja dinamakan
Arupadhatu.
Pengaruh Hindu-Buddha lainnya yang terlihat pada desain Gereja Poh Sarang adalah penggunaan konsep
Tri Mandala yang terlihat dari adanya gapura utama sebagai gapura masuk ke lokasi gereja sebagai
bangunan utama, sebagaimana dalam arsitektur tradisional dikenal dengan istilah candi bentar sebagai
penegasan gapura masuk.

Anda mungkin juga menyukai