Anda di halaman 1dari 13

ARTIKEL ILMIAH

CORAK CANDI PENINGGALAN MASA HINDU-BUDDHA DI


INDONESIA

Disusun untuk memenuhi tugas Sejarah Kebudayaan Indonesia Hindu Buddha dan Islam
Dosen pengampu: Ririn Darini SS., M.Hum.

Disusun oleh

Amalia Vanda

22407141012

FAKULTAS ILMU SOSIAL


UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2022
ABSTRAK

Corak pada bangunan peninggalan masa hindu-buddha tidak lepas dari pengaruh India yang
menyebarkan agama Hindu-Buddha di Indonesia. seni bangunan yang bercorak Hindu-Buddha
dipercaya sudah masuk ke indonesia pada abad ke-8. Namun peninggalan-peninggalan bangunan
tersebut hanya tersisa candi sebagai bangunan yang bisa dikaji. Corak-corak Hindu-Buddha
tersebut dapat dilihat dari relief dan struktur pada candi tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui corak relief pada candi Hindu-Buddha. Metode yang digunakan pada penelitian ini
adalah interpretatif berdasarkan metode kualitatif berdasarkan sumber-sumber tekstual mengenai
corak bangunan pada masa Hindu-Budha. Manfaat penelitian ini adalah untuk menambah
pengetahuan lebih lanjut mengenai arsitektur Hindu-Buddha. Hasil penelitian ini adalah makna-
makna yang terkandung dalam struktur yang terdapat pada candi di Indonesia, bukti bahwa
adanya kearifan local pada pembangunan candi sebagai budaya asing dari India, lalu
pengelompokkan yang ada pada candi berdasarkan aspek-aspek tertentu, mulai dari wujudnya,
agama yang diajarkan, dan corak arsitekturnya

Kata kunci: corak bangunan, candi, Hindu-Buddha.

Abstract

The patterns on the buildings of the Hindu-Buddhist era cannot be separated from the influence
of India which spreads Hindu-Buddhist religion in Indonesia. Hindu-Buddhist-style building art
is believed to have entered Indonesia in the 8th century. However, the remains of the building
are only the temple as a building that can be studied. These Hindu-Buddhist patterns can be seen
from the reliefs and structures of the temple. This study aims to determine the pattern of reliefs in
Hindu-Buddhist temples. The method used in this study is interpretive based on qualitative
methods based on textual sources regarding the style of buildings during the Hindu-Buddhist
period. The benefit of this research is to add further knowledge about Hindu-Buddhist
architecture. The results of this study are the meanings contained in the structures found in
temples in Indonesia, evidence that there is local wisdom in the construction of temples as a
foreign culture from India, then grouping existing temples based on certain aspects, starting
from the form, the religion taught, and the architectural style

Keywords: building style, temple, Hindu-Buddhist


BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebudayaan adalah hasil dari seluruh usaha manusia dalam perkembangannya, baik secara
materiil maupun tidak. Kebudayaan mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
hukum, adat istiadat, kemampuan, serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia
sebagai anggota masyarakat. Lahirnya kebudayaan didorong atas keinginan manusia untuk
memecahkan masalah, mempertahankan dan mempermudah hidupnya. Kebudayaan berasal dari
bahasa sanskerta, yaitu buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata Buddhi yang berarti
"segala sesuatu yang berkaitan dengan akal pikiran manusia, dan dhaya yang berarti kemampuan
mengadakan atau mencipta. Budaya adalah daya dari Budi yang berupa cipta, rasa, dan karsa,
sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa tersebut1

Pada masa praaksara, Indonesia sudah memiliki perkembangan dan kebudayaan yang mandiri
atau asli. Hal ini dibuktikan penelitian yang menemukan kapak model persegi. Masuknya agama
Hindu-Buddha ke Indonesia berdampak pada berkembangnya peradaban di Indonesia, salah
satunya adalah seni arsitektur pada bangunan pada masa Hindu-buddha. Orang-orang India
diperkirakan masuk ke Indonesia pada abad ke-4, sedangkan seni bangunan pada masa itu baru
dikenal abad ke-8 yang telah bercampur dengan kebudayaan di Indonesia. Salah satu
peninggalan pada masa Hindu-buddha adalah tempat-tempat peribadatan, yaitu Candi dan Pura.
Indonesia memiliki corak arsitektur India yang kuat pada sisa-sisa peninggalan pada masa
Hindu-Buddha, khususnya sebagian daerah Jawa, Bali, sumatra dan Kalimantan. Salah satu
peninggalan yang masih tersisa hingga saat ini adalah candi, candi-candi umumnya terbuat dari
batu atau bata yang megah2.

Budaya yang berasal dari India ini tidak serta-merta di adopsi seutuhnya oleh bangsa Indonesia,
melainkan terdapat akulturasi dengan budaya yang sudah ada. Sebelum Hindu-Buddha masuk,
masyarakat Indonesia sudah mengenal punden berundak yang lekat dengan kepercayaan
animisme dan dinamisme atau pemujaan kepada nenek moyang, bukan terhadap dewa-dewa
seperti agama Hindu dan Buddha. Hal ini dapat dilihat bahwa ada perbedaan antara budaya
Hindu dari India atau pun Hindu yang ada di Bali sampai sekarang, hal ini membuktikan adanya
kearifan lokal yang ada dalam masyarakat dalam menghadapi budaya baru yang datang.

B. Metode Penelitian
1
Ririn Darini, "Sejarah Kebudayaan Indonesia Masa Hindu Buddha", (Yogyakarta, Ombak, 2020), hlm. 2

2
Asmito, "Sejarah Kebudayaan Indonesia", (Jakarta, Depdikbud, 1988), hlm. 111
Metode yang digunakan peneliti adalah interpretasi berdasarkan metode kualitatif. Sumber
penelitian berdasarkan karya-karya literatur yang berkaitan dengan seni rupa dan relief pada
sejarah kebudayaan Indonesia. Peneliti menggunakan sumber yang berasal dari buku-buku
seperti Sejarah Kebudayaan Indonesia: Arsitektur karya Mukhlis PaEni, Sejarah Kebudayaan
Indonesia 2 karya Dr. R. Sukmono, Sejarah kebudayaan Indonesia karya Asmito, Sejarah
kebudayaan Indonesia masa Hindu-Budha karya Ririn Darini SS., M.Hum.

BAB 2
PEMBAHASAN

A. Candi, struktur dan filosofinya

Menurut KBBI, candi berarti pada bangunan suci peninggalan zaman Hindu-Buddha di
Indonesia.Candi berasal dari salah satu nama untuk Durga sebagai Dewi Maut, yaitu Candika.
Namun istilah candi tidak secara meluas dikenal oleh seluruh masyarakat Nusantara pada zaman
itu, masyarakat di Jawa timur menyebut candi (kecuali yang berbentuk gapura) sebagai cungkup,
masyarakat Sumatera Utara menyebutnya biora. Dalam agama Hindu, candi merupakan
bangunan yang didirikan untuk pemakaman para raja dan para orang penting di masa itu, namun
yang dikuburkan adalah Pripih, yaitu sisa-sisa pembakaran dari mayat dan benda-benda lainnya
dan di kumpulkan dalam sebuah wadah. Sedangkan dalam agama Buddha, candi tidak pernah
diperuntukkan untuk pemakaman, namun fungsinya sebagai kuil untuk tempat peribadatan
kepada dewa-dewa semata. Didalam nya tidak ada peti . Dalam Negarakertagama dan
Pararaton, candi dikenal juga dengan istilah dharma, sudharma (dharma hajj), pura/puri
(tempat), seperti wisesapura, wisnubhawanapura, Bajrajinaparamitapuri yang dimaknai dengan
percandian3

Sebagai bangunan, candi memiliki 3 bagian yang terdiri dari kaki candi, tubuh candi dan atap
candi. Susunan pada bangunan candi bukanlah tumpukan batu belaka, melainkan memiliki arti
yang arti keagamaan yang bersifat sakral dan suci. Secara filsafat Hindu, kaki candi atau
Bhurloka (alam bawah) memiliki makna tempat manusia biasa, dimana permasalahan dunia
begitu lekat. Tubuh candi atau Bhuwarloka (alam transisi) memiliki mana sebagai tempat
manusia meninggalkan urusan duniawi. Sedangkan atap candi atau Swarloka (alam atas)
memiliki makna sebagai tempat dewa-dewa yang suci dan lepas dari urusan-urusan duniawi yang
fana.4

Pada kaki candi hindu biasanya memiliki bentuk persegi, pada salah satu sisinya memiliki tangga
yang berfungsi untuk naik ke atas, ditengah-tengah kaki candi terdapat sumuran yang
didalamnya berisi abu seorang raja yang wafat atau disebut pripih. Diatas sumuran tersebut,
terdapat patung dewa (Siwa, Wisnu, atau Brahma) atau pengganti Siwa yaitu lingga atau yoni.
Lalu ketika naik tangga, kita bisa melakukan pradaksina yaitu berjalan secara menyebrlah
kanankan candi, hal ini dilakukan untuk melihat dewa-dewa melalui bilik-bilik samping atau
melihat relief-relief yang terdapat pada pagar langkan candi. Pradaksina biasanya dilakukan di
Jawa Tengah, sedangkan di Jawa Timur dikenal dengan prasawya yaitu berjalan mengirikan
candi.5

3
Mukhlis PaEni, "Sejarah Kebudayaan Indonesia: Arsitektur", (Jakarta, Rajawali Pers, 2009), hlm. 159-165

4
Asmito, "Sejarah Kebudayaan Indonesia", (Jakarta, Depdikbud, 1988), hlm. 112

5
Ibid.
Bagian tubuh candi biasanya lebih kecil dari kakinya. Tubuh candi pada umumnya membentuk
kubus atau silinder yang berisi satu atau empat bilik. Lubang perigi berada ditengah bilik utama
dengan ditutup yoni atau lingga. Dinding luar bilik biasanya diberi relung-relung yang diisi oleh
arca. Candi-candi yang besar, relung-relung didalamnya dapat menyimpan patung-patung. Pada
candi Hindu, Relung Utara berisi arca Durgamahesasuramardhini, Relung Selatan berisi arca
Siwa Mahaguru (Agatsya), Relung Timur atau Barat (sesuai arah hadap candi) diisi arca Ganesa.
Selain itu terdapat tata letak lain yang mengandung unsur Trimurti, yaitu Siwa di Timur, Wisnu
di Utara, dan Brahma di Selatan (terdapat pada candi Srikandi dan Sembrada). Sedangkan pada
agama Buddha, relung-relung tersebut diisi oleh patung-patung Buddha dengan berbagai Mudra.
DidalamVajradatu mandala, Wairocana sebagai penguasa zenith yang mudranya dinamakan
dharmacakra, Aksobhya sebagai penguasa timur yang mundranya dinamakan bhumiparca,
Amoghasidhi sebagai penguasa utara yang mudranya dinamakan abhaya, amithaba sebagai
penguasa barat yang mudranya dinamakan dhyana, Ratna-sambhawa sebagai penguasa selatan
dinamakan wara, dan penguasa empat penjuru angin mudranya dinamakan Witarka Mudra.6

Pada bagian atap candi terdiri atas susunan tingkatan (tiga tingkatan dengan pucuk mahkota)
yang semakin mengecil ke atas dan terdapat mahkota di pucuknya. Mahkota dapat berupa
lingga/amakala/shikala, stupa/genta (Sewu), Ratna (Prambanan), atau kubus (candi majapahit).
Atap candi disebut Swarloka yang dimaknai sebagai tempat dewa bersemayam. Pada candi-candi
Buddhis, atap candinya terdapat stupa. Didalam atap candi Hindu, terdapat rongga kecil yang di
dasar rongga tersebut terdapat batu kuncup, yaitu batu yang berbentuk segi empat dan memiliki
ukiran tertentu. Ronga tersebut digunakan dewa untuk sementara bersemayam. Bahan atap
dibeberapa candi tidak semua terbuat dari batu, ada juga yang dari kayu-ijuk yang disusun yang
dikenal dengan atap meru (di Bali). Meru adalah manifestasi puncak suatu stupa yang berbentuk
catra atau payung yang tersusun dan diibaratkan sebagai pohon langit yang berfungsi untuk
menghubungkan antara alam dunia dan alam yang abadi. Di Cina, simbolisasi ini dilambangkan
dengan bentuk pagoda, sedangkan di Nepal dalam bentuk meru yang serupa dengan yang ada di
Jawa dan Bali. Meru sendiri diperkirakan dimulai saat zaman Majapahit dan masih bertahan
hingga sesudahnya7

Pada candi, terdapat beberapa hiasan yang memiliki makna masing masing. Pada bagian atas
setiap pintu masuk atau relung candi terdapat kepala Kala tau Banaspati yaitu kepala raksasa
dengan mata melotot, hidung lebar, dan taring bada kedua sisi gigi. Menurut Stutterheim,
merupakan gambar buaya yang mukanya telah rusak, sedangkan menurut N.J. Krom, makara
adalah gambar kepala gajah yang memiliki tubuh ikan. Makara dikenal sebagai lambang penjaga
yang diciptakan Siwa. Bentuk kepala Kala pada candi peninggalan di Jawa Timur memiliki
rahang dan tidak memiliki makara (binatang mitologis), sedangkan di Jawa Tengah ada yang
tidak berdagu dan bersatu dengan makara. Antefix, hiasan candi yang berbentuk segitiga. Hiasan
Ornamentik, merupakan hiasan yang terdiri dari daun-daunan dan bunga-bungaan. Hiasan
6
Mukhlis PaEni, "Sejarah Kebudayaan Indonesia: Arsitektur", (Jakarta, Rajawali Pers, 2009), hlm. 173-176

7
Ibid., hlm. 177
geometri, memiliki bentuk lingkaran-lingkaran, segi-segi, dan sebagainya. Spiral, garis ikal yg
terbagi dua jenis yaitu ikal biasa dan ikal mursal8

B. Indianisasi dan perkembangan candi di Indonesia yang local genius

Menjelang abad ke-5 Masehi, kebudayaan seni arsitektur dan seni ukir India menyebar ke Birma,
Thailand, Cambodia (modern Kampuchea), Sumatera, Jawa. Di tempat-tempat tersebut, ajaran
Hindu dan Buddha berkembang dan menyebarkan pengaruhnya termasuk pengaruh kebudayaan
seni arsitektur dan seni ukurnya. Salah satu hasil pengaruh ajaran Buddha adalah berdirinya
Candi Borobudur di Kota Magelang, Jawa tengah.

Stupa yang terdapat pada candi Borobudur memiliki tinggi sebesar 42 meter, dan lebar sepanjang
142 meter dalam bentuk bujur sangkar. Stupa ini memiliki 10 tingkatan atau yang disebut
sebagai dasabhumi, yaitu melambangkan sebagai jalan sepuluh sattwa yang ingin menjadi
Buddha. Kesepuluh tingkatan itu meliputi:

1. Tingkat Pramudhita: kenikmatan, kesenangan


2. Tingkat Vimala: bebas dari kekotoran
3. Tingkat Prabhakari: gilang-gemilang
4. Tingkat Arcismati: semangat yang membara
5. Tingkat Sudurjaya: sulit untuk direbut
6. Tingkat Abhimukhi: menunjukkan wajah ke depan
7. Tingkat Durangama: pergi jauh sekali
8. Tingkat Acala: teguh, kokoh, kuat
9. Tingkat Sadhumati: kecerdasan yang baik, bijaksana
10. Tingkat Dharmamegha: awan dari buddha

Tingkat Pramudita, Vimala, dan Prabhakari merupakan Kamadhatu yaitu dimensi alam bawah
dimana tingkat hidup manusia masih dipengaruhi nafsu yang negatif. Tingkat Arcismati,
Sudurjaya adalah rupadhatu yaitu ketika tingkat hidup manusia mesih terkekang nafsu negatif,
namun mampu menjalankan nafsu positif tapi sifat kemanusiaannya masih nampak jelas. Tingkat
Acala, Sadhumati, Dharmamegha melambangkan Arupadhatu yaitu manusia Sudak lepas dari
esensi lahiriyah, tempat dimana para dewa berada9.

Terdapat 2 candi disekitar wilayah Candi Borobudur, yaitu Candi Mendut dan Candi Pawon. Jika
dilihat dari satelit, ternyata ketiga candi ini sejejar yang kemungkinan besar ada proses ritual
peribadatan yang berkaitan dengan ketiga candi tersebut. Arca Buddha Candi Mendut terbuat
dari batu monolit dengan pose sedang duduk di singgasana dengan sikap Dharmaca-kramudra,

8
Asmito, "Sejarah Kebudayaan Indonesia", (Jakarta, Depdikbud, 1988), hlm. 115-117

9
Ibid., hlm. 127-128
yaitu melambangkan pemberian wejangan tentang Dharma. Cara duduk Buddha sangat terkenal
dalam corak kesenian Gupta (300-600) yang berasal dari India10.

Hasil dari pengaruh Hindu-India pun dapat dilihat dengan didirikannya Candi Prambanan yang
merupakan candi Hindu terbesar di Indonesia. Candi Prambanan juga dikenal dengan nama
Candi Rorojonggrang. Candi ini diperkirakan berdiri sejak akhir abad ke-9. Hal ini tertulis pada
Prasasti Siwa Graha yang lokasinya tidak jauh dari candi. Isi bagian pertama prasasti itu berisi
tentang pembangunan kuil yang bernama Siwagraha yang diceritakan sesuai dengan Candi
Prambanan. Pada bagian kedua prasasti memuat tentang peresmian kuil tersebut pada Kamis
Wage, 11 bulan Margasirsa 778 Saka atau 11 November 856 M11

Meskipun candi-candi di Indonesia memiliki gaya arsitektur yang berasal dari India, tetapi pada
perancangannya terdapat campur tangan dari local genius menghasilkan kemampuan daya cipta
perancangan yang kuat pada candi-candi di Indonesia. Jika yang memimpin pembangunan candi-
candi di Indonesia adalah orang India sendiri, maka corak bangunannya akan tidak jauh berbeda
dengan India, namun kenyataannya terdapat perbedaan yang cukup mencolok. Perbedaan
tersebut adalah tidak dipergunakannya kolom batu pada candi-candi di Indonesia, tetapi
kolomnya hanya berbentuk ukiran di sudut-sudut bangunan.12

C. Pengelompokkan candi

Berdasarkan wujudnya, bangunan sakral dari masa hindu-buddha dibagi menjadi beberapa tipe
yaitu:

1. Tipe Menara, seperti Candi Prambanan, Sewu dan termasuk yang berbentuk wihara
2. Tipe Punden, termasuk berundak seperti candi di lereng penanggungan maupun tidak
berundak seperti Candi Kotes
3. Tipe Petirtaan, seperti Candi Watu Gede, Candi Belahan, Candi Jalatunda, Candi Tikus
Tirta Empul
4. Tipe Stupa, termasuk berundak seperti Candi Borobudur maupun tidak berundak seperti
Palgading dan Sumberawan
5. Tipe Gua, seperti Gua Selomangleng Kediri, Gua Selomangleng Tulungagung, Gua
Gajah13

Peletakan candi dibedakan menjadi beberapa tipe, yaitu tunggal, berkelompok, berkelompok
memusat, dan berjenjang ke belakang dalam kelompok besar ataupun kecil. Hal ini diyakini
10
Mukhlis PaEni, "Sejarah Kebudayaan Indonesia: Arsitektur", (Jakarta, Rajawali Pers, 2009), hlm. 188-189

11
Ibid., hlm. 195-196

12
Ibid., hlm. 163-164

13
Ibid., hlm. 164
terkait dengan kondisi sosial politik masyarakat pada saat itu. Kelompok-kelompok candi yang
berada di wilayah Selatan Jawa Tengah disusun dengan candi Induk berada ditengah dan candi-
candi perwaranya tersusun secara rapih di sekelilingnya, sebagai contoh pada komplek Candi
Prambanan dimana terdapat candi induk yang dikelilingi oleh beberapa candi Perwara yang
teratur, hal ini menggambarkan adanya sistem pemerintahan terpusat dan feodal yang
mencerminkan pemerintahan Dinasti Sailendra. Sementara candi-candi Yang berada di sebelah
Utara Jawa Tengah bersifat bebas dan lebih seperti kelompok candi-candi yang masing-masing
berdiri sendiri. Sebagai contoh adalah kelompok candi-candi Dieng dan Gedong Songo yang
mempunyai pola bebas, hal ini diyakini mencerminkan pola pemerintahan Dinasti Sanjaya yang
ada di sana bersifat federal dan demokratis14

Berdasarkan keagamaannya, candi-candi di Indonesia dibagi menjadi tiga jenis yaitu:

1. Jawa Tengah Utara, yang beragama Hindu (terutama Siwa)


a. Candi Gunung Wukir, Magelang
b. Candi Badut, Malang
c. Kelompok Candi Dieng
d. Kelompok Candi Gedong Songo

2. Jawa Tengah Selatan, yang beragama Buddha (Mahayana)


a. Candi kalasan, Yogyakarta
b. Candi Sari, dekat candi Kalasan
c. Candi Borobudur, Magelang
d. Candi Mendut, sebelah timur Candi Borobudur
e. Kelompok Candi Sewu, Desa Prambanan
f. Kelompok Candi Plaosan, sebelah timur Candi Plaosan
g. Kelompok Candi Loro Jonggrang, Desa Prambanan

3. Jawa Timur (termasuk candi-candi di Bali, Sumatera Tengah dan Utara) yang beragama
Tantrayana (baik yang bersifat Siwa dan Buddha)
a. Candi Kidal, Malang, Candi Anusapati
b. Candi Jago, Malang, Candi Wisnuwardhana.
c. Candi Singosari, Malang, Candi Kertanegara
d. Candi Jawi, Prigen, Candi Kertanegara
e. Kelompok Candi Penataran, Blitar
f. Candi Jabung, dekat Kraksaan
g. Kelompok Candi Muara Takus, bangkingan tiger
h. Kelompok Candi Gunung Tuas, Padang Sidempuan15

14
Asmito, "Sejarah Kebudayaan Indonesia", (Jakarta, Depdikbud, 1988), hlm. 118

15
R. Soekmono, "Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2", (Yogyakarta, Kanisius, 1991), hlm. 87-88
Berikut adalah candi-candi yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur

Jawa Tengah
Candi Agama Abad

Kalasan Buddha VIII-IX

Dieng Siwa IX

Borobudur Buddha IX

Mendut Buddha IX

Pawon Buddha IX

Banyunibo Buddha IX

Sewu Buddha IX

Plaosan Buddha IX

Pringapus Siwa IX

Ratu Boko Tantrayana IX

Prambanan Siwa IX

Sari Buddha IX

Ngawen Buddha IX/X

Sukuh dan Ceta Buddha XV

Jawa Timur

Candi Agama Abad

Jalatunda Siwa X
Selamangleng (Tulungagung) Buddha X-XI (Gua)

Selamangleng (Kediri)-Gua Buddha X-XI

Belahan Wisnu XI

Kidal Siwa XIII

Jagho Buddha XIII

Bara Siwa XIII

Singosari Siwa dan Buddha XIII-XIV

Jawi Siwa dan Buddha XIII-XIV

Sumberjati (Simping) Siwa XIV

Panataran Siwa XIV

Surawana Siwa XIV

Tiga wangi Siwa XIV

Kedaton Siwa XIV


16

Di dua tempat tersebut terdapat dua langgam (corak arsitektur) yang berbeda. Penggolongan ini
dibedakan oleh candi dengan langgam Jawa Tengah dan langgam Jawa Timur yang meliputi:

Langgam Jawa Tengah Langgam Jawa Timur

Bentuk bangunannya Tambun Bentuk bangunannya ramping

Atapnya berbentuk undakan yang terdiri atas Atapnya terdiri atas perpaduan undakan-
tiga tingkatan undakan kecil yang membentuk atap yang
melengkung halus

Puncaknya berbentuk Ratna atau Cakra (candi Puncaknya berbentuk kubus (candi Hindu) atau
Hindu), stupa (candi Buddha) dagoba yang menyerupai tabung

Gawang pintu dan relung dihiasi dengan gaya Gawang pintu dan relung hanya dihiasi kala

16
Asmito, "Sejarah Kebudayaan Indonesia", (Jakarta, Depdikbud, 1988), hlm. 119-120
kala-makara

Reliefnya timbul atau menonjol dan lebih Ukiran lebih rendah dan tidak timbul, gaya
tinggi, lukisannya juga bergaya naturalis lukisan seperti yang ada di wayang Bali

Letak candi utama berada ditengah halaman Letak candi utama berada di belakang halaman,
dan dikelilingi candi-candi perwara yang lebih candi perwara terletak didepan candi utama
kecil

Bahan pembuatan candi kebanyakan dari batu Bahan pembuatan candi kebanyakan berasal
andesit dari batu bata merah
17

BAB 3

KESIMPULAN
Candi berasal dari kata Candika yang merupakan nama Dewi Maut. Dalam agama Hindu, candi
difungsikan sebagai tempat pemakaman, sedangkan dalam agama Buddha sebagai tempat
peribadatan. Candi terdiri dari tiga bagian yaitu kaki candi yang melambangkan alam bawah,
tubuh candi yang melambangkan alam transisi, dan atap candi yang melambangkan tempat
dewa-dewa.

Berkembangnya candi memang tidak lepas dari dimana budaya tersebut berasal, yaitu India.
Tetapi perkembangan candi sangat dipengaruhi oleh budaya-budaya yang sudah ada sebelumnya,
yaitu budaya yang dihasilkan dari kearifan lokal di Indonesia. Oleh karena itu, candi yang ada di
Indonesia berbeda dengan yang ada di India, seperti tidak dipergunakannya kolom batu pada
candi-candi di Indonesia, tetapi kolomnya hanya berbentuk ukiran di sudut-sudut bangunan.

Pengelompokkan candi berdasarkan beberapa aspek, mulai dari wujudnya, agama yg diajarkan di
candi tersebut, dan langgam atau corak arsitekturnya. Pengelompokkan berdasarkan wudnua
dibedakan menjadi tipe Menara, tipe Punden, tipe Petirtaan, tipe Stupa, dan tipe Gua.
Pengelompokkan berdasarkan agama yang dianut adalah tipe Jawa Tengah Utara, Jawa Tengah
Selatan, dan Jawa Timur. Sedangkan pengelompokkan berdasarkan corak arsitektur dibedakan
menjadi 2, yaitu langgam Jawa Tengah dan langgam Jawa Timur. Hal ini dapat menggambarkan
bagaimana situasi sosial politik yang ada di masyarakat tersebut

17
Ririn Darini, "Sejarah Kebudayaan Indonesia Masa Hindu Buddha", (Yogyakarta, Ombak, 2020), hlm. 67
REFERENSI

Ririn Darini, Sejarah Kebudayaan Indonesia Masa Hindu Buddha, Yogyakarta: Ombak, 2020

R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, Yogyakarta: Kanisius, 1991

Asmito, Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jakarta: Depdikbud, 1988

Mukhlis PaEni, Sejarah Kebudayaan Indonesia: Arsitektur, Jakarta: Rajawali Pers, 2009

Anda mungkin juga menyukai