Anda di halaman 1dari 6

KORUPSI MERUNTUHKAN VOC

Muhammad Ramdan Wijaya


180310180031
Program Studi Ilmu Sejarah
Universitas Padjadjaran

I. Pendahuluan
VOC (Verenigde oost indische Compagnie) merupakan suatu kongsi
dagang yang didirikan di Belanda pada 20 Maret 1602 Kongsi dagang ini
memiliki pengaruh dalam mengatur dan berkuasa atas wilayah nusantara, VOC
ini praktik dagang yang dikembangkan dalam monopoli, sehingga hubungan
dagang diwarnai kecurangan dan persengkongkolan yang cenderung korupsi.1
Penulis memaparkan latar belakang terjadinya korupsi di
VOC,memaparkan terjadinya tindakan korupsi di VOC seperti apa,maupun
dampak yang terjadi akibat tindakan korupsi VOC.

II. Latar Belakang VOC Korupsi

Ahli-ahli sejarah masih memperdebatkan sejauh mana VOC benar-


benar runtuh disebabkan korupsi pada akhir masa ini,sebagai yang dinyatakan
oleh para jenaka masa itu dalam permainan kata menurut huruf-huruf awal ini,
V(ergaan)O(nder)C(orruptie) yang artinya : Runtuh Lantaran Korupsi. Sejak
awal ditandai oleh kecurigaan terus-menerus terhadap ketidakjujuran abdi
mereka. Gubernur Antonio Van Diemen, menyurati Heeren XVII tentang
parahnya korupsi di tubuh VOC. Van diemen dan Dewannya mengatakan
kepada Heren XVII pada suatu peristiwa (12 Des 1642), Dari sini pastilah
tuan-tuan dapat menilai bagaimana mereka dilayani di Asia, dan betapa

1
C. R. Boxer, Jan Kompeni, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1985), hal. 107
benarnya bahwa banyak orang kita yang ingin saja segera merampoki Kompeni
sebagai musuh .
Pengakuan-pengakuan yang serupa demikian terlalu banyak. Para
pemilik kuasa menyadari sejumlah tertentu korupsi tak dapat dihindarkan
berdasarkan rendahnya gaji sebagian besar para pegawai. Kendati demikian,
terkandung kata-kata keras dalam perintah-perintah mereka yang berulang kali
terhadap penyelewengan dan penggelapan dalam bentuk apapun juga. Pieter
Van Dam,sesudah hampir lima puluh tahun pengalaman dalam bidang
keuangan dan administrasi Kompeni, mengakui dalam beshijuing (penjelasan)
rahasiannya yang disusun hanya untuk dibaca Heren XVII:”bahwa para abdi
Kompeni harus berusaha hidup dan dalam batas gaji mereka, adalah hal yang
sejak semula diakui tidak dapat dilakukan; dan karena itu adakalanya orang
harus menutup mata dan berpaling ke arah lain” (Boxer. 1985: 107-108).

III. Korupsi yang terjadi di VOC


Pada akhir abad ke-18, dengan majunya ekonomi keuangan dan
hadirnya VOC para pedagang lain maupun seseorang yang memiliki,jabatan
seperti bupati, demang, bekel, dan lain-lain, mulai melakukan tindakan
korupsi. Peluang bupati korupsi terjadi ketika menyerahkan pajak dan upeti
kepada Raja atau VOC. 2
Sebagai contoh di Priangan para bupati memperoleh keuntungan ganda
dengan melakukan tindakan – tindakan menguntungkan diri sendiri dan
memeras rakyatnya. Bupati membayar sangat rendah untuk usaha para petani
kopi, sementara mereka menerima harga tinggi dari kumpeni sampai 50 gulden
satu pikul ( 56 kg), kemudian VOC melakukan sesuatu yaitu dengan
menurunkan harga beli karena VOC takut kalau para bupati semakin kaya raya
maka harga diturunkan menjadi 12 gulden perpikul. Pada saat itu ukuran yang
ditetapkan bersifat ganda, terhadap kopi yang diserahkan petani, para petani
menyerahkan satu pikul dengan satuan 102 kg kopi , tetapi para bupati

2
Onghokham, Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang(Jakarta,PDAT,2003),hal. 78-79
menyerahkan kopi ke Batavia satu pikul satuan 56 kg . Jadi para petani diminta
menyerahkan dengan ukuran pikul gunung tapi dibayar dengan pikul gudang
Batavia. 3Dari fakta ini, tidak heran jika Rahayu dalam Semma ( Sample,
Explore, Modify, Model and Assess) (2008) berpendapat bahwa alasan para
bupati ( pejabat) korupsi salah satunya karena belum ada satuan hitung yang
standar .
Vlekke (2008 ) menemukan beberapa bupati di daerah Priangan terjerat
hutang yang diakibatkan oleh perilaku mereka yang buruk, seperti halnya
mereka hidup bersifat dengan kemewahan (hedon). Kemudia Poesponegoro
dan Notosusanto (1990) mengatakan uang itu akan segera dihabiskan para
pejabat lebih cepat waktu menghabiskannya dibanding ketika mereka
memperolehnya.
VOC seperti semua organisasi politik /ekonomi zaman itu, hanya
memberikan gaji nominal, sekadar pengikat. Seorang gubernur pantai utara
jawa, misalnya hanya digaji 80 gulden sebulan dan meminta gaji tersebut
diberikannya saja ke keluarganya di Holand, karena itu para pejabat VOC yang
seharusnya berdagang demi kepentingan majikannya justru berusaha demi
kepentingan sendiri VOC juga di akibatkan korupsi yang terjadi di lingkungan
pegawai VOC, seperti hal seorang juru tulis dapat gaji-bulanan 16-24 gulden,
dan seorang Guburnur Jenderal dapat gaji bulanan 600-700 gulden, keduannya
menghadapi macam-macam godaan , tetapi jelas yang akhir memiliki
kesempatan yang lebih baik. Sebagian besar Gubernur Jenderal berhenti dari
Jabatannya sebagai orang kaya raya, beberapa orang malahan sebagai jutawan
(Boxer, 1985: 109).
VOC melakukan tindakan dengan penangkapan-penangkapan dan
pembersihan berkala, entah diperintahkan oleh Heren XVII atau oleh Gubernur
Jenderal dan Dewannya. Tetapi tindakan ini tidak mempunyai akibat yang
langgeng atau menyebabkan orang lain yang disalahkan menjadi korban. Pada

3
Dra. Erlina Wiyanarti, M.Pd, Artikel Jurnal International Apps “Historia “ Korupsi pada
Masa VOC dalam Multiperspektif
25 April 1722, Hendrik Zwaardek Roon, Gubernur Jenderal yang sama
menyetujui pelaksanaan hukuman mati keji atas Pieter Elberverd dua minggu
sebelumnnya dan memerintahkan 24 orang pejabat yang rendah jabatannya
untuk dihukum karena menyelundupkan rempah-rempah. Orang-orang malang
ini semuanya orang Indo-Eropa atau Kristen pribumi. Para pelanggar yang
tinggi kedudukannya kena hukuman jauh lebih ringan. Dalam tahun 1732
Heren XVII secara tiba-tiba membebas tugaskan sang Gubernur Jenderal,
Direktur Jenderal, dan dua orang anggota Dewan Senior karena korupsi. Ini
menimbulkan sensasi yang hebat, paling tidak untuk sementara. Disini mereka
tidak dikenakan hukuman mati dan saya tidak tahu apakah mereka dipaksa
mengembalikan barang-barang yang diperolehnya secara gelap (Boxer, 1985:
108-109).
Disini orang yang benar bersalah harus kita cari di tempat lain.
Beberapa orang dari pelanggar-pelanggar yang keterlaluan adalah para
syahbandar, inspektur pabean, dan pejabat-pejabat lain yang sengaja
diangkat, untuk mencegah penyelundupan ,tetapi yang sesungguhnya
berkomplot membiarkannya dengan menerima imbalan ( Boxer, 1985: 108).
Tetapi instansi-instansi bawahan melakukan penyogokan dan
pemerasan, dengan membiarkan korupsi kasar dan jauh jangkauannya seperti
yang dilakukan oleh “kompeni-kompeni kecil”. Menurut saya bukan
membiarkan tetapi lebih tidak terlalu diperhatikan tetapi jika tertangkap
(ketahuan) melakukan tindakan korup maka akan langsung diberi konskuensi
yang setimpal. Kompeni-kompeni kecil ini adalah kelompok-kelompok atau
gabungan-gabungan dari orang bawahan VOC, terutama di Bengala dan
Jepang yang melakukan kecurangan dengan menipu. Para pegawai mereka
membuat sedemikian rupa hingga kapal-kapal VOC yang berlayar dari
tempat-tempat ini (Nusantara) lebih banyak memuat barang-barang
selundupan daripada muatan kompeni sendiri. 4

4
C. R. Boxer, Jan Kompeni, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1985), hal. 108
Boxer (1985) dalam bukunya yang berjudul Jan Kompeni menjelaskan
bahwa kehancuran VOC disebabkan oleh perbuatan-perbuatan korupsi yang
dilakukan oleh para pedagang, para pelaut,dan prajurit-prajurit yang
beroperasi di Indonesia . Para pelaut membawa rempah-rempah milik pribadi
dengan menggunakan kapal VOC untuk dijual di Eropa, bahkan sebelum tiba
di tempat tujuan ,sudah di jual di tengah laut.5

IV. Dampak dari korupsi


Para pejabat VOC yang seharusnya berdagang demi kepentingan
atasannya justru mencari keuntungan sendiri. Para pejabat menjadi kaya,
sedanglan VOC itu sendiri mengalami kemiskinan. Dampak dari korupsi
yang dilakukan oleh para pegawai dan pejabat VOC yaitu kebangkrutan.
(Onghokham, 2003: 79-80).
V. Kesimpulan
Kongsi dagang VOC yang maju akhirnya mengalami kebangkrutan
yang disebabkan merajalelanya korupsi baik itu pejabat VOC ataupun
pegawai VOC.

5
T.R. Andi Lolo, Voc di Kepulauan Indonesia, (Den Haag: Kedutaan Besar Republik Indonesia
Den Haag, 2002), hal. 26
DAFTAR PUSTAKA
Boxer, C. (1985). Jan Kompeni. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Lolo, T. A. (Penyunting). (2002). VOC di Kepulauan Indonesia. Den Haag:
Kedutaan Besar Republik Indonesia Den Haag.
Onghokham. (2003). Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang. Jakarta: PDAT.
Wiyanarti, E, M.Pd, (TD). Artikel Jurnal International Apps “Historia “ Korupsi
pada Masa VOC dalam Multiperspektif

Anda mungkin juga menyukai