Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

Tentang
BIOGRAFI DAN KETELADANAN
“Ir. SUKARNO”

Disusun oleh :

NAMA : FAREL KASPARI


KELAS : IX D

MTsN 1 TALIWANG
KABUPATEN SUMBAWA BARAT
PROVINSI NUSA TENGGATA BARAT
TAHUN 2020

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang


Soekarno merupakan sosok yang jasanya tidak bisa dilupakan begitu saja dalam
membangun negeri Ini. Peranan besar yang telah dilakukan oleh orang ini, terutama
dalam hal memerdekakan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan akan selalu
terpatri sebagai jasa-jasa yang tidak akan tergerus selamanya oleh masa. Memang, jika
kita amati, Sosok Bapak Bangsa ini merupakan pribadi yang unik, bersama Drs.
Muhammad Hatta satu sama lainnya menjadi pribadi yang saling melengkapi dan
mengisi kekurangan-kekurangan yang ada di antara mereka.
Sebagai sosok yang memiliki label penggerak massa, Soekarno memiliki peranan
sebagai pemain depan yang dengan jelas terlihat bagaimana pola pikir dan cara
berbicaranya Ketika berada di depan podium untuk berpidato, Soekarno adalah singa
podium yang berjuluk “Penyambung Solidaritas Rakyat”. Ia memainkan peran dalam
menyampaikan pesan persatuan dan kesatuan untuk tercapainya Indonesia merdeka.

B.       Rumusan Masalah


Makalah ini akan membatasi pengangkatan materi tentang Ir. Soekarno dalam 2
rumusan masalah yang cukup menarik perhatian yaitu tentang :
1.      Bagaimanakah biografi Ir. Soekarno ?
2.      Bagaimanakah pemikiran Ir. Soekarno dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ?
3.      Hal-hal yang menarik apa sajakah dalam biografi Ir. Soekarno ?
4.      Apa sajakah yang dapat diteladani dari biografi Ir. Soekarno ?

C.      Tujuan
1.    Mengetahui sejarah kehidupan dari Ir. Soekarno
2.    Mengetahui berbagai sikap dan pemikiran dari Ir. Soekarno terhadap kelangsungan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
3.    Mengetahui berbagai hal yang menarik dalam  sikap dan sepak terjang serta pemikiran
Ir. Soekarno terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara yang berpengaruh sampai di
tingkat dunia.
4.    Mengetahui dan meneladani konsistensi dari sikap dan pemikiran Ir. Soekarno dalam
perjuangannya membebaskan Indonesia dari belenggu imperialisme kolonial.
D.      Manfaat
Diharapkan dari makalah ini bisa dipetik contoh-contoh keteladanan yang
diberikan oleh sang proklamator khususnya bagi para pembaca dan generasi muda pada
umumnya supaya bisa dijadikan penyemangat dalam berjuang mengisi kemerdekaan
dengan menjadi pribadi yang baik dan berjuang baik untuk kehidupannya pribadi
maupun memajukan bangsa.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Soekarno

Ir. Soekarno (lahir di Blitar pada 6 Juni 1901- meninggal pada tanggal 21 Juni
1970 di kota Blitar,  Jawa Timur). Ayahnya Raden Sukemi Sosrohadihardjo, adalah
seorang priyayi rendahan yang bekerja sebagai guru Sekolah Dasar. Ibunya Nyoman Rai
berdarah biru dari Bali dan beragama Hindu. Pertemuan mereka terjadi ketika Raden
Sukemi, yang sehabis menyelesaikan studi di Sekolah Pendidikan Guru Pertama di
Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, ditempatkan di Sekolah Dasar Pribumi di
Singaraja, Bali.
Dalam usia kanak-kanak, Soekarno tinggal dan diasuh oleh kakeknya, Raden
Hardjokromo di Tulung Agung, Jawa Timur. Kakeknya adalah seorang pedagang batik,
yang secara tidak langsung membantu penghidupan dari kedua orangtua Soekarno yang
pada waktu itu tidak memiliki penghasilan yang cukup untuk menghidupi dirinya dan
kakaknya. Kecintaan Soekarno terhadap wayang kulit, mulai tumbuh selama tinggal
bersama kakeknya. Ia sering kali menonton wayang kulit sampai larut malam.
Kesenangannya menonton wayang membuatnya terkesan dengan tokoh Bima
dibandingkan dengan tokoh lain.
Tokoh Bima juga memiliki pengaruh yang besar dalam sikap dan pandangan
politiknya kelak. Sikap nonkooperasi terhadap musuh-musuhnya, kaum imperialis
maupun kaum kapitalis, serta kesediaannya dalam waktu bersamaan berkompromi
dengan sesama rekan seperjuangannya, meskipun berbeda pandangan praktis dapat
dikatakan berasal dari Bima.
Di Tulung Agung, ia pertama kali masuk sekolah. Tetapi ia kurang
mempergunakan kesempatan sebaik mungkin untuk belajar. Hal ini disebabkan ia lebih
sering melamun tentang kisah perang Bharata Yudha. Namun, sisi keingintahuan yang
besar dan minatnya terhadap pengetahuan sudah mulai tumbuh pada saat ini. Berkat
sifat keingintahuan yang dimiliki olehnya, Soekarno memiliki wawasan yang lebih luas
daripada teman-teman sebayanya.
Tidak lama kemudian, setelah kedua orangtuanya pindah ke Sidoarjo dan
mendapat jabatan sebagai Kepala Eerste Klasse School di Mojokerto, di sini,
kepandaiannya mulai terlihat dengan jelas. Mungkin ini disebabkan oleh profesi
ayahnya yang juga seorang guru sehingga dapat mengawasi kegiatan belajar mengajar
anaknya secara langsung. Kemudian, Raden Sukemi memasukkan Soekarno
ke Europeesche Lagere School (E.L.S). Sekolah tersebut didirikan guna memenuhi
kebutuhan anak-anak pekerja di pabrik gula.
Selama bersekolah di sini, Soekarno merasakan adanya diskriminasi yang
diberlakukan kepada kaumnya. Hanya bumiputera tertentu yang mendapatkan
kesempatan untuk mendapatkan hak istimewa itu. Mereka yang bukan anak pejabat
hanya bisa masuk ketika ada izin khusus dari residen dan memenuhi syarat-syarat
tertentu. Sebelum ia menginjakkan kaki di tempat tersebut, pada tahun 1913, Soekarno
harus mengorbankan waktunya untuk memperdalam bahasa Belanda pada Juffrow M.P
De La Riviera, guru bahasa Belanda di ELS. Selama bersekolah di ELS Soekarno juga
mengalami cinta pertama kepada seorang gadis Belanda yang bernama,
Rikameelhuysen. Tetapi, hubungan mereka berdua ditentang oleh ayah sang gadis
karena melihat kedudukan Soekarno yang hanya merupakan pribumi. Meskipun,
akhirnya hubungan itu putus dan Soekarno dihina, ia tidak marah karena menganggap
hal itu sudah biasa.
Pribadi Soekarno, selain banyak mendapatkan pendidikan di ELS, ia juga
mendapatkan pendidikan dari ayahnya dengan keras, penuh disiplin, tetapi di sisi lain
mengajarkan untuk mencintai makhluk tak berdaya. Sedangkan dari ibunya, Nyoman
Rai, ia mendapatkan pengaruh mistik dari pemikiran Hindu dan sifat yang lemah lembut
serta kasih sayang. Dari pembantunya Sarinah, sebagaimana diungkapkan oleh
Soekarno sendiri, ia memperoleh pengaruh kemanusiaan dan sikap emansipasif. Ia amat
terkesan dan mengagumi sikap perempuan tersebut. Meskipun ia hanya seorang
pembantu, di mata Soekarno ia adalah perempuan bijaksana dan berbudi luhur.
Setelah menyelesaikan ELS di Mojokerto, pada tahun 1915, Sukarno ingin
melanjutkan pelajarannya di Hogere Burger School (HBS). Agar Soekarno diterima
sebagai siswa HBS, ayahnya menggunakan pengaruh kawannya untuk memasukkan ke
sekolah tertinggi yang ada di Jawa Timur tersebut. Melalui jasa baik, H.O.S
Tjokrominoto, Soekarno akhirnya diterima di sana. Bahkan tokoh gerakan massa
nasionalis Islam itu memberikan pondokan di kediamannya, walaupun ia tidak
mendapatkan kamar yang baik. Ia menempati sebuah kamar yang gelap tanpa jendela
dan daun pintu. Sebagai penerangan lampu pijar yang menyala sepanjang hari. Tetapi ia
menerima kenyataan tersebut tanpa menggerutu, karena memang tidak ada kamar lagi
dan hanya itulah satu-satunya kamar yang belum terisi dan Soekarno menjadi
penghuninya. Tetapi yang penting bagi ayahnya adalah anaknya dapat tinggal satu atap
dengan “Raja Jawa” yang tak bermahkota.
Alasan dari Sukemi untuk menitipkan Soekarno kepada Tjokrominoto dijelaskan
oleh Soekarno dalam buku biografinya yang ditulis oleh Cindy Adams (1966),
sebagaimana yang diungkap oleh Soekarno: “Tjokro adalah pemimpin baik dari orang
Jawa. Sungguhpun engkau akan mendapat pendidikan Belanda, aku tidak ingin darah
dagingku menjadi kebarat-baratan. Karena itu kukirim kepada Tjokro orang yang
dijuluki Belanda sebagai Raja Jawa yang tidak dinobatkan. Aku tidak ingin melupakan,
bahwa warisanmu adalah untuk menjadi Karna kedua.”
Selama berada di Surabaya, Soekarno banyak mendapatkan pengaruh pemikiran
barat yang modern. Perpisahan dengan orangtua dan lingkungan desanya juga
memberikan pengaruh positif bagi dirinya. Soekarno berada di Surabaya selama lima
tahun. Selama itu ia tinggal di rumah Tjokrominoto. Di tempat itulah pendidikan politik
Soekarno dimulai dengan interaksi dengan berbagai pemahaman pemikiran yang ada di
sana. Soekarno juga berkenalan dengan orang-orang beraliran sosialis, seperti Alimin,
Muso, dan Dharsono yang juga mendapat kedudukan penting dalam kepengurusan
Sarekat Islam maupun di dalam keanggotaan Indische School Democratische
Vereeniging (ISDV).
Sebagai remaja yang gelisah, ia menyalurkan aspirasinya melalui surat kabar
Milik Sarekat Islam, Oetoesan Hindia. Ia Menuangkan Pemikiran Dengan Nama
samaran ‘Bima”. Menurut pengakuannya, penggunaan nama samaran itu dimaksudkan
agar ia tidak dimarahi oleh ayahnya, sebab ayahnya akan marah apabila mengetahui
anaknya membahayakan masa depannya sendiri. Memang kata-kata yang digunakan
Soekarno cukup tajam seperti “Hancurkan segera kapitalisme yang dibantu oleh
budaknya, imperialisme. Dengan kekuatan Islam, Insya Allah itu segera
dilaksanakan.” Di samping itu, Soekarno juga aktif dan melibatkan dirinya dalam
organisasi pemuda Tri Koro Darmo Cabang Surabaya, yang dibentuk pada 1915 sebagai
bagian dari organisasi Budi Oetomo. Kemudian berganti nama menjadi Jong Java pada
1918.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di HBS pada 10 Juni 1921, Soekarno
beserta istrinya, Siti Oetari Tjokrominoto, puteri Tjokrominoto yang dinikahi olehnya
pada 1920 atau 1921, meninggalkan Surabaya menuju Bandung. Di sana ia bersama
istrinya berdiam di kediaman Haji Sanusi, anggota Sarekat Islam dan juga kawan akrab
Tjokrominoto. Di tempat itu pula Soekarno pertama kali bertemu dengan Inggit
Garnasih, Isteri Haji Sanusi. Kota Bandung mempunyai iklim ideologis yang khas jika
dibandingkan dengan kota-kota lain. Jika Sarekat Islam berpusat di Surabaya, maka
Semarang dikenal sebagai pusat pemikiran Marxisme. Kedua kota ini saling
mempengaruhi dan saling berebut pengaruh.
Tetapi Bandung justru menampilkan watak yang berlainan dengan kedua kota di
atas, sebab di kota Bandung telah berkembang sebuah pemikiran bahwa tujuan
pergerakan adalah kemerdekaan penuh bagi Indonesia. Gagasan-gagasan ini
dikembangkan oleh para pemimpin Indische Partij yang akhirnya mempengaruhi
pemikiran-pemikiran selanjutnya. Akhirnya kota Bandung menampilkan diri sebagai
pusat pemikiran nasionalis sekuler.
Di kota ini, Soekarno berkenalan dengan tokoh-tokoh nasionalis sekuler, seperti,
E.F.E Douwes Dekker, Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara. Perkenalan
ini telah membawa nuansa baru dalam berpikir Soekarno. Seperti halnya dalam
pendekatan yang diperkenalkan oleh Douwes Dekker dalam mendekati situasi Hindia
Belanda dan bagaimana cara mengubahnya amat menarik perhatian Soekarno.
Pemikiran yang diperkenalkan tersebut terlihat berbeda dari pemikiran sebelumnya
didapat dari tokoh-tokoh yang ditemuinya.
Dengan bertemunya berbagai tokoh yang memiliki berbagai aliran pemikiran
tentunya membuat pikiran Soekarno semakin tersusun secara teratur. Di samping itu
kesaksiaannya terlihat di depan matanya. Soekarno melihat di lingkungan Tjokrominoto
senantiasa timbul pertentangan antara Golongan Kanan (Tjokrominoto) dengan
Golongan Kiri (Semaun-Darsono) dalam Sentral Serikat Islam yang berkedudukan di
Surabaya. Pertikaian yang memuncak tersebut berakhir dengan terpecahnya Sarekat
Islam menjadi dua bagian, yakni Sarekat Islam Putih dan Merah. Sarekat Islam Merah,
akhirnya merubah dirinya menjadi Sarekat Rakyat.
Jiwa patriotisme Soekarno tidak hanya dibentuk melalui figur seorang
Tjokrominoto. Sebagaimana diungkapkan oleh Bob Hering, bahwa adanya interaksi
antara Soekarno dan para pengikut aliran Marxis seperti Muso, Alimin, dan Semaun.
Juga para orang-orang sosialisme radikal Belanda, seperti Coos Hartogh, Henk
Sneevliet, dan Aser Baars. Memang jika dipahami, pengaruh Nasionalisme, Islam, dan
Marxisme-Sosialisme sudah memiliki andil yang besar pada diri Soekarno bahkan pada
saat dia muda. Secara jelas, ini dibentuk dari keberadaan Soekarno yang pada mulanya
mendapatkan pendidikan politik di Surabaya.
Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club  di Bandung.
Organisasi ini merupakan cikal bakal dari Partai Nasional Indonesia (PNI) yang
didirikan olehnya pada tahun 1927. Aktivitas Soekarno di PNI menyebabkan dirinya
ditangkap oleh Belanda pada bulan Desember 1929, dan memunculkan Pledoi atau
Pembelaannya yang fenomenal dengan judul Indonesia Menggugat, hingga dibebaskan
kembali pada tanggal 31 Desember 1931.
Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo),
yang merupakan pecahan dari PNI. Akibatnya, Soekarno kembali ditangkap pada bulan
Agustus 1933, dan diasingkan ke Flores. Di sini, Soekarno hampir hilang dan terlupakan
oleh tokoh-tokoh nasional. Namun, semangat dan api perjuangan yang tidak pernah
padam senantiasa membuat Soekarno tetap tegar dalam menghadapi hambatan dalam
perjuangan. Ini terbukti melalui suratnya kepada seorang guru Persatuan Islam bernama
Ahmad Hassan.
Selama menjadi Presiden, Soekarno banyak memberikan gagasan-gagasan di
Dunia Internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, yang masih
belum merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri,
menyebabkan Presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk
mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung dan menghasilkan Dasa Sila Bandung.
Tujuan dari KAA adalah untuk menentang tindakan imperialisme dan kolonialisme
yang terjadi di dunia yang banyak dilakukan oleh negara-negara barat.
Setelah ‘Bercerai’ dengan Mohammad Hatta, pada tahun 1955, masa-masa
kesuraman pemerintahan Soekarno sudah mulai tampak. Ditambah dengan keadaan
politik dalam negeri yang sudah mulai tidak stabil akibat adanya pemberontakan
separatis yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia. Dan berpucak pada pemberontakkan
G 30 S/ PKI, membuat Soekarno di dalam masa jabatannya tidak bisa memenuhi cita-
cita bangsa Indonesia yang makmur dan sejahtera. Akibat selanjutnya, Soekarno
terpaksa dicabut masa jabatannya oleh MPRS setelah pidato pertanggungjawabannya
ditolak.
B.       Pemikiran Soekarno
Pada tanggal 17 Mei 1956 Presiden Soekarno mendapat kehormatan untuk
menyampaikan pidato di depan Kongres Amerika Serikat dalam rangka kunjungan
resminya ke negeri tersebut. Sebagaimana dilaporkan dalam halaman pertama New
York Times pada hari berikutnya, dalam pidato itu, dengan gigih Soekarno menyerang
kolonialisme. Perjuangan dan pengorbanan yang telah kami lakukan demi pembebasan
rakyat kami dari belenggu kolonialisme,” kata Bung Karno, “Telah berlangsung dari
generasi ke generasi selama berabad-abad.” Tetapi, tambahnya, perjuangan itu masih
belum selesai. “Bagaimana perjuangan itu bisa dikatakan selesai jika jutaan manusia di
Asia maupun Afrika masih berada di bawah dominasi kolonial, masih belum bisa
menikmati kemerdekaan.
Menarik untuk disimak bahwa meskipun pidato itu dengan keras menentang
kolonialisme dan imperialisme, serta cukup kritis terhadap negara-negara barat, ia
mendapat sambutan luar biasa di Amerika Serikat (AS). Namun, lebih menarik lagi
karena pidato itu menunjukkan konsistensi pemikiran dan sikap-sikap Bung Karno.
Sebagaimana kita tahu, kuatnya semangat antikolonialisme dalam pidato itu bukanlah
merupakan hal baru bagi Bung Karno. Bahkan sejak masa mudanya, terutama pada
periode tahun 1926-1933, semangat antikolonialisme dan anti-Imperialisme itu sudah
jelas tampak. Bisa dikatakan bahwa sikap antikolonialisme dan anti-imperialisme
Soekarno pada tahun 1950-an dan selanjutnya hanyalah merupakan kelanjutan dari
pemikiran-pemikiran dia waktu muda.Tulisan berikut dimaksudkan untuk secara singkat
melihat pemikiran Soekarno muda dalam menentang kolonialisme dan imperialisme dan
selanjutnya elitisme serta bagaimana relevansinya untuk sekarang.
1.      Antikolonialisme Dan Anti-Imperialisme        
Salah satu tulisan pokok yang biasanya diacu untuk menunjukkan sikap dan
pemikiran Soekarno dalam menentang kolonialisme. Adalah tulisannya yang terkenal
yang berjudul Nasionalisme, Islam Dan Marxisme”. Dalam tulisan yang aslinya dimuat
secara berseri di Jurnal Indonesia Muda tahun 1926. Itu, sikap antikolonialisme tersebut
tampak jelas sekali. Menurut Soekarno, yang pertama-tama perlu disadari adalah bahwa
alasan utama kenapa para kolonialis Eropa datang ke Asia bukanlah untuk menjalankan
suatu kewajiban luhur tertentu. Mereka datang terutama “Untuk mengisi perutnya yang
keroncong belaka.” Artinya, motivasi pokok dari kolonialisme itu adalah ekonomi.
Sebagai sistem yang motivasi utamanya adalah ekonomi, Soekarno percaya,
kolonialisme erat terkait dengan kapitalisme, yakni suatu sistem ekonomi yang dikelola
oleh sekelompok kecil pemilik modal yang tujuan pokoknya adalah memaksimalisasi
keuntungan. Dalam upaya memaksimalisasi keuntungan itu, kaum kapitalis tak segan-
segan untuk mengeksploitasi orang lain. Melalui kolonialisme para kapitalis Eropa
memeras tenaga dan kekayaan alam rakyat negeri-negeri terjajah demi keuntungan
mereka. Melalui kolonialisme inilah di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia,
kapitalisme mendorong terjadinya apa yang ia sebut sebagai Exploitation De L’homme
Par L’homme atau Eksploitasi Manusia oleh manusia lain.
Soekarno menentang kolonialisme dan kapitalisme itu. Keduanya melahirkan
struktur masyarakat yang eksploitatif. Sebagai suatu sistem yang eksploitatif,
kapitalisme. Itu mendorong imperialisme, baik imperialisme politik maupun
imperialisme ekonomi. Tetapi Soekarno muda tak ingin menyamakan begitu saja
imperialisme dengan pemerintah kolonial imperialisme.
2.      Anti-Elitisme
Selain kolonialisme dan imperialisme, di mata Soekarno ada tantangan besar lain
yang tak kalah pentingnya untuk dilawan, yakni Elitisme. Elitisme mendorong
sekelompok orang merasa diri memiliki status sosial politik yang lebih tinggi daripada
orang-orang lain, terutama rakyat kebanyakan.
Elitisme ini tak kalah bahayanya, menurut Soekarno, karena melalui sistem feodal
yang ada ia bisa dipraktikkan oleh tokoh-tokoh pribumi terhadap rakyat negeri sendiri.
Kalau dibiarkan, sikap ini tidak hanya bisa memecah-belah masyarakat terjajah, tetapi
juga memungkinkan lestarinya sistem kolonial maupun sikap-sikap imperialis yang
sedang mau dilawan itu. Lebih dari itu, elitisme bisa menjadi penghambat sikap-sikap
demokratis dalam masyarakat modern yang dicita-citakan bagi Indonesia merdeka.
Soekarno melihat bahwa kecenderungan elitisme itu tercermin kuat dalam struktur
bahasa Jawa yang dengan pola “Kromo” dan “Ngoko”-Nya mendukung adanya
stratifikasi sosial dalam masyarakat. Untuk menunjukkan ketidaksetujuannya atas
stratifikasi. Demikian itu, dalam Rapat Tahunan Jong Java di Surabaya pada bulan
Februari 1921, Soekarno berpidato dalam Bahasa Jawa Ngoko, dengan akibat bahwa ia
menimbulkan keributan dan ditegur oleh Ketua Panitia. Upaya Soekarno yang jauh lebih
besar dalam rangka menentang elitisme dan meninggikan harkat rakyat kecil di dalam
proses perjuangan kemerdekaan tentu saja adalah pencetusan gagasan marhaenisme.
Dalam kaitan dengan usaha mengatasi elitisme itu ditegaskan bahwa marhaneisme
“Menolak tiap tindak borjuisme” yang bagi Soekarno, merupakan sumber dari
kepincangan yang ada dalam masyarakat. Ia berpandangan bahwa orang tidak
seharusnya berpandangan rendah terhadap rakyat. Sebagaimana dikatakan oleh Ruth
Mcvey, bagi Soekarno rakyat merupakan “Padanan mesianik dari proletariat dalam
pemikiran Marx,” Dalam arti bahwa mereka ini merupakan “Kelompok yang sekarang
ini lemah dan terampas hak-haknya, tetapi yang nantinya, ketika digerakkan dalam
gelora revolusi, akan mampu mengubah dunia.”
Langkah-langkah apa yang diusulkan oleh Soekarno untuk melawan kolonialisme,
imperialisme serta elitisme itu? Pertama-tama ia mengusulkan ditempuhnya jalan
nonkooperasi. Bahkan sejak tahun 1923 Soekarno sudah mulai mengambil langkah
nonkooperasi itu, yakni ketika ia sama sekali menolak kerja sama dengan pemerintah
kolonial. Dalam kaitan dengan ini ia kembali mengingatkan bahwa motivasi utama
kolonialisme oleh orang Eropa adalah motivasi ekonomi. Oleh karena itu mereka tak
akan dengan sukarela melepaskan koloninya.
Langkah lain yang menurut Soekarno perlu segera diambil dalam menentang
kolonialisme dan imperialisme itu adalah menggalang persatuan di antara para aktivis
pergerakan. Dalam serial tulisan Nasionalisme, Islam dan Marxisme ia menyatakan
bahwa sebagai bagian dari upaya melawan penjajahan itu tiga kelompok utama dalam
perjuangan kemerdekaan di Indonesia, yakni para pejuang Nasionalis, Islam dan Marxis,
hendaknya bersatu. Dalam persatuan itu nanti mereka akan mampu bekerja sama demi
terciptanya kemerdekaan Indonesia. “Bahtera yang akan membawa kita kepada
Indonesia merdeka,” ingat Soekarno, “Adalah Bahtera Persatuan.”
Seruan-seruan Soekarno itu pada tanggal 4 Juli 1927 dilanjutkan dengan pendirian
Partai Nasional Indonesia (PNI) yang sebagai tujuan utamanya dicanangkan untuk
“Mencapai Kemerdekaan Indonesia.” Guna memberi semangat kepada para aktivis
pergerakan, pada tahun 1928 ia menulis artikel berjudul Jerit Kegemparan, di mana ia
menunjukkan bahwa sekarang ini pemerintah kolonial mulai waswas dengan semakin
kuatnya pergerakan nasional yang mengancam kekuasaannya. Ketika pada tanggal 29
Desember 1929 Soekarno ditangkap dan pada tanggal 29 Agustus 1930 disidangkan
oleh pemerintah kolonial, Soekarno justru memanfaatkan kesempatan di persidangan
itu. Dalam Pleidoinya yang terkenal berjudul Indonesia Menggugat dengan tegas ia
menyatakan perlawanannya terhadap kolonialisme. Dan tak lama setelah dibebaskan
dari penjara pada tanggal 31 Desember 1931 ia bergabung dengan Partai Indonesia
(Partindo), yakni partai berhaluan nonkooperasi yang dibentuk pada tahun 1931 untuk
menggantikan PNI yang telah dibubarkan oleh pemerintah kolonial.

C.           Hal-hal yang Menarik dari Biografi Ir. Sookarno


Kecintaan Ir. Soekarno pada wayang semasa kecilnya sangat mempengaruhi
sikap dan perilakunya terutama berdasarkan kecintaannya pada tokoh Bima
menjadikannya pribadi yang jujur dan berani. Sikapnya yang keras dan nonkoopertaif
membuatnya harus berurusan dengan pemerintah kolonial dan merelakan dirinya
menjadi tawanan dan dipenjara berkali-kali.
Sikapnya terhadap antielitisme jelas karena elitisme hanya merugikan
kehidupan berbangsa karena bisa memecah kutuhan berbangsa apalagi  bila itu
tercermin dari sikap para elit pemerintahan dan elite metropolitan yang hanya saling
berebut pengaruh dan kekuasaan serta meninggalkan kesejahteraan rakyat yang menjadi
tujuan utama.
Hal ini tampak misalnya ketika ia mendirikan PNI. Di satu pihak memang
dengan jelas digariskan bahwa tujuan utama PNI adalah mencapai Indonesia merdeka.
Tetapi di lain pihak cita-cita kemerdekaan itu tidak disertai hasrat untuk mengubah
sistem politik yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial dengan sistem politik yang
sama sekali baru. Alih-alih perubahan total, Soekarno, sebagaimana banyak aktivis
pergerakan waktu itu, berkeinginan bahwa negeri yang merdeka itu nanti akan ditopang
oleh sistem yang mirip dengan sistem yang menopangnya saat terjajah. Hanya elitenya
akan diganti dengan elite baru, yakni elite pribumi.

Berhubungan dengan sikap anti-elitismenya perlu dilihat bahwa meskipun


dalam pidato dan tulisan-tulisannya Soekarno tampak melawan elitisme, tetapi
sebenarnya bisa diragukan apakah ia sepenuhnya demikian. Hal ini tampak misalnya
dalam pidato yang ia sampaikan pada tanggal
26 November 1932 di Yogyakarta, kota pusat aristokrasi Jawa. Dalam pidato itu
Soekarno mengajak setiap orang, apapun status sosialnya, untuk bersatu demi
kemerdekaan. Tetapi sekaligus ia menegaskan bahwa bersama Partindo dirinya tidak
menginginkan perjuangan kelas. Dalam tulisan Nasionalisme, Islam dan Marxisme,
sebagaimana disinyalir oleh Mcvey, sebenarnya Soekarno sama sekali tidak sedang
bicara dengan rakyat banyak. Dalam tulisan itu ia, menurut Mcvey, “Tidak
menyampaikan imbauannya kepada kelompok-kelompok radikal pedesaan dan proletar
yang telah memelopori pemberontakan komunis setahun sebelumnya, atau kepada para
santri-santri taat pejuang Islam, atau kepada rakyat kebanyakan di dalam maupun di
sekitar wilayah perkotaan yang bergabung ke dalam PNI yang didirikan oleh Soekarno
saat mereka sedang mencari pegangan di tengah lunturnya nilai-nilai tradisional.”
Soekarno, sebaliknya, lebih mengalamatkan imbauannya kepada sesama kaum elite
pergerakan, atau kepada apa yang disebut oleh Mcvey sebagai “Elite Metropolitan,”
yang keanggotaannya biasanya ditentukan oleh tingkat pendidikan barat yang diperoleh
seseorang.
Jika Soekarno tampak terpisah dari rakyat, sebenarnya ia tidak sendirian. Banyak
tokoh elite perjuangan pada zamannya juga demikian. Ketika membubarkan PNI pada
tanggal 25 April 1931, misalnya, para pemimpin partai itu tidak banyak berkonsultasi
dengan rakyat kebanyakan yang menjadi anggotanya. Akibatnya rakyat menjadi
kecewa, membentuk apa yang disebut “Golongan Merdeka,” dan memperjuangkan
pentingnya pendidikan rakyat.
Bahkan pada masa revolusi sendiri bisa dipertanyakan apakah sebenarnya rakyat
yang ikut gigih bertempur dan berkorban mempertahankan kemerdekaan itu mendapat
kesempatan yang maksimal dalam menentukan arah revolusi. Dalam tulisannya
mengenai pola hubungan antara elite dan rakyat pada zaman revolusi, Barbara Harvey
menyatakan bahwa hubungan itu tidak hanya amat lemah, tetapi juga berakibat cukup
fatal bagi revolusi kemerdekaan itu sendiri. Lemahnya hubungan antara para pemimpin
nasional di tingkat pusat dengan rakyat di desa-desa, menurut dia, “Merupakan faktor
utama bagi gagalnya elite kepemimpinan untuk menggalang dan mengarahkan kekuatan
rakyat demi terwujudnya tujuan-tujuan revolusi.”
Dengan kata lain, sebenarnya rakyat tidak sepenuhnya dilibatkan dalam proses
bernegara. Jika ini benar, mungkin tak terlalu mengherankan jika PKI
meskipun pada tahun 1948 ditekan besar-besaran setelah Peristiwa Madiun, dalam
waktu singkat berkembang pesat pengikutnya. Ini antara lain karena di dalam PKI
banyak rakyat merasakan bahwa justru dalam partai yang menekankan antikemapanan
(Baca: Anti-Elite Metropolitan) itu kepentingan dan cita-cita mereka mendapat
tempatnya. Dalam Pemilu 1955 PKI bahkan berhasil memperoleh suara terbanyak
keempat.
Dengan sedikit meminjam seruan Bung Karno yang terkenal, sekarang ini kita
perlu “Membangun Dunia Baru.” Tetapi upaya untuk membangun dunia yang baru itu
kiranya harus dimulai dengan terlebih dahulu “Membangun Indonesia Baru.” Dan upaya
membangun Indonesia Baru itu mungkin harus dimulai dengan membangun elite politik
yang benar-benar lahir dari kalangan rakyat dan memperjuangkan kepentingan rakyat.
Dalam Indonesia yang baru itu diharapkan tiada lagi, kalaupun ada kecil peranannya,
kelompok elite yang hanya sibuk berebut kekuasaan dan pengaruh.
Hal ini bisa terjadi jika para aktivis muda reformasi sekarang ini tidak enggan
untuk belajar dari para aktivis pergerakan generasi tahun 1920-an. Di satu pihak
meneruskan sikap militan generasi itu dalam memperjuangkan cita-cita bersama dan
rela berkorban demi cita-cita itu. Di lain pihak menolak kecenderungan untuk mewarisi
sistem pemerintahan sebelumnya, yakni Kecenderungan Untuk Mengganti Elite Lama
Dengan Elite Yang Baru Tetapi yang pola dan orientasi politiknya tetap sama. Dengan
demikian akan bisa diharapkan lahirnya elite politik yang benar-benar berorientasi pada
semakin terwujudnya demokrasi.

D.      Hal-hal yang dapat diteladani dari biografi Ir. Soekarno


Ir. Soekarno adalah bapak bangsa yang lahir hanya dari golongan priyayi
rendahan namun dengan semangat dan keteguhan hati dia mampu mengenyam
pendidikan yang tinggi dan susah dicapai pada zamannya. Di samping itu dia mendapat
bimbingan dari tokoh –tokoh pergerakan yang berbeda pandangan dan pikiran sehingga
dia mampu menerima semua bimbingan itu dan mengaplikasikannya secara objektif
dalam berpikir dan bertindak khususnya dalam usaha perjuangannya mewujudkan
Indonesia merdeka dan memerangi elitsme yang bisa menghancurkan keutuhan
berbangsa. Sikap konsistensi dari idealismenya terhadap perjuangan serta cita-citanya
merelakan dirinya menjadi tawanan karena menentang kolonialisme menjadi sesuatu
yang patut dicontoh karena saat ini kita telah kehilangan figur pemimpin yang berani
dan rela berkorban demi rakyatnya dan tidak mementingkan diri sendiri. Beliau rela
dibuang di pulau terpencil namun semangatnya tidak pernah padam. Belanda boleh
memenjarakan tubuhnya tetapi tidak semangat dan pemikirannya. Sikap militansi ini
yang jarang dimiliki para pemimpin dan generasi muda yang ada di era ini.
BAB III
PENUTUP

A.      Simpulan
1.         Ir. Soekarno (lahir di Blitar pada 6 Juni 1901- meninggal pada tanggal 21 Juni 1970 di
kota Blitar,  Jawa Timur). Ayahnya Raden Sukemi Sosrohadihardjo, adalah seorang
priyayi rendahan yang bekerja sebagai guru sekolah dasar. Ibunya Nyoman Rai berdarah
biru dari Bali dan beragama Hindu. Pertemuan mereka terjadi ketika Raden Sukemi,
yang sehabis menyelesaikan studi di Sekolah Pendidikan Guru Pertama di Kabupaten
Probolinggo, Jawa Timur, ditempatkan di Sekolah Dasar Pribumi di Singaraja, Bali.
2.         Dua hal besar yang menjadi sikap dan pemikiran Ir Soekarno yang dijadikan sebagai
pedoman perjuangannya yaitu Soekarno menentang kolonialisme dan kapitalisme itu.
Keduanya melahirkan struktur masyarakat yang eksploitatif. Sebagai suatu sistem yang
eksploitatif, kapitalisme itu mendorong imperialisme, baik imperialisme politik maupun
imperialisme ekonomi. Tetapi Soekarno tak ingin menyamakan begitu saja imperialisme
dengan pemerintah kolonial. Imperialisme, menurut Soekarno, yang pertama-tama perlu
disadari adalah bahwa alasan utama kenapa para kolonialis Eropa datang ke Asia
bukanlah untuk menjalankan suatu kewajiban luhur tertentu. Mereka datang terutama
“Untuk mengisi perutnya yang keroncongan belaka.” Artinya, motivasi pokok dari
kolonialisme itu adalah ekonomi. Sebagai sistem yang motivasi utamanya adalah
ekonomi. Langkah lain yang menurut Soekarno perlu segera diambil dalam menentang
kolonialisme dan imperialisme itu adalah menggalang persatuan di antara para aktivis
pergerakan.
3.         Ada beberapa hal yang menarik dalam biografi Ir. Soekarno dimana semasa mudanya ia
sangat menggemari tokoh Bima dalam pewayangan yang mempengaruhi sikap dan cara
hidupnya. Di samping itu dia memiliki pendidikan baik formal maupun non formal yang
tinggi dan dibimbing oleh tokoh-tokoh yang berbeda aliran sehingga turut
mempengaruhi cara berpikir dan bersikap dalam setiap usahanya berjuang untuk
Indonesia. Walaupun di akhir masa-masa kepemimpinannya dia telah mampu berjuang
memerangi kolonialisme dan imperialisme namun ternyata dia tidak mampu melepaskan
diri dari belenggu elitisme yang juga menjadi sikap perjuangannya yang anti elitisme
dimana sikap ini hanya mementingkan diri dan kelompoknya terutama bagi para kaum
elit metropolitan sikap ini tercermin dalam perebutan pengaruh dan kekuasaan dan
meninggalkan kepentingan rakyat yang menjadi tujuan utamanya.
4.         Sikapnya yang konsisten dan nonkooperatif membuatnya rela dibuang dan ditangkap
oleh pemerintaha kolonial merupakan idealisme yang jarang ditemui saat ini. Kemauan
belajar dan menerima bimbingan dari semua pihak juga patut diteladani karena melatih
kita untuk berpikir objektif dan memandang dari 1 sisi saja dan cenderung berpikiran
sempit.
B.       Saran
Soekarno adalah bapak bangsa yang mana sebagai manusia yang sempurna
Soekarno memiliki banyak kelebihan dan kekurangan. Sikap perjuangannya jelas
menentang kolonialisme dan elitisme. Ia berhasil memimpin pergerakan melawan
imperialisme dan memerdekan bangsa sayangnya dalam perjuangannya ia tidak bisa
sendiri. Terbukti saat mulai berpisah dengan wakilnya Drs. Muhammad Hatta sadar atau
tidak ia mulai terpengaruh dengan sikap elitisme yang juga sebenarnya sangat
ditentangnya dimana sikap elitisme bagi para elit politik metropolitan hanya
dipergunakan sebagai ajang bersaing pengaruh dan berebut kekuasaan sehingga ada
istilah presiden seumur hidup. Maka sudah selayaknya sebagai generasi muda kita
meneladani sikapnya yang militan dalam perjuangan merebut kemerdekaan sekaligus
kerja sama dengan rekan seperjuangan harus tetap dijaga dengan merangkul semua
pihak agar ada yang mengingatkan ketika perjuangan kita mulai melenceng dari arah
yang dicita-citakan bersama agar kita tidak terjebak dalam perilaku saling berebut
pengaruh dan kekuasaan seperti yang dipertunjukkan dari sistem pemerintahan yang ada
pada saat ini sementara kepentingan rakyat semakin jauh ditinggalkan. Korupsi, kolusi
serta perjuangan melanggengkan kekuasaan jauh diutamakan dari pada kesejahteraan
rakyat sebagaimana yang selalu didengung-dengungkan pada saat janji kampanye.
Jangan salahkan rakyat apabila akhirnya mereka akhirnya ditinggalkan seperti pada
pemilu tahun 1955 dimana PKI mampu meraih suara terbanyak keempat karena rakyat
sakit hati dengan sikap para pejuang dan pendiri partai yang hanya mementingkan
perebutan pengaruh dan kekuasaan.
DAFTAR PUSTAKA

http://makalah-makalahmu.blogspot.com/2013/02/pemikiran-politik-soekarno.html, diakses
pada hari Selasa tanggal 1 April 2014 pukul 16.15
http://makalahmajannaii.blogspot.com/2013/02/biografi-soekarno.html, diakses pada hari
Selasa tanggal 1 April 2014 pukul 16.21

Anda mungkin juga menyukai