Benteng Belgica yang dibangun Portugis pada abad ke-16 dan akhirnya diambil alih VOC, di Banda Neira (18/10).
Benteng berbentuk pentagon ini sudah dipugar seperti bentuknya semula. TEMPO/Ayu Ambong
TEMPO.CO, Banda - Laut baru saja membiru kala kapal Pelni Tidar yang
ditumpangi Tim Tempo (penulis Agung Sedayu dan fotografer Ayu Ambong)
bersandar di pelabuhan Neira, Senin, 14 Oktober lalu. Airnya jernih, tenang, dan
berkilau bagai cermin. Bayangan Gunung Api Banda di seberang dermaga ikut
terpantul di sana. Di dermaga yang sama, pada 1 Februari 1936, Mohammad
Hatta dan Sutan Sjahrir turun dari kapal Fommel Haut yang mengantar mereka
dari pengasingan Boven Digul, Papua, yang keras. Di Neira mereka melanjutkan
masa pengasingan hingga 1942. Saya lantas berfikir apa kira-kira tujuan Belanda
menjadikan pulau seindah ini sebagai tempat buangan.
Lamunan saya buyar kala terdengar pengumuman supaya penumpang segera
turun. Di antara ratusan penumpang yang menghambur keluar tampak Meutia
Farida Hatta Swasono berjalan perlahan menuruni tangga kapal yang licin
berembun. Tanpa sengaja kami bertemu dan menumpang kapal yang sama
dengan anak Wakil Presiden Indonesia pertama itu. Meutia ke Neira untuk
menghadiri acara wisuda Sekolah Tinggi Ilmu Perikanan Hatta-Sjahrir, satu-
satunya sekolah tinggi di Banda. Belanda sengaja mengasingkan bung Hatta
dan Sjahrir di tempat yang indah ini agar sikap melunak pada pemerintah. Tapi
upaya Belanda itu gagal, ujar perempuan 66 tahun menjawab pertanyaan saya.
Meutia menginap di Hotel Maulana yang berada tepat di samping kanan
dermaga. Hotel dua lantai bergaya Belanda itu dibangun Des Alwi Abubakar,
tokoh Banda yang juga anak angkat Hatta dan Sjahrir. Seluruh kamarnya
menghadap selat dan Gunung Api Banda. Pada 1993, Sarah Ferguson, menantu
Ratu Inggris dan dua anaknya pernah berkunjung ke Banda dan menginap di
hotel itu. Begitu juga tokoh selam dunia Jacques Yves Costeau serta vokalis
grup Rolling Stones, Mick Jagger. Mereka semua menempati kamar 214, ujar
Tanya Marinka, putri Des Alwi, yang kini menjadi pengelola hotel itu.
Banda Neira atau Banda Naira adalah salah satu pulau utama di Kepulauan
Banda dan sekaligus menjadi pusat pemerintahan Kecamatan Banda, Kabupaten
Maluku Tengah. Kecamatan Banda memiliki 12 pulau dengan luas total sekitar
172 kilometer persegi. Hampir tidak ada mobil di sini. Selama empat hari, kami
hanya menjumpai 3 mobil dan semuanya tidak terawat. Kami lebih suka jalan
kaki dan naik sepeda, apalagi bensin di sini sering langka, ujar Lukman Ang,
warga lokal yang menjadi pemandu kami. Berjalan kaki di Neira menyenangkan.
Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende
Rumah pengasingan Bung Karno di Jalan Perwira, Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur.(KOMPAS.COM/I
MADE ASDHIANA)
KOTA Ende, ibu kota Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur terbilang tenang
dan damai. Kota ini menyimpan sejarah panjang perihal sepak terjang Soekarno
atau Bung Karno selama empat tahun (14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938)
diasingkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Dikucilkan jauh dari keramaian, Bung Karno yang biasa dikerumuni massa saat
menyampaikan pidatonya tentu saja sempat frustrasi dibuang ke bumi Flores.
Pemerintah Hindia Belanda sangat ketat membatasi pergaulan Bung Karno
dengan masyarakat setempat, khususnya masyarakat kalangan atas. Setiap hari
Soekarno harus melapor ke pos militer Belanda di Ende Utara yang kini menjadi
Kantor Detasemen Polisi Militer IX/I.
Selain itu Bung Karno bergaul dengan siapa saja dari berbagai agama. Selama
masa pembuangan di Ende, Soekarno memiliki waktu senggang dengan banyak
membaca dan berdialog dengan para misionaris, terutama Pastor Paroki Ende,
Gerardus Huijtink.
Di kota ini, selama masa pengasingan saat itu Bung Karno merenungkan
Pancasila yang menjadi dasar kehidupan bernegara Indonesia. Kini di Ende berdiri
Taman Perenungan Bung Karno di Kelurahan Rukun Lima. Patung Bung Karno
duduk merenung terlihat kokoh di bawah pohon sukun bercabang lima sambil
menatap ke arah laut.
Pohon sukun yang kini menjadi peneduh patung Bung Karno adalah pohon sukun
yang ditanam tahun 1981. Pohon sukun asli saat Bung Karno diasingkan tumbang
sekitar tahun 1960.
Setelah mengunjungi patung Bung Karno di bawah pohon sukun, wisatawan bisa
melangkahkan kaki menuju Situs Rumah Pengasingan Bung Karno di Jalan
Perwira. Rumah Pengasingan Bung Karno ini merupakan 1 dari 10 situs penting
yang terkait dengan kehidupan Bung Karno di Ende.
Rumah pengasingan Bung Karno masih terawat baik. Di sinilah Bung Karno dan
istrinya Inggit, Ratna Djuami (anak angkat), serta mertuanya Ibu Amsi
menghabiskan waktu selama masa pengasingan. Memasuki ruang tamu,
wisatawan akan menatap langsung lukisan Bung Karno yang menggambarkan
umat Hindu di Bali sedang bersembahyang.
Ruang tamu dan tempat Bung Karno menerima tamu dan perabotan yang
menyertainya masih ditata seperti dulu. Demikian juga ruang tidur Bung Karno di
bagian tengah.
Selain rumah pengasingan Bung Karno dan taman perenungan, masih ada lagi
tempat-tempat bersejarah yang merupakan jejak peninggalan Bung Karno selama
dikucilkan di Ende. Namun mengunjungi Rumah Pengasingan Bung Karno
merupakan tujuan wajib bagi wisatawan saat bepelesir ke Ende. Bagi warga
setempat, selama di Ende, Bung Karno tak pernah sendiri atau merasa dikucilkan.
Justru di Ende, Bung Karno melahirkan Pancasila untuk Indonesia...
Rumah Pengasingan Soekarno dan Hatta di Bangka
Satu hal yang bisa kita saksikan adalah badan mobil yang biasa digunakan oleh
Hatta dengan plat nomor BN10 masih terpajang di dalam ruangan. Selanjutnya
adalah potret-potret para pemimpin bangsa ini termasuk surat Soekarno untuk
istrinya, Fatmawati. Di Wisma Menumbing kita bisa naik ke atas atap yang
berbentuk ibarat kastil dan melihat pemandangan dari puncak Menumbing.
Sedangkan Soekarno bersama Agus Salim, Moch. Roem dan Sutan Syahrir
ditempatkan di Wisma Ranggam atau Pesanggrahan Muntok. Tak ada barang-
barang peninggalan Soekarno kecuali potret-potretnya di sana. Namun kita bisa
melihat kamar yang ditempati oleh Soekarno kala itu.
Bung Karno tidurnya di sini dan dia suka sekali berdiskusi dengan Agus Salim di
ruangan ini, ujar penjaga Wisma Ranggam ketika rombongan bertanya soal
kamar Soekarno.
Jika dulu para pemimpin kita dipenjara kemudian berjuang menjadi pejabat dan
dikenang sebagai pahlawan. Namun kini tidak sedikit yang justru berawal dari
pejabat, menjadi penjahat dan berakhir di penjara, para koruptor misalnya.
(rn/nad)
Bung Karno di Bengkulu
Harum wangi semerbak tercium. Saya termangu, darah seperti berdesir, sungguh
rasanya takjub dapat melihat langsung makam tokoh Islam yang amat disegani di
Afsel ini. Bulu kuduk sempat merinding. Bukan karena takut, melainkan
mengingat kebesaran tokoh Islam ini. Untuk beberapa detik, pikiran melayang
pada tulisan Taufik Ismail, sastrawan besar Indonesia. Saya melangkah masuk
dan tertegun melihat makam berpagar besi ukir, bertutup kain hijau. Di sini
berkubur pada usia 73, seorang ilmuwan, sufi, pengarang, dan komandan
pertempuran abad ke-17, sesudah 16 tahun menjalani pembuangan. Saya
tertunduk dan menggumamkan Al Fatihah untuk pejuang besar ini. Beliaulah
Syekh Yusuf al-Makassari al-Bantani, papar Taufik di buku Syekh Yusuf,
seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang yang ditulis Abu Hamid.
Menurut dia, dia selain berdoa, banyak juga yang sekadar datang untuk melihat
Kramat. Namun ada juga yang mengaku berharap mendapat berkah dari tempat
keramat ini. Tujuannya macam-macam. Bagi saya sendiri, ini adalah tempat
bersejarah yang harus dijaga, katanya.
Jejak Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Belanda