Anda di halaman 1dari 15

Tempat Pengasingan Boven Digoel

Kamp Pengasingan di Boven Digul, Papua.


Boven Digoel adalah penjara alam yang didirikan oleh pemerintah
kolonial Hindia Belanda di Pulau Papua.[1][2] Kondisi penjara ini sangat tidak
bersahabat dan digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk mematahkan
perlawanan kaum pergerakan.[1]Sumber lain menjelaskan bahwa Boven Digoel
adalah tempat pembuangan/pengasingan/hukuman bagi orang-orang yang
dianggap membahayakan pemerintahan kolonial Belanda.[3] Kamp Boven Digul
terletak di hilir tepi sungai Digul dan Kamp tersebut dipersiapkan dengan tergesa-
gesa untuk mengatasi kebijakan akhir pemerintah kolonial terhadap orang-orang
yang terlibat dalampemberontakan komunis 1926.[4] Luas wilayah kawasan itu
hampir 10.000 hektar, dan terkenal sangat terasing dari dunia luar.[4]Sedangkan
menurut buku Ensiklopedia Digul atau Digul Atas (Belanda: Boven Digoel)
adalah sebuah daerah hutan lebat, sebelah timur sungai Digul Hilir, Irian Jaya,
tempat ini terkenal sebagai tempat pembuangan pejuang-pejuang
kemerdekaan.[5] Tempat ini terasing dari peradaban masyarakat.[5]
Gubernur Jendral Hindia Belanda memiliki senjata andal dalam membatasi ruang
gerak kaum pergerakan nasional.[1] Gubernur Jendral berhak membuang dan
memenjarakan seseorang yang dinilai membahayakan keamanan dan ketertiban
tanpa melalui pengadilan.[1] Selama pemerintah Gubernur Jenderal Bonifacius
Cornelis de Jonge, banyak tokoh nasionalis Indonesia dijerat hak ini.[1]
Banda Naira, Tempat Indah Pembuangan Hatta-Sjahrir

Benteng Belgica yang dibangun Portugis pada abad ke-16 dan akhirnya diambil alih VOC, di Banda Neira (18/10).
Benteng berbentuk pentagon ini sudah dipugar seperti bentuknya semula. TEMPO/Ayu Ambong
TEMPO.CO, Banda - Laut baru saja membiru kala kapal Pelni Tidar yang
ditumpangi Tim Tempo (penulis Agung Sedayu dan fotografer Ayu Ambong)
bersandar di pelabuhan Neira, Senin, 14 Oktober lalu. Airnya jernih, tenang, dan
berkilau bagai cermin. Bayangan Gunung Api Banda di seberang dermaga ikut
terpantul di sana. Di dermaga yang sama, pada 1 Februari 1936, Mohammad
Hatta dan Sutan Sjahrir turun dari kapal Fommel Haut yang mengantar mereka
dari pengasingan Boven Digul, Papua, yang keras. Di Neira mereka melanjutkan
masa pengasingan hingga 1942. Saya lantas berfikir apa kira-kira tujuan Belanda
menjadikan pulau seindah ini sebagai tempat buangan.
Lamunan saya buyar kala terdengar pengumuman supaya penumpang segera
turun. Di antara ratusan penumpang yang menghambur keluar tampak Meutia
Farida Hatta Swasono berjalan perlahan menuruni tangga kapal yang licin
berembun. Tanpa sengaja kami bertemu dan menumpang kapal yang sama
dengan anak Wakil Presiden Indonesia pertama itu. Meutia ke Neira untuk
menghadiri acara wisuda Sekolah Tinggi Ilmu Perikanan Hatta-Sjahrir, satu-
satunya sekolah tinggi di Banda. Belanda sengaja mengasingkan bung Hatta
dan Sjahrir di tempat yang indah ini agar sikap melunak pada pemerintah. Tapi
upaya Belanda itu gagal, ujar perempuan 66 tahun menjawab pertanyaan saya.
Meutia menginap di Hotel Maulana yang berada tepat di samping kanan
dermaga. Hotel dua lantai bergaya Belanda itu dibangun Des Alwi Abubakar,
tokoh Banda yang juga anak angkat Hatta dan Sjahrir. Seluruh kamarnya
menghadap selat dan Gunung Api Banda. Pada 1993, Sarah Ferguson, menantu
Ratu Inggris dan dua anaknya pernah berkunjung ke Banda dan menginap di
hotel itu. Begitu juga tokoh selam dunia Jacques Yves Costeau serta vokalis
grup Rolling Stones, Mick Jagger. Mereka semua menempati kamar 214, ujar
Tanya Marinka, putri Des Alwi, yang kini menjadi pengelola hotel itu.
Banda Neira atau Banda Naira adalah salah satu pulau utama di Kepulauan
Banda dan sekaligus menjadi pusat pemerintahan Kecamatan Banda, Kabupaten
Maluku Tengah. Kecamatan Banda memiliki 12 pulau dengan luas total sekitar
172 kilometer persegi. Hampir tidak ada mobil di sini. Selama empat hari, kami
hanya menjumpai 3 mobil dan semuanya tidak terawat. Kami lebih suka jalan
kaki dan naik sepeda, apalagi bensin di sini sering langka, ujar Lukman Ang,
warga lokal yang menjadi pemandu kami. Berjalan kaki di Neira menyenangkan.
Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende

Rumah pengasingan Bung Karno di Jalan Perwira, Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur.(KOMPAS.COM/I
MADE ASDHIANA)
KOTA Ende, ibu kota Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur terbilang tenang
dan damai. Kota ini menyimpan sejarah panjang perihal sepak terjang Soekarno
atau Bung Karno selama empat tahun (14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938)
diasingkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Dikucilkan jauh dari keramaian, Bung Karno yang biasa dikerumuni massa saat
menyampaikan pidatonya tentu saja sempat frustrasi dibuang ke bumi Flores.
Pemerintah Hindia Belanda sangat ketat membatasi pergaulan Bung Karno
dengan masyarakat setempat, khususnya masyarakat kalangan atas. Setiap hari
Soekarno harus melapor ke pos militer Belanda di Ende Utara yang kini menjadi
Kantor Detasemen Polisi Militer IX/I.

Namun, semakin langkahnya diawasi dan dikontrol Belanda, Soekarno yang


semula merasa depresi mulai bangkit melawan pengawasan kaku kolonial
tersebut. Dia rajin mendatangi kampung-kampung di Ende, menyapa warga dan
mengunjungi Danau Kelimutu sehingga lahirlah naskah drama "Rahasia
Kelimutu".

Selain itu Bung Karno bergaul dengan siapa saja dari berbagai agama. Selama
masa pembuangan di Ende, Soekarno memiliki waktu senggang dengan banyak
membaca dan berdialog dengan para misionaris, terutama Pastor Paroki Ende,
Gerardus Huijtink.

Di kota ini, selama masa pengasingan saat itu Bung Karno merenungkan
Pancasila yang menjadi dasar kehidupan bernegara Indonesia. Kini di Ende berdiri
Taman Perenungan Bung Karno di Kelurahan Rukun Lima. Patung Bung Karno
duduk merenung terlihat kokoh di bawah pohon sukun bercabang lima sambil
menatap ke arah laut.

Pohon sukun yang kini menjadi peneduh patung Bung Karno adalah pohon sukun
yang ditanam tahun 1981. Pohon sukun asli saat Bung Karno diasingkan tumbang
sekitar tahun 1960.
Setelah mengunjungi patung Bung Karno di bawah pohon sukun, wisatawan bisa
melangkahkan kaki menuju Situs Rumah Pengasingan Bung Karno di Jalan
Perwira. Rumah Pengasingan Bung Karno ini merupakan 1 dari 10 situs penting
yang terkait dengan kehidupan Bung Karno di Ende.

Rumah pengasingan Bung Karno masih terawat baik. Di sinilah Bung Karno dan
istrinya Inggit, Ratna Djuami (anak angkat), serta mertuanya Ibu Amsi
menghabiskan waktu selama masa pengasingan. Memasuki ruang tamu,
wisatawan akan menatap langsung lukisan Bung Karno yang menggambarkan
umat Hindu di Bali sedang bersembahyang.

Ruang tamu dan tempat Bung Karno menerima tamu dan perabotan yang
menyertainya masih ditata seperti dulu. Demikian juga ruang tidur Bung Karno di
bagian tengah.

Melangkahkan kaki ke ke bagian halaman belakang rumah, sumur, kamar mandi


dan dapur masih terlihat seperti sedia kala. Sembari berkeliling rumah
pengasingan, wisatawan seakan-akan diajak kembali mengenang bagaimana
perjalanan hidup Bung Karno di rumah tersebut dan betapa kuatnya mental Bung
Karno menjalani kehidupan di Ende, jauh dari keramaian dengan penjagaan ketat
Pemerintah Hindia Belanda.

Selain rumah pengasingan Bung Karno dan taman perenungan, masih ada lagi
tempat-tempat bersejarah yang merupakan jejak peninggalan Bung Karno selama
dikucilkan di Ende. Namun mengunjungi Rumah Pengasingan Bung Karno
merupakan tujuan wajib bagi wisatawan saat bepelesir ke Ende. Bagi warga
setempat, selama di Ende, Bung Karno tak pernah sendiri atau merasa dikucilkan.
Justru di Ende, Bung Karno melahirkan Pancasila untuk Indonesia...
Rumah Pengasingan Soekarno dan Hatta di Bangka

Wisma Ranggam, tempat Soekarno diasingkan selama di Bangka


Liputan6.com, Jakarta Pengasingan nampaknya tidak lagi asing bagi para
pemimpin kita terdahulu. Sebut saja Soekarno yang pernah merasakan dinginnya
penjara Sukamiskin Bandung, kemudian Ende di Flores, lalu Bengkulu hingga
keheningan Wisma Ranggam di Muntok Bangka setelah menjadi presiden. Hatta
pun demikian, kengerian Boven Digul, Banda Neira hingga dinginnya udara
Wisma Menumbing di Bangka pernah dia cicipi.

Bangka, menjadi lokasi di mana keduanya bersama-sama diasingkan di masa


revolusi kemerdekaan pasca Agresi Militer Belanda 2 pada 18 Desember 1948.
Hatta didatangkan ke Bangka pada 22 Desember 1948, sedangkan Soekarno 2
bulan setelahnya yakni pada Februari 1949. Keduanya menempati lokasi yang
berbeda, Hatta berada di sebuah wisma di atas Bukit Menumbing sedang
Soekarno di Kota Muntok.

Pada mulanya, Hatta bersama Pringgodigdo, MR. Assat & Soerjadarma


ditempatkan dalam penjara di tengah ruangan dengan ukuran 4x6. Namun
kemudian tindakan tersebut mendapat kecaman dari PBB hingga akhirnya Hatta
ditempatkan dalam sebuah kamar. Sayangnya kita tidak bisa menemukan
bagaimana rupa kamar Hatta dan yang lainnya kala itu.

Hal tersebut dikarenakan Wisma Menumbing sempat disewakan pada pihak


swasta pada tahun 1996 untuk dijadikan tempat penginapan sehingga sudah terjadi
beberapa kali renovasi. Ada pun kamar yang terdiri dari dua ruangan dengan dua
tempat tidur dan sebuah ruang kecil yang diduga kamar mandi ini hanya rekayasa.
Entah itu memang kamar Hatta atau hanya upaya sang pengusaha tempat
penginapan menyulapnya seolah nyata untuk menjadi saya tarik wisata, tidak bisa
kita pastikan.

Satu hal yang bisa kita saksikan adalah badan mobil yang biasa digunakan oleh
Hatta dengan plat nomor BN10 masih terpajang di dalam ruangan. Selanjutnya
adalah potret-potret para pemimpin bangsa ini termasuk surat Soekarno untuk
istrinya, Fatmawati. Di Wisma Menumbing kita bisa naik ke atas atap yang
berbentuk ibarat kastil dan melihat pemandangan dari puncak Menumbing.

Sedangkan Soekarno bersama Agus Salim, Moch. Roem dan Sutan Syahrir
ditempatkan di Wisma Ranggam atau Pesanggrahan Muntok. Tak ada barang-
barang peninggalan Soekarno kecuali potret-potretnya di sana. Namun kita bisa
melihat kamar yang ditempati oleh Soekarno kala itu.

Bung Karno tidurnya di sini dan dia suka sekali berdiskusi dengan Agus Salim di
ruangan ini, ujar penjaga Wisma Ranggam ketika rombongan bertanya soal
kamar Soekarno.

Di halaman Wisma Ranggam kemudian dibangun Tugu Proklamasi oleh Hatta


untuk memperingati Bangka sebagai bagian dari sejarah Indonesia. Masyarakat
Bangka disebutkan sangat menyambut Soekarno, Hatta, dan para pemimpin
lainnya. Hingga kini setiap tahun masyarakat di sana mengadakan napak tilas
perjalanan Soekarno di Bangka hingga ke Tanjung Kalian.

Jika dulu para pemimpin kita dipenjara kemudian berjuang menjadi pejabat dan
dikenang sebagai pahlawan. Namun kini tidak sedikit yang justru berawal dari
pejabat, menjadi penjahat dan berakhir di penjara, para koruptor misalnya.
(rn/nad)
Bung Karno di Bengkulu

Bung Karno di rumah pengasingan Bengkulu (foto:Istimewa)

BUNG KARNO dipindahkan ke Bengkulu dari Endeh, Flores, pada 1938.


Kedatangan Bung Karno ke Bengkulu sebagai orang buangan disambut
masyarakat sebagai seorang pemimpin besar. Apa saja kegiatan Bung Karno di
Bengkulu?
Dimulai dari kabar sakitnya Bung Karno saat dalam pembuangan Endeh. Di kota
kecil daerah pedalaman itu, Bung Karno menderita sakit malaria parah, dan
hampir tewas karenanya. Kabarnya sakitnya Bung Karno ini sampai ke Jakarta.
"Ketika berita mengenai keadaanku yang sedang sakit keras sampai di Jakarta,
Thamrin mengajukan protes di Volksraad," kata Bung Karno, dalam buku Bung
Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, halaman 165.
Protes Thamrin di Voksraad rupanya mendapat perhatian Den Haag yang segera
mengambil tindakan terhadap Bung Karno. Dengan menggunakan kapal dagang,
Bung Karno diangkut secara diam-diam dari Pelabuhan Merak menuju Bengkulu.
"Terasing oleh jajaran Bukit Barisan.. Negeri ini tidak mempunyai arti penting.
Juga tidak dalam hal persahabatan. Daerah yang dikenal sebagai benteng Islam itu
masih sangat kolot," sambung Bung Karno, dalam halaman 166.
Meski demikian, Bengkulu tetap lebih baik dari Endeh. Endeh hanya kota kecil di
pedalaman pulau terpencil. Sedang Bengkulu, kota provinsi yang ramai, pusat
kota keresidenan, dan tempat para saudagar, serta pekebun kecil.
Selama di Bengkulu, Bung Karno menerima uang tunjangan sebesar 150 gulden
yang setiap bulan diambilnya dari kantor LCM Jaquet. Dia tinggal bersama
istrinya di rumah yang berdiri lepas serta luas, di Jalan Anggoet Atas.
Saat itu, usia Bung Karno telah menginjak 37 tahun. Sedangkan istrinya Inggit
Garnasih, telah berusia 50 tahun. Di tempat pengasingan inilah, hubungan rumah
tangga Bung Karno dengan Inggit mulai mengalami keretakan.
"Setiap orang memiliki anak. Setiap orang, kecuali Soekarno. Inggit tidak mampu
memberiku anak, sehingga sebagian dari diriku dan sebagian dari hidupku terasa
hampa," keluh Bung Karno, masih dalam buku yang sama, halaman 168.
Selain Inggit, rumah itu juga dihuni oleh beberapa orang lainnya. Terdiri dari Omi
yang kerap dipanggil Ratna, Kartika, Riwu yang merupakan pengawal pribadi
Bung Karno, dan dua orang pembantu rumah tangga.
Sebagai pegawai negeri Hindia Belanda yang mengurus tunjangan Bung Karno di
Bengkulu, LCM Jaquet kerap berkunjung ke Jalan Anggoet Atas. Saat pertama
berkunjung, dia langsung kagum dengan pribadi Bung Karno yang ramah.
Dalam kenangannya, Bung Karno memiliki banyak sekali koleksi buku-buku
bacaan, dan foto kegiatan selama berada di Bengkulu. Namun, saat ini buku-buku
dan foto-foto tersebut sudah banyak yang hilang tidak jelas rimbanya.
Saat penulis melakukan kunjungan ke rumah pengasingan Bung Karno, pada
Kamis 25 Agustus 2016, bangunan itu masih tampak kokoh dengan halaman
depan yang hijau dan luas. Rumah itu memiliki beberapa ruangan dan dicat putih.
Pada ruang depan, ada meja kecil dan beberapa lemari buku. Dari buku-buku yang
terpampang, penulis menduga itu bukan peninggalan Bung Karno, karena buku-
buku tersebut cetakan terbaru. Buku-buku itu juga tidak tertata.
Begitupun dengan foto-foto yang terpampang di dinding kamar, bukan foto
aslinya, melainkan hasil kopian. Foto-foto tampak sangat kabur, menunjukkan
kualitas cetakan yang rendah. Namun, ada yang menarik dari foto itu.
Pada ruangan yang terdapat lemari pakaian pemain sandiwara Monte Carlo yang
dibentuk Bung Karno untuk mengisi rasa jenuh, terdapat satu foto seluruh pemain
sandiwara. Bung Karno tampak duduk di tengah-tengah para seniman itu.
Penulis juga melihat ruang kecil yang diduga sebagai tempat bekerja Bung Karno.
Ruang itu memiliki satu meja kecil dan bangku. Pada bagian tengah rumah itu,
terdapat sepeda Fongers milik Bung Karno yang sangat bersejarah.
Sepeda ini disimpan dalam lemari kaca, dan masih tampak kokoh. Masuk ke kiri
dan kanan ruangan, terdapat kamar tidur yang masing-masingnya terdapat satu
ranjang sederhana ukuran sedang, dengan kelambu dan seprai putih.
Bagian belakang rumah juga terdapat sedikit halaman. Saat penulis berkunjung ka
rumah itu, banyak masyarakat yang datang berkunjung, baik pemuda, maupun
orang dewasa dan orangtua dengan anak-anak mereka yang masih kecil.
Jika dalam pembuangan Endeh, Bung Karno tampil sebagai orang yang rajin
beribadah. Di Bengkulu, Bung Karno aktif dalam perkumpulan Muhammadiyah.
Dia bahkan dipilih sebagai Ketua Dewan Pengajaran Muhammadiyah Bengkulu.
Bung Karno juga aktif dalam Komite Pembangunan Masjid Jamik yang berada
tidak jauh dari rumahnya. Selain itu, dia juga mengajar murid perempuan Taman
Siswa di rumahnya setiap Minggu, dan bekerja di perusahaan mebel temannya.
Perusahaan mebel itu milik Oey Tjeng Hien alias Abdul Karim. Bung Karno
banyak merancang berbagai bentuk meja, kursi, dan lemari. Keterlibatan Bung
Karno dalam usaha ini diabadikan menjadi nama perusahaan.
Nama perusahaan itu adalah "Peroesahaan Meubel Soeka Merindoe du bawah
Pimpinan Ir Soekarno." Di samping itu, Bung Karno juga aktif menulis untuk
Pandji Islam, majalah Muhammadiyah yang terbit di Medan, dan harian
Pemandangan.
Selama berkecimpung di Muhammadiyah cabang Bengkulu, Bung Karno banyak
melakukan modernisasi. Seperti melepas tabir atau kain pemisah antara jamaah
perempuan dan laki-laki yang berada di dalam musala atau masjid.
Menurut Bung Karno, tabir adalah bentuk diskriminasi dan perbudakan terhadap
kaum perempuan yang tidak diharuskan dan dikehendaki oleh Allah SWT. Saat
pertama kali melihat tabir, Bung Karno protes dan meninggalkan musala.
Peristiwa itu terjadi pada awal 1939, saat pertama kali dia menghadiri pertemuan
sosial dengan istrinya sebagai orang buangan. Sikap tegas Bung Karno terhadap
tabir menimbulkan reaksi hebat dari umat Islam waktu itu.
Namun, ada pendapat lain mengenai protes Bung Karno terhadap tabir. Yakni,
Bung Karno ingin melihat wanita pujaan hatinya, yaitu Fatmawati, wanita yang
kemudian dinikahinya, pada 1943, setelah menceraikan Inggit Garnasih.
Selain soal tabir, terbosan Bung Karno lainnya adalah menganai pembangunan
Masjid Jamik. Sebelum mendapat sentuhan Bung Karno, masjid itu tampak sangat
tidak bergairah, kotor, tidak terpelihara, dan kelihatan tua.
"Aku kemudian merancang sebuah masjid dengan tiang-tiang yang indah, ukiran
sederhana, dan pagar tembok putih yang tidak ruwet," terangnya, seperti dikutip
dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, halaman 167.
Saat ini, masjid Jamik masih berdiri kokoh dan terlihat megah. Tiang-tiang besar
berdiri mengelilingi masjid. Pada sisi kiri dan kanannya terdapat menara kembar
tinggi. Namun sayang, masjid ini terlihat sedikit kotor.
Syekh Yusuf, Cape Town
Posted on August 11, 2011 by zenteguh
Hening menyambut ketika roda-roda mobil travel menggilas jalan kasar di
Kampung Macassar, Cape Town, Afrika Selatan, pertengahan Juli kemarin. Saat
itu sekitar pukul 15.00. Di sebuah pertigaan kecil yang di salah satu sudutnya
terdapat papan kayu bertuliskanwarung kopi, coffee shop-take-aways &
catering, kemudi berbelok ke kanan.
Tak sampai lima menit, di bawah pohon besar yang daunnya mulai berguguran
dimakan musim dingin kami berhenti. Saya dan anggota rombongan Indonesias
Festival in Cape Town South Africa 2011 dari Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata sesaat menghela napas. Memutar pandangan ke sekeliling dan
meregangkan otot. Perjalanan dari pusat kota Cape Town menyusuri Camps Bay,
Hout Bay Harbour, Badden Powel Drive, hingga memasuki Macassar Road
sepanjang 40 kilometer lumayan menguras energi.
Pintu besi di jalan berundak itu terbuka. Desau angin mengiringi langkah kaki
menapak satu demi satu tangga batu itu menuju puncak sebuah bukit kecil. Persis
di undakan terakhir, terhamparlah pemandangan yang selama ini telah menghiasi
banyak literatur dunia.

bersama Zainunisa, penjaga makam.


Inilah kompleks pemakaman Syekh Yusuf Al Makassari, ulama besar, tokoh sufi,
penyebar Islam, juga pahlawan nasional asal Gowa. Nama Syekh Yusuf tak hanya
harum di Tanah Air, namun juga di Afrika Selatan. Lihat saja betapa pejuang anti-
apartheid Nelson Mandela menyebut Syekh Yusuf sebagai salah satu putra
terbaik Afrika Selatan. Begitupun Presiden Thabo Mbeki telah menyematkan
penghargaan Oliver Thambo, yakni penghargaan sebagai Pahlawan Nasional
Afrika Selatan pada 2005 silam.
Wanita berkerudung datang dari sebuah rumah kecil tak jauh makam.
Assalamulaikum, sapanya. Wanita itu, Zainunisa, 65, adalah penjaga kompleks
makam. Raut mukanya berseri begitu tahu sejumlah orang di hadapannya berasal
dari Indonesia. Apa kabar, katanya tersenyum.

Zainunisa kemudian membukakan pintu sebuah bangunan berkubah hijau yang


menyerupai masjid. Copot sepatu, silakan masuk, ucapnya.

Harum wangi semerbak tercium. Saya termangu, darah seperti berdesir, sungguh
rasanya takjub dapat melihat langsung makam tokoh Islam yang amat disegani di
Afsel ini. Bulu kuduk sempat merinding. Bukan karena takut, melainkan
mengingat kebesaran tokoh Islam ini. Untuk beberapa detik, pikiran melayang
pada tulisan Taufik Ismail, sastrawan besar Indonesia. Saya melangkah masuk
dan tertegun melihat makam berpagar besi ukir, bertutup kain hijau. Di sini
berkubur pada usia 73, seorang ilmuwan, sufi, pengarang, dan komandan
pertempuran abad ke-17, sesudah 16 tahun menjalani pembuangan. Saya
tertunduk dan menggumamkan Al Fatihah untuk pejuang besar ini. Beliaulah
Syekh Yusuf al-Makassari al-Bantani, papar Taufik di buku Syekh Yusuf,
seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang yang ditulis Abu Hamid.

Memang demikianlah faktanya. Datang ke makam Syekh Yusuf seperti menyeret


angan ke ratusan tahun silam. Lahir di Gowa pada 13 Juli 1626, Muhammad
Yusuf tak henti menuntut ilmu agama. Pada usia 15 tahun Muhammad Yusuf
belajar di Cikoang pada seorang sufi, ahli tasawuf, guru agama, dan dai yang
berkelana. Beberapa di antara para guru Muhammad Yusuf yang terkenal adalah
Syeikh Jalaludin al-Aidit, Sayyid Balawi At-Thahir, dan Daeng Ri Tassamang.

Keberaniannya menentang penjajah ketika membantu Sultan Ageng Tirtayasa di


Banten membuat Syekh Yusuf sebagai musuh Belanda. Pada September 1684,
ulama yang telah berguru ke Aceh, Gujarat, Yaman, hingga Arab Saudi ini
bersama dua istrinya, beberapa anak, 12 murid, dan sejumlah perempuan
pembantu dibuang ke pulau Ceylon (kini Sri Lanka). Tapi justru di pengasingan
inilah pengaruh putra Aminah yang merupakan kerabat Raja Gowa Sultan
Alaudin itu makin berkembang. Pengikutnya bertambah, jaringannya kian luas.

Aktivitas dakwah itu kembali membuat Belanda khawatir. Tidak ingin


stabilitasnya terusik, Belanda memutuskan membuang Syekh Yusuf ke Kaapstad
(sekarang Cape Town). Syekh Yusuf dan pengikutnya tiba di Tanjung Harapan
(cape of good hope) pada 2 April 1694 dengan menumpang kapal Fluyt de
Voetboog. Belanda licik, Syekh Yusuf yang ketika itu berusia 68 tahun tidak
ditempatkan di kota, melainkan di perbukitan Zandvliet, desa pertanian di muara
Eerste Rivier, yang terpencil, demi mencegah pengaruhnya menjalar ke budak-
budak Indonesia yang telah lebih dahulu dibuang di Cape Town. Syekh Yusuf
meninggal pada 23 Mei 1699 dan dimakamkan di tempat ini.
Di Zandvielt, tempat kaki saya berpijak pada siang itu memang kental nuansa
kepahlawanan Syekh Yusuf. Sekitar 100 meter sebelum makam terdapat tugu
yang menjadi tanda peringatan kematian ulama pengarang kitab tentang konsep
tawasuf yang berjudul Kaifiyatut Tasawwuf itu. Sementara di dekat bangunan
utama makam juga terdapat beberapa nisan, dipercaya sebagai pusara para
pengikutnya. Di puncak bukit kecil itu pemandangan Kampung Macassar terlihat
jelas, juga menara dan atap masjid Nurul Latief yang menjadi pusat ibadah
masyarakat kampung berpenghuni sekitar 50 KK ini.

Syekh Yusuf amat dihormati. Di Afsel pemakaman ini disebut Kramat,


ditengarai merujuk pada kata keramat di Indonesia. Zainunnisa menyatakan,
peziarah silih berganti datang ke Kramat Syekh Yusuf. Warga Cape Malay yang
akan menunaikan haji atau umrah biasanya menyempatkan datang ke makam
Syekh Yusuf. Tapi banyak juga yang datang dari Sri Lanka, India, atau negara-
negara lain, kata Nisa.

Menurut dia, dia selain berdoa, banyak juga yang sekadar datang untuk melihat
Kramat. Namun ada juga yang mengaku berharap mendapat berkah dari tempat
keramat ini. Tujuannya macam-macam. Bagi saya sendiri, ini adalah tempat
bersejarah yang harus dijaga, katanya.
Jejak Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Belanda

Katanya, mengenal dan memahami sejarah mengingatkan kita bagaimana


pendidikan turut mengantarkan negara ini untuk merdeka. Gak percaya?
Belanda adalah pusat dan kiblat pendidikan bagi banyak tokoh penting perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Belanda bahkan menjadi tempat berkumpulnya para
mahasiswa Hindia Belanda untuk bersatu dan menyebarkan paham
antikolonialisme di negeri Belanda itu sendiri.
Sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia di Belanda tidak terlepas dari
perkumpulan yang bernama Indische Veereniging alias Perhimpoenan Indonesia
(PI). Dibentuk pada tahun 1908, PI awalnya dibentuk sebagai wadah ngumpulnya
para siswa-siswa Hindia Belanda, wadah untuk bersosialisasi dan mengadakan
berbagai acara yang menyenangkan selama studi di Belanda, jauh dari kegiatan
politik ataupun perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Pada tahun 1913, Tiga Serangkai dibuang ke negeri Belanda, karena berencana
mengobrak-abrik perayaan kemerdekaan Belanda. Semua orang, saat itu,
dikejutkan dengan artikel Als Ik Eeen Nederlander was (Andai Aku Seorang
Belanda) yang ditulis oleh Suwardi Suryaningrat (kemudian berganti nama
menjadi Ki Hajar Dewantara) dan didukung oleh Tjipto Mangunkusumo dan
Ernest Douwes Dekker.
Pembuangan di Belanda ini ternyata tidak menyurutkan api Tiga Serangkai untuk
mengobarkan semangat kemerdekaan. Mereka bergabung dengan PI dan
menularkan semangat anti kolonialisme. Para mahasiswa Hindia Belanda yang
tujuan utamanya saat itu memperoleh ilmu di Belanda dan nantinya diterapkan di
Hindia Belanda, mengelami revolusi pemikiran yang luar biasa. Mereka
menyadari bahwa PI bisa menjadi kendaraan yang membuka jalan akan mimpi
Indonesia Merdeka. Mereka tersadar bahwa ilmu dan pengaruh yang mereka
dapatkan di Belanda bisa menjadi modal awal bagi lahirnya Indonesia yang
mandiri di masa depan.
Suwardi Suryaningrat sepulang dari Belanda, segera membentuk Perguruan
Nasional Taman Siswa dengan memiliki visi dan misi untuk mencerdaskan anak-
anak muda yang kelak akan menjadi penerus kemerdekaan Indonesia.
Tjipto Mangunkusumo yang dalam 1 tahun waktu pengasingannya di Belanda
berhasil menaburkan benih-benih mimpi kemerdekaan Indonesia. Ia pulang ke
Hindia Belanda dan aktif dalam perkumpulan Insulinde yang nantinya menjadi
berubah menjadi Nationaal Indische Partij, satu partai yang dianggap radikal dan
berbahaya oleh Pemerintah Belanda.
Douwes Dekker bahkan dalam masa pembuangannya menyempatkan diri untuk
studi program kedoktoran di Zurich dan turut andil dalam konspirasi revolusioner
India. Setelah dilepaskan dari penjara karena ulahnya itu dia kembali ke Hindia
Belanda dan mendirikan insitut pendidikan bernama Ksatriaan Instituut di
Bandung.

Bung Hatta tidak menyia-nyiakan kesempatan bergabung di PI untuk mulai


berkarya bagi kemerdekaan Indonesia. Melalui majalah Hindia Poetrayang
kemudian berubah nama menjadi Indonesia Merdeka pada tahun 1925, Hatta dan
tokoh lainnya secara blak-blakan mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah
Belanda di Hindia Belanda dan menyerukan sikap dan paham anti kolonialisme.
Para tokoh tersebut berjuang keras memperkenalkan apa itu PI dengan semangat
anti kolonialisme pada berbagai negara lain di Eropa. Pada kepemimpinan Bung
Hatta juga, nama Indonesia mulai terdengar di berbagai negara lain di Eropa.
Mereka mencoba menghapuskan lekatnya nama Hindia Belanda bagi wilayah
Nusantara jika kelak merdeka nanti. Bahkan Bung Hatta berani mengutarakan
mimpinya dan berorasi akan satu negara bernama Indonesia yang akan segera
datang (de toekomstige vrije Indonesische staat).
Akibat keberaniannya berjalan-jalan ke berbagai kota Eropa dan berorasi
mengenai Indonesia, Hatta dan beberapa tokoh lain dianggap tergabung dengan
kegiatan komunis yang memberontak di Hindia Belanda, Hatta dipanggil pulang
ke Rotterdam sempat merasakan penjara Rotterdam selama beberapa tahun.
Setelah tuntas menunaikan masa pendidikannya, para kaum intelektual muda turut
aktif menggemakan Indonesia pada seluruh pemuda di wilayah Nusantara yang
masih terpecah-pecah dengan organisasi daerah masing-masing.
Tahun 1928, para pemuda berkumpul dalam sebuah Kongres Pemoeda dan tokoh-
tokoh yang studi di Belanda berkontribusi secara aktif di dalamnya. Sunario
Sastrowardoyo seorang ahli hukum didikan di Leiden Universiteit dan Amir
Sjarifudin yang pernah berkelana di Haarlem, tergabung dalam panitia Kongres
Pemoeda yang pada akhirnya merumuskan Sumpah Pemuda. Mereka dengan
lantang menyebutkan Indonesia sebagai tanah air para pemuda, bersatu dalam
keragaman suku budaya dalam satu nama Indonesia, dan menjunjung Bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan pemuda. Sebuah kegerakan yang ternyata juga
banyak diinspirasi oleh keberanian perjuangan PI pimpinan Bung Hatta di
Belanda pada saat itu.
Pada tahun-tahun berikutnya perjuangan mulai terpusat di Indonesia, namun tak
terlepas dari para pelajar di universitas Belanda yang mulai kembali ke tanah air.
Sebut saja Sutan Sjahrir, seorang mahasiswa Universitas Amsterdam yang pulang
dan membangkitkan pergerakan buruh dalam dunia politik saat itu. Disusul
dengan Hatta, seorang sarjana ekonomi dari Nederlandsche Handels-
Hoogeschool (Universitas Erasmus Rotterdam), yang sudah tidak sejalan dengan
PI (yang lebih condong ke arah komunis).
Hatta memilih kembali berjuang bersama Sjahrir dan bergabung dalam Partai
Nasional Indonesia (PNI) baru yang dikecam keras oleh pemerintah Belanda. Hal
itu memaksa Hatta dan Sjahrir menjalani Pengasingan demi pengasingan.
Namun, perjuangan para Kaum Intelektual ini toh akhirnya berbuah manis.
Bermula dari kumpul-kumpul menikmati studi dan hidup di Belanda,
bertransformasi menjadi penggagas berbagai kegerakan kemerdekaan Indonesia
baik di nusantara dan luar negeri. Lebih jauh lagi, berujung pada mimpi yang
menjadi kenyataan yaitu Indonesia yang merdeka pada tahun 1945!
Cerita pergerakan kemerdekaan Indonesia yang dirintis kaum intelektual di
Belanda tersebut, mengingatkan kita akan komitmen untuk berjuang bagi satu
mimpi. Pendidikan terbaik Belanda bisa menjadi awal langkah kegenapan mimpi
kita!

Anda mungkin juga menyukai