Anda di halaman 1dari 40

KARTOSOEWIRJO MIMPI NEGARA ISLAM

Imam Pemberontak Dari Malangbong

Berasal dari keluarga abangan, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo menjadi pemimpin pemberontakan Darul Islam. hampir
lima puluh tahun setelah kematiannya, pemikiran dan cita-cita mendirikan negara islam masih bergelora di kalangan
sebagian umat islam negeri ini.

Di Teluk Jakarta, sang “Imam” mengembuskan napas terakhir setelah tubuhnya diterjang peluru regu tembak. Toh, hampir
lima puluh tahun setelah kematiannya, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo masih terus mengilhami berbagai kelompok di
negeri ini yang ingin menegakkan sebuah “Negara Islam”-baik dengan jalan damai maupun kekerasan.

Kendati dikenal sebagai pemimpin Islam, pria kelahiran Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1907, itu sesungguhnya sosok yang
tak terlalu “islami”. Ayahnya, Kartosoewirjo, adalah seorang mantri candu-pangkat yang cukup tinggi untuk seorang
“inlander” di masa kolonial. Candu dan Islam jelas bukan pasangan yang padan.

Keluarga Kartosoewirjo memang tergolong priayi feodal, dan bukan pemeluk Islam yang taat. “Keluarga kami cenderung
abangan,” kata salah seorang anggota keluarga di Cepu. Masa kecil Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pun tak karib
dengan pendidikan agama. Dia terus-menerus menempuh pendidikan di sekolah Belanda.

Setelah menamatkan Inlandsche School der Tweede Klasse, yang dikenal sebagai “Sekolah Ongko Loro”, Karto kecil
melanjutkan sekolah ke Hollands Inlandsche School di Rembang, Jawa Tengah. Setelah itu, dia meneruskan pendidikan ke
Europeesche Lagere School, sekolah elite khusus untuk anak Belanda, di Bojonegoro, Jawa Timur.

Hanya anak pribumi cerdas dan berasal dari keluarga amtenar yang boleh masuk sekolah itu. Kemudian dia melanjutkan lagi
pendidikan ke Nederlandsch Indische Artsen School-biasa disebut Sekolah Dokter Jawa-di Surabaya.

Di masa remaja, Kartosoewirjo yang mulai tertarik pada dunia pergerakan justru akrab dengan pemikiran kebangsaan-
bahkan “kiri”. Dia diketahui banyak membaca buku sosialisme yang diperoleh dari pamannya, Mas Marco Kartodikromo.

Marco dikenal sebagai wartawan dan aktivis Sarekat Islam beraliran merah. Terpengaruh bacaan itu, Kartosoewirjo terjun ke
politik dengan bergabung di Jong Java dan kemudian Jong Islamieten Bond.

Pengetahuan agama Islam praktis digalinya secara otodidak, lewat literatur berbahasa Belanda dan persentuhan dengan
sejumlah kiai. Guru mengajinya yang pertama adalah Notodihardjo, aktivis Partai Sarekat Islam Indonesia sekaligus
Muhammadiyah di Bojonegoro. Penampilan Notodihardjo tipikal Islam-Jawa: tutur katanya halus dan dia selalu mengenakan
blangkon, beskap, dan selop.

Adapun gurunya di dunia pergerakan, sekaligus guru agamanya terbesar, tak pelak lagi adalah Haji Oemar Said
Tjokroaminoto-tokoh yang disebut Belanda “Raja Jawa tanpa Mahkota”. Terpesona oleh pidato “singa podium” itu, Karto
melamar menjadi murid dan mulai mondok di rumah Ketua Sarekat Islam itu di Surabaya.

Untuk membayar uang pondokan, Karto bekerja di surat kabar Fadjar Asia milik Tjokroaminoto. Ketekunan dan kecerdasan
membawa Kartosoewirjo menjadi sekretaris pribadi mertua pertama Soekarno itu.

Patut dicatat, Tjokroaminoto juga dikenal sebagai guru bagi Semaoen yang beraliran komunis dan Soekarno yang beraliran
nasionalis. Kesamaan tujuan untuk memerdekakan Indonesia dari penjajahan Belanda membuat mereka bersatu dan
mengesampingkan perbedaan.

Ketika tinggal di Malangbong, Garut, Kartosoewirjo kembali mempelajari Islam dari sejumlah ajengan, alias kiai lokal, seperti
Ardiwisastra dari Malangbong, Kiai Mustafa Kamil dari Tasikmalaya, dan Kiai Yusuf Tauziri dari Wanareja. Ardiwisastra
belakangan menjadi mertua dan sekutu dekatnya dalam perjuangan menegakkan Negara Islam.

Sebaliknya, Yusuf Tauziri menjadi lawan tangguh dalam arti sesungguhnya bagi Kartosoewirjo. Beberapa kali anak buah
Yusuf yang menolak proklamasi Darul Islam terlibat baku tembak dengan pasukan Kartosoewirjo di medan tempur.
Dengan latar belakang Islam-Jawa seperti itu, bukan hal ajaib jika muncul cerita Kartosoewirjo pernah melakukan tapa geni
tidak makan dan tidak minum selama 40 hari di Gua Walet, Gunung Kidul, Yogyakarta. Dia meyakinkan pengikutnya bahwa
bertapa juga dilakukan Rasulullah ketika memperoleh wahyu pertama di Gua Hira.

Dalam buku Pedoman Dharma Bhakti Negara Islam Indonesia jilid ketiga, Kartosoewirjo disebut dengan banyak julukan:
Ratu Adil, Imam Mahdi, Sultan Heru Tjokro, dan Satrija Sakti. Julukan itu sesuai dengan ramalan Joyoboyo, raja sekaligus
pujangga Jawa yang menubuatkan akan munculnya seorang pemimpin umat manusia.

Konon ada pula kepercayaan mistis di kalangan masyarakat Jawa Barat bahwa Kartosoewirjo akan bisa menjadi Ratu Adil
dan selalu menang perang jika bisa menyatukan dua senjata pusaka: keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang. Kedua
pusaka itu memang selalu dibawanya ketika bergerilya di hutan.

Menyimak profil Kartosoewirjo itu, tak aneh bila ahli politik Islam, Bahtiar Effendy, menilai dia sesungguhnya tak memiliki
landasan ideologi yang kuat untuk mendirikan Negara Islam. Bahtiar-dan beberapa ahli politik Islam lain-lebih merujuk pada
kekecewaan Kartosoewirjo terhadap Perjanjian Renville, yang dianggapnya merugikan kepentingan umat Islam, untuk
memberontak dari “pemerintahan kafir” Soekarno.

Toh, pemberontakan Kartosoewirjo di Jawa Barat bersama Daud Beureueh di Aceh dan Kahar Muzakkar di Sulawesi
Selatan telah ikut mewarnai sejarah pembentukan Republik yang masih berusia muda. Puluhan tahun setelah ketiga tokoh
itu wafat, semangat mendirikan Negara Islam terbukti tak kunjung padam di kalangan sebagian umat Islam. Kaderisasi di
antara mereka pun sepertinya tak pernah terputus.

Pengusung cita-cita Negara Islam itu boleh saja terpecah-belah karena alasan ideologi atau kepentingan pribadi
pemimpinnya. Ada yang memilih mengembangkan pendidikan, berjuang dengan program advokasi, ada pula yang tetap
menghalalkan jalan kekerasan. Kelompok lain diyakini menjadi cikal bakal Jamaah Islamiah. Namun semuanya tetap
mengaku penerus cita-cita Kartosoewirjo.

Sardjono, putra bungsu Kartosoewirjo, menceritakan pergulatan keluarganya yang dianggap sebagai gembong
pemberontak. Memang, setelah ayahnya dieksekusi, giliran dua kakak kandungnya, Dodo Muhammad Darda dan Tahmid
Rahmat Basuki, tampil menjadi tokoh baru Darul Islam.

Riwayat Sardjono sendiri cukup unik. Dia lahir di hutan, di medan gerilya ayah dan ibunya. Usianya baru lima tahun ketika
Kartosoewirjo tertangkap dan seluruh keluarganya memutuskan menyerah dan keluar dari hutan. Dengan ingatan kanak-
kanak yang terbatas, dia membantu merekonstruksi apa yang terjadi di hutan, di saat-saat terakhir perlawanan sang Imam
dan pengikutnya.

Sofwan, bekas juru warta Ma’had Al-Zaytun, yang dikenal sebagai pesantren milik bekas pengikut Negara Islam Indonesia.
Mantan tangan kanan Abdussalam Toto alias Panji Gumilang ini mengaku sudah keluar “secara baik-baik” dari Al-Zaytun.

Santri Abangan dari Hutan Jati

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo lahir pada 7 Januari 1907 di Cepu, Jawa Tengah-kota dengan romansa Bengawan Solo
dan belukar hutan jati. Sang ayah, Kartosoewirjo, mantri candu pemerintah Belanda, memberinya nama Sekarmadji
Maridjan. Kelak nama ayahnya disematkan di belakang nama sang bayi. Kakek si orok adalah Kartodikromo, Lurah Cepu.
Rumah sang kakek tempat Sekarmadji lahir, di belakang pasar lama, kini telah musnah.

Yang tersisa adalah rumah di Jalan Raya Cepu 15, milik Kartodimedjo, paman Sekarmadji, yang sempat menjadi pamong
praja pemerintah Belanda. Rumah kayu jati berkapur putih yang dibangun pada 1890 itulah tempat berkumpul keluarga
besar Kartodikromo. “Ini rumah induk, tempat jujugan keluarga besar kami,” kata Nuk Mudarti, 75 tahun, keponakan
Sekarmadji.

Pada usia enam tahun, Sekarmadji masuk Inlandsche School der Tweede Klasse Cepu, sekolah yang biasa disebut sekolah
ongko loro (angka dua).

Sebagai anak pegawai pemerintah, Sekarmadji hidup berpindah-pindah mengikuti tugas ayahnya. Selain di Cepu, ayahnya
pernah berdinas di Pamotan, Rembang, Jawa Tengah. Di kota ini, Sekarmadji melanjutkan sekolah ke Hollands Inlandsche
School. Ketika pindah ke Padangan, Bojonegoro, Jawa Timur, pada 1919, ia meneruskan pendidikan ke Europeesche
Lagere School, sekolah elite khusus anak Belanda. Hanya pribumi cerdas yang boleh masuk. Di kala libur, Sekarmadji kerap
bermalam di rumah Jalan Raya Cepu 15.

Pada 1923, Sekarmadji meneruskan pendidikan ke Nederlandsch Indische Artsen School, sekolah kedokteran Belanda di
Surabaya. Saat itu Sekarmadji sudah hafal Al-Quran berikut tafsirnya. Kemampuan ini dikembangkan ketika dia kuliah di
Surabaya dan mempertemukannya dengan tokoh Islam, Haji Oemar Said Tjokroaminoto.

Masa kecil Sekarmadji dihabiskan di lingkungan abdi dalem pemerintah Belanda. “Kami keturunan birokrat,” kata Nuk.
Ronodikromo, kakek buyut Sekarmadji, adalah Lurah Merak, Panolan, Cepu. Soal keyakinan beragama, “Keluarga
Kartodikromo cenderung abangan,” kata Nuk. “Kami priayi feodal.”

Meski priayi feodal, keluarga Kartodikromo demokratis. Perbedaan prinsip, pandangan politik, dan ideologi dihargai. Anak-
anak diajari berpendirian teguh. “Itulah mengapa Mas Marco dan Sekarmadji teguh mempertahankan prinsip.”

Mas Marco, satu dari tujuh anak Kartodikromo, meninggal di pengasingan Digul karena menentang pemerintah Belanda.
Marco dikenal sebagai aktivis kiri di era kolonial. Sekarmadji memimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Keislaman Sekarmadji banyak dipengaruhi ajaran Notodihardjo, pemuka Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) di Padangan,
Bojonegoro. Pikiran kritis Sekarmadji terus bertumbuh ketika dia kuliah di Surabaya.

Suatu malam pada 1948, Sekarmadji datang ke rumah nomor 15. Nuk Mudarti masih mengingatnya. Kehadiran pamannya
ini mencemaskan orang serumah. Jika Sekarmadji datang, polisi dan intelijen mengitari rumah. “Menakutkan,” kata Nuk.
“Saya masih kecil, tak tahu mengapa intel menguntitnya.” Sejak 1940-an, Sekarmadji tak pernah lagi singgah di rumah induk.
“Hingga kami mendengar dia merantau ke Malangbong,” kata Nuk. Hubungannya dengan Cepu putus.

Soemarti alias Dora, saudara kandung Sekarmadji, turut hijrah ke Malangbong, Garut, Jawa Barat. Dia pernah mengajak
keluarga Cepu berkunjung ke Malangbong. Oleh-oleh hasil bumi sudah disiapkan. Tapi kunjungan itu tak pernah terwujud.

Saat meletus peristiwa pemberontakan DI/TII, keluarga Cepu menutup diri. Ketertutupan berlanjut sampai zaman Orde Baru.
Keluarga besar Cepu, yang rata-rata pegawai pemerintahan, khawatir disangkutpautkan dengan gerakan Sekarmadji.

“Kami jadi kepaten obor, kehilangan jejak,” kata Kusparyono, 55 tahun, keponakan Sekarmadji di Cepu. Sardjono, putra
bungsu Sekarmadji, membenarkan soal putusnya hubungan keluarga ini. “Sejak Ayah hijrah ke Malangbong, tak pernah lagi
ke Cepu,” katanya.

Zaman berganti. Kini perjalanan hidup Sekarmadji justru membuat keluarga Cepu bangga. “Kami rindu bertemu anak-cucu
Sekarmadji,” kata Nuk. Sardjono merasakan hal yang sama. “Kami tak punya bayangan bagaimana Cepu itu,” ujarnya.

Rumah tua di Jalan Dr Soetomo, Pengkok, Padangan, Bojonegoro, itu kosong, tak terurus. Bangunan besar berwarna merah
dengan lis abu-abu itu milik Mashudi (almarhum), pengusaha transportasi, anggota PSII pada 1940-an. “Ini rumah
bersejarah,” kata Yunani, 58 tahun, putra Mashudi.

Sebelum masa pendudukan Jepang, rumah ini ditempati Notodihardjo alias Abdurrahman, aktivis PSII yang bergabung
dengan Muhammadiyah. Saban bulan, Noto mengadakan pengajian sambil mengumpulkan bantuan untuk kaum fakir.
Warga Bojonegoro, Ngawi, Blora, dan Cepu datang menghadiri pengajian. “Mbah Noto ini guru ngaji Sekarmadji,” kata
Yunani. “Beliau punya mesin tik.”

Murid Noto lainnya adalah Suroatmodjo, juga anggota PSII. Putranya, Slamet, 67 tahun, berkisah tentang sang guru ngaji
berdasarkan penuturan ayahnya. Noto berasal dari Surakarta. Istrinya dari Montong, Tuban. Tutur katanya halus, dia selalu
mengenakan blangkon, beskap, dan selop. “Katanya, Noto keturunan Keraton Mangkunegaran,” ujar Slamet.

Dalam perenungan guru-murid menurut kisah yang didengar Ahmad, muncul dua sosok. Noto menaiki macan putih, yang
diartikan sebagai pandita. Adapun sosok Sekarmadji muncul dengan menaiki kuda putih, simbol pengelana.

Rumah ayah Slamet, Suroatmodjo, di Dusun Sale, Sumembramum, Ngraho, sekitar 45 kilometer di barat Bojonegoro.
Rumah ini kerap digunakan sebagai tempat rapat tokoh PSII. “Kami menyebutnya pertemuan rahasia, sering dihadiri orang
tak dikenal,” kata Slamet.
Pada 1950-an, sebulan penuh Noto diperiksa polisi Ngawi. Polisi tidak menemukan bukti keterlibatannya dalam
pemberontakan DI/TII. Hubungan Noto dan Sekarmadji dianggap hanya bersifat keagamaan. Pensiunan sinder kehutanan
itu pun bebas dari tuduhan.

Tak jelas benar kapan persisnya Sekarmadji berguru pada Noto. Mungkin ketika Sekarmadji masih tinggal bersama
ayahnya, atau ketika dia kuliah di Surabaya. “Kami tak tahu,” kata Nuk Mudarti.

Haji Damamini, 81 tahun, tokoh Masyumi dan Muhammadiyah di Ngraho, bercerita tentang sosok Noto. Menurut dia, Noto
tersohor di seantero Cepu dan kota-kota di sekitarnya. “Dia punya indra keenam,” kata Damamini. Kemampuan itulah yang
menerbitkan simpati dan hormat banyak orang kepada Noto.

Hubungan Noto-Sekarmadji banyak diwarnai kisah yang susah ditelusuri kebenarannya. Ahmad, 60 tahun, salah satu santri
Noto, pernah mendengar kisah pertemuan Noto-Sekarmadji di tepi Bengawan Solo pada 1948. Ketika itu, sang murid
hendak mengambil keputusan penting: hijrah ke Malangbong.

Dalam perenungan guru-murid, menurut kisah yang didengar Ahmad, muncul dua sosok. Noto menaiki macan putih, yang
diartikan sebagai pandita. Adapun sosok Sekarmadji muncul dengan menaiki kuda putih, simbol pengelana. Noto meminta
muridnya memperdalam agama dulu. Namun Sekarmadji nekat dan memilih pergi ke Malangbong. “Mereka lalu berpisah,”
kata Ahmad.

Noto terus mengajar ngaji hingga wafat, pada 1971. Dia dimakamkan di Padangan. Jejak Sekarmadji pun semakin kabur
sepeninggal sang guru. Ahmad mengenang, “Hanya Mbah Noto yang tahu hati Sekarmadji.”

Murid Tjokroaminoto di Peneleh

Rumah bercat putih di Jalan Peneleh, Surabaya, itu baru dikapur ulang. Di bagian depan, pintu kayu jati dan dua jendela
kecil yang mengapitnya pun baru dicat warna hijau. Selebihnya, tak ada yang baru dari rumah yang dulu dimiliki Haji Oemar
Said Tjokroaminoto ini. “Lantainya saja masih dari semen,” kata Mariyun, ketua rukun tetangga setempat.

Rumah pendiri Sarekat Islam yang punya banyak kamar itu pernah menjadi tempat indekos tokoh-tokoh pergerakan
kemerdekaan Indonesia dari berbagai aliran, di antaranya Soekarno dan Semaoen, pendiri Partai Komunis Indonesia.
Soekarno pernah tinggal di salah satu kamar berlangit-langit rendah di loteng.

Tjokroaminoto memang membuka pintu rumahnya untuk orang-orang muda yang tertarik pada pemikiran politiknya. Salah
satunya Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, yang pindah ke Surabaya pada 1923, selulus dari Europeesche Lagere School-
sekolah dasar Eropa khusus untuk kalangan Eropa dan yang berdarah Indo-Eropa, dengan pengecualian bagi pribumi
berstatus sosial tinggi.

Anak-anak pribumi yang mengenyam pendidikan elite ini diharapkan bisa menjadi tenaga pembantu jika disekolahkan ke
lembaga pendidikan dokter, sekolah ahli hukum, atau sekolah pamong praja. Ayah Sekarmadji, Kartosoewirjo, menginginkan
anaknya yang saat itu berusia 18 tahun ini menjadi dokter.

Dari Europeesche Lagere School di Bojonegoro, ia dikirim ke Nederlandsch Indische Artsen School atau Sekolah Dokter
Hindia Belanda di Surabaya. Namun lulusan sekolah tingkat dasar sepertinya baru bisa mengikuti pelajaran kedokteran
setelah lulus kelas persiapan selama tiga tahun.

Saat mengikuti kelas persiapan itulah Kartosoewirjo mulai aktif di politik. Mula-mula ia bergabung ke Jong Java. Organisasi
ini pecah karena anggotanya yang lebih radikal memilih mendirikan gerakan yang tak terlalu mengagungkan tradisi Jawa dan
pemikiran Barat. Mereka mendirikan Jong Islamieten Bond, yang lebih menyuarakan aspirasi Islam. Kartosoewirjo pun
memilih hijrah ke organisasi baru ini.

Menurut peneliti sejarah Islam di Indonesia, Bahtiar Effendy, sikap radikal Kartosoewirjo itu memang sudah “bawaan”.
“Kartosoewirjo itu kan orang Cepu,” ujarnya. “Kalau kita bicara Cepu saat itu kan abangan, bahkan kekiri-kirian.”
Kartosoewirjo yang dikenal gila membaca ini terpengaruh buku-buku aliran kiri dan antikolonialisme, yang kebanyakan dia
peroleh dari pamannya, Mas Marco Kartodikromo.

Marco adalah satu dari enam saudara kandung ayah Kartosoewirjo. Ia memilih profesi wartawan dan menulis di berbagai
media ketika itu, bahkan beberapa kali mendirikan penerbitan sendiri. Marco sendiri sempat aktif di Sarekat Islam, tapi
belakangan bergabung dengan Partai Komunis Indonesia.
Bagi pemerintah kolonial, Marco tak ubahnya duri dalam daging. Ia rajin mengkritik secara terbuka, bahkan tak ragu
menyindir pejabat pemerintah, di antaranya penasihat Gubernur Jenderal Hindia Belanda Urusan Bumiputra, D.A. Rinkes.

Buku-buku Marco-lah yang membuat pemerintah Hindia Belanda mencoret nama Kartosoewirjo dari Sekolah Dokter. Ia
didepak pada 1927 lantaran kedapatan memiliki bacaan komunis dan antikolonial.

Akibat “menganggur”, Kartosoewirjo malah mendapat banyak waktu luang mendengarkan pidato-pidato Haji Oemar Said
Tjokroaminoto. “Saya tertarik pada pidato-pidatonya,” kata Kartosoewirjo kepada Panglima Tentara Islam Indonesia Ateng
Jaelani.

Kartosoewirjo tak pernah masuk pesantren. Ia mempelajari agama secara serabutan dari kiai-kiai yang ditemuinya. Saat
Sarekat Islam menggelar rapat akbar di Surabaya, Kartosoewirjo ikut serta. Bubar rapat, anggota Sarekat pergi salat, juga
Kartosoewirjo. Seusai sembahyang, Kartosoewirjo mendekati Tjokroaminoto untuk menyatakan ingin menjadi murid. Ia
diterima.

Kartosoewirjo kemudian mondok di rumah Tjokroaminoto. Sebagai pengganti ongkos pemondokan, Karto “diminta bekerja di
surat kabar Fadjar Asia,” kata putra bungsu Kartosoewirjo, Sardjono. Kartosoewirjo juga sempat menjadi sekretaris pribadi
Tjokroaminoto. “Dia berguru soal Islam dan politik kepada Tjokroaminoto,” kata Bahtiar Effendy.

Tjokroaminoto menggembleng muridnya itu di koran yang banyak menulis tema antikolonial. Awalnya, Kartosoewirjo cuma
korektor. Lalu pelan-pelan dia naik pangkat menjadi redaktur, bahkan sampai ke tingkat pemimpin redaksi.

Saat mengasuh koran tersebut, Kartosoewirjo tidak cuma menulis soal kekejaman pemerintah kolonial. Ia juga membahas
soal Islam dengan bahasa yang keras. Dalam artikel yang ditulisnya pada 1929, dia menyerukan agar orang Islam bersedia
berkorban demi membela agama Islam.

Tak sekadar menulis, Kartosoewirjo bergabung dengan Partai Sarekat Islam, organisasi yang dibentuk Tjokroaminoto. Di
partai itu, Kartosoewirjo selalu berada dalam faksi nonkooperatif.

Sampai titik ini, hidup Kartosoewirjo mirip Mas Marco, pamannya. Bedanya: Marco komunis, Kartosoewirjo mengikuti
langkah Tjokroaminoto yang memilih Islam sebagai dasar perjuangan.

Pada 1929, “kursus” ilmu politik dan Islam di rumah Tjokroaminoto rampung. Kartosoewirjo ditunjuk menjadi wakil Partai
Sarekat Islam Indonesia di Jawa Barat. Ia hijrah dari Surabaya ke Malangbong, Garut. Kota di Jawa Barat itu menjadi basis
Kartosoewirjo dalam memimpin Darul Islam.

Mampir di Masyumi

MASYUMI lahir pada 7 Agustus 1945, ketika Jepang mulai sibuk bertahan dalam Perang Pasifik. Dalam bukunya Bulan Sabit
dan Matahari Terbit, Harry J. Benda melihat: Jepang merestui pendirian organisasi Islam itu dengan harapan kekuatan Islam
membantu dalam perang. Padahal para pendiri Masyumi, Kiai Haji Wachid Hasyim, Mohammad Natsir, Kartosoewirjo, dan
lainnya-menghendaki organisasi ini dapat menghadirkan semangat Islam dalam perang kemerdekaan.

Waktu itu Kartosoewirjo bukan pendatang baru. Sebelum terpilih sebagai Komisaris Jawa Barat merangkap Sekretaris I
Masyumi, ia sudah aktif dalam Majelis Islam ‘Alaa Indonesia (MIAI), salah satu organisasi cikal bakal Masyumi. Bersama
kawan-kawannya, atas izin Aseha-residen Jepang di Bandung-ia mendirikan cabang MIAI di lima kabupaten di Priangan.

Kartosoewirjo cukup dekat dengan Jepang. Dalam Soeara MIAI, ia menulis betapa ajaran Islam akan berkembang bila
umatnya ikut membangun dunia baru bersama “keluarga Asia Timur Raya.”

Beberapa tahun setelah Proklamasi, dalam Pedoman Dharma Bhakti ia menjelaskan strategi kerja sama ini terbukti efektif.
“Masyumi dan MIAI, keduanya buatan Jepang, dengan perantaraan agen para kiai ala Tokyo, sebenarnya kamp konsentrasi.
Namun akhirnya menjadi pendorong dan daya kekuatan yang hebat (dalam pergerakan Indonesia),” tulisnya.

Atas usul Kartosoewirjo pula, Wachid Hasyim, Natsir, dan anggota lainnya, pada 7 November 1945 di Yogyakarta,
menyatakan Masyumi sebagai partai politik. Kartosoewirjo tetap menjabat sekretaris pertama. Programnya menciptakan
negara hukum berdasarkan ajaran agama Islam. Kartosoewirjo juga diberi tugas mendirikan pusat Masyumi di daerah
Priangan.
Tujuh bulan setelah itu, pada Juni 1946, Masyumi daerah Priangan mengadakan konferensi pemilihan pengurus baru di
Garut. Kartosoewirjo menunjuk Kiai Haji Mochtar sebagai ketua umum dan ia sendiri sebagai wakilnya. Nama tokoh politik
Islam setempat, seperti Isa Anshari, Sanusi Partawidjaja, KH Toha, dan Kamran, masuk kepengurusan. Dalam pidatonya,
Kartosoewirjo meminta pengikutnya memahami ajaran Islam yang hanif, menjaga persatuan, dan menghentikan konflik
karena perbedaan ideologi.

“Karena konflik sesama bangsa Indonesia hanya akan menguntungkan Belanda,” katanya. Ia mematangkan partai yang
diharapkan menjadi wahana organisasi bagi semua kelompok Islam, sambil mempersiapkan tentaranya sendiri, laskar
Hizbullah dan Sabilillah di Priangan.

Semua menyaksikan Kartosoewirjo merupakan sosok berpengaruh dan keras hati. Sikap kerasnya pada persetujuan
Renville mendorong Perdana Menteri Amir Sjarifuddin meminta Kartosoewirjo menjabat Menteri Pertahanan. Tapi dia
menolak, karena masih merasa terikat dengan Masyumi dan tak menyukai arah politik Amir yang condong ke kiri.

Sebelumnya, dalam sidang Komite Nasional Indonesia Pusat di Malang, Jawa Timur, Februari-Maret 1947, Kartosoewirjo
yang mewakili Masyumi menegaskan menolak persetujuan Linggarjati. Sebab, kesepakatan itu menguntungkan Belanda,
yang nyata-nyata ingin kembali menjajah Indonesia. Penolakan itu menimbulkan konflik, Kartosoewirjo diancam gerilyawan
sayap kiri, Pesindo. Bung Tomo meminta Kartosoewirjo mencegah pasukan Hizbullah menembaki kelompok Pesindo.

Melihat persetujuan Linggarjati dilanjutkan dengan agresi militer Belanda, Kartosoewirjo memfokuskan perjuangan
bersenjatanya dengan basis Islam. Dalam pertemuan di Cisayong, ia dan kawan-kawan membekukan Masyumi dan semua
cabangnya di Jawa Barat. Kartosoewirjo membentuk Majelis Umat Islam. Masyumi tidak mendukung, walaupun tidak ikut
menghantam.

Ketika Masyumi memegang pemerintahan, Natsir mengirimkan surat yang mengajaknya turun gunung, kembali berjuang
dalam batas-batas hukum negara yang ada. Namun Kartosoewirjo membalas surat Natsir dengan pahit, “Barangkali saudara
belum menerima proklamasi (Darul Islam) kami.”

Akar Yang Terserak

AWAL tahun lalu, Bambang Soerjadi, 74 tahun, kaget kedatangan tiga tamu tak dikenal. Mereka berbicara dengan aksen
Sunda. Setelah disilakan duduk di kursi tua di ruang tamu rumahnya, salah seorang tamu-yang kurus dan berkumis-
memperkenalkan diri sebagai Herman. Ia menantu Dianti, salah seorang anak Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. “Setelah
itu, saya senang sekali,” kata Soerjadi. “Seperti sudah kenal lama.”

Bersama saudara-saudaranya, Herman datang dari Garut, Jawa Barat, untuk mengumpulkan kembali keluarga besar
“Imam”-panggilan Kartosoewirjo-yang terserak. “Selama ini silaturahmi terputus,” kata Herman, yang dihubungi terpisah. Ia
mengemban tugas wakil keluarga Kartosoewirjo. Pertemuan penuh haru di rumah di Jalan Setiabudi Nomor 20, Rembang,
Jawa Tengah, itu diakhiri pelukan emosional.

Soerjadi sendiri tak pernah mengenal sosok Kartosoewirjo. “Bahkan fotonya saja saya ndak punya,” katanya. Tapi dia adalah
cucu dari kakak Kartosoewirjo, yang bernama Soemarti Ning. Lantaran ayah mereka bekerja sebagai mantri candu, Soemarti
kecil mendapat nama panggilan Belanda: Dora. “Saya lebih mengenalnya sebagai Eyang Dora,” kata Soerjadi. Belakangan
ia baru tahu, Eyang Dora adalah kakak Kartosoewirjo. “Ibu saya selalu menutupi.”

Soemarti dan Sekarmadji Maridjan merupakan sepasang anak Kartosoewirjo, pegawai perusahaan kehutanan milik Belanda.
Mereka tumbuh dan mengecap pendidikan di sekolah Belanda di Kota Rembang. Selama ini, nama ibu mereka tidak pernah
diketahui. “Saya juga tidak tahu,” kata Sardjono, anak bungsu Sekarmadji.

Sejak muda, Sekarmadji gemar merantau, dan terakhir mengikuti H.O.S. Tjokroaminoto di Surabaya. Soemarti terus
menetap di Rembang. Soemarti menikah dengan Soero Dipo Menggolo, yang bekerja sebagai mantri guru-semacam kepala
sekolah. Mereka memiliki seorang anak perempuan bernama Sri Suryowati. Sedangkan Sekarmadji, sejak menikahi Dewi
Siti Kalsum, tinggal di Malangbong, Garut. Keturunan Soemarti berbahasa Jawa, sedangkan keturunan Sekarmadji sehari-
hari bercakap dalam bahasa Sunda.

Sri Suryowati menikah tiga kali. Pernikahan pertama dengan Soedarmo, pemuda asal Blora, dikaruniai dua anak, yakni Sri
Rahayu Siti Jumilah dan R. Handoyo. Setelah bercerai, Sri menikah dengan Roesman, asal Rembang. Ia melahirkan dua
anak, yakni Bambang Soerjadi dan Bambang Soerjono. Setelah bercerai lagi, Sri menikah dengan Soeryanto, asal
Kebumen, dan membuahkan dua anak, yaitu Bambang Irawan dan Endang Irowati.

Dari enam anak Sri, hanya Soerjadi dan Bambang Irawan yang masih hidup. “Dia kena stroke dan sulit berkomunikasi,” kata
Soerjadi tentang saudara tirinya itu. Soerjadi juga tidak mengetahui keberadaan keturunan saudara-saudaranya yang lain.

Dari enam bersaudara itu, Bambang Soerjono merupakan yang paling unik. Dia memeluk agama Kristen, mengikuti agama
istrinya, Iswati, asal Semarang. Dari pernikahan itu, lahir tiga anak yang kini menetap di Semarang, yakni Rony, Arianto, dan
Fifi. “Saya tidak pernah bertemu mereka dan kehilangan kontak,” Soerjadi menerawang.

Belakangan, Soerjono bercerai dan balik ke Rembang. Ia menikah lagi dengan Sasanti, yang juga beragama Kristen. Dari
pernikahan itu, lahir dua anak: Emi dan Bagus. Dengan keluarga satu kota ini pun Soerjadi tidak punya kontak. Bahkan,
pada saat Lebaran, keponakannya tidak ada yang datang menjenguknya. “Paling cuma papasan bertemu di jalan,” ujar
Soerjadi. Sepeninggal Soerjono, Sasanti lebih banyak menetap di Jakarta dengan keluarga lainnya.

Soerjadi, yang memiliki lima anak dan sebelas cucu, tinggal bersama anak perempuan dan dua cucunya. Ia pernah datang
ke Malangbong, pada 1980-an, untuk menemui Eyang Dora, yang di Malangbong lebih dikenal sebagai Wak Mantri.
“Ternyata (waktu itu) sudah meninggal,” katanya. Soemarti alias Eyang Dora menetap di Malangbong sejak 1960-an setelah
bercerai dari Dipo Menggolo. Soemarti wafat pada 1975 dan dikubur di pemakaman keluarga di Malangbong. “Nisannya tak
bernama,” kata Herman.

Batu-Batu kali di atas nisan itu telah berlumut, di bawah payungan pohon-pohon menjulang. Ini sebuah kompleks makam
keluarga di belakang Masjid Jamik di Kampung Bojong, Malangbong, di Garut, sebuah kota pedalaman di Jawa Barat.
Suasana hening dan adem ketika Tempo berziarah ke sana pada Juli lalu. Di sinilah Dewi Siti Kalsum, istri Kartosoewirjo,
yang akrab dipanggil Wiwiek, beristirahat untuk selamanya.

Lahir pada 1913, Dewi wafat 12 tahun lalu dalam usia 85 tahun. Bersebelahan dengan makam Dewi adalah kuburan Raden
Rubu Asiyah, ibundanya, perempuan menak asal Keraton Sumedang, Jawa Barat. Di pemakaman ini Kartosoewirjo ingin
dikuburkan. “Bapak ingin jenazahnya dekat dengan keluarga Malangbong,” kata Sardjono, anak bungsu Kartosoewirjo,
kepada Tempo.

Tapi pemerintah Soekarno punya kemauan lain. Sampai sekarang tak jelas keberadaan jasad Kartosoewirjo setelah dia
dieksekusi mati pada September 1962 di sebuah tempat di Teluk Jakarta. Kartosoewirjo agaknya ingin menunjukkan
cintanya kepada Dewi hingga akhir hayat: meminta dirinya dikuburkan di Malangbong-kendati tak kesampaian.

Pada masa gadisnya, Dewi adalah kembang Malangbong. Dia putri Ajengan Ardiwisastra, kiai sekaligus ningrat kaya di
Malangbong ketika itu. Dewi sangat dekat dan terkesan dengan sikap hidup ayahnya. Pada usia delapan tahun, ibunya
mengajak dia berjalan belasan kilometer ke Tarogong, Garut, untuk menengok ayahnya yang ditahan Belanda. Pengalaman
ini amat membekas di hati dia.

Ardiwisastra ditahan Belanda karena bersama sejumlah ajengan memelopori pembangkangan terhadap perintah Belanda,
yang mewajibkan penjualan padi hanya kepada pemerintah Hindia Belanda. Pada 1916, Belanda menembak mati Haji
Sanusi, tokoh berpengaruh di Cimareme, Garut. Terjadi pula penangkapan secara besar-besaran terhadap para ajengan,
termasuk Ardiwisastra dan santri-santrinya.

Dewi lulusan Hollandsch Inlandsche School (HIS) met de Quran Muhammadiyah Garut. HIS adalah sekolah yang pertama
berdiri pada 1914, seiring dengan berlakunya politik etis atau balas budi penjajah Belanda kepada tanah jajahannya.
Pendidikan setingkat sekolah dasar ini menggunakan pengantar bahasa Belanda. Ini berbeda dengan Inlandsche School
yang menggunakan bahasa daerah. Umumnya yang bersekolah di HIS anak bangsawan, tokoh terkemuka, atau pegawai
negeri.

Ketika Dewi sedang mekar mewangi pada 1928, muncullah seorang pemuda di rumahnya. Ia pintar bicara dan penuh daya
tarik bagi Dewi, yang juga mulai aktif di dunia pergerakan. Pemuda itu Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Ia mampir ke
rumah Ardiwisastra untuk mengumpulkan sumbangan warga Sarekat Islam guna mengongkosi Haji Agoes Salim ke
Belanda. Agoes Salim ke Negeri Kincir Angin untuk berdiplomasi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ardiwisastra
tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia di Garut.
Sekarmadji saat itu sudah terkenal di kalangan Partai Sarekat Islam Indonesia. Dialah sekretaris pribadi singa podium Haji
Oemar Said Tjokroaminoto-yang ikut melambungkan nama Kartosoewirjo ke kancah gerakan perlawanan terhadap Belanda.
Pada Desember 1927 Karto terpilih sebagai Sekretaris Umum Partai Sarekat Islam Indonesia. Sejak itu, ia banyak
melakukan perjalanan ke cabang-cabang Sarekat Islam.

Turne itu pula yang akhirnya membawa dia ke Malangbong menemui Ajengan Ardiwisastra. Setahun setelah pertemuan itu,
pada April 1929, Sekarmadji menikahi Dewi di Malangbong. Tentang pernikahan ini, seorang ulama seusia Ardiwisastra
mengatakan Sekarmadji diambil menantu semata-mata karena motif kepartaian. “Apakah calon menantunya tampan atau
buruk muka tidak penting,” kata ulama tadi kepada Pinardi, penulis buku Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo terbitan 1964.

Bagi Sekarmadji, Dewi punya semacam pertalian darah dengan dia, sama-sama keturunan Arya Penangsang. Dalam
sejarah Kerajaan Demak abad ke-15, Arya Penangsang adalah penguasa kawasan Jipang yang terbunuh dalam perebutan
kekuasaan setelah pamor Demak merosot.

Kepada Ateng Jaelani, tokoh Darul Islam yang lain, Sekarmadji pernah bakal menjadi menantu Haji Agoes Salim. Tapi,
karena Agoes Salim kalah berdebat dengan Sekarmadji, akhirnya batal. Penyebab lain, Sarekat Islam pecah. Kartosoewirjo
tak sehaluan dengan Agoes Salim yang mau berunding dengan Belanda untuk bicara kemerdekaan. Dan Kartosoewirjo
memilih jalan politik nonkooperatif terhadap Belanda.

Ardiwisastra memandang Sekarmadji pemuda ideal. Apalagi dia punya haluan politik serupa. Pada Adiwisastra, Sekarmadji
memperdalam keislaman dan kepartaiannya.

Dalam sebagian babak pernikahan mereka, Dewi turut bergerilya. Tapi dia tak mampu menjelaskan alasannya bersusah
payah selama 13 tahun keluar-masuk hutan bersama suaminya. “Karena apa ya, saya sendiri tidak tahu,” kata Dewi kepada
Tempo edisi 5 Maret 1983. Kalau disebut karena cinta, “Bapak itu sebetulnya orangnya (mukanya) kan jelek,” kata Dewi.

Yang pasti, pada hari tuanya-tanpa Kartosoewirjo-Dewi hidup tenang dan cenderung dingin. Riwayat hidup yang lebih
banyak dilumuri cerita duka bergerilya dengan Kartosoewirjo pernah ia ceritakan kepada Tempo 27 tahun lalu itu tanpa
emosi.

Sebagai istri orang pergerakan, Dewi selalu berpindah-pindah ikut suami. Ia mondar-mandir Jakarta-Bandung-Garut-
Yogyakarta, menumpang di rumah kenalan atau rumah kontrakan. Belum lagi jika Kartosoewirjo berurusan dengan rumah
tahanan. Biasanya, kalau suaminya ditahan, Dewi pulang ke Malangbong. “Saya juga pulang kampung kalau mau
melahirkan,” kata Dewi.

Dewi melahirkan 12 anak. Lima di antaranya meninggal. Tiga anak terakhir: Ika Kartika, Komalasari, dan Sardjono, lahir di
tengah hutan. Anak-anak yang lain lahir di rumah. Mereka: si sulung Tati yang meninggal ketika masih bayi, Tjukup yang
tertembak dan meninggal pada 1951 di hutan pada usia 16 tahun, Dodo Muhammad Darda, Rochmat (meninggal pada usia
10 tahun karena sakit), Sholeh yang meninggal ketika bayi, Tahmid, Abdullah (meninggal saat bayi), Tjutju yang lumpuh, dan
Danti.

Sebagai perempuan, Dewi mula-mula takut juga hidup di hutan. Apalagi saat itu Dewi menggendong Danti yang baru berusia
40 hari. Dewi sempat berpikir tentang masa depan anak-anaknya dan sering tercenung sedih. Tapi Kartosoewirjo yang ia
kagumi selalu menghibur. “Kok, sedih amat sih!” Itu kalimat yang kerap Kartosoewirjo ucapkan jika Dewi sedang bermuram
durja. Biasanya, jika suaminya bilang seperti itu, Dewi langsung merasa tenteram.

Sebelum menjalani eksekusi mati, Kartosoewirjo sempat berwasiat di hadapan istri dan anak-anaknya di sebuah rumah
tahanan militer di Jakarta. Menurut Dewi, saat itu Kartosoewirjo antara lain berkata tidak akan ada lagi perjuangan seperti ini
sampai seribu tahun mendatang. Dewi menitikkan air mata. Karto, yang mencoba tabah, akhirnya meleleh. Perlahan-lahan,
dia mengusap kedua matanya.

Kenang-kenangan Institut Suffah

Di Malangbonglah awal Kartosoewirjo mempelajari Islam. Ia berguru kepada mertuanya, Ajengan Ardiwisastra, Kiai Mustafa
Kamil dari Tasikmalaya, juga Kiai Yusuf Tauziri dari Wanaraja, yang boleh dibilang sangat berpengaruh terhadap sikap
religius Kartosoewirjo.
Keakraban Kartosoewirjo dengan Kiai Yusuf Tauziri terjalin antara 1931 dan 1938, saat sang Kiai duduk dalam Dewan
Sentral Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Kiai Yusuf kemudian menjadi salah seorang penasihat Kartosoewirjo. Kadang
Yusuf, yang berkecenderungan berat ke tasawuf, dianggap bertanggung jawab atas kegemaran Kartosoewirjo pada mistik.
Bahkan beberapa peneliti mengatakan Kiai Yusuf sebenarnya pemimpin spiritual yang sesungguhnya dari gerakan Darul
Islam pada tahap permulaan. Ia membantu gerakan itu dari segi keuangan dan militer.

Pada 1936, dalam Kongres PSII di Batavia, Kartosoewirjo terpilih sebagai wakil ketua partai. Kongres ke-22 PSII itu menjadi
momentum penting dalam karier politik Kartosoewirjo. Pada 1938, dalam kongres partai yang ke-24, diputuskan akan
didirikan suatu lembaga pendidikan kader di Malangbong dengan nama Suffah PSII. Rencananya, lembaga yang bertujuan
menjadi sarana pendidikan politik bagi kaum muslim ini akan dibuka pada 20 Februari 1939 di bawah pimpinan Kartosoewirjo
sendiri sebagai Wakil Ketua PSII.

Namun rencana itu tak berjalan mulus. Pada 1939 terjadi perpecahan dalam tubuh PSII. Puncaknya, dalam kongres partai
ke-25 di Palembang, Januari 1940, Kartosoewirjo yang berseberangan dengan para petinggi partai akhirnya dipecat melalui
keputusan Dewan Eksekutif PSII. Ia juga dituduh telah menyalahgunakan dana partai.

Bersama Kiai Yusuf Tauziri, ia kemudian membentuk Komite Pembela Kebenaran (KPK) PSII, yang menurut dia merupakan
kelanjutan yang sebenarnya dari PSII.

Pada 24 Maret 1940, Kartosoewirjo mendirikan Institut Suffah yang sempat tertunda. Nama itu diambil dari bahasa Arab,
suffah, yang berarti “menyucikan diri”. Menempati area perbukitan sekitar empat hektare milik Ardiwisastra, lembaga
pendidikan ini berada di sekitar jalan raya Malangbong-Blubur Limbangan. Tempatnya terpencil dari keramaian kota, di
tengah-tengah kebun kelapa, dan masuk beberapa meter dari jalan raya.

Lembaga itu mirip pesantren. Siswanya menetap di sana. Selain mendapat pengajaran ilmu pengetahuan umum dan
pendidikan agama, para siswa dididik ilmu politik. Kartosoewirjo sendiri mengajar bahasa Belanda, ilmu falak (astronomi),
dan ilmu tauhid kepada siswanya yang berasal dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

Dalam masa pendudukan Jepang, KPK-PSII-nya Kartosoewirjo di Malangbong dibubarkan Jepang. Meski begitu,
Kartosoewirjo tetap memfungsikan Institut Suffah. Tapi dengan fokus pendidikan kemiliteran, karena saat itu Jepang getol
memberi pelatihan militer. Siswa yang dilatih kemiliteran di Suffah lalu menjadi laskar Islam, Hizbullah dan Sabilillah, yang
menurut sejumlah sejarawan kelak menjadi inti Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat.

Dalam perjalanannya, Institut Suffah berujung tragis. Pada 1948, bangunan lembaga itu dihancurkan tentara Belanda, dan
hanya menyisakan puing-puing batu bata. Belakangan batu bata reruntuhan itu pun dijual istri Kartosoewirjo, Dewi Siti
Kalsum, untuk membiayai pendidikan putra bungsunya, Sardjono. “Meski memiliki kenang-kenangan yang sangat berarti,
apa boleh buat saya butuh uang untuk menyekolahkan Sardjono,” kata Dewi, seperti dikutip majalah ini edisi 5 Maret 1983.

Kini bekas Institut Suffah yang berada di belakang rumah Sardjono di Desa Bojong, Malangbong, itu tak sedikit pun
menyisakan jejak kejayaan pesantren yang didirikan Kartosoewirjo.

Ratu Adil Bermodal Keris

Kabar itu disiarkan melalui radio tabung ketika fajar baru terbit, 4 Juni 1962. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, “Imam
Negara Islam Indonesia”, “diringkus” tentara di persembunyiannya yang becek dan basah, di sebuah hutan yang tidak lebat
di Jawa Barat.

Kastolani, komandan kompi Tentara Islam Indonesia di Brebes, Jawa Tengah, tak mampu menahan amarah. Ia berniat
mengajak sembilan anak buahnya menyerbu markas Tentara Nasional Indonesia. Berusia 29 tahun ketika itu, Kastolani
bertambah geram akan sikap para komandannya.

“Komandan Batalion” dan “Komandan Resor Militer” Tentara Islam Indonesia di Brebes justru menganjurkan prajuritnya
menyerah. “Saya tegaskan: komandan yang menyerah akan saya tembak,” tuturnya kepada Tempo di rumahnya di Salem,
Brebes, akhir Juli lalu.

Tapi, melihat para komandan dan anggota Tentara Islam tak berniat melanjutkan perlawanan setelah Kartosoewirjo
tertangkap, ia melunak. “Saya perintahkan anak buah saya, silakan turun kalau mau menyerah,” ia mengenang, dengan
nada pahit. “Tapi, saya ingatkan, jangan tinggalkan salat.”
Kastolani bergabung dengan Tentara Islam Indonesia di Brebes pada 1953. Ia terpikat janji negara berbasis syariah.
Diproklamasikan Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949 di Desa Cisampah, Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat, Negara Islam
Indonesia memikat ribuan orang pada mulanya.

Tidak ada angka pasti, tapi diperkirakan 50 ribu orang menjadi anggota ketika Kartosoewirjo ditangkap. Kepada pengikutnya,
Karto selalu mengobarkan semangat jihad dan memerangi “pemerintahan kafir” Soekarno.

Dianggap memberontak, pengikut Negara Islam Indonesia diburu Tentara Nasional Indonesia. Sejak itu, mereka masuk
hutan. Kastolani menjelajahi hutan di kawasan Bantar Kawung, Salem, Majenang, Songgong, Cibinbin, dan Jati Rokek.
Desa-desa itu merupakan wilayah pegunungan di Brebes yang hutannya masih tersisa hingga kini.

Kartosoewirjo menggagas Negara Islam setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, Agustus 1945. Ia melontarkan keinginan
itu ketika menjadi Sekretaris Partai Masyumi Jawa Barat pada Oktober 1945. Meski ditolak partai, gagasan ini didukung
banyak ulama di Jawa Barat.

Melalui para ulama, Karto mempengaruhi anggota Sabilillah dan Hizbullah-sayap ketentaraan Masyumi-di Jawa Barat
pimpinan Oni. Dua laskar itu merupakan cikal bakal Tentara Islam Indonesia yang dibentuk pada Februari 1948. Merasa
mendapat dukungan kuat dari pengikutnya dan Tentara Islam Indonesia, Kartosoewirjo membekukan kegiatan Partai
Masyumi Jawa Barat. Ia mendirikan Negara Islam Indonesia.

Solahudin, peneliti Darul Islam dari Universitas Indonesia, mengatakan keberhasilan memperoleh dukungan tak lepas dari
strategi Karto menggunakan ajaran tasawuf. “Modelnya tasawuf bercampur unsur kebatinan,” katanya.

Ia mencontohkan, pada suatu kesempatan, Karto melakukan tapa geni di Gunung Kidul, Yogyakarta. Dengan bertapa, Karto
mengasingkan diri dari keramaian, membersihkan diri dari pengaruh duniawi. Dalam bahasa Arab, aktivitas ini disebut
riyadhoh. Kepada pengikutnya, menurut Solahudin, Karto meyakinkan bahwa bertapa juga dilakukan Rasulullah ketika
memperoleh wahyu pertama kali di Gua Hira.

Setelah bertapa, Karto mengaku mendapat “wahyu cakraningrat”-sinar terang yang disebutkan berbentuk kalimat syahadat
dalam bahasa Arab. Sinar itu disebutkan melingkari wajah Karto. Ateng Jaelani Setiawan, mantan Panglima Tentara Islam
Indonesia, yang ditangkap pada Maret 1962, mengatakan bahwa dengan “wahyu cakraningrat” Karto mengklaim dirinya
sebagai “khalifatullah”. Kartosoewirjo mengangkat dirinya sebagai imam seluruh umat Islam di dunia.

Dalam buku Pedoman Dharma Bhakti Negara Islam Indonesia jilid ketiga, Kartosoewirjo disebut dengan banyak julukan:
Ratu Adil, Imam Mahdi, Sultan Heru Tjokro, dan Satrija Sakti. Julukan itu disesuaikan dengan ramalan Joyoboyo, pujangga
Jawa, tentang orang yang akan memimpin umat manusia. Konon Kartosoewirjo akan bisa menjadi Ratu Adil jika bisa
menyatukan dua senjata pusaka, yakni Ki Dongkol dan Ki Rompang. Ketika ia ditangkap pada 3 Juni 1962, keris Ki Dongkol
ada di tangannya.

Dalam buku manifesto politiknya, Heru Tjokro Bersabda: Indonesia Kini dan Kelak, Kartosoewirjo menulis, “Heru Tjokro”
merupakan “makhluk Allah yang suci, menguasai dan memutar roda dunia menuju mardlotillah sejati, yaitu Negara Islam
Indonesia.” Heru Tjokro juga diartikan sebagai: “penyapu masyarakat jahiliah”. Pemerintah Soekarno dianggap kafir karena
tidak menjalankan syariat Islam, dianggap jahiliah, dan harus diperangi.

Karto menganggap situasi Indonesia ketika itu sama dengan masa penyebaran Islam oleh Nabi Muhammad di Mekah.
Sementara Muhammad menghadapi perlawanan kaum Quraisy, Kartosoewirjo mengatakan menghadapi Tentara Nasional
Indonesia. Menurut Solahudin, alih-alih mengikuti cara tasawuf yang tidak agresif, Kartosoewirjo meminta anak buahnya
memerangi pemerintah.

Karto juga membaurkan ritual keagamaan dengan kebatinan. Pada malam-malam tertentu, dia mengumpulkan 41 ulama di
daerah “D-Satu”-daerah yang sepenuhnya dikuasai Negara Islam Indonesia. Mereka berdoa, berzikir, dan bersalat tahajud
bersama. Semua dilakukan, menurut Solahudin, demi “menggapai wangsit dari langit”.

Al-Chaidar, peneliti gerakan Islam Indonesia dari Universitas Malikussaleh, Nanggroe Aceh Darussalam, ragu Kartosoewirjo
menggunakan pengaruh tasawuf, apalagi yang berbau mistik. “Informasi itu bias, hanya cerita dari mulut ke mulut,” katanya.

Untuk menguatkan ketaatan, konsep baiat-pernyataan setia kepada imam-diberlakukan bagi pengikut. Sebelum berbaiat
dengan Kartosoewirjo, seseorang belum dianggap menjadi muslim. Dengan baiat, pengikut Negara Islam Indonesia dituntut
tunduk dan patuh kepada pemimpin. Dengan kesetiaan ini, sebagian besar pengikut menjadi puritan. Tak aneh, Tentara
Nasional Indonesia butuh 13 tahun untuk melumpuhkan kekuatan Tentara Islam Indonesia.

Kecewa Lalu Gerilya

Kedua tokoh pejuang Islam Jawa Barat itu bertemu dengan hati penuh kuciwa pada awal 1948. Raden Oni Syahroni adalah
Panglima Laskar Sabilillah, sedangkan Kalipaksi alias Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dikenal sebagai pendiri dan
pemimpin Institut Suffah-yang murid-muridnya menjadi tenaga inti Laskar Sabilillah dan Hizbullah.

Mereka membicarakan isi Perjanjian Renville, 17 Januari 1948, yang mengharuskan tentara dan laskar bersenjata mundur
ke belakang garis Van Mook. Kantong-kantong wilayah berisi pasukan bersenjata di dalam garis itu harus dikosongkan.
Ketika itu santer terdengar Divisi Siliwangi yang menjadi kebanggaan rakyat Jawa Barat akan hijrah ke Yogyakarta.

Pengalaman Perjanjian Linggarjati yang tak dipatuhi Belanda mengingatkan mereka untuk tak mudah percaya kepada taktik
penjajah. Cornelis van Dijk, dalam bukunya, Darul Islam, menulis bahwa para pejuang Islam kecewa terhadap Perjanjian
Renville itu. Mereka menganggap Republik dan Tentara Nasional Indonesia tak hanya menunjukkan sikap kompromistis
terhadap Belanda, tapi juga membiarkan rakyat Jawa Barat tak terlindungi.

Mudah ditebak hasil pertemuan kedua tokoh itu: Sabilillah-laskar yang awalnya dibentuk oleh Partai Masyumi-dan Hizbullah
menolak perintah pengosongan. Anggota Hizbullah dan Sabilillah yang hijrah akan dilucuti senjatanya. Beberapa literatur
menulis, tentara resmi yang tidak hengkang juga diwajibkan menyerahkan senjata. Aksi kelompok Hizbullah dan Sabilillah ini
memicu ketegangan. Kelompok bersenjata yang menolak dilucuti kerap melawan.

Oni dan Karto juga sepakat segera menggelar konferensi pemimpin umat Islam se-Jawa Barat. Menurut Pinardi, dalam
bukunya, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, konferensi itu digelar di Desa Pamedusan, Cisayong, Tasikmalaya, pada
Februari 1948.

Konferensi dihadiri 160 perwakilan organisasi Islam. Karto hadir sebagai wakil pengurus besar Masyumi Jawa Barat. Salah
satu keputusan konferensi itu adalah semua organisasi Islam-termasuk Masyumi-melebur menjadi Majelis Islam Pusat, dan
menunjuk Kartosoewirjo sebagai imam.

Pada Konferensi itu pula tercetus ide pembentukan Negara Islam Indonesia. Salah satu pengusulnya, Komandan Teritorial
Sabilillah, Kasman, merujuk pada dua kekuatan besar dunia saat itu. “Kalau mengikuti Rusia, kita akan digempur Amerika.
Begitu pula sebaliknya,” kata Kasman. “Karena itu, kita harus mendirikan negara baru, yaitu negara Islam, untuk
menyelamatkan negeri ini.”

Namun konferensi belum mengambil keputusan tentang negara Islam. Peserta hanya menyepakati perlunya gerakan
perlawanan sementara, berupa pembentukan Tentara Islam Indonesia, dan menunjuk Raden Oni sebagai pemimpin.
Pasukan Tentara Islam ini memilih bermarkas di lereng Gunung Cupu, di daerah Gunung Mandaladatar, Jawa Barat.

Mengenai pembentukan TII ini, Al-Chaidar dalam bukunya, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M.
Kartosoewirjo, mencatat beberapa hari setelah konferensi ada pertemuan lain untuk mewujudkan bentuk konkret TII.
Akhirnya, para pejuang Islam itu tidak hanya membentuk TII, tapi juga sejumlah korps khusus, seperti Barisan Rakyat Islam,
Pahlawan Darul Islam (Padi), dan Pasukan Gestapu. Ada pula pembentukan korps polisi dan polisi rahasia Mahdiyin.

Untuk mematangkan rencana pendirian NII, Karto melakukan serangkaian pertemuan dan konferensi lanjutan. Dua bulan
setelah konferensi pertama, mereka menggelar Konferensi Cipeundeuy, Bantarujeg, Cirebon. Konferensi itu meminta
pemerintah Indonesia membatalkan sejumlah perundingan dengan Belanda. Jika tidak berhasil, pemerintah RI diminta
membubarkan diri atau membentuk pemerintah baru.

Konferensi juga memutuskan mengadakan persiapan negara Islam untuk menandingi negara Pasundan bentukan Belanda.
Persiapan itu meliputi pembuatan aturan-aturan ala Islam. Setelah di Cipeundeuy, konferensi lain digelar di Cijoho,
Kuningan, yang membahas secara mendalam bentuk-bentuk ketatanegaraan. Dalam pertemuan ini terbentuk Dewan
Imamah (Dewan Menteri), Dewan Fatwa (Dewan Pertimbangan Agung), dan penyusunan Kanun Azazi atau Undang-Undang
Dasar.
Di tengah persiapan pembentukan NII, pada akhir 1948, Ibu Kota Yogyakarta diserang Belanda. Para pemimpin nasional
yang berkantor di sana ditawan, termasuk Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Peristiwa ini
dimanfaatkan Kartosoewirjo sebagai propaganda tamatnya riwayat republik yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

Maka, pada 21 Desember 1948, Kartosoewirjo mengumumkan komando perang suci, perang total melawan penjajah. Dalam
kondisi perang itu, Dewan Imamah dan Dewan Fatwa menjadi kekuasaan tertinggi.

Akhirnya, melalui Maklumat Nomor 6, Kartosoewirjo mengumumkan kejatuhan Negara RI dan lahirnya Negara Islam
Indonesia. Dia menganggap Jawa Barat sebagai daerah de facto NII, sehingga setiap pasukan dan kekuatan lain-termasuk
tentara resmi-yang melewati wilayah ini dianggap melanggar kedaulatan. Mereka harus bergabung dengan TII atau dilucuti.
Ketika itulah NII mulai menyerukan jihad fisabilillah.

Pada saat bersamaan, Divisi Siliwangi yang hijrah ke Jawa Tengah telah kembali ke Jawa Barat dengan melakukan long
march. Masuknya kembali tentara Siliwangi ke daerah yang dikuasai pasukan TII menimbulkan gesekan, dan mengakibatkan
perang segitiga TII-TNI-Belanda. Perang itu baru padam setelah digelarnya Perjanjian Roem-Royen.

Toh, perjanjian ini tak lebih bagus daripada perjanjian sebelumnya. Kartosoewirjo mengecam hasil perjanjian itu, seperti
tertuang dalam Pedoman Dharma Bhakti Jilid II. Ia menuding Mohammad Roem, wakil Masyumi yang memimpin
perundingan itu, telah menjual negara.

Perjanjian itu dinilainya menimbulkan kekosongan kekuasaan di Indonesia. Dalam kondisi vakum itu, menurut dia, tidak ada
kekuasaan dan pemerintahan yang bertanggung jawab. Maka keadaan itu digunakan oleh Kartosoewirjo untuk
memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia, 7 Agustus 1949.

Belakangan diketahui, rencana memproklamasikan Negara Islam Indonesia itu bukan yang pertama kali bagi Kartosoewirjo.
Ulama Garut masa itu, Kiai Haji Yusuf Tauziri, memberikan pernyataan pernah dua kali diminta Karto memproklamasikan
Negara Islam Indonesia. “Namun permintaan itu ditolak Yusuf,” Pinardi menulis.

Melihat proses pembentukan Negara Islam Indonesia itu, tak aneh bila ahli politik Islam, Bahtiar Effendy, menilai
Kartosoewirjo tak memiliki landasan ideologi yang kuat. Apalagi mengingat latar belakangnya sebagai anak mantri candu
yang berpendidikan Belanda, dan hanya belajar Islam secara otodidak. “Soekarno jauh lebih kuat pengetahuan
keislamannya,” kata Bahtiar.

Bahtiar menunjuk kekecewaan Kartosoewirjo terhadap Perjanjian Renville dan perjanjian-perjanjian berikutnya yang
dianggap merugikan kepentingan Indonesia sebagai faktor yang lebih menentukan pemberontakannya. Tatkala pemerintah
Soekarno-Hatta terdesak karena agresi militer Belanda, Kartosoewirjo memanfaatkan momen itu untuk memproklamasikan
NII.

Pendapat ini disanggah putra bungsu Kartosoewirjo, Sardjono. Menurut dia, perjuangan ayahnya berlandaskan ideologi
Islam yang diperjuangkan sejak ia mulai bergabung dengan Sarekat Islam dengan tokoh seperti H.O.S. Tjokroaminoto.
“Perjanjian Renville hanya momentumnya,” katanya.

Upaya Hampa Natsir

PERLAWANAN Kartosoewirjo bersemai ketika Indonesia mengikat perjanjian dengan Belanda. Perdana Menteri Amir
Sjarifuddin menandatangani perjanjian di atas kapal perang USS Renville milik Amerika Serikat pada 17 Januari 1948. Salah
satu butir kesepakatan Renville, penetapan garis Van Mook sebagai batas wilayah Indonesia dengan Belanda.
Konsekuensinya, semua tentara Indonesia harus keluar dari wilayah Jawa Barat yang dikuasai Belanda.

Kartosoewirjo kecewa. Bersama pasukan Sabilillah dan Hizbullah, Kartosoewirjo menolak mengikuti jejak Divisi Siliwangi
mundur ke Jawa Tengah. Dia bertekad tetap bertahan di Jawa Barat serta terus melawan Belanda.

Melihat ini, Perdana Menteri Mohammad Hatta menunjuk Mohammad Natsir sebagai penghubung pemerintah-yang saat itu
berdomisili di Yogyakarta-dengan Kartosoewirjo. Hatta menganggap Natsir cukup kenal Kartosoewirjo. Selain sama-sama
orang Masyumi, Natsir dan Kartosoewirjo beberapa kali berjumpa di rumah guru Natsir, A. Hassan, tokoh Persatuan Islam, di
Bandung.

Natsir, dalam wawancara dengan Tempo, Desember 1989, menggambarkan hubungan Kartosoewirjo dengan pemerintah
saat itu masih lumayan mesra. Berkali-kali Kartosoewirjo datang ke Yogyakarta minta bantuan makanan atau dana bagi
pasukannya. “Bung Hatta memberikan bantuan supaya Kartosoewirjo bisa mendinginkan hati orang-orang Jawa Barat yang
merasa ditinggalkan Republik,” kata Natsir.

Namun baku tembak antara pasukan Tentara Islam dan Tentara Nasional Indonesia tak terhindarkan. Kontak senjata
pertama terjadi 25 Januari 1949 di Kampung Antralina, Ciawi, Tasikmalaya. Pertempuran pecah akibat masing-masing pihak
mengklaim diserang lawan. Sejak itu, bara permusuhan Tentara Islam dan Tentara Nasional Indonesia terus menyala.

Bagi Kartosoewirjo, kekosongan kekuasaan di Jawa Barat berarti peluang mendirikan Negara Islam. Puncaknya, pada 7
Agustus 1949, di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Kartosoewirjo
mendeklarasikan Negara Islam Indonesia. Tanggal itu persis dengan keberangkatan Hatta ke Den Haag, Belanda, untuk
menghadiri Konferensi Meja Bundar.

Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menghentikan niat Kartosoewirjo mendeklarasikan Negara Islam Indonesia,
atau Darul Islam. Sebelum berangkat, Hatta berpesan kepada Natsir agar berbicara dengan Kartosoewirjo. Ketika itu, 4
Agustus, Natsir menginap di Hotel Homann, Bandung. Dia menulis pesan di selembar kertas hotel, kemudian meminta tolong
A. Hassan menyampaikan ke Kartosoewirjo. Apa daya, surat itu sampai ke tangan Kartosoewirjo tiga hari setelah proklamasi
Darul Islam. “Ya, terlambat. Itu namanya takdir Tuhan,” kata Natsir, 21 tahun lalu.

Menurut Natsir, Kartosoewirjo dijaga ketat pengawal. Tak sembarang orang bisa bertemu. A. Hassan pun diminta menunggu
beberapa hari. Kalaupun tiba tepat waktu, tak mudah menggeser sikap Kartosoewirjo. “Bagi dia, yang berat itu menjilat ludah
sendiri,” kata Natsir.

Kartosoewirjo terus bergerilya. Tapi hubungan Kartosoewirjo-Natsir tetap tersambung. Selama bergerilya, paling tidak dua
kali Kartosoewirjo mengirim surat rahasia kepada Presiden Soekarno, yang ditembuskan kepada Natsir.

Surat pertama dikirim 22 Oktober 1950, berisi pujian atas keputusan pemerintah menjadi anggota Perserikatan Bangsa-
Bangsa. Menurut dia, kebijakan itu menunjukkan sikap pemerintah telah bergeser dari politik netral menjadi politik
antikomunis. Di surat berikutnya, enam bulan kemudian, Kartosoewirjo menjanjikan dukungan kepada pemerintah melawan
komunisme. “Republik Indonesia akan mempunyai sahabat sehidup semati,” katanya. Namun Kartosoewirjo memberikan
syarat: pemerintah harus mengakui Darul Islam.

Usaha Natsir melunakkan hati sang Imam tak berhenti. Pada Juni 1950, Natsir mengutus Wali Al-Fatah menemuinya. Ia
teman lama Kartosoewirjo. Namun Kartosoewirjo menolak bertemu. Sang Imam menyatakan hanya bersedia menerima
pejabat tinggi Indonesia, bukan utusan. Memang bukan Natsir yang menaklukkan sang Imam. Ia peluru yang menembus
dada Kartosoewirjo pada September 1962 di Teluk Jakarta.

Kartosoewirjo Vs Alex Kawilarang

Awal 1950. Satu batalion Siliwangi bersenjata lengkap mengepung rapat sebuah rumah di daerah Tasikmalaya, Jawa Barat.
Pasukan bersiaga di segenap penjuru. Semua senapan teracung ke arah rumah itu. Di situlah diduga tinggal salah satu
perwira Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, Haji Syarif alias Ghozin.

Tak menunggu lama, perintah tembak berkumandang. Peluru pun berhamburan. Sang target utama, Ghozin, malah luput
dan berhasil melarikan diri. Hanya istri dan pembantu Ghozin yang bisa dibekuk.

Aneh. Kolonel Alex Evert Kawilarang, Panglima Tentara Teritorium III/Siliwangi, yang dua hari kemudian datang memeriksa,
menaruh syak. “Harusnya seekor ayam pun tidak akan bisa kabur,” kata Sardjono Kartosoewirjo, putra bungsu “Imam” Darul
Islam, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Alex meminta semua anggota pasukan yang terlibat pertempuran itu diperiksa. Dari hasil pemeriksaan, ditemukan beberapa
anggota pasukan Siliwangi punya hubungan kerabat dengan tokoh Darul Islam. Hubungan kerabat itulah yang membuat
prajurit Siliwangi terkesan ragu melawan tentara Kartosoewirjo.

“Cerita itu tidak benar,” kata Kolonel (Purnawirawan) Suhanda, 82 tahun, mantan Komandan Kompi C Batalion 328 Kujang.
Anak buah Suhanda, yakni Sersan Mayor (Purnawirawan) Dana, 68 tahun, juga ragu akan kesaksian Sardjono. Dua belas
tahun setelah peristiwa pengepungan itu, Juni 1962, Kompi C berhasil menangkap Kartosoewirjo.

Tentara Islam ini memang liat dan ulet. Persenjataannya ala kadarnya dan pasokan logistik pun ekstraseret. Mereka
bertahan bergerilya, dari gunung ke gunung, selama belasan tahun.
Dana mengakui keuletan Tentara Islam. Tapi ada juga faktor lain. “Fokus TNI terpecah karena banyak pemberontakan lain di
luar Jawa,” ujar Dana.

Pada awal pemberontakan Tentara Islam, semula pasukan Siliwangi belum menemukan taktik yang jitu. Kolonel Alex menilai
pasukan yang dipakai untuk menumpas tentara Kartosoewirjo terlalu besar. “Mobilitasnya jadi kurang. Lamban sekali,” kata
Alex dalam biografinya. Alex mengakui kesulitannya menundukkan Kartosoewirjo kendati di awal pemeberontakan dia
sempat berjanji akan menumpas Darul Islam dalam waktu enam bulan saja. Dia kemudian meminta pasukannya membentuk
tim patroli dalam jumlah lebih kecil, tapi lebih gesit. “Cukup satu peleton saja, tapi harus terus bergerak, baik siang maupun
malam.”

Patroli dalam tim-tim kecil ini pun kurang memadai menghadang pasukan Kartosoewirjo. Sebagian warga Priangan yang
mendukung Kartosoewirjo memberikan tempat persembunyian bagi Tentara Islam. Alex menganalisis situasi pihak lawan
menguasai medan dan didukung sebagian rakyat. Strategi yang dibutuhkan, menurut Alex, adalah strategi antigerilya.

Alex sudah kenyang pengalaman dalam perang gerilya dari penumpasan pemberontakan Republik Maluku Selatan. Dia
melatih anak buahnya berbagai jurus antigerilya, terutama hinderlaag (penghadangan), juga menentukan gevechtstelling
atau posisi tempur. Strategi inilah yang akhirnya mematahkan perlawanan Tentara Islam.

Dua peneliti, Cornelis van Dijk dan Karl D. Jackson, punya sejumlah teori kenapa perlawanan Tentara Islam Indonesia bisa
bertahan lama, bahkan jauh lebih lama dibanding Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)/Permesta, yang
digerakkan sejumlah tokoh politik dan perwira militer.

Dukungan rakyat terhadap Darul Islam memang lebih kuat ketimbang respons masyarakat terhadap PRRI, yang elitis. Pada
akhir 1960-an, Jackson meneliti 19 desa di Jawa Barat. Kesimpulannya, enam desa memihak Darul Islam, tujuh desa
condong ke Pemerintah Republik, dan sisanya hanya mengikuti “arah angin”.

Harus diakui pula bahwa Kartosoewirjo lihai merengkuh simpati masyarakat dengan simbol Islam yang digunakannya.

Jejak Gerilya di Belantara Priangan

SARDJONO Kartosoewirjo-putra Almarhum Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo-menegakkan posisi duduknya dan


mengencangkan volume pemutar musik di mobil itu. Suara penyanyi balada Amerika, John Denver, terdengar melantunkan
Take Me Home, Country Roads.

Almost heaven, West Virginia


Blue Ridge Mountains
Shenandoah River…

Mobil yang ditumpanginya memasuki gugus pegunungan di pinggiran Kota Bandung. “Saya anak hutan, lahir dan tumbuh di
hutan,” kata pria 48 tahun itu. Sardjono dilahirkan ketika ayahnya bergerilya setelah memproklamasikan Negara Islam
Indonesia dan baru keluar dari hutan pada usia lima tahun.

Pertengahan Juli lalu, Sardjono bersama Tempo melakukan napak tilas menyusuri daerah gerilya Kartosoewirjo.
Rombongan berangkat dari Jakarta siang hari, senja sampai Bandung, dan masuk pegunungan Jawa Barat saat rembang
petang.

Mendekati daerah Malangbong, Garut, sekitar satu jam perjalanan dari Bandung, Sardjono membaca selarik sajak dengan
suara bergetar.

“Di jalan ini kami pernah menerobos pagar betis tentara, mau ketemu Bapak di gunung seberang,” katanya. Ayahnya
dieksekusi regu tembak di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, Jakarta.

Mobil tumpangan itu terseok-seok melintasi daerah pegunungan. Hujan deras mengganggu penglihatan dan pendengaran.
Sardjono, yang duduk di kursi depan, terus bercerita tentang masa kecilnya. Jalanan naik-turun berkelok tajam, kanan-kiri
berselang-seling area permukiman dan hutan.

Di rerimbunan hutan, 60 tahun lalu Kartosoewirjo bersama para pengikutnya menggalang kekuatan. Hutan tempat gerilya
terbentang luas di gugus pegunungan Priangan-Ciamis, Garut, Sumedang, dan Tasikmalaya.
Pemberontakan Kartosoewirjo dipicu oleh kekecewaan terhadap pemerintah pusat, juga oleh hasil perundingan pemerintah
pusat dan Belanda yang dinilai merugikan. Perjanjian Renville pada 1949, misalnya, yang berisi kesepakatan membagi
daerah kekuasaan Indonesia dengan Belanda, mendorong pasukan Siliwangi di Jawa Barat melakukan long march ke Jawa
Tengah, di daerah kekuasaan Republik. Kartosoewirjo dan pengikutnya menolak ikut serta.

Batas daerah kekuasaan Republik dengan Belanda dipisahkan garis Van Mook-yang memanjang di daerah Tasikmalaya
sepanjang Sungai Citanduy. Daerah kekuasaan Indonesia berada di sebelah timur sungai, termasuk Ciamis. Daerah di
sebelah barat, termasuk Tasikmalaya, menjadi wilayah Belanda. Di Jalan Dr M. Hatta terdapat jembatan yang melintasi
sungai itu. Papan reklame komersial bertebaran di sekitarnya. Di daerah aliran sungai, pepohonan masih rimbun.

Jejak garis Van Mook kini juga direpresentasikan Jembatan Cirahong, 15 menit perjalanan dari pusat Kota Tasikmalaya.
Jembatan sepanjang 200 meter itu dibagi dua. “Separuh masuk Ciamis, separuhnya masuk Tasik,” kata warga pengatur arus
kendaraan di mulut jembatan.

Karena perlintasan hanya searah, kendaraan yang lewat harus meluncur bergantian. Bagian bawah jembatan merupakan
jalan kendaraan umum, dan bagian atasnya untuk lintasan kereta api. Air sungai terletak 30 meter di bawah.

JOHN Denver telah mengganti lagunya menjadi Forest Lawn. Mobil tumpangan itu kini melintasi jalan tanah berbatu 10
kilometer di sekitar Gunung Galunggung. Di sekeliling terlihat gerombolan kera berkerumun.

Dari jalanan terlihat tebing yang menyangga punggung gunung. “Atas gunung itu dulu dijadikan tempat pemantau,” Sardjono
mengisahkan. Dari sana, petugas mengamati gerakan pasukan musuh. Komunikasi antarpetugas menggunakan siulan atau
suara burung.

Daerah bawah punggung gunung dijadikan markas karena tersembunyi dan dekat dengan aliran sungai. Kebutuhan sehari-
hari cukup tersedia. Itu adalah markas terbesar-menampung sang Imam, julukan Kartosoewirjo, dan 500 orang pengikutnya,
termasuk pengawal dan keluarga.

Durasi menetap rombongan Kartosoewirjo di satu tempat bergantung pada potensi ancaman. Di daerah yang tak aman,
mereka tinggal hanya dua malam. Di tempat sebaliknya, mereka bertahan hingga setahun. Kawasan hutan itu kini masih
lebat oleh pohon. Ketika bergerilya dulu, rombongan Kartosoewirjo masuk jauh ke dalam hutan. “Di atas sana,” kata petugas
wisata Cipanas Galunggung menunjuk ke arah pedalaman.

Banyak kegiatan membunuh sunyi. Salah satunya olahraga. “Favoritnya senam lantai,” kata Sardjono. Dalam masa
berpindah-pindah itu, peralatan senam berupa ring besar selalu dibawa. Nantinya ring digantungkan di tangkai pohon yang
besar. Saat senggang, Kartosoewirjo senam bergelantungan. “Tangannya kekar, lebih kuat dari kakinya.”

Kartosoewirjo dan timnya juga mendekati penduduk desa, merekrut anggota, sekaligus mencari tambahan logistik. Pernah
ada cerita tentang suami-istri dari desa pinggir hutan yang menitipkan bayinya ke rombongan Kartosoewirjo. Mereka
khawatir si bayi bakal dimangsa harimau karena sang ayah mendalami ilmu pamacan-kesaktian yang bisa meningkatkan
kemampuan diri hingga mirip macan. Setiap malam, pasukan Kartosoewirjo bergantian menjaga si bayi dengan tombak yang
ujungnya dibebat kain yang dibakar. Naas, di malam ke-40, semua penjaga ketiduran. “Esoknya, tinggal ibu jari bayi yang
tersisa,” Sardjono mengisahkan.

Kegiatan rutin lain adalah bergerilya menghindari kepungan tentara, terutama ketika Operasi Pagar Betis digelar. Ada
saatnya rombongan harus menyeberangi pagar betis tentara. Barikade tentara Republik sangat ketat. Setiap 10 meter ada
posko pasukan. Tali penghubung antarpos digantungi kaleng-kaleng sehingga berisik bila terlanggar.

Kisah lucu menerobos pagar betis pernah terjadi saat rombongan Kartosoewirjo akan menyeberang ke daerah Garut. Sekitar
200 orang mengendap-endap di malam hari. Memasuki area perkebunan, kendaraan patroli tentara mondar-mandir.
Pemimpin rombongan di depan memberikan pesan dengan berbisik secara beruntun. Awalnya, pesan berbunyi: “Hati-hati
ada patroli.” Tapi, sampai tengah, pesan mulai menyimpang, dan sampai ke belakang menjadi: “Aya huwi, aya huwi”-bahasa
Sunda yang berarti “ada ubi”. Sebagian anggota rombongan berhamburan mengejar fatamorgana. “Untung tidak tertangkap,”
kata Sardjono geli.

Kemal masih fasih melafalkan cukilan ayat Al-Quran-”Dan tidaklah engkau melempar ketika melemparkan, Allah yang
melempar.” Dulu, ayat itu selalu dibacanya setiap kali akan meletupkan senjata mesin otomatis sesuai dengan petunjuk
komandannya. “Saya pemegang bren,” katanya. Waktu muda perkasa, Kemal adalah tentara Darul Islam. Sekarang dia
sudah renta, ringkih. Ia hanya bisa berbahasa Sunda.

Rumahnya di Ciakar, Cibeureum, Tasikmalaya. Kampungnya berbatasan dengan hutan, tepat di kaki Gunung Galunggung.
Saat disambangi, dia sedang menunggu magrib: bersarung, dengan peci hitam dan sorban merah lusuh. Kemal tak tahu
tahun kapan dilahirkan. Dia hanya ingat usianya 17 tahun ketika bergabung dengan Kartosoewirjo.

Awalnya, Kemal masuk Institut Suffah, lembaga pendidikan Islam yang didirikan Kartosoewirjo pada 1940-an, yang berlokasi
di jalan Malangbong-Blubur Limbangan. Orang tua Kemal terpesona oleh ajaran Kartosoewirjo sehingga menyekolahkan
anaknya di sana.

Selama menjadi tentara, Kemal sering bertugas menyusup ke desa-desa pinggir hutan. Karena itu, dia jarang bertemu
dengan Kartosoewirjo. Yang jelas, “Setiap perintah Imam harus kami laksanakan,” katanya.

Di matanya, Kartosoewirjo adalah pribadi yang keras dan bijaksana. Dalam banyak kesempatan di markas, dia selalu
memberikan pengajian dan tuntunan kepada anak buahnya. “Rujukannya Al-Quran. Kartosoewirjo dasarnya Islam. Kalau
Soekarno kan Pancasila,” ujar Kemal.

Selain mengajarkan agama, Kartosoewirjo menggelar latihan kemiliteran bagi laki-laki dan keterampilan khusus untuk
perempuan. “Seperti jahit-menjahit,” kata Dudung, 85 tahun, bekas tentara Darul Islam yang kini tinggal di Kampung
Padakarya, Sariwangi, Tasikmalaya.

Mendapat ajaran agama, para anggota menggebu. “Kami berjuang menegakkan Islam,” kata Kemal. Tapi Operasi Pagar
Betis pelan-pelan melemahkan mereka. Pasokan logistik terhenti, ruang gerak menyempit. Satu per satu anggota menyerah.
Kartosoewirjo akhirnya menginstruksikan turun gunung. “Kembalilah bertani di kampung,” kata Kemal menirukan sang Imam.

Misteri Ki Dongkol dan Ki Rompang

Kedua pusaka itu selalu menyertai ke mana pun Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pergi. Jika tak terselip di pinggang pria
kelahiran Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1907 tersebut, Bajuri, pembantunya, selalu setia membawa. Di mana ada
Kartosoewirjo, di situ ada Bajuri dan di situ pula ada keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang. Kedua pusaka itu baru
terpisah dari si empunya saat Kartosoewirjo ditangkap pada 3 Juni 1962.

Saat ditangkap, pemimpin Darul Islam ini menyerahkan kembali keris dan pedang itu kepada keluarga yang memang
seharusnya memegang secara turun-temurun. Kedua pusaka tersebut didapat Kartosoewirjo sekitar 1936 dari seorang tokoh
Garut bernama Eyang Sinunuk. Eyang melihat sosok Kartosoewirjo sebagai pribadi penuh kredibilitas. “Kedua pusaka itu
diserahkan kepada Ibrahim Adji. Kebetulan Eyang Sinunuk adalah leluhur Pangdam Siliwangi Ibrahim Adji,” kata Sardjono
Kartosoewirjo, salah satu putra Kartosoewirjo.

Peran keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang selama perjuangan Kartosoewirjo memimpin pemberontakan DI/TII sangat
diakui. Kartosoewirjo dikenal sebagai orang yang fanatik terhadap Islam tapi kental dengan unsur Jawa tradisional.
Sebagaimana orang Jawa, ia pun gemar melakukan tapa dengan cara pati geni (tidak makan, tidak tidur, dan tidak minum)
selama 40 hari di gua Walet, di sekitar Gunung Kidul.

Syahdan, kedua pusaka itu menjadi salah satu senjata andalan Kartosoewirjo menanamkan pengaruhnya di daerah
pegunungan Jawa Barat. Banyak anggota masyarakat yang percaya bahwa orang yang memiliki kedua pusaka itu adalah
seorang Ratu Adil Kawedal atau Ratu Adil yang “baru muncul”.

Dalam buku Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo karangan Pinardi H.Z.A., salah satu bekas panglima kelompok Kartosoewirjo
mengatakan terdapat kepercayaan mistis dalam masyarakat Jawa Barat bahwa orang yang dapat menyatukan kedua
pusaka itu akan memiliki kemenangan dalam perjuangan. Ia mengatakan kedua pusaka itu tak pernah terlepas dari badan
Kartosoewirjo. “Hanya kadang-kadang saja dititipkan kepada orang kepercayaannya yang bernama Raspati,” katanya.

Alhasil, kedua pusaka tersebut menjadi daya tarik mistis tersendiri kaum Islam tradisional. Tingginya kepercayaan itu terlihat
saat dipamerkannya kedua pusaka tersebut di pameran Usaha Pemulihan Keamanan yang diselenggarakan Kodam VI
Siliwangi pada pekan industri di Bandung, Agustus-September 1962. Hampir semua pengunjung yang datang ke pameran itu
hanya ingin melihat bentuk keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang.
Namun keampuhan kedua pusaka itu dibantah oleh Sardjono. Menurut dia, pada kedua pusaka itu sama sekali tak ada
unsur gaib. “Senjata biasa saja, bahkan yang satunya rompang, makanya jadi sebutan,” katanya. Ia juga menampik jika
disebutkan kedua pusaka tersebut selalu terselip di pinggang Kartosoewirjo. “Masak Imam ke mana-mana selalu bawa-bawa
barang, yang bawa pembantunya, namanya Bajuri. Kadang-kadang saja diselipkan di pinggang,” katanya.

Sardjono mengakui banyak orang yang selalu bertanya-tanya akan keampuhan kedua pusaka itu. Bahkan pernah sekali
waktu salah satu pengawal Kartosoewirjo, Kadar Sulihat, menanyakan kepada Kartosoewirjo soal kedua pusaka yang selalu
dibawanya itu. Dengan lugas Kartosoewirjo menjawab, “Pusaka ini menjadi pengingat. Dulu orang berjuang hanya dengan
pisau, sekarang dengan senjata modern. Harus lebih berani.”

Tiga Berpayung Kecewa

Daftar 300-an tokoh Aceh itu membuat gempar Tanah Rencong. Itulah nama-nama yang dinilai melawan pemerintah pusat.
Operasi penangkapan pun terjadi. Berdasarkan “daftar hitam” itu, Jaksa Tinggi Sunarjo memburu mereka dan menjebloskan
mereka ke penjara.

Daftar nama itu diperoleh pemerintah dari Mustafa pada 1953. Mustafa adalah utusan Kartosoewirjo-pemimpin Negara Islam
Indonesia. Dia ditangkap di Jakarta sepulang mengunjungi Daud Beureueh di Aceh. Aparat menemukan pula dokumen
pengangkatan Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh yang ditandatangani Kartosoewirjo.

Dua kali Mustafa Rasjid atau Abdul Fatah setidaknya bertemu dengan Daud Beureueh. Pertemuan itu juga disaksikan Hasan
Saleh, salah satu pemimpin militer Aceh. “Seru juga saya berdebat dengannya, disaksikan Teungku Daud Beureueh,” kata
Hasan dalam bukunya, Mengapa Aceh Bergolak. “Rupanya ia lebih banyak menguasai bidang politik daripada agama.”

Penangkapan beberapa tokoh Aceh menjadi pemicu gerakan Aceh melawan pusat. Pada 21 September 1953 meletus
perang antara masyarakat Aceh pimpinan Beureueh dan pemerintah pusat. Ini ironis. Sebab, pada Mei di tahun yang sama,
di hadapan peserta Kongres Ulama di Medan, Beureueh menyatakan keputusannya mengadakan kerja sama erat dengan
pemerintah untuk menegakkan amar makruf nahi munkar. Membela yang benar, menjauhi yang salah.

Perasaan tidak puas dan kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat sebenarnya sudah bergejolak
pascakemerdekaan. Persatuan Ulama-ulama Seluruh Aceh, organisasi bentukan Beureueh, menuntut otonomi dengan
menjadikan Aceh provinsi. Tuntutan itu tidak dipenuhi. Pemerintah Republik Indonesia Serikat pada 1950, yang membagi
wilayah Indonesia menjadi 10 provinsi, menjadikan Aceh kabupaten dan bagian dari Provinsi Sumatera Utara.

Saat perjuangan kemerdekaan, Beureueh menjabat gubernur militer wilayah Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Dia dikenal
sebagai ulama karismatis. Majalah Indonesia Merdeka, dalam terbitannya pada 1 Oktober 1953, menulis bagaimana
Beureueh mampu “menyihir” orang lewat ceramahnya berjam-jam yang biasa dilakukannya di masjid.

Abu-demikian Daud Beureueh biasa dipanggil-mendirikan Persatuan Ulama-ulama Seluruh Aceh pada 1939. Van Dijk,
dalam bukunya, Darul Islam Sebuah Pemberontakan, menyebut watak organisasi Persatuan Ulama mirip Muhammadiyah.
Organisasi ini juga bertujuan memurnikan ajaran Islam sesuai dengan Al-Quran dan hadis. Persatuan Ulama menggembleng
rakyat untuk melawan Hindia Belanda.

Daud Beureueh memiliki mimpi Aceh menjadi negara Islam yang besar dan jaya. “Kami mendambakan masa kekuasaan
Sutan Iskandar Muda ketika Aceh menjadi negara Islam,” kata Beureueh, seperti dikutip Boyd R. Compton dalam bukunya,
Kemelut Demokrasi Liberal.

Pasca pembagian kekuasaan di masa kemerdekaan pada akhirnya membuat hubungan pusat dan daerah tegang. Tidak
hanya Aceh yang tak puas, hal yang sama muncul juga di sejumlah daerah. Di Sulawesi Selatan, Kahar Muzakkar alias
Abdul Qahhar Mudzakkar mengangkat senjata melakukan perlawanan terhadap pusat. Kahar sebelumnya adalah pemimpin
Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dengan pangkat terakhir letnan kolonel. Kahar marah kepada pusat karena, antara lain,
tuntutan agar anak buahnya diterima menjadi tentara nasional tanpa proses seleksi ditolak.

Pada Agustus 1951, Kahar mendapat tawaran dari Kartosoewirjo melalui utusan Buchari, Wakil Ketua Gerakan Pemuda
Islam Indonesia, dan Abdullah Riau Soshby. Kahar menerima tawaran dan pada 7 Agustus 1953 ia pun memproklamasikan
penggabungan gerakannya dengan Negara Islam Indonesia. Ia menjadi panglima Divisi Hasanuddin Negara Islam
Indonesia. Adapun Syamsul Bachri ditunjuk sebagai Gubernur Militer Sulawesi Selatan.
Kartosoewirjo merencanakan Negara Islam Indonesia berbentuk kesatuan dengan rotasi tiga imam: Kartosoewirjo, Daud
Beureueh, dan Kahar Muzakkar. Kahar adalah imam pertama pengganti Kartosoewirjo. Berdasarkan faktor usia, semestinya
Beureueh yang menjadi imam pengganti pertama. Rotasi model ini ditolak Beureueh.

Menurut dia, sistem imam tak memberikan rencana yang jelas mengenai pembagian kekuasaan atau struktur negara. Protes
Beureueh terhadap Kartosoewirjo sebenarnya tak semata perihal imam ini. Dia kerap mengkritik kebijakan Negara Islam
Indonesia Jawa Barat. Dalam pidato Majelis Syura pada 1960, misalnya, Beureueh menyebut sistem militer Negara Islam
Indonesia sebagai sistem bobrok. Beureueh menunjuk Kartosoewirjo telah menghilangkan Dewan Imamah atau pemimpin
yang dikuasai para ulama.

Katosoewirjo membentuk Dewan ini pada Agustus 1948 dengan melibatkan sejumlah ulama besar, seperti Sanusi
Partawidjaja, Kiai Haji Gozali Tusi, dan R. Oni Mandalatar. Pemimpin atau imam dipegang Kartosoewirjo sebagai panglima
tertinggi. Pascaagresi militer Agustus 1949, Kartosoewirjo mengganti Dewan Imamah menjadi Komandemen Tertinggi.

Lalu Negara Islam Indonesia pun dibagi menjadi lima wilayah: tiga di Jawa serta dua lainnya di Sulawesi Selatan dan Aceh.
Tiap wilayah dijabat panglima atau komandan. Organisasi model militer ini pun menghilangkan struktur Majelis Syura yang
juga diatur dalam konstitusi Negara Islam Indonesia. Kelompok Jawa Barat memandang struktur militer dibutuhkan saat
perang. Sementara Aceh memandang prinsip sebuah negara tak dapat dihilangkan dalam suasana apa pun.

Perbedaan pendapat terus berlanjut. Pada Januari 1955, Aceh mengeluarkan struktur pemerintah dengan presiden Imam
Kartosoewirjo dan sebagai wakil presiden Daud Beureueh. Beureueh mengembalikan dua ulama yang sempat bergabung
dengan Dewan Imamah. Selain itu, dia mengumumkan Aceh sebagai bagian dari negara bagian atau negara konstituen
Negara Islam Indonesia. Kartosoewirjo tak setuju dengan tindakan Beureueh. Pada 7 Maret 1957, Kartosoewirjo mengirim
surat, menegur Beureueh. Dia menyatakan perubahan itu belum saatnya.

Meski Kahar tak banyak melakukan protes atas kebijakan Kartosoewirjo seperti Beureueh, secara mendasar terdapat
perbedaan ideologi di antara keduanya. Kahar ingin wilayah kekuasaannya mengikuti negara Islam model kekhalifahan
pasca-Rasulullah. “Kahar mengubah istilah imam menjadi khalifah,” kata anak sulung Kahar, Hasan Kamal Qahhar
Mudzakkar, kepada Tempo. Selain itu, Kahar menggunakan istilah “Darul Islam” untuk menggantikan sebutan Negara Islam.

Kahar sangat tegas menentang terjadinya bidah dan khurafat dalam Islam. Menurut Hasan, sikap ini berbeda dengan
Kartosoewirjo. “Mungkin karena pemahaman agama Kartosoewirjo yang berbeda,” katanya. Menurut buku Al-Chaidar,
Pemikiran Politik S.M. Kartosoewirjo, pada akhir 1955, Kahar mengeluarkan Piagam Makalua yang menggambarkan sifat
gerakan yang berusaha melenyapkan praktek-praktek tradisional. Dia ingin rakyat meninggalkan gelar adat, seperti andi,
daeng, gede-bagus, teuku, dan raden. Gelar haji pun dilarang karena dianggapnya bentuk feodalisme.

Kahar pun melakukan perombakan organisasi sosial dan ekonomi negara. Rakyat dilarang memakai emas dan permata,
mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan mahal seperti wol atau sutra, memakai minyak rambut, hingga makan dan
minum dari makanan dan minuman yang dibeli di kota seperti susu, cokelat, dan mentega. “Darul Islam ingin menciptakan
ragam masyarakat yang sama derajat dan puritan,” kata Hasan.

Karakter dan gaya yang berbeda dari tiga imam ini pada akhirnya membuat gerakan yang mereka pimpin berbeda pula
nasibnya. Gerakan Aceh pimpinan Beureueh berakhir damai dengan pemerintah tanpa ada tokoh penting yang ditembak
mati. Ulama terkemuka itu turun gunung pada 1962 dan meninggal pada 1987 dalam usia 91. Adapun soal kematian Kahar
ada dua versi. Ada yang mengatakan dia tewas tertembak di tepi Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara, dalam Operasi Kilat
pada 3 Februari 1965 dan ada yang menyatakan ia tidak pernah tertembak. Yang pasti jenazahnya memang tak pernah
ditemukan. Karena itu, ujar Hasan, “Keluarga tak berani menyebut ayah itu almarhum.”

Jalur Komando Praktis di Era Revolusi

NEGARA Islam Indonesia, menurut Kanun Azazi, berbentuk djumhuriah, yakni republik Islam yang dipimpin oleh seorang
imam. Tapi kenyataannya, struktur negara semacam ini bersifat teokrasi dan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo menjadi
pemimpin tunggal. Karto mengangkat dirinya sebagai imam bagi umat Islam di seluruh Indonesia.

Karto menggagas sendiri sistem “pemerintahan”-nya. Ia mengatur administrasi pemerintah, negara, dan militer. Semula,
melalui Maklumat Nomor 1, dia memisahkan urusan politik dan militer. Pemimpin pemerintahan sipil sekaligus bertugas
sebagai komandan pertahanan di daerah masing-masing. Sementara itu, pemimpin militer memimpin pertempuran.
Setahun kemudian, atau dua bulan setelah Negara Islam diproklamasikan, pada 3 Oktober 1949, maklumat itu direvisi
menjadi Maklumat Komandemen Tertinggi Nomor 1, yang menyatukan urusan politik dan militer. Tujuannya mencegah
dualisme kepemimpinan dan pertentangan yang mungkin disebabkan oleh perasaan superior antargolongan. Misalnya
golongan militer yang merasa lebih tinggi ketimbang sipil atau sebaliknya.

Menurut Kartosoewirjo, organisasi mesti praktis dan sesuai dengan tuntutan pergolakan revolusi. Dengan demikian,
kewajiban dapat dilaksanakan dengan cepat dan tegas. Intinya, ahli politik harus “dimiliterkan”, dan ahli militer “dipolitikkan”.
Seorang kepala daerah yang telah “dimiliterkan” bisa menginstruksikan pasukan bersenjata menghadapi keadaan yang
muncul tiba-tiba. Demikian pula sebaliknya.

STRUKTUR PEMERINTAHAN NEGARA ISLAM INDONESIA


BERDASARKAN MAKLUMAT KOMANDEMEN TERTINGGI NOMOR 1

KOMANDEMEN TERTINGGI
Imam merupakan pemimpin umum secara politik dan militer, sebagai panglima tertinggi. Adapun pemimpin harian dipegang
oleh kepala staf umum atau generale staff.

KW 1:
Priangan Timur (berpusat di Tasikmalaya, meliputi Jakarta, Purwakarta, dan Cirebon)

KW 2:
Jawa Tengah

KW 3:
Jawa Timur

KW 4:
Sulawesi Selatan dan sekitarnya

KW 5:
Sumatera

KW 6:
Kalimantan

KW 7:
Serang-Banten, Bogor, Garut, Sumedang, Bandung

KOMANDEMEN WILAYAH (KW)


Terdapat tujuh Komandemen Wilayah. Panglima Komandemen Wilayah memimpin secara politik dan militer di tingkat
wilayah atau setara dengan provinsi. Dia memiliki dua wakil, yakni Wakil I dan Wakil II Panglima Komandemen Wilayah yang
bisa menggantikan panglima jika panglima berhalangan. Adapun kepengurusan harian dijalankan oleh Kepala Staf
Komandemen Wilayah.

KOMANDEMEN DAERAH
Dipimpin oleh seorang Komandan Komandemen Daerah. Ia memiliki dua wakil, yakni Wakil I dan Wakil II Komandan
Komandemen Daerah, yang bisa menggantikan pemimpin mereka jika pemimpin berhalangan. Pemimpin harian dipegang
oleh Kepala Staf Komandemen Daerah.

KOMANDEMEN KABUPATEN
Dipimpin oleh Komandan Komandemen Kabupaten. Jika berhalangan, perannya bisa digantikan Wakil I atau Wakil II.
Pemimpin harian dipegang oleh Kepala Staf Komandemen Kabupaten.

KOMANDEMEN KECAMATAN
Dipimpin oleh seorang Komandan Komandemen Kecamatan, dan dibantu oleh seorang wakil. Pengurus harian dijalankan
oleh Kepala Staf Komandemen Kecamatan.

Sistem pemerintahan Negara Islam Indonesia juga mengenal kepala desa atau lurah di posisi paling bawah, yakni
pemegang kekuasaan di tingkat desa. Malah di level terendah ini gerakan memperluas pengaruh dan meningkatkan
dukungan masyarakat lebih efektif. Di sebuah area yang baru dikuasai, misalnya, langsung dibentuk pemimpin pemerintahan
dengan “ketua”-nya lurah. Karena area kekuasaannya sempit-terbatas pada daerah yang baru direbut-lurah tentu punya
semangat berekspansi memperluas wilayahnya menjadi kecamatan.

Sumber: Pinardi, Dalam Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, 1964

Lubang Peluru di Menara Masjid

KABAR itu berembus dari mulut ke mulut: kelompok Darul Islam akan menyerbu. Malam sehabis isya pada 17 April 1952,
Kampung Cipari, Wanaraja, Garut, Jawa Barat, senyap. Sebagian penduduk kampung itu meninggalkan rumah. Mereka
berkumpul di kompleks Pesantren Darussalam milik KH Yusuf Tauziri.

Salaf Sholeh terus mengajar beberapa santri yang mengaji di rumahnya. Ia belum mengungsi. Rumahnya hanya 50 meter
dari pesantren. Sekalian berjaga, pikirnya. Berusia 18 tahun ketika itu, ia tiba-tiba mendengar ledakan dan suara tembakan.
Dari gorden jendela yang ia buka, terlihat semburat merah di langit. “Serangannya mendadak,” katanya kepada Tempo.

Ia memperkirakan penyerang datang lewat tengah malam. Ternyata, kelompok Darul Islam pimpinan Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo datang lebih cepat. Bunyi kentongan pun bersahutan. Sekitar 3.000 penyerang mengurung desa. Pesantren
Darussalam jadi sasaran. Beberapa rumah di sekitarnya dibakar. Sholeh dan seisi rumah melompat dari jendela, lari menuju
pesantren.

Di dalam kompleks pesantren, Yusuf Tauziri, paman Sholeh, mengatur komando menahan serangan. Ia berdiri di puncak
menara masjid, lalu melempar granat. Para santri di bawah bersiaga dengan senapan dan batu. Bentrok berlangsung
sampai pukul tiga dinihari. Masjid 30 x 70 meter itu menjadi benteng terakhir Kiai Yusuf dan para santrinya. “Desingan
pelurunya masih terdengar sampai sekarang,” tutur Sholeh.

Tak mudah bertahan dari gempuran Darul Islam. Menurut Sholeh, jumlah penyerbu lima kali lipat dari penyokong pesantren.
Konsentrasi para pengawal juga pecah karena harus menjaga pengungsi perempuan dan anak-anak. Senjata mereka pun
tak cukup. Kiai Yusuf dan pengawalnya hanya memiliki tujuh pucuk senapan dan dua peti granat. Karena kurang peluru, Kiai
Yusuf memerintahkan anak buahnya hanya menembak sasaran yang mendekat.

Suara salawat dan takbir bergema di dalam masjid. Tangisan dan teriakan anak-anak terdengar. Kepanikan memuncak
ketika penyerbu berusaha membobol tembok barat masjid dengan granat. Usaha itu gagal karena tembok terlalu tebal,
sekitar 40 sentimeter dengan fondasi batu satu setengah meter.

Serangan mulai surut lewat tengah malam. Pertahanan laskar Pesantren Darussalam tak bisa ditembus. Tentara Siliwangi
pun datang membantu Kiai Yusuf. Namun pasukan bantuan tak dapat masuk lingkungan pesantren. Tank mereka tertahan di
tikungan jalan, sekitar 1,5 kilometer dari masjid.

Menjelang subuh penyerang mundur. Penduduk yang bertahan di masjid dan madrasah baru berani keluar setelah matahari
meninggi. Semua jendela madrasah pecah kena peluru. Banyak pengungsi terluka. Kepulan asap dari rumah yang dibakar
masih terlihat. Dari 50 rumah semipermanen di sekitar masjid, hanya tiga yang utuh.

Dalam pertempuran itu, empat pengawal pesantren dan tujuh penduduk Cipari tewas. Kiai Bustomi, kakak ipar Yusuf, juga
menjadi korban. Ia ditembak ketika hendak berlindung di masjid. Serbuan ini menimbulkan kengerian penduduk Cipari.
Mereka menemukan lusinan mayat di sawah dan empang ikan. Bahkan air kolam di sekitar pesantren pun berwarna
kemerahan.

Peristiwa itu menghantui penduduk, terutama perempuan dan anak-anak. Mereka ketakutan setiap kali mendengar langkah
kaki orang di luar rumah pada malam hari. Temuan mayat juga membuat banyak warga Cipari enggan bersawah. Mereka
pun tak mau makan ikan. “Selama dua tahun ikan kami tak laku dijual,” ujar Sholeh.

Kiai Yusuf mulai membenahi pesantren dan desa. Cipari kembali pulih. Peristiwa malam itu dianggap mukjizat. Aksi Yusuf di
puncak menara dianggap heroik. Kini, jalan Garut-Wanaraja sepanjang enam kilometer menuju pesantren diberi nama Jalan
KH Yusuf Tauziri.

Yusuf, pemimpin pesantren, sasaran penyerbuan malam itu, bekas sahabat Kartosoewirjo.
Persahabatan itu sudah terjalin sekitar 20 tahun. Kiai Yusuf mengenal Kartosoewirjo ketika menjadi anggota Dewan Sentral
Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) pada 1931-1938. Peneliti Jepang, Hiroko Horikoshi, dari Cornell University, Amerika
Serikat, menyebutkan hubungan mereka akrab. Yusuf pun menjadi salah seorang penasihat Kartosoewirjo.

Keluarga keduanya juga bahu-membahu dalam perjuangan melawan penjajah di Jawa Barat. Istri Kartosoewirjo, Dewi Siti
Kalsum, bergaul akrab dengan adik-adik perempuan Kiai Yusuf yang memimpin seksi wanita Gerakan Pemuda Islam
Indonesia Garut.

Kepada Hiroko, Kiai Yusuf bercerita tentang perbedaan pendapatnya dengan Kartosoewirjo. Pada awal 1940, Kartosoewirjo
mengusulkan lembaga Suffah dalam kongres Komite Pembela Kebenaran. Komite ini merupakan pecahan PSII yang
memilih jalan nonkooperatif dengan Belanda.

Dalam kongres itu, Kartosoewirjo memperkenalkan konsep hijrah, sama pengertiannya dengan hijrah Nabi Muhammad dari
Mekah ke Madinah. Ia meminta setiap anggota menyumbangkan 2.500 kencring (2.500 sen atau 25 gulden) serta bergabung
ke Suffah.

Berbeda dengan Kartosoewirjo, Kiai Yusuf berpendapat belum saatnya hijrah total. Alasannya, persiapan belum matang. Ia
mengusulkan uang ditanamkan di bidang pertanian. Hasilnya bisa dimanfaatkan untuk membantu pendidikan para calon
ulama dan pemimpin. Kartosoewirjo lalu mendirikan lembaga Suffah pada Maret 1940.

Kiai Yusuf sebenarnya secara tak langsung masih mendukung Suffah. Pada awal pendiriannya, ia mengirimkan dua anak
laki-laki sebagai pengajar. Ia pun memasukkan keponakannya sebagai pelajar.

Pada Februari 1948, Kartosoewirjo mengadakan konferensi Darul Islam pertama di Cisayong, Tasikmalaya. Pertemuan itu
membentuk struktur organisasi gerakan perlawanan, yang dipertegas dalam konferensi kedua di Cipeundeuy, Cirebon.
Kartosoewirjo makin mematangkan gagasan negara Islam yang terpisah dari republik ini.

Kiai Yusuf dan pengikutnya menganggap gagasan mendirikan negara Islam dengan meninggalkan Republik terlalu jauh.
Pesantren Darussalam dianggap melawan Imam Kartosoewirjo. Apalagi tempat ini selalu menjadi tempat berlindung
penduduk yang tak mau memberikan hartanya kepada tentara Darul Islam.

Pesantren pun menjadi target. Pada 1949-1958, pasukan Darul Islam menyerang Desa Cipari lebih dari 46 kali.
Kartosoewirjo berniat menghabisi Kiai Yusuf sekeluarga serta pengikutnya dengan serangan besar-besaran pada April 1952.
Kepungan di Desa Cipari tak membuyarkan Pesantren Darussalam.

Menara masjid itu masih berdiri hingga kini, menjadi saksi keteguhan Kiai Yusuf. Bekas tembakan dibiarkan di dinding
menara bergaris tengah sekitar satu meter dan tinggi 20 meter ini. Banyak penduduk memanjat menara. “Mereka hanya
ingin tahu, sekalian berdoa,” ujar Sholeh.

Dodol Garut dan Susu Bubuk dalam Gubuk

Gubuk kecil di tengah hutan itu dibuat dari dedaunan hingga setinggi orang dewasa. Tapi di dalamnya ada makanan yang
jarang ditemui Sersan Ara Suhara di rumah orang biasa saat itu: dodol garut, jeruk garut, dan susu.

Ketika melihat ada seorang kakek bersarung dan berbaju di samping makanan mewah itu, Ara, prajurit Batalion Infanteri
328/Kujang Siliwangi, langsung berpikir kakek itu pasti orang penting. Mungkinkah ia Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo
yang ia buru selama ini? Ara pun bertanya, memastikan: “Pak Karto?”

Si kakek merangkul Ara. “Iya, Nak,” katanya mengakui.

Jawaban Kartosoewirjo itu tak hanya mengakhiri perburuan Ara selama berhari-hari untuk menemukan Kartosoewirjo
sekaligus menunjukkan keberhasilan strategi perang wilayah tentara Indonesia.

Dengan taktik itu, tentara Indonesia menyekat-nyekat daerah perlawanan, sehingga Kartosoewirjo sulit bergerak. Operasi ini
bernama Brata Yuda, tapi lebih dikenal sebagai Operasi Pagar Betis. Digelar mulai April 1962, operasi ditargetkan kelar
setengah tahun, tapi baru tiga bulan dilangsungkan Ara sudah menangkap Kartosoewirjo.

Salah satu kunci sukses operasi ini adalah keterlibatan rakyat sipil sehingga kepungan terhadap DI/TII sangat rapat dan bisa
dikatakan tak tertembus. Keterlibatan rakyat ini yang membuat operasi lebih dikenal sebagai Operasi Pagar Betis.
Dalam operasi, militer meminta para pemuda dan pamong desa di sekitar wilayah operasi bersiaga. “Mereka yang berangkat
diinstruksikan untuk membawa bekal logistik sendiri secukupnya,” kata Abdul Mahmud Latif, warga Desa Cilampung Hilir,
Leuwisari, Tasikmalaya, yang saat operasi digelar berusia 25 tahun.

Sebagai pemuda, ia ikut menjadi pagar betis. “Tiga hari saya di sana,” katanya. Di lokasi yang ditentukan, Mahmud, para
tetangganya, dan tentara membuat sejumlah tenda mengelilingi hutan di sekitar Galunggung.

Toto Toriah, nenek yang saat masih muda menemani suaminya yang menjadi pengikut Kartosoewirjo, Adang, saat ini 82
tahun, mengungkapkan masalah pagar betis ini bagi pasukan Kartosoewirjo. “Sulit sekali makanan masuk,” kata Toto, yang
sekarang tinggal di Desa Linggarsari, Sariwangi, Tasikmalaya. Sebelumnya, warga yang bersimpati kepada mereka
terkadang mengirim beras, jagung, gula, atau garam.

Di luar makanan itu, pasukan Kartosoewirjo juga belajar hidup dengan memanfaatkan apa saja yang ada di hutan. Pasukan
Kartosoewirjo mengandalkan makanan bongborosan, seperti pisang, honje, kapulaga, jahe, atau lengkuas sebagai bahan
makanan setiap hari. “Singkong rebus tambah gula merah ataupun garam mungkin menjadi menu favoritnya,” kata suami
Toto, Adang.

Mereka juga berburu burung, kancil, atau ikan untuk lauk. Sayuran kegemaran lain adalah daun reundeu. “Daun ini bisa
langsung dimakan bila keadaan perut prajurit sudah tidak kuat menahan lapar,” kata Adang.

Para tentara DI/TII juga gemar merokok. Favorit mereka adalah Escort, merek rokok nonkretek populer di Indonesia sejak
zaman Belanda hingga 1970-an. Jika sudah kehabisan rokok, tutur Dudung, 85 tahun, rekan Adah Djaelani, ia tidak segan-
segan meminta kepada Raden Oni Syahroni, kepala Resimen I DI/TII yang terkenal. “Beliau terkadang hanya memberi kami
Rp 5,” kata Adah. “Itu sudah cukup bagi kami untuk membeli rokok.”

Tapi Operasi Pagar Betis menghentikan hubungan mereka dengan dunia luar. Pemerintah Jakarta pun menawarkan amnesti
bagi pasukan DI/TII yang menyerah pada 1961. Dengan posisi tertekan kuat sekaligus diberi jalan keluar yang bagus, yakni
amnesti, kekuatan DI/TII mulai berkurang.

Para pejabat kelompok pemberontak ini mulai satu per satu menyerahkan diri. Yang terakhir, Mei 1962, Adah Djaelani
Tirtapradja, seorang komandan wilayah, juga menyerahkan diri di pos pagar betis Gunung Cibitung. Praktis sejak saat itu
Kartosoewirjo tinggal ditemani segelintir pengikut setianya.

Operasi ini juga memaksa istri dan anak kelompok Kartosoewirjo terpisah dari induknya. Salah satunya Sardjono, anak
Kartosoewirjo yang saat itu baru lima tahun dan diasuh Musti’ah.

Sardjono menuturkan ia beserta rombongan perempuan dan anak-anak itu hanya makan daun-daunan seadanya di hutan.
“Kami sudah tidak makan seminggu, di gunung buahnya pahit semua,” katanya mengenang.

Selain itu, pasukan pengawal mereka merasa bahwa mereka malah menjadi beban. Akhirnya diputuskan para perempuan itu
turun gunung alias menyerah. Si komandan dan pasukannya akan mencoba membuat kontak dengan induk pasukan.

Selain pagar betis yang dijaga warga sebagai benteng pasif, tentara juga aktif memburu pasukan Kartosoewirjo seperti yang
dilakukan Ara dan Kompi C yang dipimpin Letnan Dua Anda Suhanda-tempat Ara bertugas. Kompi ini berpatroli dari desa ke
desa dan hutan ke hutan. Saat beristirahat dan menginap di Joglo, Majalaya, setelah tiga hari berpatroli dengan berjalan
kaki, mereka mendengar ada penggarongan. Aksi itu terjadi di Desa Pangauban, beberapa kilometer sebelah barat Joglo.

Mereka mengikuti jejak penggarong yang ternyata memutari Gunung Rakutak. Saat pertama mengejar, mereka memulai dari
Pangauban di barat Rakutak. Tapi hari berikutnya mereka sampai Sungai Ciharus, tempat mereka kehilangan jejak.

Ara meminta izin atasannya, Suhanda, untuk menyeberang sungai dan mencari sendiri jejaknya. Setelah berapa lama, ia
menemukan jejak itu. Ia segera menjadi pelacak hingga sampai ke lembah Geber di sekitar Gunung Rakutak, tempat ia
menemukan sepasukan anak buah Kartosoewirjo.

Setelah menunggu sejumlah rekan datang, Ara merangsek maju. Ia sempat menembak salah satu penjaga pos pengintai. Ia
sempat berhadapan dengan Aceng Kurnia, dan salah satu tangan kanan Kartosoewirjo itu kemudian angkat tangan. Tidak
terjadi banyak perlawanan karena kelompok Kartosoewirjo sudah kehabisan amunisi.
Agak jauh, sekitar 50 meter dari tempatnya berdiri, tampak gubuk tanpa dinding. Di depan gubuk itu ada pemuda yang
ternyata, tiada lain, adalah Dodo Muhammad Darda, salah satu putra Kartosoewirjo. Di dalam gubuk Ara menemukan
makanan mewah dan Kartosoewirjo yang tergeletak sakit.

Ara-meninggal pada Juni silam tapi sudah menuliskan ceritanya dalam satu buku yang disimpan keluarganya-menuturkan
bahwa Kartosoewirjo mengaku sudah tahu Ara bakal datang. Kartosoewirjo bahkan mengatakan tahu istri Ara sedang
mengandung dan akan punya anak laki-laki.

Ara tidak pernah melupakan kejadian pada 4 Juni itu. Anak yang tengah dikandung istrinya itu kemudian lahir dan, seperti
“ramalan” Kartosoewirjo, laki-laki. Ara memberi nama anak itu Asep Sekar Ibrahim. Ibrahim dari nama Panglima Kodam
Siliwangi saat itu, yakni Ibrahim Adjie. Sekar? Ara mengambil dari nama Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Asimilasi setelah Eksekusi

Pagi masih terang-terang tanah. Di tengah hawa dingin perbukitan Tambakbaya, Kecamatan Cisurupan, Garut, Jawa Barat,
Ika Kartika, Komalasari, dan Sardjono berjalan terseok-seok menuruni lereng. Ditemani Musti’ah, sang pengasuh, tiga anak
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo itu berusaha mencapai pos tentara yang sudah di depan mata. Masih terngiang ucapan
pengawal yang sebelumnya mengiringi mereka. “Kalian turun, serahkan diri ke pagar betis.”

Kedatangan anak-anak itu mengagetkan tentara dan warga yang tengah berjaga di sebuah lahan terbuka. Keempatnya
ditangkap dan dibawa ke markas Batalion 328 Siliwangi di Cicalengka, Kabupaten Bandung. Setelah diberi pertolongan,
mereka menjalani serangkaian interogasi. Awalnya Musti’ah mengaku sebagai orang tua ketiga anak itu. Menjelang malam
baru penyamarannya terbongkar. Sorak-sorai pun membahana. “Tentara gembira setelah mengetahui siapa kami ini,” kata
Sardjono Kartosoewirjo, yang saat itu baru berusia lima tahun.

Penyerahan diri Sardjono, kini 53 tahun, dan dua saudarinya berjarak sebulan dari Maklumat Kartosoewirjo pada 6 Juni
1962. Dalam pengumuman yang dikeluarkan dua hari setelah Kartosoewirjo ditangkap di Gunung Rakutak, Kabupaten
Bandung itu, sang Imam memerintahkan pengikutnya menghentikan tembak-menembak dan kembali ke pangkuan Republik
Indonesia. “Kami turun selain menaati maklumat juga lantaran logistik menipis,” ujar Sardjono, bungsu dari 12 bersaudara
buah pernikahan Kartosoewirjo dengan Dewi Siti Kalsum.

Peristiwa itu pula yang mengawali babak baru kehidupan keluarga Kartosoewirjo setelah bertahun-tahun hidup di tengah
rimba. Sardjono ingat, selepas masa penyidikan, mereka mulai merasakan hidup di kawasan urban: Bandung.

Ketiga anak Karto dan Musti’ah ditempatkan di Wisma Siliwangi, Jalan Ciumbuleuit 134. Di tempat itu mereka mendapat
perlakuan baik, makanan layak, dan pelayanan medis. Mereka juga dibekali sejumlah uang. Namun mereka tak bebas
penuh. “Kami jadi semacam tahanan rumah. Penginapan dijaga ketat dan pergaulan dibatasi,” kata Sardjono.

Di tempat itu pula Sardjono dan kedua kakaknya bertemu kembali dengan kedua orang tua mereka setelah terpencar sekian
lama. Belakangan diketahui, “penahanan” di Wisma Siliwangi terkait dengan pengadilan Kartosoewirjo di Mahkamah
Angkatan Darat dalam Keadaan Perang. Pada akhir persidangan, Kartosoewirjo divonis melakukan makar dan berencana
membunuh Presiden. Ia dihukum mati, 5 September 1962.

Sepeninggal Kartosoewirjo, pemerintah bersikap lunak kepada Dewi Siti Kalsum dan anak-anaknya. Setelah beberapa bulan
tinggal di Ciumbuleuit, mereka pun dipindahkan ke sebuah rumah di Jalan Banda 21, tak jauh dari Gedung Sate. Di sinilah
keluarga gerilya ini mulai membaur dengan masyarakat. Sardjono menuturkan, ketika itu tempat tinggal mereka tak lagi
dijaga ketat. Fasilitas yang diberikan lumayan banyak, di antaranya mobil dan sopir. Anak-anak bebas ke luar rumah untuk
bergaul dengan warga sekitar. “Saya sering bermain bola dengan anak-anak sekitar situ,” ujar Sardjono.

Para tetangga bersikap baik. Sekalipun mengetahui Sardjono dan kedua kakaknya anak pemimpin gerakan yang dicap
gerombolan pemberontak, warga tak pernah mempersoalkannya. Rupanya, penempatan keluarga Kartosoewirjo di tengah
kota ialah cara Kodam Siliwangi mengetahui sejauh mana reaksi masyarakat. “Belakangan saya tahu dari tentara, ini
persiapan kami untuk bebas,” ujar Sardjono.

Namun segala kenyamanan ini tak menghilangkan keresahan Dewi Siti Kalsum dan anak-anaknya. Proses asimilasi terasa
tak sempurna. Silaturahmi dengan sanak famili terdekat malah tak terjalin. Sewaktu Dewi memilih pulang ke kampung
halamannya di Malangbong, Garut, tak satu pun kerabat mau menjemput lantaran takut. Sialnya lagi, tanah warisan
ayahnya, Kiai Ardiwisastra, tersisa kurang dari separuhnya. Sebagian dikuasai saudara, selebihnya diserobot tentara.
Setelah lama menunggu, datanglah Titi Aisyah, sepupu Dewi. “Bibi saya itu berani datang lantaran suaminya perwira TNI,”
ujar Sardjono. Titi, menurut Sardjono, tak lain dari ibunda penyanyi Raden Terry Tantri Wulansari alias Mulan Jameela. Di
Malangbong, perlahan-lahan mereka menata kehidupan.

Jejak Kartosoewirjo dan keluarganya di Bandung kini lenyap tak berbekas. Wisma Siliwangi di Ciumbuleuit yang sempat
mereka tempati telah dihancurkan sejak 1999. Di lahan 500 meter persegi yang ditutupi pagar seng itu tak lagi ada sisa
bangunan. Sedangkan rumah di Jalan Banda kini dijadikan tempat kursus bahasa Inggris.

Kisah itu makin pudar lantaran juga tak ada catatan di Kodam Siliwangi. Kepada Tempo, Mayor Paiman, Kepala Badan
Pelaksana Sejarah Dinas Pembinaan Mental, mengatakan catatan yang ada hanya seputar penumpasan pemberontakan
DI/TII. “Hanya ada sejarah yang umum,” katanya.

Sidang Kilat Kawan Soekarno

MARKAS Besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat di Gambir, Jakarta Pusat, 14 Agustus 1962. Hari itu, sidang
pertama Imam Besar Negara Islam Indonesia Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dimulai. Sebuah pengadilan khusus
dibentuk. Namanya Mahkamah Angkatan Darat dalam Keadaan Perang untuk Jawa dan Madura. Wartawan dilarang masuk.

Seperti laiknya persidangan militer, TNI Angkatan Darat memilih tiga perwira sebagai majelis hakim: Letnan Kolonel Ckh
Sukana, BcHk, sebagai ketuanya, didampingi dua anggota, Mayor Inf Rauf Effendy dan Mayor Muhammad Isa. Tentara juga
menentukan jaksa penuntut umum sendiri: Mayor Chk Sutarjono, BcHk. Bahkan anggota tim pembela Kartosoewirjo juga
diangkat oleh tentara: empat orang pengacara dipimpin Wibowo, SH.

Tentara hanya butuh dua bulan untuk mempersiapkan sidang besar ini. Kartosoewirjo ditangkap pada awal Juni 1962 dan
langsung dibawa ke Jakarta untuk persiapan persidangan. Sardjono, putra bungsunya, mengaku keluarganya sama sekali
tidak diberi tahu. “Kami ditahan di Bandung, tidak bisa ke mana-mana,” katanya, dua pekan lalu. “Kami baru tahu vonis
Bapak setelah sidang selesai.”

Dalam buku Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang disusun Pinardi pada 1964, disebutkan bahwa bahan-bahan
persidangan disiapkan oleh Komando Daerah Militer Siliwangi dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Buku ini bisa dibilang
sumber sahih informasi dari tentara soal persidangan Kartosoewirjo. Kepala Staf Angkatan Bersenjata ketika itu, Jenderal
Abdul Haris Nasution, menulis sambutan dalam buku tersebut.

Karena sidang dinyatakan tertutup, sulit memperoleh gambaran mengenai jalannya sidang dari media massa ataupun
sumber tak berpihak lain. Sumber resmi tentara-yang banyak dikutip koran-koran-menyebutkan bahwa pada sidang perdana,
Kartosoewirjo ditanyai soal kejelasan identitas dan perkara yang dia hadapi. “Jangan sampai yang dihadirkan di sidang ini
adalah Kartosoewirjo tukang cukur, bukan Kartosoewirjo pemimpin gerombolan,” kata salah satu pengacara, pembela
terdakwa.

Jaksa menuntut Kartosoewirjo-yang saat disidangkan berusia 55 tahun-dengan pasal berlapis. Dia dituduh hendak
menggulingkan pemerintah yang sah, memberontak melawan Negara Republik Indonesia, dan merencanakan pembunuhan
atas Presiden Soekarno. Untuk menguatkan dakwaannya, jaksa Sutarjono menghadirkan enam saksi-semuanya anak buah
Kartosoewirjo di Darul Islam/Tentara Islam Indonesia.

Mereka adalah Djaja Sudjadi alias Widjaja (Menteri Keuangan Negara Islam Indonesia), Mardjuki (Bupati Tasikmalaya NII),
Asbar (Komandan Resimen Tentara Islam Indonesia), Agus Abdullah (perwira berpangkat brigadir jenderal di TII), Sanusi
Fikrap, dan Kamil Ali. Dua yang disebut terakhir adalah tersangka yang tersangkut insiden percobaan pembunuhan Presiden
Soekarno saat salat Idul Adha di Istana Merdeka pada 14 Mei 1962.

Keenam saksi memberikan keterangan yang memberatkan Kartosoewirjo. Mereka mengakui peran sang Imam dalam
mengatur dan mengendalikan operasi perlawanan NII di hutan-hutan Jawa Barat. Sejumlah peristiwa diangkat khusus,
misalnya penyerangan di Garut pada Juli 1961 dan bentrok di Sumedang pada November 1961. Pada dua insiden
penyerangan tentara Kartosoewirjo ke desa-desa di sekitar wilayah gerilya mereka itu, TNI mengklaim ada ratusan warga
yang menjadi korban.

Jaksa juga menyoroti peran Kartosoewirjo dalam rencana pembunuhan Soekarno. Salah satu saksi, Asbar, mengaku
mendapat perintah langsung dari Kartosoewirjo, yang dikuatkan dengan sebuah gigi junjungannya itu. “Gigi itu dianggap
sebagai jimat dan tanda kepercayaan Kartosoewirjo untuk melaksanakan perintah itu,” kata jaksa, sebagaimana terungkap
dalam risalah sidang yang dimuat media. Asbar kemudian meneruskan perintah itu kepada Mardjuki, Bupati Tasikmalaya
dalam struktur NII. Dalam sidang, Mardjuki membenarkan adanya perintah itu.

Selain oleh tiga peristiwa itu, dakwaan atas Kartosoewirjo diperkuat dengan laporan kerugian dan korban jiwa selama
pemberontakan DI/TII. Jaksa menyebutkan, pada periode 1953-1960 saja, ada 22.895 orang yang tewas serta 115.822
rumah yang musnah, dan negara dirugikan hampir Rp 650 juta.

Tak begitu dijelaskan bagaimana angka-angka itu diperoleh. Namun, dalam risalah persidangan, dinyatakan bahwa
pemberontakan Kartosoewirjo mengganggu upaya pemerintah Orde Lama mencapai Tri-Program: pemenuhan sandang-
pangan, penjagaan keamanan, dan operasi perebutan Irian Barat. “Biaya yang seharusnya digunakan untuk operasi Irian
Barat jadi digunakan untuk memulihkan keamanan akibat pemberontakan gerombolan ini,” kata hakim dalam putusannya.

Tak tercatat ada saksi meringankan dalam persidangan ini. Namun, ketika diminta membela diri, Kartosoewirjo dilaporkan
menyangkal tuduhan bahwa ia melawan Negara Republik Indonesia dan merencanakan pembunuhan Soekarno. Dia hanya
menerima tuduhan pertama: menyerang pemerintah yang sah. “Dari Ibu, saya diberi tahu bahwa jaksa memang mengejar
tuntutan ketiga: terlibat pembunuhan presiden, karena ancaman hukumannya mati,” kata Sardjono mengenang.

Pembelaan dan penyangkalan Kartosoewirjo diabaikan majelis hakim. Dalam sidang tertutup, didampingi tim pembela yang
tidak dia pilih sendiri, Kartosoewirjo memang terpojok. “Alat bukti dan keterangan saksi cukup untuk mengabaikan
penyangkalan terdakwa,” kata ketua majelis hakim Letnan Kolonel Sukana.

Saking tertutupnya, berita mengenai persidangan Kartosoewirjo sama sekali tak ada di halaman-halaman koran. Baru pada
Sabtu, 19 Agustus 1962, dua hari setelah vonis dibacakan, Harian Pikiran Rakjat menulis kabar soal vonis hukuman mati
untuk Kartosoewirjo.

Diletakkan di bagian bawah halaman pertama, koran yang terbit di Bandung, Jawa Barat, itu juga memasang foto kecil
Kartosoewirjo dengan rambut awut-awutan. Keterangan foto yang bertulisan “Pendam VI” alias Penerangan Kodam VI
Siliwangi menandakan sumber informasi utama berita itu hanya berasal dari tentara.

Dalam berita itu, Kartosoewirjo dilaporkan menghadapi sidang pembacaan vonis dengan tenang. Dengan kemeja putih
lengan panjang, celana biru, dan sepatu hitam, dia tampak klimis. “Rambutnya, yang panjang saat ditangkap, sudah
dipotong,” tulis koran itu. Sejumlah pejabat tinggi hadir dalam sidang tersebut. Ada Menteri Kehakiman Sahardjo, Kepala Staf
Angkatan Bersenjata Jenderal A.H. Nasution, Ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro, dan Jaksa Agung
Kadarusman.

Setelah palu hakim diketuk, barulah Kartosoewirjo bereaksi. Wajahnya pucat pasi dan tangannya gemetar. “Dua polisi militer
sampai harus memapahnya ke luar sidang,” tulis Pikiran Rakjat. Pengacaranya, Wibowo, sempat berujar akan meminta grasi
sebelum sidang kilat itu ditutup.

Tapi Sardjono punya cerita lain soal akhir sidang ayahnya. Menurut dia, Kartosoewirjo sempat ditanya apa wasiat atau
permintaannya yang terakhir. “Dia minta bertemu perwira terdekatnya, namun ditolak hakim,” katanya. Lalu Kartosoewirjo
mencoba meminta jenazahnya nanti dikuburkan di makam keluarganya di Malangbong, Garut. Ini juga ditampik. “Akhirnya,
terakhir, Bapak cuma minta bertemu keluarga,” ujar Sardjono. Ini pun tak dikabulkan.

Setelah eksekusi, keluarga Kartosoewirjo hanya mendapat kiriman barang-barang pribadinya. Ada piyama bermotif kotak-
kotak cokelat, jam tangan Rolex, pulpen Parker, tempat rokok cap Kuda, dan gigi palsu.

Dalam buku biografinya yang ditulis Cindy Adams, Soekarno berujar tentang hukuman mati Kartosoewirjo, “Menandatangani
hukuman mati tidaklah memberikan kesenangan kepadaku. Ambillah, misalnya, Kartosoewirjo. Di tahun 1918, dia kawanku
yang baik. Di tahun 20-an, di Bandung, kami tinggal bersama, makan bersama, dan bermimpi bersama-sama,” katanya.
Namun putusan harus diambil. “Seorang pemimpin harus bertindak, tanpa memikirkan betapapun getir jalan yang ditempuh,”
ujar Soekarno.

Pada 5 September 1962, Kartosoewirjo dieksekusi di depan regu tembak, setelah permohonan ampunnya ditolak. Dia
ditembak bersama lima anak buahnya, yang dituduh terlibat percobaan pembunuhan presiden. Sebagian dari mereka yang
dieksekusi hari itu bersaksi memberatkan Kartosoewirjo dalam persidangan sebulan sebelumnya.

Masih Misteri Setelah 45 Tahun


PERAHU kayu bercat biru dengan tudung terpal di bagian tengah itu melaju membelah laut menuju Pulau Onrust,
meninggalkan tepian Muara Kamal di Jakarta Utara. Dua buah mesin tua berkekuatan masing-masing 40 tenaga kuda
meraung di bokong kapal pada Selasa siang akhir Juli lalu.

Di bawah tudung itu, Sardjono Kartosoewirjo, 53 tahun, duduk bersila di bagian lantai kapal yang sedikit lebih tinggi. Tak ada
kursi di perahu yang kini melaju ke utara itu. “Ini pertama kalinya saya ke sana.” Sardjono mengenakan baju hangat lengan
panjang berwarna cokelat bergaris kuning serta celana hitam dan sepatu karet sewarna. Ia membawa tas berisi baju koko
dan kopiah putih.

Butuh waktu sekitar setengah jam untuk mencapai Pulau Onrust, sekitar 14 kilometer dari tepi utara daratan Kota Jakarta.
Selain di Muara Kamal, dermaga yang bisa digunakan ada di Marina Ancol dan Muara Angke.

Onrust dalam bahasa Belanda berarti tanpa istirahat (sibuk). Pada pertengahan abad ke-16, di pulau ini terdapat galangan
kapal yang lumayan besar. Ia melayani ratusan kapal, terutama milik kongsi dagang Belanda (VOC) Saat itu, Onrust dikuasai
Pangeran Jayakarta, kemudian dipinjamkan untuk jangka waktu tertentu kepada VOC.

Pulau ini dilengkapi gudang-gudang untuk menyimpan muatan kapal yang sedang diperbaiki. Belakangan, pada awal abad
ke-20, pemerintah kolonial Belanda membangun tak kurang dari 35 barak haji bagi penduduk yang hendak berangkat ke
Mekah. Pulau ini lantas menjadi tempat karantina jemaah yang kembali sebelum pulang ke rumah.

Ketika itu, Onrust masih seluas sekitar 12 hektare dan penuh dengan pepohonan besar. Kayunya banyak digunakan untuk
pembuatan kapal. Sebuah benteng segi lima sempat dibangun Belanda di sini sebagai pertahanan menghadapi Inggris. Juga
sebuah penjara. Westerling, perwira Belanda yang dikenal karena pembunuhan puluhan ribu warga Sulawesi, sempat
ngendon di sini sebelum melarikan diri.

Beberapa tokoh Partai Komunis Indonesia juga sempat dipenjarakan di sini. Nama Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo
tertoreh di salah satu sudut gedung museum yang belakangan dibangun pemerintah Indonesia. Gedung itu tadinya rumah
dokter dan perawat yang bertugas mengurusi kesehatan jemaah haji. “Namanya tertulis di dalam semacam pigura,” kata
Muhammad Giri, cucu Kartosoewirjo, yang pernah datang sekitar tahun 2000.

PERAHU melamban mendekati dermaga kecil Pulau Onrust. Dadang, pemilik kapal yang merangkap nakhoda, meminta dua
adiknya yang menjadi anak buah kapal menstabilkan perahu dengan berpegangan pada perahu lain yang sedang ditambat.

Tak ada petugas yang berjaga di pulau yang hampir tidak berpenghuni ini. Hanya ada dua warung mi instan dan sebuah
bangunan semipermanen dari kayu di sisi timur, yang ditempati para nelayan yang sedang beristirahat. Sebuah tugu hitam
berbentuk batu besar menyambut setiap orang yang datang. Di permukaannya tertulis ringkasan sejarah pulau.

Sardjono berjalan perlahan menapaki konblok. Seseorang yang baru saja kelar memancing memberitahukan arah menuju
makam. “Di depan bangunan itu, lalu belok kiri,” katanya. “Butuh waktu sekitar 20 menit untuk mencapai makam.”

Melewati pemakaman Belanda, Sardjono sempat berhenti sebentar. Di bawah pohon besar di tengah makam, ia lalu
mengeluarkan baju koko dan melepaskan baju hangatnya. Setelah bersalin, ia kembali berjalan mengikuti petunjuk arah tadi.

Di sisi barat pemakaman ini terdapat pemakaman pribumi, yang melintang dari utara ke selatan. Ini berbeda dengan
pemakaman Belanda, yang memanjang dari timur ke barat. Di sisi paling barat kompleks pemakaman pribumi ini, ada
bangunan dari bambu beratap asbes. Bangunan tua itu miring dan bambunya sudah menghitam.

Di sisi kiri pintu masuk terdapat plang berwarna biru bertuliskan informasi bahwa ada tokoh Darul Islam yang dimakamkan di
dalam. Pada sisi kanan bangunan, botol-botol kosong air bunga mawar tergeletak. Pohon-pohon pinus tumbuh menaungi
makam ini. Di bagian dalam pondok bambu ini terdapat dua makam, yang permukaannya telah dilapisi porselen biru.

Sardjono lalu melangkah masuk ke tengah makam dan menghadap ke makam sebelah kanan. Makam ini tidak memiliki batu
nisan. Hanya ada batu apung yang dibungkus kain putih. Sedangkan pada kuburan di sebelahnya terdapat papan nisan
bertulisan “H”-Hasan. Ia lalu berjongkok memegang batu nisan dengan tangan kiri dan mulai berdoa.

Sekitar 15 menit kemudian, ia usai berdoa. “Setelah 45 tahun terpisah,” katanya tenang. “Ini anugerah yang tidak ternilai bagi
saya.” Sardjono terpisah dengan ayahnya saat ia masih berusia sekitar lima tahun. Ketika itu, Kartosoewirjo tertangkap
pasukan Siliwangi saat bergerilya di hutan perbukitan.
PADA suatu hari 1-2 tahun setelah kabar eksekusi Kartosoewirjo diterima keluarga, datang seorang lelaki membawa
sepucuk surat. Surat berkops tentara itu merupakan laporan tentara kepada Presiden Soekarno mengenai lokasi eksekusi
Kartosoewirjo, yaitu di Pulau Ubi. “Saat itu Umar Wirahadikusumah menjadi Pangdam Jaya,” kata Sardjono meyakini surat
itu.

Keluarga kemudian berembuk untuk mendatangi pulau yang terletak dua-tiga kilometer di sebelah utara Pulau Onrust itu.
Meski mereka meyakininya, niat ini akhirnya diurungkan. Alasan utamanya adalah keluarga masih khawatir bahwa surat itu
merupakan jebakan aparat untuk mengetahui seberapa besar sebenarnya kekuatan para pengikut sang Imam.

Ini adalah satu informasi dari sekian banyak informasi yang diterima keluarga mengenai keberadaan Kartosoewirjo setelah
ditangkap militer. Ada orang yang mengaku melihat sang Imam di Jawa Tengah atau Jawa Timur. “Ada yang mengaku
bertemu beliau di Banten.” Namun informasi tentang makam di Pulau Ubi dan belakangan berubah menjadi Pulau Onrustlah
yang diyakini keluarga.

Menurut Muhammad Giri, sang cucu, informasi mengenai keberadaan makam tidak pernah dibicarakan secara terbuka di
dalam keluarga. “Saya juga hanya mendengar kalau orang tua bicara,” katanya. Ia pun mencari informasi di Internet. “Saya
baca adanya di Pulau Onrust,” kata Giri, yang sempat datang bersama 20-an temannya sambil bertamasya.

Menurut Kepala Unit Pelaksana Teknis Pulau Onrust Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta Husnison
Nizar, informasi mengenai makam ini memang disampaikan di dalam museum di pulau itu. Namun ia juga mengakui bahwa
hingga saat ini belum ada penelitian ataupun dokumen resmi yang mendukung hal itu. “Baru sebatas keyakinan
masyarakat,” katanya.

Menurut wartawan senior Alwi Shahab, makam Kartosoewirjo memang terletak di Pulau Onrust. Informasi ini ia peroleh dari
Solichin Salam, penulis buku Bung Karno Putra Fajar, yang terbit pada 1966. Menurut Alwi, Solichin sempat menanyakan hal
ini langsung kepada Bung Karno.

Makam itu, menurut Alwi, adalah salah satu dari dua makam yang dinaungi pondok bambu tersebut. “Belum tahu yang kiri
atau yang kanan,” katanya. Makam itu ada dua untuk menghindari penyembahan atau sesajen yang terkadang dibawa
masyarakat. Sesajen merupakan hal terlarang dalam ajaran Islam. “Jadi makamnya disamarkan,” ujarnya.

Sardjono berharap pemerintah memperhatikan kejelasan makam ini karena menyangkut rangkaian sejarah bangsa. “Lebih
baik jika ada tes genetik,” katanya. Jika hasil tes menunjukkan positif bahwa itu makam sang ayah, Sardjono ingin
melakukan satu bakti terakhir. “Pesan beliau agar dimakamkan di makam keluarga.”

Di salah satu sisi pulau, sehabis berziarah, Sardjono membaca puisi yang dipersembahkan untuk sang ayah, Kematian
Adalah Sebuah Misteri. Di bawah rintik hujan, ia berteriak:

Kuburmu dicari
Jejakmu diselusuri
Ajaranmu dikaji

Mujahid tidak pernah mati.

Pembangkangan Sebuah Gagasan

Jihad Sebatang Korek

Komando Jihad menjadi awal kebangkitan sekaligus perpecahan pentolan DI/TII. Intelijen menggembosinya dari dalam.

PANGGILAN dari kantor Pelaksana Khusus Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Jawa Barat membuat
Sardjono Kartosoewirjo bergetar. Waktu itu, pada 1975, anak bungsu Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo ini baru kelas tiga
sekolah menengah atas. Dipanggil tentara pada zaman ketika Orde Baru menancapkan pengaruhnya sungguh membuat
kecut remaja 18 tahun ini.

Bersama ibu, dua kakak, dan pentolan Darul Islam seperti Danu Muhammad Hasan, Ateng Jaelani, Adah Djaelani, dan
Aceng Kurnia, Sardjono diterima Letnan Kolonel Pitut Soeharto. Dengan gaya kalemnya, Direktur III Badan Koordinasi
Intelijen Negara (Bakin) tersebut menyodorkan kertas yang harus diteken 11 orang itu. Isinya ikrar kembali ke pangkuan
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berasas Pancasila. “Meski masih anak-anak, saya diminta ikut tanda tangan
karena saya bisa dianggap simbol DI/TII,” katanya tiga pekan lalu.

Sardjono tak mengerti, ikrar itu adalah upaya pemerintah meredam aksi teror yang dilancarkan pentolan eks Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia di pelbagai daerah. Gaos Taufik, misalnya, mengebom sejumlah hotel dan rumah sakit
Kristen, merampok bank, dan membunuh sejumlah orang. Gaos adalah Komandan Perang Wilayah Besar Darul Islam
Sumatera Utara.

Pitut mengaku diutus lang-sung oleh Presiden Soeharto untuk secara rahasia mendekati pentolan-pentolan Darul Islam. “Pak
Harto menawarkan amnesti penuh kepada mereka asal tak ada lagi aksi teror,” kata Pitut, kini 81 tahun. Bentuk
pengampunan itu antara lain tawaran menjadi anggota DPRD dari Fraksi Golkar jika partai ini menang dalam Pemilihan
Umum 1971.

Darul Islam memang sudah memaklumatkan diri menjadi pendukung Golkar setelah Bakin mengumpulkan pemimpin dan
anggota DI di rumah Danu Muhammad Hasan di Jalan Situ Aksan 120, Bandung, pada 1971. Pertemuan tiga hari tiga
malam ini dihadiri 3.000 orang dengan deklarasi dukungan terhadap partai pemerintah itu. Meski Golkar menang dalam
pemilu, mereka tak pernah menjadi legislator di parlemen pusat ataupun daerah.

Tanpa setahu Pitut, tokoh-tokoh ini diam-diam mendiskusikan kemungkinan kembali ke cita-cita mendirikan Negara Islam
Indonesia yang diproklamasikan Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949. Tak semua setuju, memang. Beberapa orang kecewa
karena ada isu reuni dibiayai Bakin yang ditandai kehadiran Pitut sebagai pejabat telik sandi itu.

Kepada Tempo, Pitut membantah membiayai reuni lintas generasi Darul Islam itu. “Duit dari mana? Kami tak punya uang,”
katanya. Ia mengaku datang hanya untuk menyaksikan acara karena ini pertemuan terbesar pertama setelah Kartosoewirjo
meninggal pada 1962.

Diskusi tersembunyi itu berlangsung alot. Djaja Sudjadi, bekas menteri Negara Islam Indonesia, menolak ide kembali ke
jalan jihad. Ia menyatakan keluar dan mendirikan DI Fillah, kelompok yang menentang perjuangan bersenjata. Sebaliknya,
Aceng dan Danu setuju menghidupkan semangat Kartosoewirjo dan membentuk DI Fisabilillah.

Rencana pun dimatangkan. Pada 1974, dibentuk Komando Perang Wilayah Besar yang dibagi tiga: Sulawesi, Jawa, dan
Sumatera. Sulawesi dipegang oleh Ali A.T., Sumatera oleh Gaos, dan Jawa oleh Danu Hasan. Aksi pertama adalah merekrut
anggota Darul Islam baru dari kalangan muda, sebelum jihad benar-benar dikobarkan. Gaoslah yang pertama akan beraksi.
Dia kemudian meledakkan acara Musabaqah Tilawatil Quran di Medan, disusul pengeboman rumah sakit Kristen di Bukit
Tinggi.

Namun aksi itu tak direspons sama sekali oleh Jawa Barat. Danu dan Aceng, yang merestui gerakan Gaos, hanya bungkam.
“Padahal Jawa Barat sudah berjanji, ‘walaupun dengan sebatang korek api, jihad akan disambut oleh Jawa’,” kata Solahudin,
peneliti DI/TII. “Kenapa Jawa Barat tak merespons, masih misterius.”

Ada dugaan, Jawa Barat memang sudah gembos sebelum jihad terjadi secara masif. Pernyataan ikrar di hadapan Pitut itu
salah satunya. Belakangan diketahui bahwa Danu ternyata bisa dibina Bakin. “Ada tiga yang ikut saya: Danu, Ateng, dan
Dodo Muhammad Darda,” kata Pitut. Dodo adalah kakak Sardjono Kartosoewirjo.

Kepada Danu dan Aceng, Pitut memberikan modal untuk berdagang. Tapi Danu, yang lama bergerilya di hutan, tak paham
cara ambil untung. Usahanya bangkrut. Pitut lalu menawarkan kerja di Bakin dengan ruang kantor dan gaji rutin. Sedangkan
Ateng dan Adah Djaelani sukses sebagai penyalur minyak tanah untuk seluruh Jawa Barat di bawah perusahaan PT Taman
Sebelas.

Gampangnya Danu dibujuk juga tak lepas dari peran Ali Moertopo, Deputi Kepala Bakin waktu itu. Ali dan Danu sama-sama
pejuang di zaman revolusi kemerdekaan. Juga ada nama lain yang bisa “dibina”, yakni Haji Ismail Pranoto, yang populer
dipanggil Hispran. Dia memimpin Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam, organisasi di bawah Golkar, dan menjadi
kontraktor yang kerap bekerja sama dengan Ahmad Rivai, tokoh DI Lampung.

Tapi Hilmi Aminuddin menyangkal pernyataan bahwa ayahnya bisa dibina dengan mendapat gaji dari Bakin. Menurut Ketua
Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera ini, Danu Hasan mendapat tunjangan dan beras dari Komando Daerah Militer Jawa
Barat sebagai eks pejuang 1945. “Saya yang ambil amplop dan berasnya,” kata Hilmi kepada Tempo.
Menjelang Pemilihan Umum 1977 memang terjadi penangkapan besar-besaran eks Darul Islam. Menurut Pitut, itu terjadi
karena tenggat menyerah bagi anggota Darul Islam telah habis. Sebab, pentolan yang tak bisa dibujuk Pitut masih
menjalankan gerilya di hutan-hutan Tasikmalaya dan Garut, seperti Ules Sudja’i. Ia menyangkal penangkapan itu berkaitan
dengan Pemilu 1977 untuk menggembosi suara umat Islam ke Partai Persatuan Pembangunan. “Mereka ditangkap untuk
dibina, bukan dibui atau isu pemilu,” katanya.

Entah siapa yang pertama memunculkannya, penangkapan oleh Kodam Siliwangi di bawah komando Mayor Jenderal
Himawan Soetanto itu dituding sebagai penumpasan gerakan “Komando Jihad” atau “Neo-DI”. Sebab, yang ditangkap bukan
hanya mereka yang belum bisa dijinakkan, melainkan juga Danu, Hispran, Aceng, dan Ateng. Belakangan Jaksa Agung Ali
Said mengklarifikasi sebutan “Komando Jihad” untuk segala jenis teror yang merongrong Pancasila.

Kalangan Darul Islam sendiri tak mengenal istilah ini. “Itu istilah pemerintah,” kata Sardjono. Namun penangkapan ini
menandai babak baru Darul Islam. Di pengadilan, para terdakwa saling tuding telah menjadi pengkhianat sehingga tentara
menangkapi mereka. “Ada tokoh DI yang dibina Bakin,” kata Ateng Jaelani saat bersaksi di pengadilan Hispran. Yang dia
maksud tentu Danu Muhammad Hasan.

Sebaliknya, Hispran menuding Ateng juga binaan intelijen dengan menikmati hidup sebagai penyalur minyak tanah. Ia
meminta maaf telah memprovokasi jemaahnya untuk kembali kepada cita-cita Negara Islam Indonesia.

Rupanya, reuni 1971 di rumah Danu Hasan memang benar-benar dijadikan pijakan untuk menghidupkan Negara Islam
Indonesia. Namun gerakan sporadis di Jawa Tengah dan Timur ini berantakan sebelum mencapai target. “Komando Jihad”
menjadi pertanda kebangkitan sekaligus keterpurukan pengikut Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Negara Setengah Hati

DIKEPUNG hamparan lahan persawahan yang sejuk sepi, Babakan Cipari menyimpan bara. Di kampung berjarak 20
kilometer dari Kota Garut, Jawa Barat, itu hidup sekelompok orang yang tak mengakui Republik Indonesia.

Sensen Komara, 46 tahun, pemimpinnya. Dia imam atau panglima tertinggi bagi kelompok-tak lebih dari 20 orang-yang
mengklaim menghidupkan kembali Negara Islam Indonesia (NII), yang pernah diproklamasikan Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949 atau 12 Syawal 1368 Hijriah. “Saya hanya meneruskan perjuangan Bapak,” kata
Sensen.

Keberadaan NII di kampung itu memang tak lepas dari peran ayah Sensen, Bakar Misbah. Dialah Bupati NII Garut di masa
NII pertama diproklamasikan.

Kampung Babakan Cipari, Desa Sukarasa, Kecamatan Pangatikan, adalah basis pergerakan Darul Islam. Sekitar 500 meter
dari sana, terdapat pesantren Darussalam yang didirikan KH Yusuf Tauziri, saudara Bakar Misbah. Pendiri pesantren itu
pernah menjadi teman seperjuangan Kartosoewirjo, lalu pecah kongsi dan melawan Darul Islam.

Setelah Kartosoewirjo menyerah pada Batalion Kujang, Juni 1962, pengikut Darul Islam kocar-kacir. Mereka bersembunyi
karena diburu tentara Indonesia. Setelah situasi aman, mereka yang selamat keluar dari persembunyian, termasuk Bakar
Misbah. Ia menjalani sisa hidup di Kampung Babakan bersama kelima anaknya. Bakar meninggal pada 1993.

Sepeninggal sang ayah, Sen-sen bergabung dengan keturunan pengikut Darul Islam yang lain. Mereka menghidupkan
kembali NII di kampung para petani itu.

Sensen, anak kedua Bakar, mendeklarasikan diri sebagai imam ke-15. Rumahnya dijadikan pusat komando. Berukuran 11 x
11 meter, berdinding bambu, dan berlantai papan, rumah itu menjadi pusat pemerintahan atau istana negara NII.

Saat Tempo mengunjungi rumah itu dua pekan lalu, tidak tampak simbol kenegaraan di sana. Tak ada simbol NII, apalagi
simbol RI seperti gambar presiden dan burung Garuda. Di ruangan tamu, hanya ada foto Kartosoewirjo berukuran kuarto.
“Semua simbol negara kami dirampas pemerintah Indonesia,” kata Sensen.

Dalam menjalankan pemerintahan, Sensen dibantu para menteri. Ada menteri luar negeri, menteri keuangan, menteri
pertahanan, dan menteri pendidikan. Bersama para pembantunya, lulusan Institut Agama Islam Negeri Bandung, Jawa
Barat, ini menggelar rapat kabinet di rumahnya. “Sama seperti istana presiden di Indonesia,” katanya.
NII, Sensen mengaku, memiliki alat pertahanan yang kuat. “Kami punya pesawat tempur tipe F-16 dan Sukhoi,” katanya.
Namun ia tak mau memberitahukan keberadaan pesawat eksklusif itu-rahasia negara.

Sensen dan warganya memiliki usaha ternak ayam potong. Ini usaha bersama yang keuntungannya digunakan untuk
operasional dan buat menopang ekonomi negara. “Rakyat NII,” Sensen berujar, “tak dibebani pajak seperti di negara lain.”

Akses transportasi dan jaringan telepon yang dimiliki NII, menurut Sensen, digunakan untuk meluaskan jangkauan. Sensen
menghimpun keturunan pengikut Darul Islam di 42 kecamatan di seantero Garut untuk menjadi warga NII. Saat ini jumlahnya
3.000-an orang. “Mereka mau bergabung karena wasiat orang tua untuk meneruskan perjuangan Darul Islam,” kata Sensen.

Darsun Sudrajat, 48 tahun, warga NII dari Kampung Papandak, Desa Sukamenak, Kecamatan Wanarja, berkomentar
tentang hidup sebagai warga NII. “Hidup di sini lebih damai karena saling mendidik, berbeda dengan di Indonesia,” katanya.

Awalnya, aktivitas NII di Babakan tertutup. Barulah pada 17 Januari 2008, masyarakat tahu apa yang terjadi. Saat itu,
Sensen dan dua menterinya mengibarkan bendera NII, merah-putih bergambar bulan-bintang, di depan rumahnya.

Akibat insiden pengibaran bendera itu, ketiganya ditangkap kepolisian. Tapi Sensen dilepas karena jiwanya dianggap
“terganggu”. Sebaliknya, dua menterinya divonis Pengadilan Negeri Garut tiga tahun enam bulan penjara pada 15 Oktober
2008.

Kendati ada yang masuk penjara, gerakan mereka tak kendur. Mei lalu, pemimpin NII di Desa Purbayani, Wowo Wahyudin,
berkirim surat ke pejabat desa setempat. Mereka meminta warga NII tidak dimasukkan ke daftar pemilu presiden. “Kami
sudah punya imam,” kata Wowo. Mereka pun menolak sensus penduduk beberapa bulan lalu.

Gesekan pun terjadi. Masyarakat setempat bereaksi. Puncaknya terjadi pada 4 September 2009. Kepolisian Resor Garut
mengamankan 16 warga NII dari amuk massa saat menggelar musyawarah di Kantor Desa Tegal Gede, Kecamatan
Pakenjeng.

Amuk massa itu buah kejengkelan warga melihat aktivitas ibadah NII. Di Kampung Situ Bodol pada 4 September 2009,
misalnya, warga NII melakukan salat Jumat dengan membelakangi arah kiblat. Mereka juga mengubah kata “Muhammad”
dengan “Sensen Komara” dalam kalimat syahadat dan azan.

Akibatnya, tiga pentolan NII di Purbayani, termasuk Wowo, divonis tiga tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Garut.

Setelah rentetan kejadian itu, warga NII mulai tiarap karena diawasi ketat kepolisian. Arah kiblat pun kembali seperti sedia
kala. “Supaya tidak rame lagi,” kata Sensen. Tapi syahadat dan lafal azan masih tetap versi NII.

Kendati dianggap menyimpang dari ajaran yang lazim, masyarakat sekitar tak terlalu hirau. Salaf Sholeh, sesepuh pesantren
Darussalam, menilai ajaran NII tak perlu dihiraukan. “Karena imamnya gila,” katanya.

Paham kenegaraan Sensen juga unik, lebih tepatnya pragmatis. Kendati menolak eksistensi Negara Indonesia, warga NII
tetap mengurus kartu tanda penduduk serta menerima bantuan langsung tunai, pembagian beras untuk orang miskin,
bahkan pembagian jatah kompor gas gratis.

Mereka juga tak malu menagih kepada pamong setempat jika tak kebagian jatah gratisan. “Masak, pemberian ditolak,” ujar
Sensen.

Pasang Surut Pesantren Darul Islam

RENCANANYA, menara Masjid Rahmatan Lil Alamin di kompleks Pesantren Al-Zaytun akan tegak 145 meter. Tapi hingga
kini tingginya baru setengahnya. Marmer Cina dan Spanyol untuk pelapis tembok menara sampai saat ini belum tersedia.

Pembangunan pondok pesantren di Desa Mekarjaya, Kecamatan Haurgeulis, Indramayu, Jawa Barat, ini sebenarnya sudah
dimulai pada 1996 oleh pendirinya, Syekh Abdussalam Panji Gumilang. Tiga tahun kemudian, pesantren ini diresmikan
Presiden B.J. Habibie. Tapi proyek di atas lahan 1.200 hektare itu belum berhenti. Cuma, prosesnya tersendat-sendat
lantaran biaya mulai menipis. “Uangnya sudah seret karena pengikutnya tak sebanyak dulu,” tutur Sofwan, bekas juru warta
di media milik Ma’had Al-Zaytun.
Al-Zaytun didirikan dengan obsesi menjadi pesantren terbesar di Asia Tenggara. Muridnya pernah tercatat 5.300 orang, dari
dalam dan luar negeri. Pesantren ini menggelar pendidikan mulai taman kanak-kanak hingga universitas. Untuk masuk ke
sana, calon murid harus lulus serangkaian tes: hafalan Juz Amma, tes kesehatan, tes psikologi, dan wawancara. Para siswa
tak cuma belajar bahasa Inggris dan Arab, tapi juga bahasa Rusia, Cina, dan Prancis. Ratusan unit komputer dan notebook
melengkapi fasilitas belajar.

Untuk ongkos belajar selama enam tahun, Al-Zaytun menarik US$ 3.500 atau sekitar Rp 31,5 juta. Orang tua santri juga
diminta menyumbangkan bibit pohon jati. Dalam waktu enam tahun, International Accreditation and Recognition Council,
yang berkedudukan di Australia, memberi Al-Zaytun sertifikat bintang empat, sebuah penghargaan internasional di bidang
pendidikan.

Al-Zaytun adalah pesantren modern yang lengkap. Semua ruangannya berpenyejuk udara, dapur komplet dengan peralatan
masak listrik, serta ada binatu, supermarket, dan saluran telepon internasional.

Seribu hektare lahan dikhususkan untuk pengembangan pertanian, peternakan, perikanan, dan perkebunan, juga pabrik
garmen. Kebutuhan sandang-pangan sekitar 10 ribu penghuninya terpenuhi secara swasembada.

Untuk urusan kesehatan, tersedia tenaga dokter dan paramedis, psikiater, serta tim konseling. Pesantren juga dilengkapi
dengan aneka sarana olahraga: lapangan sepak bola, atletik, hoki, voli, basket, dan tenis, juga kolam renang, plus stadion
berkualitas Olimpiade internasional.

Sukses Al-Zaytun tak lepas dari tangan dingin Syekh Abdussalam Panji Gumilang, 64 tahun. Lelaki kelahiran Gresik, Jawa
Timur, ini adalah tokoh Negara Islam Indonesia. Dia aktivis Gerakan Pemuda Islam, juga pengikut Lembaga Kerasulan
pimpinan Karim Hasan-lembaga yang berafiliasi kepada NII.

Sebelum Al-Zaytun berdiri, Panji Gumilang dikenal dengan nama Abdussalam Toto atau Abu Toto. Pada 1996, ia menerima
mandat dari Adah Djaelani, sesepuh NII, untuk memimpin NII Komandemen Wilayah 9 (NII KW-9).

Penunjukan Abu Toto ditentang keras kalangan internal NII, yang berujung pada pembatalan Adah sebagai Imam NII. Tapi
Abu Toto maju terus dan mengembangkan Harakat Qurban-program penggalangan besar-besaran dana umat untuk
gerakan. Wilayah KW-9 meluas dengan pola rekrutmen yang “seperti multi-level marketing,” kata Sofwan, yang ikut gerakan
itu ketika baru kuliah semester pertama di Institut Teknologi Indonesia. Syarat masuk NII KW-9 adalah ikut pengajian,
mengakui gagasan negara Islam, mengingkari Negara Republik Indonesia, dan bersedia dibaiat.

Menurut Sofwan, NII KW-9 Abu Toto bertentangan dengan ajaran Islam. Mereka, misalnya, menggelar pengajian tertutup
serta tidak mewajibkan jemaahnya melakukan salat lima waktu dan menutup aurat. Jemaah juga diwajibkan menyetor uang
kepada kelompok sebagai biaya hijrah dari situasi kafir menjadi Islam.

Kebijakan Abu Toto itu ditentang bekas aktivis NII lainnya. “Itu Darul Islam gadungan yang mencemarkan NII,” ujar Kastolani,
bekas komandan kompi Tentara Islam Indonesia di Brebes, Jawa Tengah. Kartosoewirjo pun tak mengajarkan bahwa orang
di luar kelompoknya adalah orang kafir. “Kalau pemerintahannya kafir, iya, tapi bukan orangnya,” ucap Kastolani.

Ketika perekrutan dan penggalangan dana mulai menggelisahkan di awal dekade 2000, gelombang anti-Zaytun pun
bermunculan. Ratusan orang mengadu sebagai korban ke Forum Ulama Umat yang dibentuk ulama Jawa Barat. Forum
mengeluarkan fatwa sesat terhadap gerakan NII KW-9 Panji Gumilang.

Tim Investigasi Aliran Sesat (TIAS) dan Solidaritas Umat Islam untuk Korban NII KW-9, Al-Zaytun, dan Abu Toto (SIKAT)
dibentuk masyarakat. Tak ada yang tahu persis berapa total anggota jemaah NII KW-9. SIKAT pernah memperkirakan
jumlahnya sekitar 100 ribu. Tak jelas pula berapa nilai duit yang sudah dikumpulkan kelompok ini.

Investigasi majalah Tempo pada 2002 menemukan bahwa ada setoran Rp 7 miliar per bulan hanya dari satu wilayah. Di
seluruh Indonesia ada 28 wilayah kerja NII. Jurnal Van Zorge menyebutkan pendapatan tahunan Al-Zaytun adalah Rp 162
miliar. Perhitungan tim investigasi Tempo menunjukkan angka yang jauh lebih tinggi: sekitar Rp 770 miliar.

“Berapa persisnya, ya, cuma Syekh dan Tuhan yang tahu,” ucap Sofwan. Uang umat yang dia duga hingga triliunan itu,
menurut Sofwan, disimpan di sembilan rekening Bank CIC-kini menjadi Bank Century.

Panji Gumilang menolak permintaan wawancara Tempo. Pengurus Al-Zaytun juga melarang Tempo mengunjungi pesantren
besar itu. “Kami tidak memperbolehkan siapa pun masuk tanpa izin pimpinan,” kata seorang anggota staf humas Al-Zaytun.
Tapi pada 2002, kepada Tempo, Panji Gumilang mengatakan sumber dana Al-Zaytun adalah “sedekah” umat Islam di
Indonesia dan luar negeri.

Surat Perpisahan dari Johor Bahru

TIBA-TIBA ia balik badan. Ajengan Masduki di depannya ia tinggalkan. Hadi Surya lari, menghidupkan motor bebek, lalu
memacunya ke luar desa. Surat dalam amplop putih yang sedianya hendak disampaikan kepada Imam Darul Islam itu masih
ia bawa. “Enggak tega saya setelah melihat dia,” ujar Hadi, kini 47 tahun, saat ditemui di rumahnya di Bandung tiga pekan
lalu.

Hadi masih ingat, pada Februari 1995, ia diutus Abdurohim Toyib, pemimpin Darul Islam Jawa Tengah, menyampaikan surat
untuk Ajengan Masduki. Ketika itu, Hadi komandan Darul Islam Wilayah Semarang. Mengendarai sepeda motor dari Solo, ia
menuju Desa Beji, Purwokerto, Jawa Tengah, tempat tinggal Ajengan setelah lari dari asalnya di Cianjur, Jawa Barat.

Ia bertemu dengan sang Imam di rerimbunan tanaman singkong dan ubi jalar. Di sekelilingnya empang lele seluas 600 meter
persegi. Ajengan Masduki alias Damhuri, ketika itu 63 tahun, sedang santai di empangnya. Menyambut Hadi, Damhuri
melepas caping, mengangguk, tersenyum, dan menghampiri.

Hadi Surya bukan orang asing bagi Ajengan. Sejak 1980-an, Hadi sering datang mengaji ke tempatnya. Pada saat yang
sama, Hadi juga mengaji ke Abdullah Sungkar di Solo. Sang guru yang lari dari kejaran rezim Orde Baru ke Malaysia itu
telah banyak bergaul dengan aktivis dari Afganistan, Yaman, dan Arab Saudi. Dia menekuni ajaran salafi jihadi dan
kemudian mendirikan Jamaah Islamiyah. Kepada murid-muridnya, Sungkar menyatakan sejumlah ajaran Ajengan Masduki
menyimpang dari Islam.

Kepada Tempo, Hadi mencontohkan, Ajengan mengajarkan kisah Raja Zulkarnaen yang bertanduk. Juga cerita lembah di
Pandeglang, Rangkas Bitung, yang menjadi tempat bertemunya roh Sembilan Wali. “Kalau berdoa di sana, niscaya
dikabulkan,” kata Hadi.

Surat yang dikirim Abdurohim Toyib berisi pernyataan pemisahan diri Abdullah Sungkar dari Darul Islam. Tapi hati “sang
kurir” menjadi luluh demi melihat Ajengan.

Di ujung jalan, Hadi tertegun: “Ke mana surat itu mesti saya kasih?” Dia pun menuju rumah orang kepercayaan Ajengan,
Kholid Sarbini. Surat diterima Abdul Gofar anaknya. “Saya wanti-wanti agar surat itu disampaikan ke Ajengan,” kata Hadi.

Surat perpisahan itu diketik dan ditandatangani Abdul Halim alias Abdullah Sungkar dan Abu Somad alias Abu Bakar
Ba’asyir. Sekitar 20 tahun bergabung di Darul Islam, keduanya keluar dan membentuk Jamaah Islamiyah pada Januari 1995.
Abdul Halim menjadi amir dan Abu Somad menjadi wakilnya.

Menurut Solahudin, peneliti Darul Islam, Sungkar dan Ba’asyir masuk Darul Islam pada 1975-1976, setelah direkrut Haji
Ismail Pranoto. Setahun sebelumnya, Darul Islam melakukan konsolidasi dan merekrut banyak aktivis muda Islam. Sungkar
dan Ba’asyir lari ke Malaysia pada 1985. Di Johor Bahru, mereka mendirikan Pesantren Lukmanul Hakiem. Pengikutnya
kebanyakan anggota Darul Jawa Tengah dan Indonesia Timur, tempat Sungkar menjadi komandan.

Hubungan Sungkar dan Ba’asyir di Malaysia semakin luas. Akses ke Timur Tengah pun terbuka. Sejak 1987, Sungkar aktif
dalam pengiriman anggota Darul Islam untuk berperang melawan pasukan Uni Soviet di Afganistan. Kegiatan ini
melancarkan akses ke aktivis Islam internasional. Sejak 1990, Sungkar menjadi komandan tertinggi Darul Islam dan orang
kedua di bawah Ajengan Masduki.

Meski beberapa literatur menyebutkan Jamaah Islamiyah dibentuk pada 1993, menurut Hadi, ketika itu masih berupa
gagasan Sungkar dan Ba’asyir. Setahun kemudian, Sungkar mengubah organisasinya menjadi Ring Darul Islam. “Masih
dalam keluarga Darul Islam atau Negara Islam Indonesia, tapi sudah berbeda ajaran,” katanya.

Ba’asyir berulang kali menyangkal keterlibatannya dengan Jamaah Islamiyah. Dia hanya mengakui berbeda pandangan
dengan Ajengan Masduki. “Kami berpendapat Negara Islam itu sudah tak ada, namanya tak perlu disebut-sebut lagi,”
ujarnya dua pekan lalu usai berceramah di Masjid Iqwanul Qorib, Bandung.

Kendati begitu, Ba’asyir mengakui memiliki hubungan dengan orang-orang Darul Islam dan Negara Islam Indonesia karena
kesatuan paham. “Kami kadang-kadang ziarah ke sana. Mereka orang-orang yang perjuangannya lurus,” ujarnya.
Pengikut Darul Islam yang bergabung ke Jamaah Islamiyah dibaiat lagi. Sungkar memformalkan struktur organisasi seperti
markaziah, mantiqiah, wakalah, dan katibah. Organisasi baru ini dibagi menjadi dua mantiqiah: satu untuk urusan luar negeri,
dipimpin Hambali, dan lainnya urusan dalam negeri, dipimpin Anshori alias Ibnu Thoyib atau Abu Fatih.

Mukhlas atau Ali Ghufron, kader yang cemerlang dan baru pulang dari Afganistan, bergabung dengan Hambali. Begitu juga
Amrozi, adik Mukhlas. Ketika itu, 2.000 lebih kader telah dikirim ke Afganistan. Sebagian besar dari Jawa Tengah.

Hambali pun jadi orang penting. Ia berhubungan dan mendapatkan dana dari Al-Qaidah pimpinan Usamah bin Ladin.

Sebelum Jamaah Islamiyah terbentuk, Darul Islam sudah pecah menjadi tiga. Satu faksi dipimpin Ajengan, satu dipimpin
Abdul Fatah Wiranagapati, dan lainnya KW-9 yang dipimpin Abi Karim. Layaknya partai politik, perpecahan dipantik masalah
jabatan.

Awalnya pada 1974, ketika Darul Islam memutuskan kembali ke gerakan bersenjata. Daud Beureueh diangkat menjadi imam
pertama. Tapi, tahun berikutnya, ia ditangkap dan dibui. Adah Djaelani tampil menggantikan Daud Beureueh.

Pada 1980, Adah juga dijebloskan ke penjara. Ia dianggap terlibat sepak terjang Warman, pemimpin pasukan khusus Darul
Islam, yang mencari modal dengan melakukan fai-alias merampok-di berbagai tempat di Jawa Barat. Warman juga
membunuh Djaja Sudjadi, pentolan Darul Islam masa Kartosoewirjo yang menolak bergabung dengan gerakan fisabilillah
pimpinan Beureueh. Masduki pun mengambil alih pimpinan.

Adah menolak bergabung dengan Ajengan. Ia menganggap pengangkatan imam baru itu tak sesuai dengan prosedur karena
tak melalui mekanisme dewan syura. Beberapa pengikut Adah, terutama Abi Karim, yang menguasai KW-9-Jakarta, Bogor,
Tangerang, Bekasi, dan Banten-ikut menolak Ajengan.

Begitu juga Abdul Fatah Wiranagapati, yang mengklaim pengikut paling murni Kartosoewirjo. Ia menganggap mereka yang
mengklaim diri sebagai pentolan tak berhak lagi menjadi anggota Darul Islam. “Alasannya, para pentolan itu menandatangani
perjanjian 1962 yang menyatakan Darul Islam batal,” kata Solahudin.

Hingga 2000, ada tujuh kelompok Darul Islam yang masih memegang prinsip fisabilillah, dengan konsep amal, hijrah, dan
jihad yang diajarkan Kartosoewirjo. Salah satunya dipimpin Tahmid Rahmat Basuki, putra Kartosoewirjo. Tahmid awalnya
bergabung dengan Adah Djaelani. Dia dan pengikutnya marah ketika Adah menggantinya dengan Abu Toto alias Panji
Gumilang sebagai kepala staf umum.

Tahmid kemudian menjadi imam hasil pemilihan dewan syura di Cisarua, Jawa Barat. Langkah ini tak memuaskan Gaos
Taufik, pentolan Darul Islam Sumatera, yang menganggap lebih pantas menjadi pemimpin. “Gaos merasa lebih senior,” kata
Solahudin.

Darul Islam pimpinan Tahmid juga tak mulus. Pengikutnya, Akdam alias Jaja, tak puas dengan keputusan Tahmid menyetop
pengiriman kader Darul ke Mindanao, Filipina Selatan. Pengiriman kader ini dianggap penting setelah kamp pelatihan
Afganistan tak beroperasi lagi.

Pada 1999, setahun setelah Sungkar dan Ba’asyir kembali ke Indonesia, pecah konflik Ambon. Inilah momentum kader
Jamaah Islamiyah diterjunkan. Dipimpin Zulkarnaen alias Arif Sunarso, sebagian besar yang dikirim ke Ambon berasal dari
Mantiqi Satu. Mantiqi Tiga yang berbasis di Sulawesi pun dibentuk.

Yang berangkat ke Ambon, selain anggota Jamaah Islamiyah, juga anggota Darul Islam yang tadinya masih mengakui
kepemimpinan Ajengan. Menurut Solahudin, penolakan terlibat di Ambon membuat DI Ajengan pecah lagi. Yang ingin
berjihad disebut DI Akram-diambil dari nama tokohnya. Di Ambon, DI Akram bersatu dengan Jamaah Islamiyah. Dan dalam
kamp pelatihan di Mindanao pada 1993-1999, semua kader Darul yang terpecah-pecah bersatu kembali. Mereka seperti
melupakan klaim “pengikut Kartosoewirjo paling murni”.

Perlawanan Tak Pernah Padam

SETELAH NII diproklamasikan pada 7 Agustus 1949, gerilya Darul Islam bertahan hingga 4 Juni 1962. Namun semangat
menghidupkan cita-cita S.M. Kartosoewirjo tak padam, meski gagal.

DI PASCA-1962
1963.
Achmad Sobari, mantan Bupati Priangan Timur (bupati wilayah Darul Islam), mendirikan Negara Islam Tejamaya, yang
disebut gerakan Islam murni.

1968.
Aceng Kurnia membentuk Penggerakan Rumah Tangga Islam/Persiapan Tentara Islam Indonesia. Ia mendatangi sejumlah
komandan wilayah: Adah Djaelani, Ateng Jaelani, Danu Muhammad Hasan, dan Haji Ismail Pranoto (Hispran).

1971.
Reuni 3.000 eks DI/TII di Situ Aksan 120, Bandung. Pertemuan yang disokong Bakin ini deklarasi mendukung Golkar.

Perlawanan NII pasca-Kartosoewirjo terbagi dua:

1. DI Fillah, yang meninggalkan perjuangan bersenjata. Tokohnya Djaja Sudjadi, bekas menteri NII.
2. DI Fisabilillah, yang mengobarkan perang. Tokohnya Aceng Kurnia. Ideologinya iman, hijrah, jihad.

1973.
Pertemuan Mahoni (Aceh, Sulawesi, Jawa) yang menghidupkan kembali Darul Islam. Daud Beureueh dari Aceh diangkat
sebagai imam baru pengganti Kartosoewirjo.

1974-1976.
Haji Ismail Pranoto merekrut Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir.

1976.
Peledakan rumah sakit Kristen di Bukit Tinggi dan pelemparan granat pada acara Musabaqah Tilawatil Quran di Medan di
bawah komando Gaos Taufik.

1977.
Penangkapan 800 pengikut DI karena dituding terlibat gerakan Komando Jihad.Tokohnya Danu Muhammad Hasan, Dodo
Muhammad Darda, Gaos Taufik, dan Haji Ismail Pranoto.

Warman dan kawan-kawan melakukan aksi fai (perampokan) untuk membiayai gerakan. Aksi dilakukan di IAIN Yogyakarta,
IKIP Malang, Cicalengka (Bandung), dan Depok.

1978.
Djaja Sudjadi dibunuh oleh anggota DI karena dituding menjadi imam tandingan dan membocorkan aksi Komando Jihad
kepada aparat.

1978-1979.
Adah Djaelani menjadi imam menggantikan Daud Beureueh, yang jadi tahanan rumah.

1983.
Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir ditangkap dengan tuduhan golput dalam pemilu.

1985 Sungkar dan Ba’asyir lari ke Malaysia.


Di Malaysia, mereka mengirim sejumlah kader Darul Islam ke Afganistan.

1987-1990.
Ajengan Masduki, mantan Bupati Darul Islam Tasikmalaya, diangkat sebagai imam baru menggantikan Adah Djaelani, yang
dipenjarakan. Pengikut Adah menolak Ajengan. Abu Toto alias Panji Gumilang bergabung dengan KW-9. :

Abdul Fatah Wiranagapati mengklaim berhak menjadi imam karena tak menandatangani pernyataan 1962 yang menyatakan
Darul Islam telah batal.

Kelompok Ajengan Masduki:


DI Ansyarullah.

1999.
DI Akram yang berperang di Ambon.
KW-9 pimpinan Abi Karim yang setia kepada Adah Djaelani:

1992.
Ajengan Masduki pecah dengan Abu Bakar Ba’asyir/Abdullah Sungkar

1 Januari 1993.
Jamaah Islamiyah lahir.

1995.
Adah Djaelani diangkat jadi imam menggantikan Masduki setelah Adah, Tahmid Rahmat Basuki, dan beberapa bekas
anggota Darul Islam dibebaskan.

1997.
Adah Djaelani bergabung dengan KW-9.

Desember 1998.
Tahmid menjadi imam baru menyaingi kelompok Adah dan Abu Toto.

1998.
Gaos Taufik membentuk kelompok sendiri.

2000.
DI Akdam ring Banten pimpinan Jaja yang mengirim kader ke Moro.

Adah Djaelani mengangkat Panji Gumilang sebagai Kepala Staf Umum Darul Islam menggantikan Tahmid.

SUMBER: WAWANCARA DENGAN SOLAHUDIN, PENELITI DARUL ISLAM

Dua Tahap Revolusi

TAK banyak buku atau risalah yang ditulis Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Selama 13 tahun bergerilya di hutan-hutan
Tasikmalaya, ia memang membawa mesin tik sebesar meja. Tapi ia hanya menulis pikiran-pikirannya tentang cita-cita
mendirikan Negara Islam Indonesia dalam bentuk pedoman dan artikel pendek, yang dimuat koran Fadjar Asia pada 1930-
an.

Karena itu, meski ada tujuh buku yang menghimpun buah pikirannya, setiap buku menyuarakan hal sama. Sementara
Soekarno atau Tan Malaka merumuskan ideologinya secara runtut, bahkan lebih dari rumusan traktat akademik, tulisan-
tulisan Kartosoewirjo lebih seperti propaganda. Kalimatnya lincah meski dengan nada rendah.

Ada memang ia menyelipkan info terbaru seperti penemuan planet Pluto pada 1930 ketika membahas perjalanan Nabi dari
Masjidil Aqsa ke Sidratulmuntaha. Menurut Kartosoewirjo, tujuh lapis langit tujuh lapis bumi yang disebut Quran tak lain dari
susunan planet di antariksa yang berjumlah tujuh buah. Informasi itu ia peroleh karena mendengarkan siaran radio di seluruh
dunia dari radio Zenit yang memakai 52 baterai kering, yang ia bawa ke mana pun pergi.

Dalam buku Haluan Politik Islam (1946), Kartosoewirjo membayangkan sebuah negara yang damai sentosa dan hukum
Tuhan tegak mengatur hajat hidup orang banyak, dalam nama Negara Islam Indonesia. Untuk mencapainya, menurut dia,
dibutuhkan dua tahap revolusi.

Tahap pertama adalah revolusi nasional, yaitu pengusiran penjajah dari bumi Indonesia. Revolusi ini selesai pada 1945
ketika Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan. Setelah itu, masuk revolusi tahap kedua, yakni “revolusi sosial”.
Pada masa inilah Indonesia harus berada di jalan Tuhan dengan mencontoh perjalanan Isra dan Mikraj Nabi Muhammad.

Ia menyamakan kondisi Mekah sebelum Nabi hijrah dengan Indonesia sebelum 1945: jahiliah, tak ada tuntunan, dijajah dan
diperangi ideologi lain. Nabi pun hijrah ke Madinah untuk mencapai kegemilangan. Di Madinah umat muslim mencapai masa
keemasan. Agar Indonesia sama seperti periode Madinah, menurut Kartosoewirjo, rakyat Indonesia juga harus hijrah di
semua lini: politik, sosial, ekonomi.

Caranya dengan jihad fisabilillah, bukan jihad fillah atau jihad yang hanya mengekang hawa nafsu. Jihad itu, menurut
Kartosoewirjo, harus dirumuskan dan dilakukan secara cermat di semua sektor. Karena jihad adalah menegakkan hukum
Tuhan yang sulit, dan bertempur dengan ideologi-ideologi lain, satu-satunya jalan adalah berperang. “Perang menghadapi
negara Pancasila menjadi wajib hukumnya,” tulisnya dalam Perdjalanan Soetji Isra’ dan Mi’raj Rasoeloellah (1953).

Tapi, sebelum bisa berjihad dan hijrah, rakyat Indonesia harus beriman dulu, yakin bahwa hukum-hukum Allah adalah hukum
terbaik untuk mengatur perikehidupan. Kartosoewirjo menyebut periode ini sebagai periode “revolusi individu”. Para cerdik
cendekia seperti dia dan kadernya harus mendorong revolusi individu ini seraya melakukan revolusi sosial. Tiga konsep
inilah-iman, jihad, hijrah-yang kemudian menjadi basis ideologi Darul Islam dalam mencapai Negara Islam Indonesia dan ia
sebagai imamnya.

Maka ia bergerilya masuk hutan menentang pemerintahan yang dipimpin Soekarno, negara yang kemerdekaannya juga dia
perjuangkan.

Kartosoewirjo selalu menghubungkan apa yang terjadi di Indonesia dengan peristiwa yang menyertai hijrah Nabi. Medio
1947, ketika mengumumkan “perang suci” menghalau Belanda, ia menyamakannya dengan proklamasi Nabi memerangi
kaum Quraish. Begitu pula Revolusi Gunung Cupu pada 17 Februari 1948, dan terakhir proklamasi Negara Islam Indonesia
pada 7 Agustus 1949.

Ia percaya, peristiwa di zaman Nabi dan kejadian-kejadian yang dia alami bersama pengikutnya “sama-sama di luar dugaan
dan perhitungan manusia”. Dalam Sikap Hidjrah (1936), Kartosoewirjo yakin rakyat Indonesia yang mayoritas beragama
Islam akan sukarela menerima negara Islam sebagai bentuk baru pengganti republik. Keyakinan yang terbukti keliru.

Kartosoewirjo

SEKARMADJI Maridjan Kartosoewirjo adalah tokoh menarik. Dari segi nama, penilaian subyektif saya mengatakan figur ini
tidak memiliki Islamic credential yang kuat. Demikian pula jika dilihat dari sisi penampilan. Potret dirinya, seperti tampak
dalam buku Cornelis van Dijk yang berjudul Darul Islam, tidak mengesankan sebagai santri dalam perspektif Clifford Geertz.
Foto itu bahkan lebih tampak berkarakter abangan.

Kesan “nonsantri” ini diperkuat dengan asal-usul sosialnya yang berspektrum priayi-abangan. Ayahnya adalah, menurut Van
Dijk, “mantri penjual candu, seorang perantara dalam jaringan distribusi candu siap pakai yang dikontrol dan diusahakan
pemerintah”. Dan sekolahnya pun sekuler: Inlandsche School der Tweede Klasse, HIS, ELS, dan kemudian NIAS-sekolah
dokter Jawa.

Menariknya, warna nonsantri itu tidak muncul dalam pembicaraan mengenai Kartosoewirjo. Sebaliknya, figur ini justru
dikenal sebagai bagian penting dari pergerakan Islam, khususnya dalam kaitannya dengan gagasan dan eksperimen negara
Islam.

Di Indonesia, wacana dan karya kesarjanaan tentang negara Islam sering dikaitkan dengan aspirasi ideologis dan politis
“golongan agama”-yang kemudian bermetamorfosis menjadi partai Islam. Ini karena mereka, sebagaimana tecermin dalam
perdebatan di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (1945) dan Sidang Konstituante (1956-
1957), ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara.

Meski demikian, Kartosoewirjolah yang berasal-usul sosial nonsantri itu, yang menyatakan sikap politiknya secara lebih
tegas: memaklumkan berdirinya Negara Islam Indonesia melalui gerakan Darul Islam. Sementara golongan agama atau
partai Islam “hanya” berani mengusulkan Islam sebagai dasar negara, Kartosoewirjo tanpa ragu memilih mendeklarasikan
negara Islam.

Terlepas dari soal nama, penampilan, dan asal-usul keluarga yang “bukan santri”, kehidupan Kartosoewirjo tidak kosong dari
warna Islam. Setidaknya dia pernah dekat dengan H.O.S. Tjokroaminoto-bapak penggerak nasionalisme Indonesia melalui
Sarekat Islam. Berbeda dengan Soekarno atau Semaoen-Darsono yang juga menjadikan Tjokroaminoto sebagai mentor,
Kartosoewirjo bahkan pernah bergabung dengan PSII dan Masyumi. Dia juga melatih pemuda-pemuda dalam lembaga
Suffah yang dibangunnya.

Atas dasar itu dapatlah dikatakan bahwa Islamic credential yang disandang Kartosoewirjo lebih bersifat institusional daripada
substansial. Kartosoewirjo barangkali memang tidak memiliki pengetahuan tentang Islam sedalam Wachid Hasyim,
Mohammad Natsir, atau Isa Anshari. Lagi-lagi menurut Van Dijk, substansi Islam diperolehnya secara otodidak melalui buku-
buku berbahasa Belanda, yang dia dapatkan dari kiai-kiai Malangbong, seperti Yusuf Tauziri dan Ardiwisastra-mertuanya.
Barangkali sadar akan hal ini, yaitu keterbatasan mengenai keluasan dan kedalaman Islam, Kartosoewirjo tidak bersedia
membuang waktu untuk menggali dasar-dasar teologi tentang perlunya negara Islam. Dan memang, Negara Islam Indonesia
yang dia proklamasikan pada 7 Agustus 1949 lebih merupakan reaksi politis daripada agama atas situasi yang berkembang
waktu itu.

Deliar Noer, misalnya, percaya bahwa gerakan Darul Islam muncul karena Kartosoewirjo-yang ketika itu “memimpin
sebagian kekuatan bersenjata umat di daerah Jawa Barat”-tidak setuju dengan Persetujuan Renville. Inti persetujuan itu
adalah ditariknya kekuatan bersenjata Indonesia, termasuk Hizbullah dan Sabilillah, dari daerah yang dianggap dikuasai
Belanda.

Tapi sebenarnya, di luar Persetujuan Renville, ada faktor lain yang menyebabkan kelahiran Negara Islam Indonesia, seperti
berdirinya Negara Pasundan ciptaan Belanda pada Maret 1948 dan-ini barangkali yang paling menentukan-jatuhnya
pemerintahan RI di Yogyakarta pada Desember 1948 karena aksi polisional Belanda.

Dalam konteks seperti itu, kental warna kebencian terhadap kolonialisme Belanda dalam kaitannya dengan berdirinya
Negara Islam Indonesia. Bahwa kemudian Kartosoewirjo memberi makna jihad dalam reaksinya terhadap perkembangan
keadaan, hal itu merupakan sesuatu yang lumrah.

Gagasan mengenai jihad memberikan dimensi lain, nilai tambah, dalam perang melawan Belanda-walaupun harus pula
disadari, dalam tradisi masyarakat agraris yang masih sangat tradisional, belum tentu pemahaman tentang jihad memiliki
kedalaman makna teologis. Bisa saja jihad dimengerti dalam konteks mesianistik-menghadirkan juru selamat yang diridhoi
Tuhan. Bukankah, sekali lagi menurut Van Dijk, Kartosoewirjo juga dilukiskan sebagai pemimpin yang memiliki kekuatan
mistik, lengkap dengan keris dan pedangnya-Ki Dongkol dan Ki Rompang?

Tentu, kualitas yang dimiliki Kartosoewirjo tidak unik, tidak hanya ada pada dirinya sendiri. Sejak awal abad ke-20 sampai
sekarang, pejuang negara Islam tidak selalu berasal dari kalangan muslim yang-dalam kerangka antropologis masyarakat
Indonesia-disebut santri. Di belahan dunia lain, pejuang negara Islam itu ada yang berasal-usul seperti Kartosoewirjo,
setidaknya jebolan perguruan tinggi sekuler, bukan madrasah.

Ini artinya, seperti tampak dalam sejarah pergerakan Darul Islam di Indonesia, gagasan mengenai negara Islam tidak mesti
muncul karena kesadaran keagamaan. Ide itu bisa juga lahir sebagai respons atas perkembangan keadaan.

Relevansi Darul Islam untuk Masa Kini

BANYAK yang bisa kita pelajari dari sejarah Darul Islam yang ada relevansinya untuk Indonesia sekarang ini-dan bukan saja
tentang bagaimana suatu gerakan radikal bisa menyesuaikan diri dengan perubahan zaman dan melahirkan suatu generasi
baru. Ada pelajaran juga tentang akibat buruk saat ketidakpuasan di daerah diabaikan oleh pusat; bahayanya memanfaatkan
kelompok Islam garis keras untuk kepentingan politik; bagaimana pentingnya ikatan lintas generasi sehingga masa depan
anak-anak anggota kelompok ekstrem harus diperhatikan; dan bagaimana harapan untuk daulah islamiyah tetap hidup.

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Jawa Barat, Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, dan Daud Beureueh di Aceh
menjadi pahlawan untuk daerah mereka masing-masing. Setiap tokoh memimpin suatu pemberontakan melawan Republik
atas nama DI, setiap orang membayar mahal atas perannya masing-masing, dan setiap orang menjadi sumber ilham untuk
gerakan baru-pengaruh ketiganya masih terasa sampai hari ini:

 Kartosoewirjo, yang memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) pada 1949, ditangkap pada 1962 dan
kemudian dieksekusi oleh regu tembak; banyak di antara ajudannya yang top diberi amnesti dan dana untuk kembali
hidup seperti warga biasa dalam semacam program “deradikalisasi” zaman dulu. Sampai hari ini, dia menjadi
inspirasi untuk semua kelompok, baik yang memilih jalan kekerasan maupun tidak, yang ingin mendirikan negara
Islam, termasuk Jamaah Islamiyah (JI), Ring Banten, dan banyak kelompok sempalan lain.

 Kahar Muzakkar tewas tertembak oleh tentara pada 1965; beberapa pengikutnya lari ke Sabah, sebagian lainnya lari
ke Maluku. Kekacauan dan pengungsian yang terjadi sebagai dampak pemberontakannya ada bekasnya di
Sulawesi sampai sekarang. Warisan yang tidak langsung termasuk jaringan Pesantren Hidayatullah, yang didirikan
oleh salah satu pengagum Kahar, dan Komite Persiapan Penerapan Syariat Islam di Makassar, yang ingin
melanjutkan perjuangan dia melalui upaya advokasi.
 Pemberontakan Daud Beureueh di Aceh berakhir pada 1962. Setelah kesepakatan perdamaian ditandatangani
dengan pemerintah pada 1963, Beureueh ditarik kembali sebagai imam gerakan Darul Islam untuk seluruh
Indonesia pada 1973. Tapi, empat tahun kemudian, dia ditangkap lagi dan menjadi tahanan rumah sampai wafatnya
pada 1987. Gerakan Aceh Merdeka mewarisi nasionalisme Aceh dari DI Aceh, dan banyak pejuang pertama
Gerakan Aceh Merdeka adalah anak para pejuang gerakan Daud Beureueh.Setiap versi DI dimulai sebagai balasan
terhadap keluhan-keluhan setempat-misalnya kegagalan Jakarta memenuhi janji kepada Aceh tentang status
istimewa. Pemunculan mereka menggarisbawahi bahwa salah satu pelajaran kunci untuk Negara Indonesia, yang
masih relevan dengan kondisi Papua hari ini, adalah ketidakpedulian pemerintah pusat terhadap keresahan di
daerah yang bisa menjadi motor radikalisasi.

Kartosoewirjo secara khusus mengembangkan semacam ideologi dan justifikasi untuk jihad terhadap negara kafir (awalnya
Belanda, kemudian Republik Indonesia), yang banyak aspeknya mirip dengan yang disebut salafi-jihadisme. Sebuah buku
yang ditulis Solahudin, wartawan Aliansi Jurnalis Independen, yang akan diterbitkan dalam waktu dekat, menunjukkan salah
satu alasan kenapa ideologi yang dikaitkan dengan Al-Qaidah menemukan tanah yang begitu subur di Indonesia, yakni
sudah ada landasan yang ditanam oleh pendiri DI.

Pada akhir 1950-an, tiga pemimpin DI itu sudah saling menghubungi dan bersepakat memperjuangkan suatu federasi Islam,
meski konsep tersebut tidak pernah berhasil-antara lain karena tujuan setempat jauh lebih penting untuk rekrutmen dan
mobilisasi daripada tujuan bersama. Empat puluh tahun kemudian, dalam konteks politik yang jauh berbeda, mujahidin
Indonesia mendapat pelajaran yang mirip: entah betapa kuatnya kemarahan rakyat Indonesia terhadap kebijakan Amerika di
Timur Tengah, tetap lebih gampang merekrut orang lewat diskusi soal Ambon dan Poso daripada tentang Palestina dan Irak.

Tidak lama setelah tentara Indonesia mengalahkan pemberontakan DI di Jawa Barat, pada 1965 terjadi peristiwa Gestapu.
Prioritas utama dari tentara dan Jenderal Soeharto, yang pada 1966 mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, adalah
membasmi Partai Komunis Indonesia. Dengan tujuan ini, prinsip “musuh dari musuh adalah teman” berlaku. Beberapa
mantan pemimpin DI, yang melihat komunisme sebagai ancaman terhadap Islam, diangkat sebagai mitra TNI dalam operasi
melawan PKI, sampai disebarkan senjata.

Pada 1971, ketika Soeharto sedang merencanakan pemilu pertama Orde Baru, anggota DI dilihat sebagai alat rahasia untuk
memenangkan Golkar di Jawa Barat dan daerah lain. Mereka dikasih uang oleh Badan Koordinasi Intelijen Negara untuk
menyelenggarakan “reuni” selama tiga hari, yang katanya dihadiri oleh lebih dari 3.000 orang eks anggota DI.

Dus, dana dan fasilitas pemerintahlah yang memungkinkan gerakan setengah mati ini hidup kembali-yang dengan cepat
menggigit tangan yang memberinya makan. Dengan diradikalisasi, baik oleh kebijakan Soeharto yang dilihat anti-Islam,
seperti asas tunggal, maupun oleh tulisan cendekiawan militan dari Timur Tengah yang diterjemahkan dari bahasa Arab ke
bahasa Indonesia, anggota DI dengan cepat memulai kegiatan klandestin untuk melawan negara.

Sebagai satu-satunya kelompok di Indonesia dengan sejarah berperang untuk negara Islam, makin banyak pemuda dan
mahasiswa yang bisa direkrut-apalagi setelah represi Orde Baru meningkat. Di antara mereka ada Abdullah Sungkar, pendiri
JI, dan sesama ustad dan temannya, Abu Bakar Ba’asyir. Salah satu pelajaran yang seharusnya diangkat, tapi ternyata
tidak, adalah kooptasi atau kerja sama dengan Islam garis keras untuk tujuan politik lain tidak akan berhasil, dan mudaratnya
jauh lebih besar daripada manfaatnya.

Pukulan keras terhadap DI/NII dilaksanakan oleh Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban pada akhir 1970-
an dan 1980-an, dengan akibat bahwa hampir semua tokoh penting dalam DI ditangkap. Salah satu aspek dari penangkapan
ini menonjol: banyak narapidana dan tahanan politik ini punya anak laki-laki yang 20 tahun kemudian muncul sebagai
pemimpin JI dan/atau pelaku terorisme.

Sebut saja empat pemimpin DI yang ditangkap pada waktu itu: Haji Faleh dan Achmad Hussein dari Kudus; Muhammad
Zainuri dari Madiun; dan Bukhori dari Magetan. Anak Haji Faleh, Thoriquddin alias Abu Rusdan, menjadi amir sementara JI
setelah Abu Bakar Ba’asyir ditangkap. Salah satu putra Achmad Hussein, Taufik Ahmad alias Abu Arina, menjadi tokoh JI
Jawa Tengah. Anak Zainuri, Fathurrahman al-Ghozi, tewas tertembak di Mindanao pada 2003; dia terlibat dalam
pengeboman di Jakarta dan Manila. Adik Al-Ghozi, Ahmad Rofiq Ridho alias Ali Zein, ditangkap karena menolong Noor Din
M. Top, dan sekarang bebas. Anak Bukhori, Lutfi Haedaroh alias Ubeid, baru ditangkap untuk kedua kalinya karena ikut
kamp militer di Aceh. Ubeid dan Umar Burhanuddin bekerja sama dengan Noor Din sebelum pengeboman Kedutaan
Australia pada 2004. Putri-putri tahanan DI juga muncul sebagai istri orang JI pada 1990-an.
Kalau Indonesia bisa belajar dari masa lalu, seharusnya program kontra-radikalisasi ditargetkan kepada adik dan anak para
tahanan radikal dan kepada sekolah yang mereka ikuti. Kartosoewirjo, lebih dari Daud Beureueh atau Kahar Muzakkar,
mengerti bahwa indoktrinasi dan regenerasi harus dilaksanakan bersama. Lembaga Suffah yang dia dirikan di Jawa Barat,
yang menggabungkan kajian agama dan politik dengan latihan militer, mungkin merupakan sumber teladan dan inspirasi
bagi sekolah JI yang terkenal, seperti Al-Mukmin di Ngruki atau Lukmanul Hakiem di Johor, Malaysia.

Walaupun JI untuk sementara rupanya tidak tertarik melakukan amaliyat (operasi pengeboman dan lain-lain), pesantren-
pesantren dalam jaringannya di Jawa, Lampung, Lombok, dan daerah lain adalah kunci kelangsungan hidup, karena di
situlah anak-anak pemimpin JI dididik. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme seharusnya memprioritaskan program
pengawasan secara ketat terhadap sekolah-sekolah ini-sekarang lebih dari 50-dan menarik anak-anak di dalamnya ikut
dalam kegiatan di luar, supaya jaringan sosial mereka bisa diperluas.

Sejarah Darul Islam memberikan pelajaran lain yang seharusnya dipetik oleh Indonesia: pada saat para pemimpin gerakan
radikal mulai dilihat terlalu pasif oleh pengikutnya, sayap lebih militan sering muncul, dengan semangat perjuangan lebih
tinggi. Perpecahan ini tidak selalu menjadi indikasi bahwa organisasi mau mati. Setelah DI dihidupkan kembali pada 1970-an
sampai sekarang, perpecahan ideologi serta kebijakan dan pribadi baru sering muncul. Yang paling terkenal adalah
perpecahan JI dari DI pada 1992/1993, tapi ada faksi lain yang keluar karena tidak puas dengan keterlambatan DI
merespons setelah konflik Ambon meledak pada 1999. Noor Din M. Top melepaskan diri dari JI pada 2003/2004 dengan
membawa pengikutnya ke arah lebih militan. Baru-baru ini, aliansi lintas tanzim yang mendirikan kamp latihan di Aceh terdiri
atas unsur-unsur sakit hati atau kurang puas dari sekitar sembilan kelompok berbeda-dan semuanya sangat kritis terhadap
JI, yang dilihat tidak mau lagi berjihad.

Darul Islam jelas bukan suatu obyek kuno untuk museum. Setelah 50 tahun, ia masih tetap berkembang dan sempalannya
masih tetap menjadi inti gerakan Islam radikal di Indonesia-bagaimanapun, ide negara Islam masih tetap bergema untuk
generasi baru. Kalau ada yang masih ragu tentang kedigdayaan DI untuk mendorong anak muda berjihad, baca saja tulisan
Iqbal alias Arnasan, salah satu pengebom bunuh diri di Bali pada Oktober 2002. Dia menulis kepada keluarga dan teman di
Malingping, Banten, bekas basis DI:

“Ingat wahai Mujahidin yang di Malingping. Imam kita S.M. Kartosoewirjo dulu waktu membangun dan menegakkan
sekaligus memproklamasikan kemerdekaan NII dengan darah dan nyawa para syuhada bukan dengan berleha-leha, santai-
santai saja seperti kita sekarang. Kalau kalian benar-benar ingin membangun kembali kejayaan NII yang hari ini terkubur,
siramlah dengan darah-darah antum agar antum tidak malu di hadapan Allah. Padahal kalian mengaku sebagai anak
DII/NII.”

Makam Imam Kartosoewirjo Dikeramatkan

Terlihat dua `makam keramat’ yang dikelilingi pagar bambu dan ubin keramik di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, Jakarta
Utara. Seperti tertera dalam tulisan, “Salah satu dari makam itu adalah tokoh DI/TII yang dihukum mati oleh pemerintah“.

Tidak dijelaskan siapa tokoh DI/TII yang pernah memberontak terhadap NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan
membentuk NII (Negara Islam Indonesia). Yang mana di antara dua makam itu merupakan makam tokoh DI/TII yang pada
tahun 1949/1962 telah mengobarkan pemberontakan di Jawa Barat.

Kedua makam ini terletak di sisi barat Pulau Onrust yang luasnya tujuh hektare dan tidak jauh dari pemakaman Belanda.
Hampir dipastikan, salah satunya adalah makam pemimpin Darul Islam, Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, yang dieksekusi di
Pulau Onrust pada masa pemerintahan presiden Soekarno tahun 1962.

Menurut keterangan, kedua makam ini telah ‘dikeramatkan’ dan sering diziarahi. Penulis Solichin Salam dalam bukunya
Soekarno-Hatta pernah bertanya kepada Bung Karno, “Apakah Bapak pernah menjatuhkan hukuman mati terhadap
sesorang?” Bung Karno menjawab, “Pernah. Itu pun hanya sekali dan dengan hati yang berat.”

Yang dimaksudkan adalah ketika ia menandatangani surat keputusan mati untuk Kartosuwiryo. Eksekusi kemudian
dilaksanakan di Pulau Onrust, salah satu pulau di kawasan kepulauan Seribu, Jakarta Utara.

Kisah eksekusi ini dimulai pada suatu pagi tahun 1962. Saat itu, Mayjen S Parman, asisten I/menteri panglima angkatan
darat (pangad), menghadap presiden Soekarno di istana. Dia –yang kemudian pada 30 September 1965 dibunuh oleh
gerombolan G30S– datang dengan membawa berkas dan surat keputusan (SK) hukuman mati Kartosuwiryo untuk
ditandatangani oleh Bung Karno.
Namun, Bung Karno meminta Mayjen S Parman kembali lagi setelah Maghrib. Sesudah shalat dan berdoa, barulah Bung
Karno menandatanganinya.

Imam Kartosoewirjo Tertangkap

Tanggal 7 agustus 1949 adalah bertepatan dengan Bung Hatta pergi ke Belanda untuk mengadakan perundingan Meja
Bundar, yang berakhir dengan kekecewaan. Dimana hasil perundingan tersebut adalah Irian Barat tidak dimasukkan
kedalam penyerahan kedaulatan Indonesia, lapangan ekonomi masih dipegang oleh kapitalis barat.

Negara Islam Indonesia diproklamirkan di daerah yang dikuasai oleh Tentara Belanda, yaitu daerah Jawa Barat yang
ditinggalkan oleh TNI (Tentara Nasional Indonesia) ke Jogya. Sebab daerah de-facto R.I. pada saat itu hanya terdiri dari
Yogyakarta dan kurang lebih 7 Kabupaten saja ( menurut fakta-fakta perundingan/kompromis dengan Kerajaan Belanda;
perjanjian Linggarjati tahun 1947 hasilnya de-facto R.I. tinggal pulau Jawa dan Madura, sedang perjanjian Renville pada
tahun 1948, de-facto R.I. adalah hanya terdiri dari Yogyakarta). Seluruh kepulauan Indonesia termasuk Jawa Barat
kesemuanya masih dikuasai oleh Kerajaan Belanda. Jadi tidaklah benar kalau ada yang mengatakan bahwa Negara Islam
Indonesia didirikan dan diproklamirkan didalam negara Republik Indonesia. Negara Islam Indonesia didirikan di daerah yang
masih dikuasai oleh Kerajaan Belanda.

Negara Islam Indonesia dengan organisasinya Darul Islam dan tentaranya yang dikenal dengan nama Tentara Islam
Indonesia dihantam habis-habisan oleh Regim Soekarno yang didukung oleh partai komunis Indonesia(PKI). Sedangkan
Masyumi (Majelis syura muslimin Indonesia) tidak ikut menghantam, hanya tidak mendukung, walaupun organisasi Darul
Islam yang pada mulanya bernama Majlis Islam adalah organisasi dibawah Masyumi yang kemudian memisahkan diri.
Seorang tokoh besar dari Masyumi almarhum M Isa Anshary pada tahun 1951 menyatakan bahwa “Tidak ada seorang
muslimpun, bangsa apa dan dimana juga dia berada yang tidak bercita-cita Darul Islam. Hanya orang yang sudah bejad
moral, iman dan Islam-nya, yang tidak menyetujui berdirinya Negara Islam Indonesia. Hanya jalan dan cara
memperjuangkan idiologi itu terdapat persimpangan dan perbedaan. Jalan bersimpang jauh. Yang satu berjuang dalam
batas-batas hukum, secara legal dan parlementer, itulah Masyumi. Yang lain berjuang dengan alat senjata, mendirikan
negara dalam negara, itulah Darul Islam” (majalah Hikmah, 1951).

Ketika Masyumi memegang pemerintahan, M Natsir mengirimkan surat kepada SM Kartosoewirjo untuk mengajak beliau dan
kawan-kawan yang ada di gunung untuk kembali berjuang dalam batas-batas hukum negara yang ada. Namun M Natsir
mendapat jawaban dari SM Kartosoewirjo “Barangkali saudara belum menerima proklamasi kami”(majalah Hikmah, 1951).

Setelah Imam Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo tertangkap dan dijatuhi hukuman mati pada tahun 1962 regim
Soekarno dengan dibantu oleh PKI yang diteruskan oleh regim Soeharto dengan ABRI-nya telah membungkam Negara
Islam Indonesia sampai sekarang dengan pola yang sama. Pola tersebut adalah dengan cara menugaskan bawahannya
untuk melakukan pengrusakan, setelah melakukan pengrusakkan bawahan tersebut “bernyanyi” bahwa dia adalah anggota
kelompok Islam tertentu. Atau melakukan pengrusakan dengan menggunakan atribut Islam. Menurut salah seorang kapten
yang kini masih hidup, dan mungkin saksi hidup yang lainnya pun masih banyak, bahwa ada perbedaan antara DI pengrusak
dan DI Kartosuwiryo yakni attribut yang dipergunakan oleh DI pengrusak (buatan Sukarno) berwarna merah sedangkan DI
Kartosuwiryo adalah hijau. Sebenarnya Negara Islam Indonesia masih ada dan tetap ada, walaupun sebagian anggota-
anggota Darul Islam sudah pada meninggal, namun ide Negara Islam Indonesia masih tetap bersinar di muka bumi
Indonesia.

Menarik untuk disimak sebuah kejadian di akhir-akhir persidangan dimana MAHADPER memutuskan eksekusi mati terhadap
diri Kartosoewirjo, adalah upaya dari pihak keluarga Kartosoewirjo dalam hal ini diwakili oleh anak-anaknya, meminta kepada
pihak pengadilan untuk menyaksikan eksekusi. Namun dari pihak MAHADPER setelah berkonsultasi dengan Presiden
Soekarno tidak mengabulkan permintaan tersebut. Panglima Kodam Jaya Umar Wirahadikusuma telah memerintahkan
untuk melaksanakan keputusan MAHADPER dan menyusun regu tembak yang terdiri dari keempat angkatan.

Pada tanggal 4 September 1962 Kartosoewirjo minta diri dari keluarganya dan keesokan hari di pagi buta, Kartosoewirjo
bersama-sama dengan regu penembak dibawa dengan sebuah kapal pendarat kepunyaan Angkatan Laut dari pelabuhan
Tanjung Priok ke sebuah pulau di teluk Jakarta. Pada pukul 5.50 WIB, hukuman mati dilaksanakan dan beliau menemui
syahidnya dihadapan regu tembak disaksikan 7 orang Jenderal RI. Seorang Ulama, Mujahid dan Intelektual yang konsisten
telah menyirami bumi ini dengan tetesan darahnya.

Anda mungkin juga menyukai