Anda di halaman 1dari 8

SURAH AL-BAQARAH 1-5 (1)

Memenuhi harapan warga yang menginginkan Muhammadiyah mempunyai Tafsir Al-Quran lengkap dari surat Al-Fatihah sampai surat An-Nash, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah telah memulai kerja besar mewujudkan harapan warga tersebut. Sebagian hasil dari kerja besar ini, pada tahun 2009 Suara Muhammadiyah telah menerbitkan tafsir Surat Al-Fatihah (SM nomor 01-08 tahun 2009). Adanya beberapa saran dan masukan tentang tafsir surat Alfatihah yang sudah diterbitkan, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah kemudian menyempurnakan naskah-naskah yang belum diterbitkan (surat Al-Baqarah dan selanjutnya). Alhamdulillah, mulai nomor 12 tahun 2012 ini, Suara Muhammadiyah melanjutkan menerbitkan tafsir tahlili tersebut. (Redaksi Suara Muhammadiyah)
Pendahuluan Menurut kesepakatan (ijma) ulama, seluruh surah Al-Baqarah tergolong madaniyyah atau turun setelah Nabi Muhammad hijrah ke Madinah. Sebagian ulama berpendapat bahwa sebagian ayat yang terdapat pada surah Al-Baqarah diturunkan pada waktu Rasulullah saw melaksanakan haji wada (haji perpisahan), dan menurut suatu riwayat, sebagian besar surah Al-Baqarah diturunkan pada permulaan hijrah. Surah ini termasuk surah yang terpanjang, terdiri dari 286 ayat, sebagaimana tertulis dalam mushaf Al-Quran. Surah ini diletakkan di permulaan Al-Quran sesudah surah Al-Fatihah. Kemudian disusul dengan tujuh surah yang panjang, yaitu: Ali Imran (madaniyyah), An-Nisa (madaniyyah), alMaidah (madaniyyah), Al-Anam (makkiyyah ), Al-Araf ( makkiyyah), Al-Anfal (madaniyyah) dan At-Taubah (madaniyyah). Tema pokok surah Al-Baqarah ini, sesuai dengan namanya, dapat dilihat pada kandungan ayat-ayatnya yang menguraikan kisah Al-Baqarah, kisah seekor sapi betina dan Bani Israil. Kisah yang terkandung dalam surah Al-Baqarah ini menegaskan bukti kekuasaan Allah dalam menghidupkan kembali orang yang sudah mati, dan bukti kekuasaan-Nya menjatuhkan sanksi bagi orang yang melakukan kesalahan, meskipun kesalahan itu dilakukan secara sangat tersembunyi. Kandungan surah al-Baqarah juga menjelaskan tentang kebenaran kitab suci Al-Quran sebagai petunjuk yang layak dikuti untuk kebahagiaan hidup manusia. Kesesuaian surah Al-Baqarah dengan surah sebelumnya yaitu surah Al-Fatihah, dapat dilihat bahwa pada bagian akhir surah Al-Fatihah tercantum permohonan akan petunjuk menuju jalan yang lurus, sedangkan pada awal surah Al-Baqarah dinyatakan bahwa Al-Quran adalah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya yang merupakan petunjuk bagi orang yang bertakwa menuju jalan lurus yang didambakannya. Di samping itu, surah Al-Baqarah, dan juga surah-surah sesudahnya, memuat sejumlah rincian mengenai beberapa pokok bahasan yang tercantum dalam surah Al-Fatihah. (AsSuyuthi, Tanasuq al-Durar fi Tanasub alSuwar (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1986), hlm. 64-65). Sebelum memulai penafsiran surah Al-Baqarah ini, kita lihat lebih dahulu kandungan surah tersebut secara garis besar. Kandungan surah tersebut antara lain ialah: 1. Akidah, sebagaimana diungkapkan pada ayat: 110, 178, 179, 181, 182, 183, 187, 188, 189, 190, 195, 196, 203, 215, 218, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 225, 226, 227, 228, 237, 241, 252, 275, 280, 282, 283, dan pada ayat lainnya. 2. Syariah, sebagaimana disebutkan pada ayat: 110, 178, 179, 181, 182, 183, 187, 188, 189, 190, 195, 196, 203, 215, 216, 218, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 225, 226, 227, 228, 237, 241, 252, 254, 262, 275, 280, 282, 283, dan ayat lainnya. 3. Kisah-kisah umat terdahulu dan lainlain, sebagaimana disebutkan pada ayat: 124 s.d. 141, 243 s.d. 251 dan 258 s.d. 260.
Al-Quran Petunjuk bagi Orang Bertakwa

Ayat 1 5

Tafsir Tahlily ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

16

SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 26 RAJAB - 10 SYAKBAN 1433 H

waktu atau hal yang jauh, padahal Kitab yang ditunjuk adalah dekat. Redaksi seperti ini mengandung makna pengagungan dan ), pemuliaan terhadap al-Kitab ( sebab al-Kitab tersebut adalah kitab suci yang diterima dari Allah SwT. Alif lam mim. Kitab (Al-Qur`an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan salat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur`an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orangorang yang beruntung. Alif lam mim ( ) merupakan hurufhuruf abjad yang terletak pada permulaan surah, seperti terdapat pada permulaan surah Al-Baqarah. Sehubungan dengan itu, huruf-huruf tersebut dinamakan juga fawatihus-suwar (pembuka surah). Huruf-huruf sejenis itu merupakan ciri khas golongan surah makkiyyah (surahsurah yang diturunkan sebelum Nabi saw hijrah ke Madinah). Dalam Al-Quran terdapat beberapa bentuk fawatihus-suwar yang berbedabeda. Di antaranya terdiri dari satu huruf, dan ada yang terdiri dari dua huruf, tiga huruf, empat huruf serta lima huruf. AlMaraghi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa huruf-huruf tersebut mempunyai makna tanbih (peringatan), untuk membangkitkan perhatian orang sehingga mudah dipahami apa yang akan disampaikan kepadanya. (Al-Maraghi, Tafsir al-Marghi, (Beirut: Dr al-Fikr), jilid I, hlm. 39) Pada ayat tersebut digunakan isim isyarah (kata penunjuk) dzalika (itu) yang biasanya dipergunakan untuk benda, Kata al-Kitab ( ) yang tercantum pada ayat 2 merupakan kata benda bentuk mashdar, dengan arti almaktub (yang ditulis). Dimaksudkan dengan al-Kitab pada ayat tersebut, ialah al-Kitab yang dikenal oleh Nabi saw, yang dijanjikan Allah untuk memperkuat risalahnya dan memberikan petunjuk kepada orang yang mencari kebenaran serta memberikan bimbingan menuju kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dalam Al-Quran, kata tersebut dengan berbagai kata turunannya diulang sebanyak 261 kali. Makna al-Kitab ) dalam ayat tersebut adalah Al( Quran, yaitu kitab ilahi yang merupakan mukjizat terbesar bagi Rasulullah saw, sebagai pembenar atas risalah yang dibawanya, penyempurna kitab-kitab sebelumnya, serta petunjuk hidup bagi umat manusia untuk memperoleh kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Mengapa pada ayat tersebut disebutkan al-Kitab, padahal wahyu Allah belum diturunkan secara keseluruhan? Rasyid Ridha berpendapat bahwa yang demikian itu untuk memberikan isyarat bahwa Allah akan memenuhi janjinya untuk menyempurnakan al-Kitab . Sebenarnya tidaklah menjadi masalah menyebutkan al-Kitab, sekalipun belum sempurna turunnya, sebab ternyata sebelum diturunkannya permulaan surah al-Baqarah, telah diturunkan sejumlah besar dari ayat-ayat Al-Quran, dan Rasulullah saw telah menyuruh agar ditulis dan dihafalkan. (Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, Tafsir al-Manr ( Kairo: Dr al-Manr, 1947), jilid 1, hlm.

123) Pada ayat tersebut ditegaskan bahwa tidak ada keraguan tentang diturunkannya Al-Quran dari Allah dan tentang hidayahnya bagi seluruh manusia, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:

Turunnya Al-Quran yang tidak ada keraguan di dalamnya, (adalah) dari Tuhan semesta alam. (Qs. As-Sajdah [32]: 2). Sebagai bukti bahwa Al-Quran adalah wahyu dari Allah SwT, antara lain ialah, ketinggian dan keindahan bahasanya yang tidak dapat ditandingi oleh siapa pun hingga sekarang, dan ketika itu orang-orang musyrikin telah ditantang untuk membuat satu surah yang sebanding dengan Al-Quran, namun sama sekali tidak mampu membuatnya, sebagaimana diungkapkan dalam firman-Nya:

Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surah (saja) yang semisal Al-Quran itu dan ajaklah penolongpenolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (Qs. Al-Baqarah [2]: 23). Menurut pakar tafsir Rasyid Ridha, ketinggian dan keindahan bahasa AlQuran, maknanya, dan pengaruhnya terhadap jiwa orang yang beriman serta hidayahnya tidaklah mungkin diragukan. (Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, Tafsir al-Manr (Kairo: Dr al-Manr, 1947), jilid 1, hlm. 124). Bersambung

Tafsir Tahlily ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

SUARA MUHAMMADIYAH 12 / 97 | 16 - 30 JUNI 2012

17

SURAH AL-BAQARAH 1-5 (2)

yat 2 surah Al-Baqarah ditutup dengan kalimat: hudan lil mut-

) petunjuk bagi taqin ( orang-orang yang bertakwa). Kata al) adalah bentuk jamak muttaqin ( dari al-muttaqi (orang yang bertakwa), berasal dari al-ittiqa (batas antara dua benda). Orang yang bertakwa seakanakan membuat batas antara perintah Allah dan larangan-Nya, membuat batas antara dia dan siksa Ilahi. Dalam Al-Quran, kata tersebut dengan berbagai kata turunannya diulang sebanyak 258 kali, dengan arti yang bervariasi sesuai dengan susunannya. Jelaslah bahwa hidayah atau petunjuk yang dimaksudkan dalam ayat tersebut ialah bimbingan Allah kepada manusia ke jalan yang lurus dengan pertolongan yang sangat khusus dari Allah SwT. Adapun yang dimaksudkan dengan ), ialah orang-orang al-muttaqin ( yang menjaga diri dari sebab-sebab siksaan Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Menurut jumhur ulama, cara menjaga diri yang paling efektif ialah dengan mengerjakan semua perintah Allah dan meninggalkan semua larangan-Nya, dengan ikhlas hanya mencari keridlaan Allah SwT. Al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa cara menjaga diri dari siksaan duniawi harus dengan cara menguasai ilmu tentang sunnah Allah, yaitu aturanaturan Allah yang telah ditetapkan untuk mengatur alam ini, yang oleh para ahli disebut hukum alam. Misalnya, api itu mempunyai daya pembakar, matahari memancar sinar, dan sebagainya. Maka orang yang mengetahui bahwa api itu berbahaya, pasti ia akan berhati-hati terhadap

api, jika ia mengetahui bahwa dalam peperangan harus mempersiapkan kekuatan, maka ia harus mempersiapkan mesin-mesin perang, di samping harus memasang siasat dan strategi perang, sebagaimana diungkapkan dalam firman-Nya:

umat manusia, sebagaimana agama Islam dan diutusnya Nabi Muhammad pada hakikatnya dimaksudkan sebagai rahmat bagi alam semesta. Hal ini, dinyatakan dalam surah Al-Anbiya ayat 107:

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu... . (Al-Anfal [8]: 60) Adapun untuk menjaga siksaan di akhirat, kita harus beriman, bertakwa, bertawakkal, bertauhid, beramal saleh, serta membersihkan diri dari segala macam kemusyrikan dan kemaksiatan. (al-Maraghi, 1969, I: 41). Pada surah al-Baqarah ayat 2 dinyatakan bahwa Al-Quran merupakan kitab petunjuk bagi orang bertakwa. Selain sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa, Al-Quran juga menyatakan dirinya sebagai petunjuk bagi segenap manusia, sebagaimana tercantum dalam surah Al-Baqarah 185:

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. Dari ayat-ayat di atas tampak jelas bahwa pada hakekatnya Al-Quran merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia, di samping sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Semua manusia, baik yang bertakwa maupun yang tidak bertakwa, memiliki peluang dan potensi untuk meraih petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam Al-Quran. Dengan keimanan dan ketakwaan yang dimiliki oleh orang-orang bertakwa, tentunya mereka memiliki potensi yang lebih besar untuk meraih petunjuk dan pesan-pesan AlQuran, dibandingkan dengan orangorang yang tidak bertakwa. Menurut Sayyid Qutub dalam kitab tafsirnya Fi Zhill Al-Quran, kata hudan ( /petunjuk) digandengkan dengan /untuk orangkata lil muttaqin ( orang bertakwa) pada surah al-Baqarah ayat 2 mengisyaratkan bahwa orangorang yang betul-betul menginginkan petunjuk Al-Quran hendaknya menghiasi dirinya dengan sifat atau perilaku takwa. (Sayyid Qutub, Fi Zhill Al-Quran, jilid 1, hlm. 9). Ketika menafsirkan surah al-Baqarah ayat 2, Prof DR Hamka menyatakan dalam bukunya, Tafsir Al-Azhar, bahwa petunjuk Al-Quran sulit diraih oleh orang-orang yang belum memiliki hati

Bulan Ramadlan yang di dalamnya diturunkan Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil) Pada hakikatnya Al-Quran dimaksudkan sebagai petunjuk bagi seluruh

Tafsir Tahlily ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

16

SUARA MUHAMMADIYAH 13 / 97 | 11 - 25 SYAKBAN 1433 H

yang bersih. (Hamka, Tafsir Al Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987), jilid, 1, hlm. 115). Pada ayat berikutnya (ayat 3 dan 4), Allah berfirman:

Mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Pada ayat sebelumnya, Allah menegaskan bahwa tidak ada sedikit pun keraguan pada Al-Quran, baik mengenai turunnya dari Allah maupun tentang hidayahnya bagi orang yang bertakwa. Kemudian pada ayat 3 dan 4 ini, Allah menjelaskan sebagian tanda-tanda orang yang bertakwa kepada Allah SwT, sebagai berikut: 1. Beriman kepada yang gaib; ) yang terKata yumin-n ( cantum pada ayat ketiga merupakan bentuk mudari (kata kerja masa sekarang dan yang akan datang) dari kata al-Iman (iman, percaya). Iman yang diwajibkan Allah kepada hamba-Nya, yang dijanjikan dengan pahala surga dan selamat dari neraka, ialah meyakini kebenaran Rasulullah saw dengan keyakinan yang pasti tentang ajaran yang dibawa dari Allah dan mengetahui ajaran yang dibawanya dengan keyakinan serta ketundukan hati, seperti: iman kepada Allah SwT, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, Qada dan Qadar, ke-

wajiban shalat dan ibadah-ibadah Islamiyah lainnya, seperti: zakat, puasa, haji bagi yang mampu, keharaman membunuh manusia yang dilindungi secara zalim, zina dan perbuatan dosa lainnya. (Husein Afandi, al-Husun alHamidiyah, 1959, hlm. 7). Dengan demikian, beriman berarti meyakini adanya sesuatu atau dzat yang di luar jangkauan indra, apabila ada petunjuk dari dalil yang kuat atau akal yang sehat. Orang yang mempunyai keyakinan seperti itu, akan mudah baginya membenarkan adanya Pencipta alam semesta. Dan apabila Rasul menjelaskan adanya sesuatu yang hanya diketahui oleh Allah, seperti, Malaikat atau hari kiamat, maka tidaklah sulit baginya membenarkannya, karena telah meyakini kebenaran Nabi saw. Orang yang tidak meyakini adanya sesuatu atau dzat yang berada di luar jangkauan indera, sulitlah baginya meyakini adanya Pencipta alam semesta, dan amat kecil kemungkinannya menemukan jalan untuk mengajaknya kepada kebenaran. (Al-Maraghi, I: 41). Rasyid Ridha menjelaskan dalam buku tafsirnya bahwa orang yang tidak beriman kepada Allah, tidaklah mungkin memperoleh hidayah dari Al-Quran. Orang itu harus diberi penjelasan dengan argumentasi yang rasional mengenai adanya Pencipta alam semesta ini. Kemudian dimantapkan keyakinannya bahwa Al-Quran adalah wahyu dari Allah SwT. Oleh karena itulah pada ayat yang sedang dibahas ini Allah menegaskan, orang yang bertakwa adalah orang yang beriman kepada yang gaib. (Rasyid Ridha, I: 127). 2. Mendirikan shalat; Dalam bahasa Arab, as-salah ), berarti ad-dua (doa), seperti ( disebutkan dalam firman-Nya: fa shalli /berdoalah untuk alaihim ( mereka). (At-Taubah [9]: 103). Berdoa

kepada Allah, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan atau dengan keduanya, memberikan pengertian bahwa orang yang berdoa mempunyai keperluan kepada-Nya sebagai rasa syukur terhadap kenikmatan yang telah dikaruniakan kepadanya atau sebagai permohonan agar terhindar dari bencana. Shalat yang dilakukan menurut cara yang telah disyariatkan oleh Islam, merupakan cara yang paling baik untuk mengungkapkan rasa keagungan Allah dan kebutuhan yang amat besar kepadaNya, jika dilakukan sesuai dengan cara yang telah ditetapkan, yaitu dilakukan dengan khusyu (merendah) dan khudu (merunduk), Jika dilakukan tanpa khusyu dan tanpa khudu, maka shalat tersebut kosong dari ruh, sekalipun bentuk dan caranya telah memenuhi rukun dan syaratnya. Pada ayat di atas dipergunakan istilah menyuqimunassalah ( dirikan shalat), mengandung pengertian bahwa shalat harus dilakukan dengan sempurna, tanpa kekurangan apa pun, seperti mendirikan batang kayu dengan tegak lurus, tidak condong sedikit pun. (AlMaraghi, Tafsir al-Marghi, (Beirut: Dr al-Fikr), jilid I, hlm 42). Maka ketika mendirikan shalat harus menghadirkan hati dalam semua bagianbagiannya, ketika berdiri, ketika ruku, ketika sujud, ketika duduk, dan disertai rasa takut kepada azab-Nya serta berusaha mendekatkan diri kepada-Nya, Allah, Pencipta alam semesta, seakan-akan melihat-Nya, sekalipun tidak dapat melihat-Nya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah Hadits:

Hendaklah menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, sekalipun kamu tidak dapat melihat-Nya, tetapi Allah melihatmu. (HR. al-Bukhariy riwayat dari Abu Hurairah, I: 11).

Tafsir Tahlily ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

SUARA MUHAMMADIYAH 13 / 97 | 1 - 15 JULI 2012

17

Maka mendirikan shalat harus memenuhi dua unsur: unsur ruh shalat yaitu khusyu dan khudu, dengan menghadirkan hati dalam semua geraknya, dan unsur tubuh shalat, yaitu: berdiri, ruku, sujud dan duduk dengan sempurna. Di samping itu, Allah juga memerintahkan agar shalat dilakukan secara terus menerus, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:

buatan keji dan munkar, sebagaimana diungkapkan dalam firman-Nya:

Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya. (Al-Maarij [70]: 23). Juga memerintahkan agar shalat dilakukan tepat waktu:

Sesungguhnya shalat itu mencegah (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar ... (Al-Ankabut [29]: 45) Apabila akhir-akhir ini kita menyaksikan sebagian besar koruptor, pencuri, penipu, perampok, pencopet dan pelaku kejahatan lainnya adalah orang-orang yang rajin mengerjakan shalat, maka kemungkinan besar mereka tidak melakukannya sesuai dengan petunjuk Allah SwT. Karena itulah Allah juga mengancam orang-orang yang shalat dengan ancaman yang sangat menakutkan, seperti ditegaskan dalam firman-Nya:

Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (AnNisa [4]: 103) Allah bahkan memerintahkan agar shalat selalu dilakukan secara berjamaah, sebagaimana ditegaskan dalam firmanNya:

keridlaan Allah semata dan karena bersyukur kepada Allah, bukan karena riya (pamer) atau mencari popularitas. (Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, Tafsir al-Manr ( Kairo: Dr al-Manr, 1947), jilid 1, hlm. 130). Mengeluarkan infaq atau zakat memang belum mendapat perhatian dari kaum Muslimin, padahal apabila infaq atau sadaqah dikelola dengan baik, insya Allah dapat mengurangi jumlah kemiskinan, sebab jumlah orang Muslim yang tergolong mampu di Indonesia tidak sedikit. Namun mereka masih merasa berat mengeluarkan infaq, padahal sebagian harta mereka adalah milik orang-orang miskin. Sebagian besar kaum Muslimin, sangat ringan mengerjakan shalat, puasa, bahkan menunaikan ibadah haji, yang biayanya sangat besar. Tetapi apabila diajak untuk menginfaqkan sebagian rizkinya di jalan Allah, misalnya untuk membantu anak yatim, orang miskin, atau kemaslahatan umum lainnya, mereka merasa sangat berat. Bersambung

Maka kecelakaanlah bagi orangorang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (Al-Maun [107]: 4-7] 3. Memberikan Infak Para mufassir berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan infak pada ayat 3 Al-Baqarah, adalah infak dalam arti umum, mencakup infaq wajib dan infaq tatawwu (sunnah). Huruf min ( ) yang terdapat pada kalimat min ma razaq-

AGEN SUARA MUHAMMADIYAH DI SUBANG


YUS EDIYANA HELMI Jl. Kaum Pabuaran No. 2 RT.06/RW.02 Desa Pabuaran Kec. Pabuaran Kab. Subang Jawa Barat 41262 Hp. 0817228589

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang-orang yang ruku. (Al-Baqarah [2]: 43) Dalam suatu Hadits Rasulullah saw bersabda:

(Pahala) shalat berjamaah melebihi shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat. (HR al-Bukhariy riwayat dari Abdullah bin Imran, I: 78) Shalat yang sempurna itulah yang mampu menjaga seseorang dari per-

), mengandung maknahum ( na badhiyah (sebagian), maka nafkah yang diperintahkan untuk dikeluarkan hanyalah sebagian harta yang dimiliki, tidak semuanya. Yang demikian itu dimaksudkan agar pemberian nafkah itu dilakukan dengan ikhlas, hanya mencari

Tafsir Tahlily ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

18

SUARA MUHAMMADIYAH 13 / 97 | 11 - 25 SYAKBAN 1433 H

SURAH AL-BAQARAH 1-5 (3)


Tanda-tanda orang yang bertakwa kepada Allah SwT yang ke-4 adalah Beriman kepada Kitab-kitab Allah ini terdiri dari: a. Beriman kepada al-Kitab (Al-Quran) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, Kitab Suci yang terakhir. Pada ayat tersebut digunakan / diturunkan), karena kata unzila wahyu (al-Kitab) itu diturunkan dari yang Maha Tinggi, Allah SwT, Pencipta alam semesta. (Rasyid Ridha, I: 132). Menurut al-Maraghi, yang dimaksudkan dengan bima unzila ilaika ) ialah Al-Quran dan ( penjelasan-penjelasan dari Nabi saw, seperti jumlah rakaat dalam shalat dan hukuman kejahatan, sebab penjelasan dari Nabi saw adalah wahyu, sekalipun tidak termasuk Al-Quran. (Al-Maraghi, I: 43). Pendapat ini berdasarkan firman Allah SwT: memikirkan. (An-Nahl [16]: 44) b. Beriman kepada Kitab-kitab yang diturunkan sebelum Nabi saw. Beriman kepada Al-Quran harus secara rinci, meliputi semua bagian-bagiannya. Sedang beriman kepada Kitab sebelumnya, seperti Taurat, Injil dan sebagainya cukup secara garis besar. (Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, Tafsir al-Manr (Kairo: Dr al-Manr, 1947), jilid 1, hlm. 131). Ada perbedaan konsekuensi keimanan antara iman kepada AI-Quran dan iman kepada Kitab Suci sebelumnya. Iman kepada Al-Quran membawa konsekuensi yang lebih luas, seperti kewajiban mempelajarinya, mengamalkannya dan mendakwahkannya Sedangkan terhadap Kitab Suci sebelum Al-Quran, seorang Muslim hanya mempunyai kewajiban mengimani keberadaan dan kebenarannya, tanpa kewajiban mempelajari, mengamalkan dan mendakwahkan kandungannya, karena Kitab-kitab Suci tersebut berlaku untuk umat dan masa tertentu yang telah berakhir dengan kedatangan Kitab Suci yang terakhir, yaitu Al-Quran. 5. Yakin akan adanya Hari Akhir Yakin ialah pembenaran dengan pasti yang tidak bercampur dengan keraguan sedikit pun. Dengan demikian, meyakini adanya kehidupan di Hari Akhir berarti membenarkan dengan pasti adanya surga, neraka, balasan dan sebagainya yang terjadi di Hari Akhir kelak. Jika seseorang masih melakukan atau melanggar larangan-larangan Allah, seperti minum khamr, berzina, mencuri, korupsi, menipu dan melakukan kejahatan-kejahatan lainnya, maka imannya dan keyakinannya akan adanya Hari Akhir hanyalah khayalan belaka, sebab tidak ada pengaruhnya sama sekali terhadap jiwa dan perilakunya. Al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa iman dapat dicapai dengan salah satu dari dua jalan: a. Dengan penalaran dan pemikiran terhadap hal-hal yang memerlukan pemikiran, seperti wujud Allah, dan risalah Rasul. b. Melalui berita dari Rasul saw, atau berita dari para sahabat yang langsung mendengar dari Rasul secara mutawatir, yang tidak terdapat keraguannya sama sekali. (Al-Maraghi, Tafsir alMarghi, (Beirut: Dr al-Fikr), jilid I, hlm. 44). Pada ayat 5 Al-Baqarah, ditegaskan bahwa orang-orang yang beriman kepada yang gaib, mendirikan shalat, menginfaqkan sebagian hartanya, beriman kepada Al-Quran dan kepada Kitab-kitab sebelumnya serta beriman akan adanya Hari Akhir, adalah orang-orang yang memperoleh hidayah dan keberuntungan, yaitu selamat dari siksaan di akhirat dan masuk surga yang dipersiapkan bagi orangorang yang beriman. Surah Al-Baqarah ayat 2 hingga 5, yang menjelaskan sifat orang-orang yang bertakwa, dapat diklasifikasi menjadi dua aspek, yakni aspek teologis dan aspek sosiologis. Aspek yang pertama mengacu pada, antara lain, iman kepada hal yang ghaib, kitab-kitab sebelumnya, dan iman pada hari akhir. Sementara aspek sosiologis mengacu pada, antara lain, shalat dan infaq. Aspek pertama berorientasi pada iman dan aspek kedua berorientasi pada amal shalih. Iman dan amal shalih merupakan ajaran penting dalam Al-

Dan ia tidak berkata menurut keinginan hawa nafsunya. (Perkataannya) tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (An-Najm [53]: 34) Dan berdasarkan firman-Nya pada ayat yang lain:

Dan kami turunkan kepadamu AlQuran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka

Tafsir Tahlily ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

SUARA MUHAMMADIYAH 14 / 97 | 16 - 31 JULI 2012

17

Quran. Iman, dalam kehidupan seharihari diartikan sebagai nilai, sementara amal shalih diartikan sebagai perilaku dan perbuatan. Ajaran Islam sendiri berorientasi pada keseimbangan keduanya, artinya nilai harus selalu diikuti dengan perilaku, dan begitu sebaliknya perbuatan dan perilaku harus didasarkan pada nilai. Dalam kehidupan sehari-hari, nilai menjadi bagian tak terpisahkan. Kita dapat mengetahui sesuatu itu baik atau buruk, layak atau tidak layak, benar atau salah, maslahat atau tidak, memberdayakan atau tidak, dari ukuran-ukuran nilai AlQuran. Standar ini akan menjadi penentu bagi seluruh perilaku dan perbuatan sehari-hari. Artinya, nilai itu harus tercermin dalam perilaku sehari-hari. Misalnya nilai sosiologis infaq adalah kepedulian dan pemberdayaan, maka umat Islam harus mempunyai etos memberdayakan dan memperdulikan sesama manusia, terlebih orang-orang yang lemah. Untuk itu, generasi yang kuat (An-Nisa: 9) harus disertai dengan etos pemberdayaan. Sehubungan dengan itu, agar aspek sosiologis infak dapat terwujud dalam konteks keseharian, umat Islam harus menyediakan sebuah lembaga pemberdayaan yang memperhatikan nasib orang-orang yang lemah. Hal ini terkait dengan unsurunsur ajaran zakat (At-Taubah: 60) yang seluruhnya diorientasikan pada pemberdayaan orang-orang lemah. Dengan demikian, orang beriman yang disebutkan di atas adalah orang yang memiliki etos memberdayakan dan sarat dengan kepedulian terhadap sesama manusia. Upaya pemberdayaan itu merupakan cerminan dari keyakinan kita akan eksistensi Allah yang disertai dengan keyakinan akan adanya hari akhir, tempat kita menuai amal perbuatan kita di dunia. Sikap ini layak dimiliki oleh orang beriman. Surah Al-Baqarah ayat 1-5 di atas memberi penegasan kepada kita bahwa Al-Quran adalah petunjuk bagi orangorang yang bertakwa. Oleh sebab itu, da-

lam kehidupan sehari-hari orang bertakwa selalu menerapkan petunjuk-petunjuk Al-Quran pada setiap aktivitasnya. Beberapa hal berikut dapat dijadikan parameter sederhana untuk mengetahui apakah seseorang mampu menghadirkan petunjuk Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari: 1. Senantiasa merasakan kehadiran Allah dalam setiap aktivitas kehidupan, sehingga tidak mungkin melakukan perbuatan-perbuatan buruk lagi merugikan dan selalu terdorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik lagi manfaat. Kehadiran Allah menjadi motivasi utama dalam segenap aktivitasnya. Ketika mempunyai niat buruk, bukan resiko atau hukuman dunia yang dipikirkan, melainkan keyakinan bahwa Allah pasti melihatlah yang membuat seseorang urung melakukannya. Sebaliknya, ketika mempunyai niat baik, bukan imbalan jasa atau pujian yang dipikirkan, melainkan keyakinan bahwa Allah pasti mengetahuilah yang membuat seseorang termotivasi untuk melakukannya. 2. Shalat yang ditegakkan secara maksimal akan memberi pengaruh positif dalam produktivitas seorang Muslim. Keteraturan waktu-waktu shalat yang telah ditentukan menjadi cermin untuk mendisiplinkan diri dalam beraktivitas. Ketekunan menjalankan shalat berjamaah menjadi acuan untuk menjalin kerjasama dan kebersamaan dengan sesama. Kesempurnaan shalat menjadi rujukan untuk senantiasa menyelesaikan segala aktivitas dengan keseriusan dan berujung kemanfaatan. 3. Infaq dalam beragam bentuknya, seperti sedekah, zakat, hibah, wakaf dan lain-lain, sudah seharusnya dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat. Ketaatan seorang Muslim mengeluarkan hartanya untuk kepentingan agama tidak bisa menjamin dapat memberi manfaat bagi masya-

rakat luas, jika tidak dikelola secara maksimal. Oleh sebab itu, sangat diperlukan adanya lembaga yang mampu mengelola harta infaq ini agar dapat memberi kemanfaatan yang lebih luas. Infaq yang diberikan secara personal hampir pasti akan habis untuk kebutuhan konsumtif orang yang menerimanya. Namun, jika infaq itu dikelola dengan baik, di samping dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka yang membutuhkan, dapat pula dikembangkan untuk memberi bantuan modal usaha, beasiswa, jaminan kesehatan dan kepentingan-kepentingan lain yang lebih luas. 4. Lima karakter takwa dalam ayat-ayat tersebut pada dasarnya menegaskan adanya pandangan hidup seorang muslim dan jalan hidup (way of life) yang ditempuh seorang muslim menuju keberhasilan, kesuksesan, mendapatkan keberuntungan dan hidayah dari Allah. Pandangan hidup tercermin dalam kesadaran dan keyakinan bahwa Allah satu-satunya Ilah yang haq (benar), wahyu Allah yang terkodifikasi dalam kitab Al-Quran sebagai satu-satunya sumber ajaran yang haq, dan Islam sebagai satu-satunya din (agama) yang haq. Pandangan hidup diekspresikan dalam wujud pandangan hidup yang mencerminkan keshalihan individual sebagai ekspresi dari penegakan shalat dan keshalihan sosial sebagai ekspresi penunaian infak. Sikap Orang-orang Kafir Ayat 6-7

Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri pe-

Tafsir Tahlily ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

18

SUARA MUHAMMADIYAH 14 / 97 | 26 SYAKBAN - 12 RAMADLAN 1433 H

KOLOM
ringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat. Hubungan ayat 6 dan 7 surah al-Baqarah di atas dengan ayat-ayat sebelumnya dan sesudahnya dapat dilihat dari kandungan ayat 6 dan 7 yang menerangkan sikap orang-orang kafir, sedangkan ayat-ayat sebelumnya (15) menjelaskan bahwa Al-Quran merupakan petunjuk bagi orang bertakwa, dan kelompok ayat sesudahnya (820) menerangkan sikap orang-orang munafik. Dengan demikian, dari ayat 1 sampai dengan ayat 20 AlQuran menerangkan tiga kelompok orang: orang-orang bertakwa, orangorang kafir, dan orang-orang munafik. Kata kafaru ( ), yang berasal dari kata kafara ( ), adalah kata kerja yang menurut bahasa berarti menutup. Kemudian ia menjadi istilah untuk menyebut orang-orang yang menutup atau mengingkari kebenaran. Istilah lain yang maknanya sama atau mirip dengannya antara ) lain jahada ( ) dan ankara ( yang artinya menutup bisa Kata dibentuk menjadi kata kufr ( /kufur). (Kata kufur sudah masuk ke dalam bahasa Indonesia. Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, tercantum bahwa arti kufur adalah: (1) tidak percaya kpd Allah dan Rasul-Nya; kafir; (2) ingkar; tidak pandai bersyukur. Lihat Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hlm. 537)., kafir ( /orang kafir), kaffara ( /menutupkan). Secara literal, kata ) itu bermakna netral, bisa berkufr ( makna baik dan bisa bermakna buruk. Kufr untuk arti baik misalnya kata kaffir ) dalam firman Allah: ann ( Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Kuhapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. (Ali Imran [3]: 195). ) Di sini kata laukaffiranna ( yang artinya sungguh Aku akan menutupi diterjemahkan menjadi pastilah Aku akan menghapuskan. Dalam ungkapan lain kita memahami bahwa kebaikan itu mengusir keburukan sebagaimana disebutkan

Ya Tuhan kami ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti (Ali Imran [3]: 193). Di sini kata kaffir ( ) yang arti asalnya tutupkanlah diartikan dengan hapuskanlah karena menutupkan kesalahan diharapkan agar yang bersangkutan tidak menerima balasan atas kesalahannya, seolah-olah menutupkan itu sama dengan menghapuskan. Ungkapan ini dikuatkan dengan kalimat yang berbunyi

(sesungguhnya kebaikan itu membawa pergi kejahatan) sehingga jahat yang pernah dilakukan itu tidak melekat pada diri pelakunya, kedudukannya digantikan oleh kebaikan. Menutupkan dosa itu dapat mengambil bentuk menggantikannya dengan kebaikan sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:

Maka mereka adalah orang-orang yang Allah menggantikan keburukan mereka dengan kebaikan-kebaikan. (Al-Furqan [25]: 70). Bersambung

KELUARGA BESAR SUARA MUHAMMADIYAH MENGUCAPKAN TURUT BERDUKA CITA ATAS MENINGGALNYA

Bapak Imam Zuhdi (Usia 61 tahun)


PADA HARI AHAD, 6 MEI 2012 (Agen Majalah Suara Muhammadiyah di Candi Lontar 2 Blok 41i/19 Surabaya) Beliau wafat dalam musibah kecelakaan Bus Pariwisata di Pasuruan, Jawa Timur Semoga khusnul khotimah, diampuni segala dosa-dosanya diterima amal ibadahnya serta diberikan tempat yang layak disisiNya. Keluarga yang ditinggalkan selalu diberikan keikhalasan dan kesabaran. Amin.
SUARA MUHAMMADIYAH 14 / 97 | 16 - 31 JULI 2012

19

Anda mungkin juga menyukai