DEFINISI JINAYAT
Pada dasarnya, pengertian dari istilah jinayah mengacu pada hasil perbuatan
seseorang. Biasanya, pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang.
Dikalangan fuqoha’, kata jinayah berarti perbuatan perbuatan yang dilarang
menurut syara’. Meskipun demikian,pada umumnya, fuqoha’ menggunakan istilah
tersebut hanya untuk perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa,
seperti pemukulan, pembunuhan, dan sebagainya. Selain itu, terdapat foqoha’yang
membatasi istilah jinyah pada perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman
hudud dan qishash, tidak termasuk perbuatan-perbuatan yang diancam dengan
hukuman ta’zir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayah adalah jarimah,
yaitu larangan-laragan syara’ yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir.
ََئ دمنسششللمم;ٍ يَنشششهَدد أَنن َ َقاََل َردسوُدل َ ا:َعنن النبلن َمنسدعوُمد رضي ا عنه َقاََل
ال صلى ا عليه وسلم ) َل يَلحلِل َددم النمششلر م
ك للشلدينلله;ٍ اَنلدمفَششاَلر د
ق س بلششاَلنانف ل
َوالتاششاَلر د,س َ َالثاييشش د:ث
َوالنانفش د,ب َالازالنشي َوأَنيششي َردسششوُدل َ ا ل,ادشش
إلال بلإ لنحششَدىَ ثََل م,اش َل إللَهَ إلال َ ا
للنلَجَماََعلة ( دمتافَ ق
ق َعلَنيه
Dari berbagai batasan mengenai istilah jinayah diatas, maka pengertian jinayah
dapat dibagi kedalam dua jenis pengertian, yaitu َ: pengertian luas dan sempit.
Klasifikasi ini terlihat dari sanksi yang dapat dikenakan terhadap jinayah.
َ ) َل يَلحلِل قَنتدل دمنسللمم إلال فلششي إلنحششَدىَ ثََل ل:ال صلى ا عليه وسلم َقاََل
ث َعنن َردسوُلل َ ا,َاد َعننَهاضَي َ ا
َوَعنن َعاَئلَشةَ َر ل
ب َا
,اَ َوَردسوُلَده َوَردجقل يَنخدردج لمنن اَ ن للنسَللم فَيدَحاَلر د, َوَردجقل يَنقتددل دمنسللدماَ دمتََعيمددا فَيدنقتَدل,صقن فَيدنرَجدمَ َ َزامن دمنح:صاَمل
َ لخ
صاحَحهد اَنلَحاَلكدم
َ َو, َوالناَساَئللِي, ( َرَواهد أَدبوُ َدادوَد. ض
أَنو يدننَفى لمنن اَنلَنر ل,ب أَنو يد ن,فَيدنقتَدل
صل َ د
B. PEMBAGIAN JINAYAT
Dari penjelasan tersebut dapat ditarik unsur atau rukun jinayah, unsur atau rukun
jinayah tersebut adalahَ:
3. Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima khithab atau dapat
memahami taklif. Unsur ini dikenal dengan unsur material (al-ruknu al-adabi).
Jinayat/Jarimah itu dapat dibagi menjadi beberapa macam dan jenis sesuai dengan
aspek yang ditonjolakan, pada umumnya, para ulama membagi jarimah
berdasarkan aspek berat dan ringannya hukuman serta ditegaskan atau tidaknya
oleh al-quran dal al-hadits, atas dasar ini mereka membagi menjadi tiga macam,
yaitu َ: Jarimah hudud, Jarimah qishas/diyat, dan ta’zir.
1. Jinayat/Jarimah Hudud
Jinayat hudud yaitu hukum dengan aturan tertentu terhadap tindak kejahatan atau
maksiat, untuk mencegah tindak serupa pada yang kedua kalinya.
Zina adalah memasukkan zakar kedalam faraj yang haram secara naluri
mamuaskan nafsu.
b. Qodzaf
c. Minum khomr
Khomr adalah minuman yang mengandung alcohol dan atau yang dapat
memabukkan
d. Mencuri
Mencuri adalah mengambil harta orang lain dengan jalan diam-diam, diambil dari
tempat penyimpanannya.
e. Merampok
f. Pemberontakan
g. Murtad
Murtad adalah keluar dari agama islam atau pindah ke agama lain atau menjadi
tidak beragama.
2. Jinayat/jarimah Qishas
a. Pembunuhan sengaja.
Yaitu dilakukan oleh yang membunuh guna membunuh orang yang dibunuhnya
dengan perkakas yang biasa dapat digunakan untuk membunuh orang.
“Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu bahwa ada seorang gadis ditemukan
kepalanya sudah retak di antara dua batu besar, lalu mereka bertanya kepadanyaَ:
Siapakah yang berbuat ini padamu? Si Fulan? atau Si Fulan? Hingga mereka
menyebut nama seorang Yahudi, gadis itu menganggukkan kepalanya. Lalu
ditangkaplah orang Yahudi tersebut dan ia mengaku. Maka Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam memerintahkan untuk meretakkan kepalanya di antara dua batu
besar itu. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Muslim.”
Yaitu pembunuhan yang tidak direncanakan, yang terjadi karna unsur kekeliruan
dan ketidak sengajaan.
ََ َالشش صششلى اشش عليششه وسششلم ) َمششنن قدتلششَل فلششي لعيمياششاَ أَنو لريمياششا
َ َقاََل َردسوُدل َ ا:اد َعننهدَماَ َقاََل
ضَي َ ا َوَعنن النبلن َعاباَ م
س َر ل
ال ( أَنخَرَجششهد
َوَمنن َحاََل ددونَهد فََعلَنيله لَنعنَةد َ ا, َولمنن قدتلَل َعنمددا فَهدَوُ قََوُقد, فََعلَنيله َعنقدل اَنلَخطَلإ,َصا
أَنو َع د, أَنو َسنوُمط,بلَحَجمر
بلإ لنسَناَمد قَلوُ ي, َوانبدن َماََجنه, َوالناَساَئللِي,أَدبوُ َدادوَد
ي
“Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabdaَ: "Barangsiapa terbunuh dengan tidak diketahui pembunuhnya,
atau terkena lemparan batu, atau kena cambuk, atau kena tongkat, maka dendanya
ialah denda bunuh karena kekeliruan. Barangsiapa dibunuh dengan sengaja, maka
dendanya hukum mati. Barangsiapa menghindar dari berlakunya hukuman itu,
maka laknat Allah padanya." Riwayat Abu Dawud, Nasa'i dan Ibnu Majah dengan
sanad kuat. “
a. Jarimah hudud atau qishah/diyat yang syubhat atau tidak memenuhi syarat,
namun sudah merupakan maksiat, misalnya percobaan pencurian, percobaan
pembunuhan, pencurian dikalangan keluarga, dan pencurian aliran listrik.
ISLAM
Pada awal sejarah Islam, undang-undang hukum pidana langsung merujuk kepada
petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah. Di samping itu, Nabi Muhammad Saw. juga
bertindak sebagai hakim yang memutuskan perkara yang timbul dalam masyarakat.
Dalam perkara pidana, Nabi Saw. memutuskan bentuk hukuman terhadap pelaku
perbuatan pidana sesuai dengan wahyu Allah. Setelah Nabi Saw. wafat, tugas
kepemimpinan masyarakat dan keagamaan dilanjutkan oleh “al-Kulafa’ar-
Rasyidun” sebagai pemimpin umat Islam, yang memegang kekuasaan sentral.
Masalah pidana tetap dipegang oleh khalifah sendiri.
Dalam memutuskan suatu perkara pidana, khalifah langsung merujuk kepada al-
Qur’an dan sunah Nabi Saw. Apabila terdapat perkara yang tidak dijelaskan oleh
kedua sumber tersebut, khalifah mengadakan konsultasi dengan sahabat lain.
Keputusan ini pun diambil berdasarkan ijtihad. Pada masa ini belum ada kitab
undang-undang hukum pidana yang tertulis selain al-Qur’an .
Pada era Bani Umayyah (661-750) peradilan dipegang oleh khalifah. Untuk
menjalankan tugasnya, khalifah dibantu oleh ulama mujtahid. Berdasarkan
pertimbangan ulama, khalifah menentukan putusan peradilan yang terjadi dalam
masyarakat. Khalifah yang pertama kali menyediakan waktunya untuk hal ini
adalah Abdul Malik bin Marwan (26 H - 86 H/647 M -705 M). Kemudian
dilanjutkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz (63 H – 102 H/682 M - 720 M).
Pada masa ini, belum ada kitab undang-undang hukum pidana yang bersifat
khusus. Pedoman yang dipakai adalah al-Qur’an, sunah Nabi Saw., dan ijtihad
ulama. Pengaruh pemikiran asing juga belum memasuki pemikiran pidana Islam
Perubahan terjadi pada abad ke-19 ketika pemikiran Barat modern mulai
memasuki dunia Islam. Negara yang pertama kali memasukkan unsur-unsur Barat
dalam undang-undang hukum pidananya adalah Kerajaan Turki Usmani. Undang-
undang hukum pidana yang mula-mula dikodifikasi adalah pada masa
pemerintahan Sultan Mahmud II (1785-1839) pada tahun 1839 di bawah semangat
Piagam Gulhane. Dalam undang-undang ini ditentukan bahwa setiap perkara yang
besar, putusannya harus mendapat persetujuan Sultan. Undang-undang ini
kemudian diperbarui pada tahun 1851 dan disempurnakan pada tahun 1858.
Undang-undang hukum pidana ini disusun berdasarkan pengaruh hukum pidana
Perancis dan Italia. Undang-undang hukum pidana ini tidak memuat ketentuan
hukum pidana Islam, seperti kisas terhadap pembunuhan, potong tangan terhadap
pencurian, dan hukuman rajam atas tindak pidana zina. Perumusan undang-undang
hukum pidana diikuti oleh Libanon. Diawali dengan pembentukan sebuah komisi
yang bertugas membuat rancangan undang-undang hukum pidana pada tahun
1944. Dalam penyusunannya, Libanon banyak mengadopsi undang-undang hukum
pidana Barat seperti Perancis, Jerman dan Swiss.
Allah menciptakan hukum untuk mengatur hak dan kewajiban manusia guna
menghendaki terjadinya kedamaian dengan sesama makhluk, Hukum Pidana Islam
adalah hukum yang mengatur tindak pidana, akan tetapi hukum pidana Islam
dipandang sebagai hukum yang tidak berkembang dan telah mati karena
menyajikan qisash dan hudud yang dianggap sebagai hukuman sadis dan tidak
manusiawi.Padahal semua umat Islam meyakini bahwa hukum Islam adalah
hukum yang universal,rahmatan lil alamin.
Di sisi lain tidak semua negara Islam memberlakukan hukum itu. Para ulama harus
terbuka matanya. Meskipun hukum Jinayat dalam fiqh, kenyataanya, tidak semua
negara Islam atau negara yang basis konstitusinya syariah, seperti Mesir, Yordania,
Syiria, Tunisia, Maroko, tidak mengadopsi hukum rajam, tidak ada hukum
cambuk, karena mereka mengadopsi syariah bukan dalam bentuk hukumnya tapi
dalam bentuk esensinya, nilai-nilai universal yang lebih mengutamakan keadilan,
bukan dalam bentuk formal hukumnya. Jadi, kalau Indonesia mengadopsi hukum
rajam, itu aneh karena Indonesia bukan negara Islam. Yang agama Islam saja tidak
mengadposinya.
“Dari Imran Ibnu Hushoin Radliyallaahu 'anhu bahwa ada seorang budak kecil
milik sebuah keluarga fakir memotong telinga seorang budak kecil milik keluarga
kaya. Lalu mereka menghadap Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, namun beliau
tidak memberikan tindakan apa-apa pada mereka. Riwayat Ahmad dan Imam Tiga
dengan sanad shahih.”