Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


(SIYASAH SYAR’IYYAH)
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN
LAMPUNG
2020

FIQIH JINAYAT

Disusun Oleh:
Khana Azizah
NPM
Pebrizio Sandi
NPM. 2021020143
Rachmad Al Faridz
NPM. 2021020149
Dosen Pengempu:
Erik Rahman Gumiri,M.H

DIBUAT SEBAGAI BAHAN SEMINAR KELAS DAN SALAH SATU TUGAS


DALAM MAKALAH FIQH
BAB 1
PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG
B.RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang akan penulis bahas,yaitu:
1
2
3
4
BAB II
FIQIH JINAYAT: HUDUD,QISHASH,TA’ZIR
1. Pengertian Hudud
Jarimah ḥudūd adalah suatu jarimah yang bentuknya telah ditentukan syara sehingga
terbatas jumlahnya. Selain ditentukan bentuknya (jumlahnya), juga ditentukan hukumannya
secara jelas, baik melalui Alqur’an maupun hadis. Lebih dari itu, jarimah ini termasuk dalam
jarimah yang menjadi hak Tuhan. Jarimah-jarimah yang menjadi hak Tuhan, pada prinsipnya
adalah jarimah yang menyangkut masyarakat banyak, yaitu untuk memelihara kepentingan,
ketentramana, dan keamanan masyarakat.1 Hukuman jarimah ini sangat jelas diperuntukkan
bagi setiap jarimah. Karena hanya ada satu macam hukuman untuk setiap jarimah, tidak ada
pilihan hukuman bagi jarimah ini dan tentu saja tidak mempunyai batas tertinggi maupun
terendah seperti layaknya hukuman yang lain. Dalam pelaksanaan hukuman terhadap pelaku
yang telah nyata-nyata berbuat jarimah yang masuk ke dalam kelompok ḥudūd tentu dengan
segala macam pembuktian, hakim tinggal melaksanakannya apa yang telah ditentukan syara’.
Jadi, fungsi hakim terbatas pada penjatuhan hukuman yang telah ditentukan, tidak berijtihad
dalam memilih hukuman.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jarimah ḥudūd adalah jarimah yang
diancam dengan hukuman had. Pengertian hukuman had adalah hukuman yang telah
ditentukan oleh syara’ dan menjadi hak Allah artinya bahwa hukuman tersebut tidak bisa
dihapuskan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban atau keluarganya). Hukumannya
tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukumannya telah ditentukan oleh syara’ dan tidak
ada batas minimal dan maksimal.2

1. Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. (Jakarta. Sinar Grafika.2004), 158

2. Abdullah, Musthafa, Intisari Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), 64.

2. Dasar hukum ḥudūd

Adapun dasar hukum ḥudūd antar lain yaitu berupa perbuatan zina dera atau cambuk
seratus kali.Begitu bahayanya tindak kejahatan zina ini, sampai-sampai Alqur’an
memperhatikannya secara khusus, sebab perbuatan ini sangat populer dikalangan jahiliyah,
sebagaimana halnya minum khamr, sehingga pelarangannya pun dilakukan secara bertahap.
Menurut kebanyakan ulama fiqh, penetapan hukuman zina itu secara bertahap,3 Sedangkan
dasar penetapan hukum rajam adalah hadis Nabi yang berbunyi:

‫ََُّن َسبِیالالً ْالبِ ْك ُر بِ ْالبِ ْك ِر َج ْل ُد ِمائَ ٍة‬TU ‫ِّي قَ ْد َج َع َل االلهاللهاللهاهللُ لَھ‬TUِّ‫ِّي ُخ ُذوا َعِن‬TUِّ‫ُخ ُذوا َعِن‬
َّ َّ
‫ََّرجْ ُم‬TU ‫ب َج ْل ُد ِمائَ ٍة َوال‬
ِ ِّTUِّ‫ِی‬TU‫ب الَث‬
ِ ُ‫ِّب‬TUِّ‫ِی‬TU‫َونَ ْف ُي َسنَ ٍة َوالَث‬

Artinya: “Terimalah dariku! Terimalah dariku! Sungguh Allah telah memberi jalan kepada
mereka. Bujangan yang berzina dengan gadis dijilid seratus kali dan diasingkan selama satu
tahun. Dan orang yang telah kawin yang berzina didera seratus kali dan dirajam”4

Dari definisi tersebut dapat kita kemukakan bahwa hukuman merupakan balasan yang
setimpal atas perbuatan pelaku kejahatan yang

Dalam Hukum Islam, sejak abad ketujuh masehi, perbuatan perbuatan tersebut sudah
dilarang secara tegas, karena teramat jelas pula kemadaratannya. 5 Kenyataan-kenyataan ini
sebenarnya jelas memperkuat Pandangan syari’at Islam, bahwa zina bukan hanya urusan
pribadi yang menyinggung hubungan individu semata-mata, melainkan pula mempunyai
dampak negatif bagi masyarakat. Oleh karena itu, sungguh tepatlah apabila syariat Islam
melarang semua bentuk perbuatan zina, baik yang dilakukan oleh gadis dengan jejaka secara
sukarela, maupun oleh orang-orang yang sudah bersuami atau beristeri.6

Selain itu tentang ḥudūd perbuatan pencurian dilarang dengan tegas oleh Allah melalui
alqur’an surah al-Maidah: 38:

َ‫ارقَةُ فَا ْقطَعُوا أَ ْی ِدیَھُ َما َج َزا ًء بِ َما َك َسبَا نَ َكااًل ِّمن‬ َّ ُ ‫ار‬ َّ
ِ ‫َس‬TU ‫ق َوال‬ ِ ‫َس‬TU ‫َوال‬
َّ َّ
ِ ‫ھُ ع‬TU‫ ِھ ۗ َوالَل‬TU‫الَل‬
‫َزی ٌز َح ِكی ٌم‬

Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan
Allah Maha Perkasa.

3Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, ( Beirut: Dār al-Fikr, 1981), 343.

4Imam an-Nawawi, Sahih Muslim bi Syarh an-Nawawi, (Beirut: Dār al-Fikr,.), 180.

5 Neng Djubaedah, Fornografi & Fornoaksi Ditinjau dari Hukum Islam, (Jakarta, Prenada Media, 2003), 2.

6Ahmad Muslich wardi, Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Sinar Grafika, 2005), 343.

3. Macam-macam ḥudūd

Adapun Macam-macam ḥudūd yaitu meliputi beberapa tindak pidana dalam fiqh jinayah
yaitu berupa perbuatan sebagai berikut7

1. Khamar

Khamar adalah cairan yang di hasilkan dari peragian biji bijian atau buah-buahan dan
mengubah sari patinya menjadi alkohol dan menggunakan katalisator (enzim) yang
mempunyai kemampuan untuk memisah unsur-unsur tentu yang berubah melalui proses
peragian atau khamr adalah minuman yang memabukkan.

2. Zina

Zina adalah melakukan hubungan seksual di luar ikatan perkawinan yang sah, baik dilakukan
secara sukarela maupun paksaan. Sanksi hukum bagi yang melakukan perzinahan adalah
dirajam (dilempari dengan batu sampai mati)

3. Qadzaf

Asal makna qadzaf adalah ramyu melempar, umpamanya dengan batu atau dengan yang
lainya. Menurut istilah adalah menuduh orang melakukan zina.

4. Riddah

Riddah adalah kembali kejalan asal (setatus sebelumnya). Disini yang di maksud dengan
riddah adalah kembalinya orang yang telah beragama Islam yang berakal dewasa kepada
kekafiran karena kehendaknya sendiri tanpa ada paksaan dari oraing lain.

5.Mencuri

Pencurian adalah mengambil sesuatu milik orang lain secara diam-diam dan rahasia dari
tempat penyimpannya yang terjaga dan rapi dengan maksud untuk dimiliki.

6. Muharabah (berbuat kekacauan)

Muharobah adalah aksi bersenjata dari seseorang atau sekelompok orang untuk menciptakan
kekacauan, menumpahkan darah, merampas harta, merusak harta benda, ladang pertanian dan
peternakan serta menentang aturan perundang-undangan

7http://www.fkip-uninus.org/index.php/artikel-fkip-uninus-bandung/arsip-artikel/70-fiqih-jinayah

4. Sanksi ḥudūd

Menurut hukum terdapat beberapa perbuatan yang dapat dikenakan had, yaitu zina, menuduh
zina (Qodzaf), pencurian (sirqoh), begal/perampok dan pemberontak (bughah), murtad dan
sebagainya.

1) Hukuman karena zina


Apabila terjadi perzinaan, maka bagi pelakunya dijatuhkan hukum jilid atau rajam dengan
ketentuan bahwa perbuatan tersebut telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh syara’.
Apabila terjadi perzinaan yang telah memenuhi syarat maka hukumnya sebagai berikut:

 Kalau orang yang berzina itu baik laki-laki ataupun perempuannya memang merdeka,
sudah baligh, maka hukumnya dengan jilid/dipukul 100 kali dan diasingkan selama
setahun bagi orang yang merdeka, dewasa, berakal, tetapi belum pernah berjimak dengan
istri yang syah.

2) Hukuman (had) karena menuduh zina (qodhaf)

Termasuk tujuh dosa dan merusak amal kebaikan yaitu: menuduh zina (qodhaf). Tuduhan
tersebut dapat dilakukan secara lisan atau tulisan. Di dalam menuduh zina (qodhaf) terdapat
dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu:

 Bagi orang yang menuduh zina boleh meminta disumpah orang yang dituduhnya. Kalau
yang dituduh itu bersumpah, maka tetap dera bagi yang menuduhnya. Bila orang yang
dituduh itu tidak bersumpah, maka tidak harus di dera orang yang menuduhkan dan
orang yang dituduhnya tidak di had, kecuali jika ada 4 orang saksi.

 Kalau seorang suami melihat atau mencurigakan kepada istrinya akan berbuat zina,
maka bagi suami itu diperbolehkan mencerainya atau memelihara si istri dengan
menutup rahasianya.

3) Hukum pencurian (sirqah)

Pengertian sirqoh menurut bahasa ialah mengambil sesuatu dengan sembunyi. Adapun
menurut istilah: sirqoh adalah mengambil sesuatu (barang) hak milik orang lain secara
sembunyi dan dari tempat persembunyiannya yang pantas. Pelaksanaan hukum potong tangan
memerlukan beberapa syarat, yaitu:8

 Orang yang mencurinya

 Sudah baligh, berakal, sadar dan mengetahui akan haramnya mencuri.

 Terikat oleh hukum, bukan orang gila atau mabuk.

8 Abdullah, Musthafa. Intisari Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), 11.

4) Hukuman Pembegal dan Perampok

Pengertian pembegalan adalah: merebut sesuatu atau barang orang lain secara paksa dan
menakut-nakuti, sewaktu-waktu disertai penganiayaan atau membunuh pemilik barang
tersebut. Seorang perampok yang membunuh maka hukumnya adalah dibunuh (qisos). Tetapi
merampok yang membunuh dan mengambil harta orang lain maka hukumnya nya adalah
dibunuh atau di salib.

1. Pengertian Jarimah Ta’zir

Jarimah Ta’zir secara bahasa adalah memberi pengajaran (al-ta’dib). Sedangkan  jarimah
Ta’zir menurut hukum pidana islam adalah tindakan yang berupa edukatif (pengajaran)
terhadap pelaku perbuatan dosa yang tidak ada sanksi hadd dan kifaratnya. Atau kata lain,
ta’zir adalah hukuman yang bersifat edukatif dan hukumannya di tentukan oleh hakim, atau
pelaku tindak pidana atau pelaku perbuatan maksiat yang hukumannya belum ditentukan oleh
syari’at.[1]

Dapat dijelaskan bahwa dijelaskan ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-
jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’, dikalangan para fuqoha jarimah
yang hukumannya belum di tetapkan oleh syara’ disebut dengan jarimah ta’zir. Dapat
dipahami juga bahwa jarimah ta’zir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak di
kenakan hukuman had dan tidak pula kifarat.[2] Jadi,hukuman ta’zir tidak mempunyai batas-
batas hukuman tertentu, karena syara’ hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, mulai dari
yang seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya. Dengan kata lain, hakim yang berhak
menetukan macam tindak pidana beserta hukumannya, karena hukumannya belum di
tentukan oleh syara’.[3]

           

Dengan demikian ciri khas dari jarimah ta’zir adalah :

1. Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas. Artinya hukuman tersebut belum di
tentukan oleh syara’.

2. Penetuan hukuman tersebut adalah oleh hakim.[4]

Aturan hukum pidana islam yang paling fleksibel terdapat pada jarimah ta’zir, Pada kategori
jarimah ini, baik kriminalisasi suatu perbuatan maupun hukumannya diserahkan kepada
Hakim. Jadi ta’zir merupakan hukuman bagi perbuatan pidana (jarimah) yang tidak ada
ketetapannya nas tentang hukumnya.[5]

Jika dilihat dari eksistensinya jarimah ta’zir sama dengan jarimah hudud, karena keduanya
sama-sama sebagai pengajaran (al-ta’lib) untuk mencapai kemaslahatan dan sebagai tindakan
preventif yang macam hukumnya berbeda-beda sesuai jenis perbuatan dosaatau tindak pidana
yang dilakukan. Jika pada jarimah hudu sudah ditentukan secara pasti dan jelas hukuman-
hukumannya, dan tidak bisa dirubah atau diganti, sedangkan pada jarimah ta’zir belum
ditentukan hukumannya.[6]

Mengenai macam-macam hukuman yang ada pada jarimah ta’zir adalah mulai dari memberi
nasehat atau peringatan, hukuman cambuk, penjara, dan lain-lain, bahkan sampai hukuman
mati, jika jarimah yang dilakukan benar-benar sangat membahayakan, baik yang dirasakan
oleh dirinya maupun masyarakat. Oleh karena itu hakim boleh memilih hukuman tersebut
tentunya disesuaikan dengan jenis perbuatan atau tindak pidana yang dilakukan, baik
mengenai kkriteria pelakunya maupun factor-faktor penyebabnya.[7]

Dalam dengan memotong rambut, mengasingkan, dan cambuk. Sebagaiman dia juga pernah
membakar sebuah riwayat dinyatakan bahwa Umar bin khathab ra. Pernah menjatuhkan
hukuman ta’zir dan pembinaan warung para tukang khamar serta kampong tempat perjualan
khamar. Dia juga membakar istana Sa’ad bin Abi Waqqash di kufah lantaran keberadaan
istana ini membuatnya tertutup dengan rakyat. Dia membuat cambuk untuk memukul orang
yang layak mendapatkan cambukan serta membuat bangunan penjara dan mencambuk wanita
yang meratapi jenazah hingga rambutnya terlihat. Tiga imam Fiqih mengatakan itu wajib,
syafi’I mengatakan tidak wajib.

Pelaksanaan hukuman pada jarimah ta’zir yang sudah diputuskan oleh hakim, juga menjadi
hak penguasa Negara atau petugas yang ditunjuk olehnya. Hal ini oleh karena hukuman itu
disyari’atkan untuk melindungi masyarakat, dengan demikian hukuman tersebut menjadi
haknya dan dilaksanakan oleh wakil masyarakat, yaitu penguasa Negara seperti presiden atau
aparat Negara. Orang lain, selain penguasa atau orang yang ditunjuk oleh nya tidak boleh
melaksankan hukuman ta’zir, meskipun hukuman tersebut menghilangkan nyawa. Apabila
iamelaksanakan sendiri dan hukumannya berupa hukuman mati sebagai ta’zir maka ia
dianggap sebagai pembunuh, walaupun sebenarnya hykuman mati tersebut adalah hukuman
yang menhilanhkan nyawa.[8]

Dari uraian tersebut di atas terlihat adanya perbedaan pertanggung jawaban dari pelaksanaan
hukuman yang tidak mempunyai wewenang, dalam melaksanakan hukuman mati sebagai had
dan sebagai ta’zir. Orang yang melaksanakan sendiri hukuman mati sebagai had, tidak
dianggap sebagai pembunuh, sedangkan yang melaksanaakan sendiri hukuman mati sebagai
ta’zir dianggap sebagai pembunuh. Perbedaan tersebut disebabkan , karena hukuman had
adalah hukuman yang sidah pasti yang tidak bias digugurkan atau dimaafkan, sedangkan
hukuman ta’zir masih bias dimaafkan oleh penguasa Negara, apabila situasi dan kondisi
menghendaki untuk dimaafkan dengan berbagai pertimbangan.[9]

2.  Macam-macam jarimah Ta’zir

Dapat dijelaskan bahwa dari hak yang dilanggar, jarimah ta’zair dapat dibago kepada dua
bagian, yaitu

1.      Jarimah ta’zir yang menyinggung hak Allah;

2.      Jarimah ta’zir yang menyinggung hak individu.

Dari segi sifatnya, jarimah ta’zir dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu

a.       Ta’zir karena melakukan perbuatan maksiat;

b.      Ta’zir karena melakukan perbuatan yang membahayakan kepentingan umum;

c.       Ta’zir karena melakukan pelanggaran.


Di samping itu, dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), ta’zir juga dapat di bagi
menjadi kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut.

1) Jarimah ta’zir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau qishas, tetapi syarat-syaratnya
tidak dipenuhi, atau ada syubhat, seperti pencurian yang tidak mencapai nishab, atau oleh
keluaraga sendiri.

2) Jarimah ta’zir yang jenisnya disebutkna dalam nas syara’ tetapi hukumannya belum
ditetapkan, sepeti riba, suap,dan mengurangi takaran dan timbangan.

3) Jarimah ta’zir yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh syara’.

Jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti pelanggaran disiplin pegawai
pemerintah.

Abdul aziz amir membagi secara rinci kepada beberapa bagian, yaitu

a)      Jarimah ta’zir yang berkaitan denag pembunuhan;

b)      Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan perlukaan;

c)      Jarimah ta’zir yang berkaitna dengan kejahatan kehormatan dan kerusakan akhlak;

d)     Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan harta.

e)      Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kemaslahatan individu;

f)       Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan keamanan umum.[10]

3. Macam-macam hukuman jarimah Ta’zir

Hukuman ta’zir adalah jumlahnya sangat banyak, karena mencakup semua perbuatan maksiat
yang hukumannya belum ditentukan oleh syara’ dan diserahkan kepada ulil amri utnuk
mengaturnya dari hukuman yang paling ringan sampai yang paling berat. Dalam penyelesaian
perkara yang termasuk jarimah ta’zir, hakim diberi wewenang untuk memilih diantara kedua
hukuman tersebut,mana yang sesuai dengan jarimah yang dilakukan oleh palaku.

Dalam ta’zir, hukuman itu tidak ditetapkan dengan ketentuan (dari Allah dan rasulnya), dan
Qodhi diperkenankan untuk mempertimbangkan baik bentuk hukuman yang akan dikenakan
kadarnya.[11]

Melukai atau penganiayaan bisa sengaja, semi sengaja, dan kesalahan. Dalam hal ini para
ulama membaginya menjadi lima macam, yaitu:

1. Ibanat al-athraf, yaitu memotong anggota badan, termasuk di dalamnya pemotongan


tangan, kaki, hidung, gigi, dan sebagainya.
2. Idzhab ma’a al-athraf, yaitu menghilangkan fungsi anggota badan (anggota badan tetap ada
tapi tidak bisa berfungsi), misalnya membuat korban tuli, buta, bisu, dan sebagainya.

3. As-syaj, yaitu pelukaan terhadap kepala dan muka (secara khusus)

4. Al-jarh, yaitu pelukaan terhadap selain wajah dan kepala termasuk di dalamnya yang tidak
masuk ke dalam perut atau rongga dada dan yang masuk ke dalam perut atau anggota dada.

5. Pelukaan yang tidak termasuk ke dalam salah satu dari empat jenis pelukaan di atas.

Jenis-jenis hukam ta’zir ini adalah sebagai berikut :

1. Hukumann Ta’zir yang Berkaitan dengan Badan

a. Hukuman mati

Dalam makalah-makalh sebelumnya telah dijelaskan bahwa hukuman mati ditetapkan


sebagai hukuman qishash utnuk pembunuhan sengaja dan sebagai hukuman had untuk
jarimah hirabah, zina muhson, riddah, dan jarimah pemberontakan. Untuk jarimah ta’zir,
hukuman mati ini di terapkan oleh para fuqoha secara beragam. Hanafiyah membolehkan
kepada ulil amri untuk menerapakan hukuman mati sebagai ta’zir dalam jarimah-jarimah
yang jenisnya diancam dengan hukuman mati apabila jarimah tersebut dilakukan berulang-
ulang. Contohnya pencurian yang berulang-ulang dan menghina nabi beberapa kali yang
dilakukan oleh kafir dzimmi, meskipun setelah itu ia masuk islam.

b. Hukuman jilid (Dera)

Alat yang digunakan untuk hukuman jilid ini adalah cambuk yang pertengahan (sedang, tidak
terlalu besar dan tidak terlalau kecil) atau tongkat. Pendapat ini juga dikemukakan oleh imam
Ibn Taimiyah, dengan alas an karena sebaik-baiknya perkara adlah pertengahan.

Apabila orang yang dihukum ta’zir itu laki-laki maka baju yang menghalanginya sampainya
cambuk ke kulit harus dibuka. Akan tetapi, apabila orang terhukum itu seorang perempuan
maka bajunya tidak boleh dibuka, karena jika demikian akan ternukalah auratnya.[12]

2. Hukuman yang Berkaitan dengan Kemerdekaan

a) Hukuman penjara

Maksud hukuman penjara disini bukanlah menahan pelaku di tempat yang sempit, melainkan
menahan sseorang yang mencegahnya agar ia tidak melakukan perbuatan hukum, baik
penahanan tersebut di dalam rumah, atau masjid, maupun ditempat lainnya. Penahan itulah
yang dilakukan pada masa nabi dan Abu bakar. Artinya, pada masa Nabi dan Abu bakar tidak
ada

hukuman had yang diterapkan  untuk pelaku tindak pidana hirabah (perampokan)
berdasarkan tempat yang khusus disediakan untuk menahan seseorang pelaku.[13]
b) Hukuman pengasingan

Hukuman pengasingan termasuk Qs. Al- Maidah ayat 33 :

‫إنما جزاء الذين يحاربون هللا ورسوله ويسعون في األرض فسادا أن يقتلوا أو يصلبوا أو تقطع أيديهم‬

‫وأرجلهم من خالف أو ينفوا من األرض ذلك لهم خزي في الدنيا ولهم في اآلخرة عذاب عظيم‬

Yang artinya :

“sesungguhnya  pembalsan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasulnya dan
membuat kerusakan di mka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau di potong
tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya) (QS. Al-Maidah:33)[14]

3. Hukuman Ta’zir yang Berkaitan dengan Harta

a. Status hukumannya

Para ulama berpendapat tentang dibolehkannya hukuman ta’zir dengan cara mengambil harta.
Pendapat ini di bolehkan apabila dipandang membawa maslahat. Pengambilan harta ini bukan
semata untuk diri hakim atau untuk kas umum (Negara), melainkan hanya menahannya untuk
sementara waktu. Adapun apabila pelaku tidak bias di harapkan untuk bertobat maka hakim
dapat men-tasarufkan harya tersebut untuk kepentingan yang mengandung maslahat.

Hukuman-Hukuman Ta’zir yang Lain

Selain hukuman-hukuman yang telah di sebutukan di atas, terdapat hukuman ta’zir yang lain
hukuman tersebut adalah  sebagai berikut:

1.      Peringatan keras

2.      Dihadirkan di hadapan sidang

3.      Di beri nasehat

4.      Celaan

5.      Pengucilan

6.      Pemecatan

7.      Pengumuman kesalahan secara terbuka.[15]

4. Pengecualian/orang yang tidak dapat di hukum ta’zir


Penecualian dalam tanggung jawab hukuman, Ali bin Abi thalib berkata kepada Umar bin
Khattab : “apakah engkau tahu bahwa tidaklah di catat perbuatan baik atau buruk, dan tidak
pula dituntut tanggung jawab atas apa yang dilakukan, karena hal berikut:

1. Orang yang gila sampai dia sadar

2. Anak-anak sampai dia mencapai usia dewasa/baligh

3. Orang yang tidur sampai dia bangun”. (Riwayat Imam bukhari.)

Berdasarkan riwayat diatas, kita dapat mengetahui tanggung jawab hukum atau tidak pidana
dalam syariat.Tanggung jawab atau tindak pidana yang dilakukan dibenarkan kepada pelaku
kejahatan itu sendiri. Ayah, Ibu, saudara atau kerabatnya yang laintak dapat mengambil
alih/menjalankan hukuman karena kejahatan yang dilakukan sebagaimana yang telah terjadi
pada masa jahiliyah, sebelum islam. Al-Qur’anul karim menjelaskan bahwa tak seorangpun
yang akan memikul beban orang lain.

Q.S Al-An’am :124

‫وإذا جاءتهم آية قالوا لن نؤمن حتى نؤتى مثل ما أوتي رسل هللا هللا أعلم حيث يجعل‬

‫رسالته سيصيب الذين أجرموا صغار عند هللا وعذاب شديد بما كانوا يمكرون‬

 "Apabila datang sesuatu ayat kepada mereka, mereka berkata: "Kami tidak akan beriman
sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada utusan-
utusan Allah." Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan. Orang-
orang yang berdosa, nanti akan ditimpa kehinaan di sisi Allah dan siksa yang keras
disebabkan mereka selalu membuat tipu daya.” (Q.S Al-An’am: 124)[16]

Tanggung jawab bersama itu hanya akan dipikul oleh keluarga tersebut dalam hal
pembayaran hutang darah (Diyat) atau kerusakan karena suatu kejahatan. Dalam hal ini, si
pelaku, demikian pula kerabatnya dari pihak ayah, secara bersama akan bertanggung jawab
untuk membayar “Diyat” (hutang darah) atau kerusakan fisik yang diakibatkan oleh
kejahatannya.[17]

Simpulan

Jarimah ta’zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir.

Pengertian ta’zir secara bahasa adalah memberi pengajaran.

Sedangkan pengertian jarimah ta’zir adalah tindakan yang berupa edukatif (pengajaran)
terhadap pelaku perbuatan dosa yang tindkannya tidak ada sanksi had dan kifaratnya. Atau
dengan kata lain, ta’zir adalah hukuman yang bersifat edukatif yang ditentukan oleh hakim,
terhadap pelaku tindak pidana atau pelaku perbuatan maksiat yang hukumannya belum
ditentukan oleh syari’at.

Mengenai macam-macam hukuman yang ada pada jarimah ta’zir adalah mulai dari memberi
nasehat, peringatan, hukuman cambuk, penjara, dan lain-lain, bahkan sampai hukuman mati,
jika jarimah uang dilakukan benar-benar sangat membahayakan, baik yang diraskan oleh
dirinya maupun masyarakat oleh karena itu hakim boleh memilih hukuman mulai yang paling
ringan smapai yang paling berat. Pemberian berat hukuman tersebut tentunya disesuaikan
dengan jenis perbuata atau tindak pidana yang dilakukan baik mengenai kriteria maupun
factor-faktor penyebabnya.

Orang yang tidak dapat dikenai hukuman :

1. Orang yang gila sampai dia sadar

2. Anak-anak sampai dia mencapai usia dewasa/baligh

3. Orang yang tidur sampai dia bangun”.

1. Pengertian Qishash

Qishâsh berasal dari bahasa Arab dari kata ُ‫ا ص‬T‫ص‬


َ ِ‫ ق‬yang berarti mencari jejak seperti al-
Qashâsh. Sedangkan dalam istilah hukum Islam berarti pelaku kejahatan dibalas seperti
perbuatannya, apabila membunuh maka dibalas dengan dibunuh dan bila memotong anggota
tubuh maka dipotong juga anggota tubuhnya. Sedangkan Syaikh Prof.DR. Shâlih bin Fauzân
– hafizhahullâh- mendefiniskannya dengan: ‘al-Qishâsh adalah perbuatan (pembalasan)
korban atau walinya terhadap pelaku kejahatan sama atau seperti perbuatan pelaku tadi.
Dapat disimpulkan Qishâsh adalah melakukan pembalasan yang sama atau serupa, seperti
istilah “hutang nyawa dibayar nyawa”.

2. DASAR PENSYARIATAN

Qishâsh disyariatkan dalam al-Qur‘ân dan Sunnah serta ijmâ’. Di antara dalil dari al-Qur‘ân
adalah firman Allah Azza wa Jalla didalam surah al-baqarah ayat 178-179 yang artinya:

" Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orang-
orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan
wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi
maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabbmu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang
melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih dan dalam qishâsh itu
ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu
bertakwa. [al-Baqarah/2:178-179].

Sedangkan dalil dari Sunnah di antaranya adalah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫َم ْن قُتِ َل لَهُ قَتِ ْي ٌل فَهُ َو بِ َخي ٍْر النَّظَ َر ْي ِن ِإ َّما أَ ْن يُ ْفدَى َوإِ َّما أَ ْن يُ ْقتَل‬
Siapa yang menjadi keluarga korban terbunuh maka ia memilih dua pilihan, bisa memilih
diyât dan bisa qishâsh (balas bunuh).[HR al-Jamâ’ah]

Sedangkan dalam riwayat at-Tirmidzi rahimahullah yang artinya:

Siapa yang menjadi keluarga korban terbunuh maka ia mempunyai dua pilihan, bisa memilih
memaafkannya atau bisa membunuhnya.

Asy-Syarhul-Mumti’ 14/34

Al-Mulakhas al-Fiqh 2/476

HR at-Tirmidzi no. 1409

Ayat dan hadits di atas menunjukkan wali (keluarga) korban pembunuhan dengan sengaja
memiliki pilihan untuk membunuh pelaku tersebut (qishâsh) bila menghendakinya, bila tidak,
bisa memilih diyât dan pengampunan. Pada asalnya pengampunan lebih utama, selama tidak
mengantar kepada mafsadat (kerusakan) atau ada kemashlahatan lainnya. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah menguatkan bahwa tidak boleh memberikan maaf pada qatlu al-
ghîlah (pembunuhan dengan memperdaya korban). Sedangkan Ibnu al-Qayyim rahimahullah
ketika menyampaikan kisah al-‘Urayinin menyatakan: ‘Qatlu al-ghîlah menuntut pelakunya
harus dibunuh secara had (hukuman), sehingga tidak bisa gugur dengan sebab ampunan dan
tidak pandang kesetaraannya (mukâfaah). Inilah pendapat penduduk Madinah dan salah satu
dari dua pendapat dalam madzhab Ahmad dan yang dikuatkan oleh Syaikh (Ibnu Taimiyah –
pen) dan beliau rahimahullah berfatwa dengannya.

3. HIKMAH PENSYARIATAN QISHÂSH

Allah al-Hakîm menetapkan satu ketetapan syariat dengan hikmah yang agung. Hikmah-
hikmah tersebut ada yang diketahui manusia dan ada yang hanya menjadi rahasia Allah Azza
wa Jalla. Demikian juga dalam qishâsh terdapat banyak hikmah, di antaranya:

• Menjaga masyarakat dari kejahatan dan menahan setiap orang yang akan menumpahkan
darah orang lain. Karena itu Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya:

ِ ‫اص َحيَاةٌ يَا أُولِي اأْل َ ْلبَا‬


َ‫ب لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬ ِ ‫ص‬َ ِ‫َولَ ُك ْم فِي ْالق‬

Dan dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang
berakal,supaya kamu bertakwa. [al-Baqarah/2:179].

• Mewujudkan keadilan dan menolong yang terzhalimi dengan memberikan kemudahan bagi
wali korban untuk membalas pelaku seperti yang dilakukannya kepada korban. Karena itulah
Allah Azza wa Jalla berfirman:

Dan barangsiapa dibunuh secara zhalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi
kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam
membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. [al-Isrâ‘/17:33]
Al-Mulakhash al-Fiqh 2/473 dan Asy-Syarhul-Mumti’ 14/34

Al-Mulakhash al-Fiqh 2/473

Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi’ 7/207

• Menjadi sarana taubat dan pensucian dari dosa yang telah dilanggarnya, karena qishâsh
menjadi kaffârah (penghapus) dosa pelakunya. Hal ini dijelaskan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sabdanya yang artinya:

Kalian harus berbai’at kepadaku untuk tidak berbuat syirik, tidak mencuri dan tidak berzina,
tidak membunuh anak kalian, tidak melakukan kedustaan dan berbuat durhaka dalam hal
yang ma`ruf. Barangsiapa di antara kalian menunaikannya maka pahalanya ada pada Allah
dan siapa yang melanggar sebagiannya lalu dihukum di dunia, maka hukuman itu sebagai
penghapus baginya dan siapa yang melanggarnya lalu Allah tutupi; maka urusannya
diserahkan kepada Allah. Bila Ia kehendaki maka mengadzabnya dan bila Ia menghendaki
maka mengampuninya’. [Muttafaq ‘alaihi]

4. SYARAT KEWAJIBAN QISHÂSH

Secara umum wali (keluarga) korban berhak menuntut qishâsh apabila telah memenuhi syarat
berikut:

1. Jinâyat (kejahatan) nya termasuk yang disengaja. Ini merupakan ijmâ’ para Ulama
sebagaimana dinyatakan Ibnu Qudâmah rahimahullah : ‘Para Ulama berijmâ` bahwa qishâsh
tidak wajib kecuali pada pembunuhan yang disengaja dan kami tidak mengetahui adanya
perbedaan pendapat di antara mereka dalam kewajiban qishâsh karena pembunuhan dengan
sengaja, apabila terpenuhi syarat-syaratnya.

2. Korban termasuk orang yang dilindungi darahnya (‘Ishmat al-Maqtûl) dan bukan orang
yang dihalalkan darahnya, seperti orang kafir harbi dan pezina yang telah menikah. Hal ini
karena qishâsh disyariatkan untuk menjaga dan melindungi jiwa.

3. Pembunuh atau pelaku kejahatan seorang yang mukallaf yaitu berakal dan baligh. Ibnu
Qudâmah rahimahullah menyatakan: ‘Tidak ada perbedaan pendapat di antara para Ulama
bahwa tidak ada qishâsh terhadap anak kecil dan orang gila. Demikian juga orang yang
hilang akal dengan sebab udzur, seperti tidur dan pingsan.

4. At-takâfu‘ (kesetaraan) antara korban dan pembunuhnya ketika terjadi tindak kejahatan
dalam sisi agama, merdeka dan budak. Sehingga tidak diqishâsh seorang Muslim karena
membunuh orang kafir; dengan dasar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

‫الَيُ ْقتَ ُل ُم ْسلِ ُم بِ َكافِ ٍر‬

Tidaklah dibunuh (qishâsh) seorang Muslim dengan sebab membunuh orang kafir..
al-Mughni 11/457

al-Mughni 11/481

HR al-Bukhâri no. 111

5. Tidak ada hubungan keturunan (melahirkan) dengan ketentuan korban yang dibunuh
adalah anak pembunuh atau cucunya, dengan dasar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :

َ ‫الَيُ ْقتَ ُل‬


‫الوالِ ُد بِ َولَ ِد ِه‬

Orang tua tidak diqishâsh dengan sebab (membunuh) anaknya.[12] Sedangkan anak bila
membunuh orang tuanya tetap terkena keumuman kewajiban qishâsh.

5. SYARAT PELAKSANAAN QISHÂSH

Apabila terpenuhi syarat-syarat kewajiban qishâsh seluruhnya, maka masih perlu dipenuhi
lagi syarat-syarat pelaksanaannya. Syarat-syarat tersebut adalah:

1. Semua wali (keluarga) korban yang berhak menuntut qishâsh adalah mukallaf. Apabila
yang berhak menuntut qishâsh atau sebagiannya adalah anak kecil atau gila, maka tidak bisa
diwakilkan oleh walinya; sebab dalam qishâsh ada tujuan memuaskan dan pembalasan
sehingga wajib menunggu pelaksanaannya dengan memenjarakan pelaku pembunuhan
hingga anak kecil tersebut menjadi baligh atau orang gila tersebut sadar. Hal ini dilakukan
Mu’âwiyah bin Abi Sufyânz yang memenjarakan Hudbah bin Khasyram dalam qishâsh
hingga anak korban menjadi baligh. Hal ini dilakukan di zaman para Sahabat dan tidak ada
yang mengingkarinya sehingga seakan-akan menjadi ijmâ’ di masa beliau. Apabila anak kecil
atau orang gila membutuhkan nafkah dari para walinya, maka wali orang gila saja yang boleh
memberi pengampunan qishaash dengan meminta diyaat, karena orang gila tidak jelas kapan
sembuhnya berbeda dengan anak kecil.

2. Kesepakatan para wali korban terbunuh dan yang terlibat dalam qishâsh dalam
pelaksanaannya. Apabila sebagian mereka walaupun seorang memaafkan dari qishâsh maka
gugurlah qishâsh tersebut.

3. Dalam pelaksanaannya tidak melampaui batas kepada selain pelaku pembunuhan, dengan
dasar firman Allah Azza wa Jalla, yang artinya::

Dan barangsiapa dibunuh secara zhalim, Maka Sesungguhnya Kami telah memberi
kekuasaan kepada ahli warisnya. Tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam
membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. [al-Isrâ‘/17:33]

HR Ibnu Mâjah no. 2661 dan dishahîhkan al-Albâni dalam Irwâ’ al-Ghalîl no. 2214

Al-Mulakhash al-Fiqh 2/476


Asy-Syarhul-Mumti’ 14/38

Apabila qishâsh menyebabkan sikap melampaui batas maka dilarang sebagaimana


dijelaskan dalam ayat di atas. Dengan demikian, apabila wanita hamil akan diqishâsh maka
tidak bisa sampai diqishâsh hingga melahirkan anaknya, karena membunuh wanita tersebut
dalam keadaan hamil akan menyebabkan kematian pada janinnya. Padahal janin tersebut
belum berdosa, Allah Azza wa Jalla berfirman:

‫از َرةٌ ِو ْز َر أُ ْخ َر ٰى‬


ِ ‫َواَل ت َِز ُر َو‬
Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. [al-An’âm/6:164]

6. SIAPAKAH YANG BERHAK MELAKUKAN QISHÂSH?

Yang berhak melakukannya adalah yang memiliki hak yaitu para wali korban, dengan syarat
mampu melakukan qishâsh dengan baik sesuai syariat. Apabila tidak mampu, maka
diserahkan kepada pemerintah atau wakilnya. Hal ini tentunya dengan pengawasan dan
naungan pemerintah atau wakilnya agar dapat mencegah sikap melampai batas dalam
pelaksanaannya dan memaksa pelaksana menunaikannya sesuai syari’at. Demikian
beberapa hukum seputar qishâsh; mudah-mudahan dapat memberikan pencerahan akan
keindahan dan pentingnya menerapkan qishâsh di masyarakat kita. Wabillâhi taufîq.

Asy-Syarhul-Mumti’ 14/54 dan Al-Mulakhas al-Fiqh 2/478.

Anda mungkin juga menyukai