Anda di halaman 1dari 7

PEMBAHASAN FARDHU KIFAYAH

Tarif Fardhu Kifayah

Jika terdapat khitab (seruan) dengan lafadz yang umum maka masuklah siapa saja yang
tercakup dalam khitab tersebut. Tidak gugur seruan (kewajiban) tersebut meskipun sebagian
orang telah melakukannya kecuali terdapat ketetapan syariat mengenai hal tersebut. Karena itu
fardhu kifayah seperti jihad, mengkafani, menshalatkan, dan menguburkan mayat jika telah
ditegakkan (ditunaikan) oleh siapa saja yang mampu melaksanakan kifayah ini maka gugurlah
kewajiban yang lainya (al luma 1/82)

Sesungguhnya fardhu kifayah jika orang-orang yang sanggup menunaikannya telah melakukan
kefardhuan yang dituntut maka gugurlah dosa yang lainnya, jika tidak mereka berdosa
seluruhnya (Al majmu 1/32)

Karena fardhu kifayah adalah kewajiban ats seluruh kaum muslimin, akan tetapi dosa akan gugur
dengan aktivitas yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin. Karena itu jika mereka
meninggalkan melakukan kefardhuan maka mereka seluruhnya telah berdosa karena bermaksiat
(Al majmu 5/3)

Pengertian fardhu kifayah adalah jika sebagian orang yang memiliki kesanggupan telah
melakukan maka gugurlah dosa orang yang lainnya. Tapi jika mereka seluruhnya meninggalkan
maka seluruhnya berdosa. (Al majmu 5/128)

Maka seungguhnya menyeru pada kemakrufan dan mencegah kemungkaran hukumnya fardhu
kifayah. Ketika telah ada dari mereka yang melaksanakannya maka gugurlah kewajiban yang
lainnya (ILAMUL MUWAQIIN 1/482)

Imam Fakhruddin dalam syarah mufashshal menyatakan:

.




: Mengenai keduanya (maani dan Irab) fardhu kifayah, sesunguhnya fardhu kifayah
jika telah dilaksanakan oleh satu orang maka gugurlah kewajiban yang lainnya.(BAHRUL
MUHITH 2/129)



:


.


Imam Khiraqiy menjelaskan makna ini (fardhu kifayah) ketika menyatakan: jihaf fardhu
kifayah, jika satu kaum telah melaksanakannya gugurlah kewajiban yang lainnya, karena itulah
dinamakan fardhu kifayah karena cukup sebagian yang mengugurkan kefardhuan atas seluruhnya
(SYARAH MUKHTASHOR RAUDHOH 2/406

: ) ( .
. .

Bab jihad. Jihad hukumnya fardhu kifayah setiap tahunya meskipun hanya satu kali jika orang-
orang kafir berada di negeri mereka. Dan berubah menjadi fardhu ain jika mereka memasuki
negeri-negeri kita sebagaimana akan datang penjelasannya. Dan hukum fardhu kifayah jika telah
dilakukan diantara kaum muslimin yang mampu maka gugurlah kewajiban itu darinya dan dari
kaum muslimin yang lain. Berdosa siapa saja dari kaum muslimin yang yang tidak memiliki
udzur jika ia meninggalkan kewajiban ini meskipun ia orang yang jahil (Syeikh Zainuddin bin
Abdul Aziz al-Malibari, Fath al-Muin, Juz 4/206)

, , ,

Fardhu kifayah adalah apa saja yang dituntut oleh asy syaari (pembuat syariat) yang
pencapaianya dengan sekelompok mukallaf. Jika sebagian orang telah sanggup menegakkannya
maka gugurlah kewajiban bagi yang lain, tidak ada dosa atas mereka. Dan semuanya
akan menanggung dosa jika tidak ada yang dapat mewujudkan fardhu kifayah ini (al waadhih fi
ushul al fiqh hlm. 222)

Sungguh, Fardhu kifayah adalah fardhu yang dituntut pada seluruh kaum muslimin. Jika
kesanggungan telah tercapai dengan menegakkannya maka tunailah kewajiban mewujudkannya
baik yang mewujudkannya setiap individu dari kaum muslimin atau sebagiannya. Namun jika
kesanggupan untuk menegakkannya tidak terwujud maka kewajiban ini tetap berlaku atas setiap
kaum muslimin hingga terwujudnya kefardhuan ini (Syakhshiyyah Islamiyah 3/41)

Kesimpulan: dari beberapa tarif di atas jelaslah bahwa fardhu kifayah adalah kewajiban yang
dituntut atas setiap kaum muslimin. Dalam pelaksanaanya jika sudah ditunaikan oleh
sekelompok kaum muslimin maka gugurlah kewajiban kifayah ini atas seluruh kaum muslimin.
Akan tetapi jika sekelompok kaum muslimin belum mampu menunaikannya maka kewajiban ini
tetap berlaku bagi seluruh kaum muslimin.
Ukuran terwujudnya kewajiban ini adalah telah dilaksanakan dengan tuntas/tunai 100 % bukan
tiga perempat, setengah, apalagi seperempat. Alasannya adalah apa yang kita bias pahami dari
setiap kewajiban adalah tertunaikannya kewajiban itu. Sebagai contoh menjawab salam
hukumnya fardhu kifayah. Jika seseorang mengucap salam assalamu alaikum warahmatullahi
wa barakatuhpada sekelompok orang. Lalu seseorang menjawab wa alaikumussalam
jawabannya terhenti sampai di situ. Maka jawaban ini belum dianggap menggugurkan
kewajiban. Mengapa? Karena ia belum menuntaskan jawabannya meski telah mencoba
melaksanakan. Konsekuensinya, kewajiban ini berlaku bagi seluruh anggota kelompok tersebut.
Contoh lain, di suatu kampung ada seseorang meninggal. Seseorang laku memandikannya,
mengkafaninya, dan mensholatkannya. Tapi ia tidak mampu menggali liang lahat dan
menguburkannya sendiri. Sementara penduduk kampong yang lain tidak membantunya. Maka
tidak tunainya kewajiban mengurus jenazah ini menjadikan seluruh penduduk kampong berdosa
(kecuali yang satu orang) karena mereka melalaikan mengurus jenazah tersebut. Artinya apa?
Ukuran terwujudnya fardhu kifayah adalah tunai atau tuntasnya kewajiban tersebut.

Demikian pula hukum menegakkan khilafah adalah fardhu kifayah. Usaha untuk
menegakkannya kembali telah dilakukan, kelompok dakwah yang berjuang siang dan malam dan
mengorbankan apapun yang bisa dikorbankan untuk menegakkanya juga sudah ada. Akan tetapi
hingga kini khilafah belum juga berdiri. Maka kewajiban ini juga berlaku bagi seluruh kaum
muslimin hingga mereka mampu menegakkannya.

Dapatkah Fardhu Kifayah Berubah menjadi Fardhu Ain?

Fardhu kifayah berbeda dengan fardhu ain. Fardhu ain adalah kewajiban yang pembebanan dan
pelaksanaannya pada individu. Meski sebagian orang telah menunaikan maka tidak
mengugurkan kewajiban bagi yang lainnya. Berbeda dengan fardhu kifayah. Fardhu kifayah
adalah kewajiban atas seluruh kaum muslimin yang pelaksanaanya bisa dilakukan oleh sebagian
kaum muslimin atau seluruh kaum muslimin (dalam kondisi tertentu). Secara hakiki fardhu
kifayah tidak akan berubah menjadi fardhu ain. Maka istilah yang lebih tepat untuk digunakan
adalah bahwa jika fardhu kifayah tidak tuntas pelaksanaanya maka kewajibannya tetap berlaku
bagi kaum muslimin untuk melaksanakannya serta berdosa jika mengabaikannya.

) :
(
) :
(
.

Dari apa yang kami jelaskan jelaslah perbedaan hakikat fardhu ain dengan fardhu kifayah. Maka
jika dikatakan fardhu kifayah jika belum berhasil maka berubah menjadi fardhu ain. Mesti
dipahami bahwa hakikat fardhu kifayah tidak berubah, karena secara umum penegakkannya
memerlukan suatu kelompok, karena sesungguhnya kebanyakan fardhu kifayah terbagi-bagi
(banyak bagian yang harus diselesaikan, pent). Maka lebih utama jika para ahli fikih untuk
menghilangkan kesamaran- jika menyatakan: apabila sebagian mukallaf tidak sanggup
meyelesaikan dalam menegakkan fardhu kifayah, maka menjadi wajib atas setiap individu dari
mukallaf untuk berusaha menegakkanya hingga fardhu itu dapat terwujud. Yakni apabila fardhu
kifayah belum bisa ditegakkan oleh orang yang telah melaksanakannya atau tidak ada seorang
pun yang beraktivitas melaksanakannya, maka berdosalah setiap mukallaf yang tidak beraktivitas
untuk menegakkannya dengan kemampuan yang ada padanya (Mafahim islamiyah, 2/32)

Banjarmasin, 9 Rajab 1434 H

Wahyudi Ibnu Yusuf

Kewajiban yang dituntut oleh Allah kepada manusia ada dua macam; kewajiban individual dan
kolektif. Macam yang pertama disebut dengan Fardlu Ain dan yang kedua disebut dengan
Fardlu Kifyah. Dua macam ini merupakan pembagian hukum wajib dilihat dari segi siapa yang
dikenai tuntutan untuk mengerjakannya.

Perbuatan yang Fardlu ain adalah perbuatan yang dituntut oleh syariat kepada tiap-tiap orang
mukallaf agar dikerjakan. Setiap orang mukallaf dibebani perbuatan tersebut tanpa bisa
digantikan oleh yang lain. Termasuk kategori perbuatan ini adalah mengerjakan shalat lima
waktu, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan lain semacamnya.[i]

Sedangkan perbuatan yang fardlu kifayah adalah perbuatan yang dituntut oleh syariat kepada
orang-orang mukallaf secara kolektif. Artinya, jika ada salah seorang yang mengerjakan
perbuatan tersebut, maka gugurlah kewajiban bagi yang lain. Namun, jika sama sekali tidak ada
yang mengerjakan, maka berdosalah seluruhnya. Termasuk kategori perbuatan ini adalah
merawat mayyit (tajhz al-mayyit), melaksanakan jihad, melakukan amar makruf nahi mungkar,
membangun sekolah atau rumah sakit, menjabat sebagai presiden, dan lain semacamnya.[ii]

Apa yang membedakan antara perbuatan yang fardlu ain dan fardlu kifayah? Pertama, dari sisi
kepada siapa perintah perbuatan tersebut ditujukan. Perintah untuk melaksanakan perbuatan yang
fardlu ain ditujukan kepada tiap-tiap orang mukallaf (al-kully al-afrdy). Perintah Allah kepada
manusia untuk melakukan shalat lima waktu, misalnya, ditujukan kepada tiap-tiap orang
mukallaf. Setiap orang mukallaf dibebani untuk melaksanakannya tanpa bisa digantikan oleh
yang lain. Sedangkan perintah untuk melaksanakan perbuatan yang fardlu kifayah tidak
ditujukan kepada masing-masing orang mukallaf, melainkan keseluruhannya (al-kully al-
majmiy/al-haiah al-ijtimiyah).[iii] Perintah syariat agar ada pemimpin bagi suatu daerah
tidak ditujukan kepada tiap-tiap orang yang ada di daerah tersebut, melainkan secara
keseluruhan. Artinya, tidak setiap orang di daerah tersebut harus menjadi pemimpin. Jika ada
salah seorang di antara mereka yang dipilih menjadi pemimpin, maka gugurlah kewajiban bagi
yang lain.

Namun demikian, sebenarnya ulama berdebat mengenai kepada siapa tuntutan untuk melakukan
perbuatan fardlu kifayah. Dalam contoh kewajiban merawat mayyit, misalnya, kepada siapa
tuntutan kewajiban untuk melaksanakannya ditujukan?
Pertama, tuntutan kewajiban itu ditujukan kepada sebagian orang saja. Sebagian orang ini adalah
mereka yang menduga bahwa orang lain tidak mengerjakan perbuatan tersebut. Jadi, yang
dikenai kewajiban untuk merawat mayyit, misalnya, adalah orang yang menduga bahwa orang
lain tidak mengerjakannya. Jika ia menduga sudah ada orang lain yang mengerjakan, maka ia
tidak dikenai kewajiban. Soal siapa sebagian itu, pendapat ini masih terbelah menjadi tiga kubu.
Ada yang mengatakan bahwa sebagian itu tidak tertentu atau mubham. Ada pula yang
mengatakan bahwa yang sebagian itu sudah ditentukan oleh Allah. Sedangkan yang lain
menyatakan bahwa yang sebagian itu adalah orang yang telah melaksanakannya.[iv]

Kelompok ini beralasan, perintah-perintah syariat yang menuntut untuk melakukan perbuatan
fardlu kifayah tidak ditujukan kepada seluruh manusia, melainkan sebagian saja. Misalnya
firman Allah,


)104(

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang
beruntung. (QS. Ali Imrn [3]: 104)

Ayat di atas menuntut pelaksanaan amar makruf nahi mungkar. Tuntutan kewajiban yang ada
pada ayat tersebut ditujukan kepada sebagian umat saja, tidak seluruhnya. Hal tersebut terbukti
dengan adanya kata . Kata min tersebut memberi pengertian tabdl, yaitu sebagian. Di
samping itu, kelompok ini juga beralasan, oleh karena kewajiban fardlu kifayah ini gugur jika
ada sebagian orang yang mengerjakannya maka yang wajib mengerjakan hanya sebagian saja.

Kedua, kewajiban itu adalah untuk tiap-tiap orang (al-kully al-afrdy) sebagaimana fardlu ain,
namun gugur bila ada sebagian yang mengerjakannya. Pendapat ini berargumen dengan dua
alasan; Pertama, perintah yang menuntut untuk melakukan perbuatan yang fardlu kifayah
seringkali berbentuk umum. Misalnya firman Allah,

)190(

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu
melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas. (QS. Al-Baqarah [2]: 190)

Perbuatan jihad yang diperintahkan oleh ayat di atas adalah perbuatan fardlu kifayah. Perintah
dalam ayat tersebut bersifat umum, mencakup kepada tiap-tiap orang mukallaf. Di samping itu,
argumen kedua dari kelompok ini adalah, bahwa apabila perintah untuk melaksanakan perbuatan
fardlu kifayah diabaikan, maka semua orang berdosa. Ini menunjukkan, bahwa kewajiban untuk
melakukan perbuatan yang fardlu kifayah ditujukan kepada setiap orang mukallaf.[v]

Ketiga, kewajiban itu ditujukan kepada keseluruhan orang mukallaf (al-kully al-majmiy/al-
haiah al-ijtimiyah) dan gugur bila ada sebagian yang mengerjakannya. Mengapa demikian?
sebab jika kewajiban itu ditujukan kepada tiap-tiap orang sebagaimana pendapat sebelumnya,
berarti itu sama dengan menghapus kewajiban yang telah ditetapkan. Menghapus kewajiban itu
hanya bisa dilakukan dengan dalil yang menghapus (nasakh) kewajiban tersebut. Sedangkan
kewajiban fardlu kifayah ini sama sekali bukan menasakh suatu kewajiban.[vi]

Ketiga pendapat di atas memiliki argumen yang kuat dan benar menurut masing-masing. Namun
demikian, semuanya sepakat, bahwa perbuatan fardlu kifayah, apabila dikerjakan oleh sebagian
orang maka gugurlah kewajiban bagi yang lain. Dan jika tidak ada seorangpun yang
mengerjakannya, maka berdosalah seluruhnya.[vii]

Perbedaan fardlu ain dan fardlu kifayah yang kedua adalah, dalam perbuatan yang fardlu ain,
ada dua hal yang diperhatikan, yaitu siapa yang mengerjakan dan ketercapaian maksud
perbuatannya. Sedangkan dalam fardlu kifayah, siapa yang mengerjakan tidak menjadi perhatian
utama, yang penting maksud dari perbuatan yang diperintahkan bisa tercapai. Perbedaan ini
dapat dilihat dari pengertian, bahwa fardlu kifayah adalah,

Perbuatan penting yang ingin dicapai (tujuannya) tanpa memperhatikan secara terutama
terhadap pelakunya.[viii]

Membangun rumah sakit di sebuah daerah, misalnya, adalah perbuatan yang fardlu kifayah.
Tujuannya adalah agar orang-orang dapat berobat ketika sakit. Untuk mencapai tujuan ini, tidak
menjadi soal utama siapa yang mengerjakannya. Yang penting tujuan bisa tercapai. Berbeda
dengan shalat lima waktu. Tujuannya adalah tercapainya kekhusyuan sebagai bentuk
ketundukan dan ketakwaan kepada Allah. Dalam shalat ini, siapa pelakunya menjadi perhatian
utama.

Perbedaan yang ketiga adalah dari sisi maslahat yang dicapai. Maslahat yang dicapai dalam
mengerjakan perbuatan fardlu ain bersifat individual, artinya, ketika perbuatan tersebut
dikerjakan, yang selamat dari dosa hanyalah orang yang mengerjakannya saja. Berbeda dengan
perbuatan fardlu kifayah, yang selamat dari dosa tidak hanya orang yang mengerjakan saja. Dari
sini, muncul perdebatan di kalangan pakar ushul fiqh, soal lebih utama mana antara fardlu ain
dan fardlu kifayah. Sebagian mengatakan lebih utama fardlu ain, sebab dari saking pentingnya,
syariat mewajibkan kepada setiap orang mukallaf untuk mengerjakannya. Sementara sebagian
yang lain mengatakan lebih utama fardlu kifayah, sebab jika perintahnya dilaksanakan oleh
sebagian orang, itu bisa menyelamatkan sebagian lain yang tidak megerjakan dari dosa.[ix]

Selanjutnya, perbuatan yang fardlu kifayah dapat berubah menjadi fardlu ain. Hal tersebut
disebabkan oleh dua hal. Pertama, ketika yang mampu melaksanakan perbuatan fardlu kifayah
hanya satu orang. Misalnya, jika ada orang tenggelam, dan hanya seorang yang mampu
menyelamatkannya, maka ia hukumnya fardlu ain untuk menyelamatkan orang yang tenggelam
itu. Kedua, ketika perbuatan fardlu kifayah itu telah dikerjakan. Jika telah mengerjakan
perbuatan yang fardlu kifayah, maka itu sama dengan fardlu ain, artinya sama-sama harus
diselesaikan.[x]

Di samping fardlu ain dan fardlu kifayah, ada juga yang disebut dengan sunnah ain dan sunnah
kifayah. Perbedaannya dengan fardlu adalah ketegasan perintahnya. Jika perintah fardlu ain dan
kifayah bersifat tegas, sementara sunnah ain dan sunnah kifayah bersifat tidak tegas. Perbuatan
sunnah ain seperti shalat dhuha. Sedangkan perbuatan yang sunnah kifayah seperti mendoakan
orang yang bersin (tasymt). Wallahu alam.

- See more at: http://cyberdakwah.com/2013/06/pemahaman-tepat-tentang-fardhu-kifayah-dan-


fardhu-ain/#sthash.o7qSdNFt.dpuf

Anda mungkin juga menyukai