Anda di halaman 1dari 31

KARYA TULIS ILMIAH 

SEJARAH

PESANTREN SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ASLI INDONESIA YANG BERSIFAT NASIONALISME DAN
BERKEBANGSAAN

BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Pada awalnya kalangan pesantren melalui kiai dan para santrinya berjuang sendiri-sendiri dalam
melawan penjajah. Perjuangan kalangan pesantren mulai terkoordinir melalui peristiwa 10 November
1945 yang kemudian diabadikan sebagai Hari Pahlawan. Meski bangsa Indonesia telah
memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, tidak semua negara di dunia mengakui
kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia. Belanda dan sekutunya termasuk yang belum mengakui
kemerdekaan Indonesia. Belum genap satu bulan sejak diproklamirkan, terdengar berita bahwa
Indonesia sudah mulai diserang kembali oleh Belanda dan Sekutunya. Pada 10 Oktober 1945 Belanda
dan Sekutunya telah menduduki Medan, Padang, Palembang, Semarang dan Bandung setelah melalui
pertempuran sengit.  

Ada tiga poin penting dalam Resolusi Jihad itu, yakni sebagaiberikut :
Pertama, setiap muslim - tua, muda, dan miskin sekalipun- wajib memerangi orang kafir yang merintangi
kemerdekaan Indonesia.

Kedua, pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada.


Ketiga, warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional,
maka harus dihukum mati. Bahkan, haram hukumnya mundur ketika kita berhadapan dengan penjajah
dalam radius 94 km (jarak ini disesuaikan dengan dibolehkannya qashar salat). Di luar radius itu dianggap
fardu kifayah (kewajiban kolektif, bukan fardu ain, kewajiban individu).

Pekik Bung Tomo: Allohu Akbar...Allohu Akbar...Allohu


Akbar...
Fatwa jihad itu kemudian digelorakan Bung Tomo lewat radio disertai dengan teriakan Allahu Akbar
sehingga berhasil membangkitkan semangat juang kalangan santri untuk melawan penjajah.

Para kiai dan santrinya kemudian banyak yang bergabung ke pasukan nonreguler Sabilillah dan Hizbullah
yang terbentuk sebagai respon langsung atas Resolusi Jihad tersebut. Kelompok ini kemudian banyak
berperan penting dalam peristiwa 10 Nopember. Komandan tertinggi Sabilillah sendiri adalah K.H.
Masykur dan Komandan Tertinggi Hizbullah adalah Zainul Arifin. Diperkuat juga oleh Barisan Mujahidin
yang dipimpinan langsung oleh Kiai Wahab Hasbullah.

Segera setelah itu, pesantren-pesantren di Jawa dan Madura menjadi markas pasukan non regular
Hizbullah dan Sabilillah dan tinggal menunggu komando. Pengajian-pengajian telah berubah menjadi
pelatihan menggunakan senjata. Pada detik-detik ini pesantren-pesantren juga didatangi oleh para
pejuang dari berbagai kalangan untuk minta kesakten
kepada para kiai. Tanpa itu para pejuang merasa tidak akan mampu menghadapi pasukan Belanda dan
Sekutu dengan senjata-senjata berat mereka.
Seperti ditulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Serambi, Jakarta, 2005), seruan
jihad itu berhasil menggugah dan membangkitkan semangat juang kaum santri. Ribuan kiai dan santri
dari berbagai daerah  mengalir ke Surabaya. Perang yang menewaskan Jenderal Mallaby itu dikenang
sebagai salah satu momentum dari perjuangan kaum santri melawan penjajah.

Pada zaman penjajahan, pondok pesantren didiskreditkan oleh Belanda. Pada tahun 1882
didirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) pleh pemerintah kolonial. Tugas-tugasnya adalah
mengadakan pengawasan terhadap pendidikan pesantren. Tidak lama setelah itu, dikeluarkan ordonasi
tahun 1905 yang berisi ketentuan-ketentuan pengawasan terhadap perguruan yang hanya mengajarkan
agama (pesantren) dan guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah
setempat.

Setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya, pesantren mendapatkan  tempat di hati masyarakat


Indonesia. Ki Hajar Dewantara, yang dikenal sebagai tokoh pendidikan nasional dan sekaligus sebagai
Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan RI yang pertama menyatakan bahwa pondok pesantren
merupakan dasar pendidikan nasional karena sesuai dan selaras dengan jiwa dan kepribadian bangsa
Indonesia.

Pendidikan Islam merupakan kepentingan tinggi bagi kaum muslimin. Tetapi hanya sedikit sekali yang
dapat kita ketahui tentang perkembangan pesantren di masa lalu, terutama sebelum Indonesia dijajah
Belanda, karena dokumentasi sejarah sangat kurang. Bukti yang dapat kita pastikan menunjukkan bahwa
pemerintah penjajahan Belanda memang membawa kemajuan teknologi ke Indonesia dan
memperkenalkan sistem dan metode pendidikan baru. Namun, pemerintahan Belanda tidak
melaksanakan kebijaksanaan yang mendorong sistem pendidikan yang sudah ada di Indonesia, yaitu
sistem pendidikan Islam. Malah pemerintahan penjajahan Belanda membuat kebijaksanaan dan
peraturan yang membatasi dan merugikan pendidikan Islam.

Lahirnya islam tidak terlepas dari proses islamisasi di Indonesia. Para wali, syekh, tengku, yang
mendakwahkan ajaran islam biasanya memiliki lembaga pendidikan , di jawa terkenal dengan
nama pesantren, di Sumatra Barat dikenal dengan nama Surau, sedang di Aceh dikenal dengan
nama Meunasah, Rangkang, dan Dayah. Walaupun memiliki nama yang berbeda tetapi hakikatnya tetap
sama, yaitu lembaga tempat mengkaji dan mendalami ajaran-ajaran keislaman.        

Sejarah Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari peran dan perjuangan pesantren.
Sejak masa awal kedatangan Islam, terutama pada masa walisongo hingga masa penjajahan belanda,
masa kemerdekan hingga kini, persantren telah menyumbang sejuta jasa yg tak ternilai harganya bagi
Indonesia terutama kepada pengembangan agama Islam.

Pesantren ialah lembaga pendidikan keislaman tertua di Indonesia. Pesantren juga lembaga sosial
kemasyarakatan yang telah memberi warna dan corak khas dalam perdamaian masyarakat Indonesia
mulai dari pedesaan hingga perkotaan. Pesantren tumbuh dan berkembang pesat bersama masyarakat
dan bersama kemajuan teknologi yang ada. Oleh sebab itu, secara kultural Pesantren beserta isinya, figur
seorang Kyai, santri serta seluruh perangkat fisik dari sebuah pesantren membentuk kultur yang bersifat
keagamaan yang mengatur prilaku seseorang. Dengan demikian produk pesantren (santri) lebih
berfungsi sebagai faktor integratif dalam masyarakat, dari masyarakat untuk masyarakat.

Pondok pesantren adalah salah satu pergerakan yang menanamkan nilai-nilai dasar yang bersumber dari
Al-Qur’an dan Hadits. Dengan kata lain pergerakan ini bukanlah satu pergerakan yang dibentuk begitu
saja secara lumrah, ada tujuan tertentu mengapa terdapat pembentukannya. Proses pembelajaran yang
diberlakukan juga memacu pada Al-Qur’an dan As-Sunnah (Hadits). Sehingga dapat berkesinambungan
dengan arus zaman. Kita lihat saja tatanan kehidupan pondok pesantren sebagai satu sampel tingkat
serta strata kehidupan yang baik dalam berdinamika.

Pada saat ini, hampir setiap pesantren telah membangun pendidikan formal dan ekstrakurikuler, mulai
dari tingkat dasar hingga lembaga pendidikan tinggi. Dan semua lapisan masyarakat sudah merasakan
manfaat dari pendidikan pesantren tersebut. Kemandirian pesantren memberi sumbangan besar
terhadap masyarakat perkampungan maupun masyarakat perkotaan khususnya untuk daerah Madura.
Sebab, pesantren memiliki tujuan mencetak kader-kader pemimpin umat. Izzil Islam
walmuslimin, mencetak kader yang memiliki kemuliaan yang besar, tanggung jawab yang besar untuk
masyarakat Madura terlebih untuk negara Indonesia.

Pesantren tumbuh sejalan dengan pergerakan perjuangan muslim Indonesia khususnya di daerah
Madura ketika melawan penjajah Belanda. Konon pondok pesantren merupakan basis-basis perlawanan
dari para pejuang kita. Di dalam pesantren terdapat para ulama yang bukan hanya mendidik santri-
santrinya saja. Namun, juga mendidik dan membina masyarakat madura agar terbentuk masyarakat
muslim yang menjalankan kehidupannya berdasar pada Al-Qur’an dan Hadist.

Pesantren mulai bergerak dan berjuang dalam lapangan pendidikan, dakwah, kaderisasi dan ekonomi
dengan menjunjung tinggi dan mengamalkan nilai-nilai dan ajaran agama Islam yang bersumber dari Al-
Qur’an dan Al-Hadis serta membentuk karakter/kepribadian kader-kader umat yang beriman sempurna,
berilmu luas dan beramal sejati subhanullah walhamdulillah. Pesantren juga ikut adil dalam
kesejahteraan masyarakat Madura. Sistem pendidikan yang berjalan selama 24 jam dengan disiplin yang
tinggi mengajarkan para santrinya untuk saling membantu antara satu dan yang lainnya.

Pondok pesantren adalah salah satu pergerakan yang menanamkan nilai-nilai dasar yang bersumber dari
Al-Qur’an dan Hadits. Dengan kata lain pergerakan ini bukanlah satu pergerakan yang dibentuk begitu
saja secara lumrah, ada tujuan tertentu mengapa terdapat pembentukannya. Proses pembelajaran yang
diberlakukan juga memacu pada Al-Qur’an dan As-Sunnah (Hadits). Sehingga dapat berkesinambungan
dengan arus zaman. Kita lihat saja tatanan kehidupan pondok pesantren sebagai satu sampel tingkat
serta strata kehidupan yang baik dalam berdinamika.

Oleh sebab itu, secara kultural Pesantren beserta isinya, figur seorang Kyai, santri serta seluruh
perangkat fisik dari sebuah pesantren membentuk kultur yang bersifat keagamaan yang mengatur
prilaku seseorang. Dengan demikian produk pesantren (santri) lebih berfungsi sebagai faktor integratif
dalam masyarakat, dari masyarakat untuk masyarakat.

Pada saat ini, hampir setiap pesantren telah membangun pendidikan formal dan ekstrakurikuler, mulai
dari tingkat dasar hingga lembaga pendidikan tinggi. Dan semua lapisan masyarakat sudah merasakan
manfaat dari pendidikan pesantren tersebut. Kemandirian pesantren memberi sumbangan besar
terhadap masyarakat perkampungan maupun masyarakat perkotaan. Sebab, pesantren memiliki tujuan
mencetak kader-kader pemimpin umat. Izzil Islam walmuslimin, mencetak kader yang memiliki
kemuliaan yang besar, tanggung jawab yang besar untuk masyarakat perkampungan terlebih untuk
negara Indonesia.

Pesantren tumbuh sejalan dengan pergerakan perjuangan muslim Indonesia ketika melawan penjajah
belanda. Konon pondok pesantren merupakan basis-basis perlawanan dari para pejuang kita. Di dalam
pesantren terdapat para ulama yang bukan hanya mendidik santri-santrinya saja. Namun, juga mendidik
dan membina masyarakat agar terbentuk masyarakat muslim yang menjalankan kehidupannya berdasar
pada Al-Qur’an dan Hadist. Dan tidaklah berlebihan jika kita menyatakan bahwa pondok pesantren
merupakan suatu institusi yang sangat penting bagi pendidikan umat islam.

Pondok pesantren menjadi sorotan masyarakat dan pemerintah karena mereka mengharapkan pondok
pesantren yang memiliki potensi besar dalam bidang pendidikan, keagamaan, dan sosial itu dapat
ditingkatkan partisipasinya secara lebih aktif lagi dalam rangka perbedayaan dan pengembangan
masyarakat. Mengapa pondok pesantren? Karena wataknya yang bukan semata-mata lembaga
keagamaan melainkan juga sebagai lembaga kemasyarakatan tersebut maka peranan pondok pesantren
dalam pendidikan dan pengembangan masyarakat sangat dominan.

Watak asli pondok pesantren yang cenderung menolak pemusatan (sentralisasi), merdeka dan bahkan
merupakan komunitas paling signifikan yang sangat desentralisasi dan posisinya di tengah-tengah
masyarakat, pondok pesantren sangat bisa diharapkan memainkan peranan
pemberdayaan (empowerment) dan transformasi masyarakat secara efektif. Kemudian pondok
pesantren menjadi sarana bagi pengembangan potensi dan pemberdayaan umat.

Barangkali sudah bukan masanya lagi sebuah pesantren dipimpin secara individual oleh seorang kiai.
Zaman telah berubah. Model kepemimpinan pesantren juga mesti berubah. Tantangan sangat berat yang
diberikan oleh dunia modern kepada pesantren harus dihadapi dengan bersama-sama mencurahkan
pikiran, perhatian, dan tenaga. Tidak berlebihan kiranya untuk menyatakan bahwa pesantren masa
depan adalah pesantren yang dipimpin dan dikelola secara kolektif.
B.      PEMBAHASAN

Pesantren bukan hanya memberi rasukan pedidikan pada peserta didiknya atau santri. Bukan hanya
rasukan pendidikan atau pembelajaran formal saja, pesantren juga menumbuhkan atau menanam
pendidikan karakter dan kemandirian terhadap peserta didiknya. Sehingga, bila nanti mereka diterjunkan
kemasyarakat, mereka benar-benar siap dalam segala hal dan menjadi santri yang unggul di lingkungan
masyarakat.

Pengembangan pendidikan kedamaian di pesantren, lebih-lebih di Madura bukanlah pilihan yang


mengada-ada. Dalam sejarahnya yang panjang, pesantren telah memainkan perang penting dalam
mengembangkan nilai-nilai keislaman sehingga mengakar dalam kehidupan masyarakat Madura.  Bahkan
bisa dikatakan pesantren menjadi elemen penting dalam membentuk kebudayaan masyarakat Madura.
Hal ini bisa dilihat, sebagian besar masyarakat Madura hampir bisa di pastikan memperoleh pendidikan
di pesantren. Dalam kehidupan keseharian saja, kita bisa lihat budaya kepesantrenan bisa kita lihat
sepanjang Madura. Kehidupan yang tidak pernah lepas dari sarung. Membuat Masyarakat Madura
menjadi Pusat Utama dalamPerkembangan Pendidikan Islam.

             

     3. Tujuan Program-Program Pesantren Al-Amien Prenduan

a.      Mempersiapkan manusia-manusia yang beriman sempurna, berilmu luas dan beramal sejati.

b.      Mempersiapkan insan beriman dan sholehatau sholeha yang menjalani kehidupan sesuai dengan
ajaran islam. Melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah dan meninggalkan apa yang diharamkan.

c.       Mencetak kader-kader pemimpin umat(izil Islam wal muslimin)

d.      Mempesiapkan insan yang memiliki kepentingan bersama dan selalu membela di jalan Allah (ijtihat
fisabilillah)

e.      Mempersiapkan insan beriman dan sholehyang merasa bangga dengan loyalitasnya kepada agama
islam dan berusaha sekuat tenaga demi tegaknya panji-panjiislam di muka bumi ini.

f.        Mempersiapkan insan beriman dan sholeh yang merasa bahwa dia adalah bagian dari seluruh
umat islam yang berasal dari berbagai daerah, suku dan bahasa.

Peran pondok pesantren dalam mensejahterakan masyarakat Madura memanglah sangat penting dan
selalu dibutuhkan. Di Madura misalnya hampir banyak alumni yang berasal diri pondok pesantren yang
memimpin organisasi-organisasi yang berada di daerah Madura. Pendidikan di Madura memang tidak
akan pernah lepas dari pendidikan pesantren. Sebab, masyarakat Madura dalam mencari pendidikan
yang lebih mengutamakan pendidikan Moral dan Etika.

Sehingga banyak masyarakat Madura yang menyekolahkan anaknya di pondok pesantren dibandingkan
sekolah-sekolah umum di luar.   Sebab, orientasi pada pendidikan pesantren ialah pembentukan akhlak
mulia bagi peserta didiknya. Sebab, dengan akhlak mulia mengharuskan adanya kesucian jiwa yang akan
mengantarkan seorang dalam memahami eksistensi dirinya serta Penciptanya, yang pada akhirnya akan
membentuk kepribadian yang luhur dalam spritual, emosional dan intelektual.

Pesantren juga sangat memperhatikan pendidikan akhlak bagi anak-anak generasi muslim. Karena
pendidikan akhlak menurut persepektif pesantren terhadap anak merupakan penentu atau penunjang
masa depan anak dan bangsa yang bermoral serta berakhlakul karimah. Buktinya Nabi Muhammad SAW
sangat menekankan hal ini kepada para Sahabat. Di sisi lain kader-kader pesantren juga memberi
sumbangan sangat begitu besar terhadap perkembangan perdamaian, keadilan, etika, dan kemajuan
dalam masyarakat perkampungan Madura. Hal ini terbukti, peran pesantren terhadap masyarakat.
Sebab, masyarakat menjadi penerima manfaat pertama.

Peran alumni pondok pesantren di tengah masyarakat Madura sangat dibutuhkan, mengingat adanya
kalangan awwam yang tidak mengerti sama sekali tentang seluk-beluk keilmuan, pendidikan,
kebudayaan, moral, asusila yang seringkali menjadi salahpaham antar masyarakat sekitar, sehingga
alumni pondok pesantrenlah yang menengahinya, memberikan keterangan menjawab segala persoalan
dan menyelesaikan dengan bijak dan memuaskan sebagaimana menegakkan kebenarnya dan
meniadakan kedzaliman. 

Dalam menjaga dan melestarikan budaya dan bahasa Madura pondok pesantren salafi sudah tidak
diragukan lagi hal ini tercemin dalam kajian kitap gundul (kitap kuning). Pondok salafi yang tersebar
dalam pelosok Madura menjadi alternatif dalam melestarikan bahasa Madura. Semua santri bukan saja
diajarkan nilai-nilai ibadah pada sang Pencipatanya. Namun, secara tidak langsung mereka juga diberikan
rasukan dalam melestarikan bahasa Madura.

Dalam sistem yang dikembangkan oleh pondok pesantren sebagai upaya mengoptimalkan potensi yang
dimiliki santrinya, pondok pesantren memberikan pelatihan khusus atau diberikan tugas magang di
beberapa tempat yang sesuai dengan pengembangan yang akan dilakukan di pondok pesantren
(pengabdian). Pondok pesantren sebagai fasilitator dan instrumental sangat dominan.

Kini kita ketahui peran pesantren bukan hanya sekedar lembaga pendidikan, bahkan dalam lintasan
babad sejarah bangsa Indonesia, pesantren memiliki peran penting sebagai benteng pertahanan terakhir
bagi rakyat Indonesia dalam menyulut gelora melawan penjajahan bangsa asing serta perjuangan
merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pesantren juga yang merintis penyelenggaraan
pendidikan sebagai program pencerdasan anak bangsa saat itu, jauh sebelum model pendidikan ala
belanda “dipaksakan” keberadaanya di Indonesia.

Pendidikan pesantren seharusnya memperoleh prioritas dalam mewujudkan cita-citabangsa tersebut,


mengingat kenyataan faktualnya sebagai indigenous culture. Sayangnya pembuat kebijakan (police
maker) dalam pendidikan nasional, masih memandang sebelah mata terhadap peranan pesantren dalam
ikhtiar mencerdaskan kehidupan bangsa. Madura merupakan salah satu daerah dimana terdapat banyak
pesantren di dalamnya, pondok pesantren salah satunya tempat pendidikan yang sangat masyhur di
kalangan masyarakat Madura dengan berbagai keunggulannya.

Pondok pesantren juga merupakan lembaga yang berperan dalam memobilisasi masyarakat Madura
dalam perkembangan mereka. Peranan ini juga jarang dimiliki oleh lembaga atau perguruan lainnya
dikarenakan atas kepercayaan masyarakat bahwa pondok pesantren adalah tempat yang tepat untuk
menimba akhlak dan budi pekerti yang baik.
Peranan pondok pesantren menjadi sangat strategis dalam memberikan contoh atau mengajak untuk
melakukan pengembangan yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat sekitar. Artinya, pondok
pesantren dapat dengan mudah menggalang animo masyarakat sekitar untuk ikut serta dalam
menyelenggarakan kegiatan usaha yang diadakan oleh pondok pesantren.

Secara umum, kehadiran pondok pesantren bisa disebut sebagai agen perubahan sosial (agent of social
change) yang selalu melakukan pembebasan pada masyarakat dari segala keburukan moral, penindasan
politik, pemiskinan ilmu pengetahuan dan bahkan pemiskinan ekonomi Madura. Oleh karnanya lembaga
pondok pesantren menjadi suatu keniscayaan sebagai bentuk institusi yang dilahirkan atau kehendak
dan kebutuhan masyarakat Madura.

Dengan begitu pondok pesantren telah berfungsi sebagai pelaku pengembangan masyarakat dan
menjadi agen pergerakan pembangunan nasional dalam lingkup yang menjadi tanggung jawabnya.
Karena salah satu misi awal didirikannya pondok pesantren adalah menyebarluaskan informasi ajaran
dan pengetahuan agama islam ke seluruh pelosok nusantara yang berwatak pluralis, baik dalam dimensi
kepercayaan, budaya maupun kondisi masyarakat Madura.

Dan juga sebagai upaya untuk menjawab tantangan zaman, pondok pesantren kemudian
mengembangkan peranannya dari sekedar lembaga keagamaan dan pendidikan menjadi lembaga
pengembangan masyarakat, diantaranya adalah kegiatan pengembangan keterampilan dan peningkatan
partisipasi masyarakat di dalam pembangunan seperti pendidikan dan pelatihan aneka kejuruan,
keterampilan dan penyelenggaraan unit usaha.

Nilai Perjuangan dan Pengorbanan

Kiai atau pengasuh pondok pesantren memiliki kesadaran penuh bahwasanya tugas-tugasnya di
pesantren adalah suatu perjuangan besar yang membutuhkan nilai-nilai pengorbanan. Maka tidaklah
heran jika pesantren-pesantren lama banyak berlokasi di desa-desa terpencil. Hal ini tidak lepas dari
sikap protes para kiai yang keras terhadap penjajahan waktu itu,bahkan pada masa penjajahan dan awa-
awal kemerdekaan pesantren selalu menjadi pusat perlawanan terhadap kolonialisme dan kaum
kolonial, tidak sedikit dari para kiai dan santrinya yang mati syahid sebagai kusuma bangsa di medan
perang.

DAFTAR PUSTAKA

1.      Departemen Pendidikan Agama RI, Diktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam. 2003. “Pola
Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pondok Pesantren”Jakarta
2.      Search for Common Graund in Indonesia. 2005. “Modul Pendidikan Perdamaian Berbasis
Pesantren”Jakarta, Wasihington, DC. USA

3.      Jauhari, Idris Muhammad, 2013 “Hakikat Pesantren (Kunci Sukses Belajar di Dalamnya) Al-Amien


Prenduan: Mutiara Press.

                                            Santri yang tergabung dalam Hizbullah.

Refleksi Keindonesiaan

Peran besar kalangan pesantren dalam perjuangan kemerdekaan tentu patut menjadi refleksi bagi kita
semua. Refleksi ini penting karena di tengah gegap gempita perayaan proklamasi kemerdekaan 17
Agustus, kiprah pesantren bagi kemerdekaan Indonesia makin hari makin dilupakan orang, bahkan oleh
kalangan pesantren sendiri. Ini tentu menyedihkan karena perjuangan kalangan pesantren terhadap
eksistensi Negara Republik Indonesia tidak hanya berhenti setelah proklamasi, tetapi terus dilanjutkan di
masa-masa kemudian.

Dalam pemberontakan DI/TII misalnya, kalangan pesantren tidak memberikan dukungan meskipun yang
pemberontakan itu dilakukan oleh orang Islam dan ditujukan untuk mendirikan negara Islam. Pondok
Pesantren Cipasung misalnya, yang didirikan tahun 1931 oleh KH Ruhiat, beberapa kali bentrok dengan
kelompok DI/TII karena menolak mendukung dan bergabung dengan pemberontak tersebut. Padahal
DI/TII lahir di wilayah yang sama dengan Pesantren Cipasung. Begitu pun Pesantren Suryalaya ,Godebag
Tasikmalaya yang dipimpin oleh kyai karismatik KH.Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin. Pesantren
Suryalaya Beberapakali terlibat bentrok dengan pembrontak DI/TII dan tercatat beberapa orang
santrinya yang menjadi korban pertempuran. Pesantren Suryalaya mendapat penghargaan dan simpati
yang mendalam dari Panglima Daerah Militer RI kala itu (red). Sebagai organisasi yang memayungi
kalangan pesantren, NU juga dengan gigih menolak pemberontakan DI/TII, PRRI dan Permesta, karena
NKRI sudah dianggap final.

Kesetiaan kalangan pesantren terhadap visi kebangsaan Indonesia mulai mendapat tantangan serius
ketika muncul kalangan Islam garis keras yang mencoba menawarkan Islam sebagai solusi bagi
penyelesaian berbagai krisis di Indonesia. Sebagian pesantren sudah mulai tergoda oleh gerakan yang
antara membawa gagasan formalisasi syariat Islam. Ini menjadi persoalan karena kalangan pesantren
sangat kental dengan ciri moderat, menghargai keberagaman,

memandang wahyu dan akal sebagai acuan kebenaran yang saling membutuhkan serta menghagai nilai-
nilai tradisi dan  budaya lokal. Sementara Islam garis keras cenderung menolak prinsip-prinsip ini.  Pasca
reformasi, eksistensi keindonesiaan memang menghadapi banyak tantangan serius. Dengan modal
sejarah yang gemilang dalam memperjuangkan kemerdekaan, pesantren mestinya bisa berbuat banyak
untuk turut membantu penyelesaian berbagai masalah kebangsaan. Sayangnya, para pemimpin
pesantren yang belakangan marak terlibat dalam politik praktis tidak banyak yang memiliki visi
kebangsaan seperti para pendahulu mereka. Kita berharap, pesantren melalui para kiai, santri dan
alumninya di masa-masa mendatang dapat memainkan lagi peran kebangsaan seperti yang dilakukan
oleh para pendahulu mereka.

Diposting ulang oleh : Dokumen Pemuda TQN Suryalaya

Sumber : http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index2.php?
option=com_content&do_pdf=1&id=77

Penulis : Agus Muhammad, Alumnus PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo Jawa TimurA.    PENDAHULUAN

1.      Sejarah perkembangan pondok pesantren

a.       Asal usul pesantren dan sejarah perkembangannya

Pesantren dilahirkan atas dasar kewajiban dakwah Islamiyah, yakni menyebarkan dan  mengembangkan
ajaran Islam, sekaligus mencetak kader-kader ulama atau da’i.[1][1] Pesantren sendiri menurut
pengertian dasarnya adalah “tempat belajar para santri”, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat
tinggal sederhana yang terbuat dari bambu. Di samping itu pondok juga berasal dari bahasa arab
“funduq” yang berarti hotel atau asrama.

Pembangunan suatu pesantren didorong oleh kebutuhan masyarakat akan adanya lembaga pendidikan
lanjutan. Namun demikian, faktor guru yang memenuhi persyaratan keilmuan yang diperlukan sangat
menentukan  tumbuhnya suatu pesantren. Pada umumnya, berdirinya suatu pesantren ini diawali dari
pengakuan masyarakat akan keunggulan dan ketinggian ilmu seorang guru atau kyai. Karena keinginan
menuntut ilmu dari guru atau kyai tersebut, masyarakat sekitar bahkan dari luar daerah datang
kepadanya untuk belajar. Kemudian mereka membangun tempat tinggal yang sederhana di sekitar
tempat tinggal guru tersebut.[2][2]

b.      Pesantren sebagai lembaga pendidikan islam

Lembaga pendidikan islam adalah wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan islam yang
bersamaan dengan proses pembudayaan. [3][3] Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan islam,
mempunyai peranan yang sangat penting dalam memajukan pendidikan islam di indonesia.
Mekanisme kerja pesantren mempunyai keunikan dibandingkan dengan sistem yang diterapkan dalam
pendidikan pada umumnya, yaitu:[4][4]

1)        Memakai sistem tradisional yang mempunyai kebebasan penuh

2)        Kehidupan di pesantren menampakkan semangat demokrasi

3)        Para santri tidak mengidap penyakit simbolis

4)        Sistem pondok pesantren mengutamakan kesederhanaan, idealisme, persaudaraan, penanaman


rasa percaya diri dan keberanian hidup.

5)        Alumni pondok pesantren tidak ingin menduduki jabatan pemerintahan, sehingga mereka hampir
tidak dapat dikuasai oleh pemerintah.[5][5]

Pesantren mempunyai ciri khas tersendiri yang dapat membedakannya dengan lembaga pendidikan
lainnya. Ciri khas tersebut sekaligus juga menjadi unsur-unsur pokok pesantren, yaitu sebagai berikut:

1)        Pondok

Pondok merupakan tempat tinggal kyai bersama para santri dan bekerja sama untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari.

2)        Masjid

Masjid digunakan sebagai pusat kegiatan ibadah dan belajar.

3)        Santri

Santri merupakan unsur pokok dari suatu pesantren. Santri biasanya terdiri dari dua kelompok yaitu
santri mukim dan santri kalong

4)       Kyai

Kyai yaitu tokoh sentral dalam pesantren yang memberikan pengajaran.

5)       Kitab-kitab Islam klasik

Kitab-kitab Islam klasik yaitu kitab yang dikarang para ulama terdahulu, mengenai berbagai macam ilmu
pengetahuan agama islam dan bahasa arab.[6][6]

c.       Sistem pendidikan dan pengajaran pesantren

Pondok pesantren memiliki model-model pengajaran yang bersifat nonklasikal, yaitu model sistem
pendidikan dengan menggunakan metode pengajaran sebagai berikut:

1)      Sorogan, yaitu cara mengajar per kepala; setiap santri mendapat kesempatan tersendiri untuk
memperoleh pelajaran secara langsung dari kyai.

2)      Bandongan atau wetonan yaitu cara mengajar dimana santri duduk di sekitar kyai dengan
membentuk lingkaran. Kyai membacakan teks kitab, menerjemahkan dan menerangkan maksudnya,
kemudian santri menyimak kitab masing-masing.
3)      Hafalan, santri harus menghafal materi yang diajarkan, misalnya, Al-Qur’an, hadits, dan materi-
materi tertentu yang wajib dihafalkan.

2.      Keadaan pesantren pada zaman penjajahan

Pemerintah kolonial khususnya Belanda, berusaha menekan dan mendiskreditkan pendidikan Islam yang
dikelola oleh pribumi, tak terkecuali pondok pesantren.

Penyelenggaraan pendidikan di pesantren menurut kolonial Belanda terlalu jelek dan tidak
memungkinkan untuk menjadi sekolah-sekolah modern. Oleh karena itu, mereka mengambil alternatif
kedua, yaitu mendirikan sekolah-sekolah sendiri yang tidak ada hubungannya dengan lembaga
pendidikan yang telah ada.

Antara kedua sistem pendidikan tersebut terdapat perbedaan yang cukup mencolok, dan bahkan bisa
dikatakan kontradiksi atau bertentangan. Perbedaan-perbedaan tersebut yaitu:[7][7]

a.       Pendidikan yang diselenggarakan dan dibiayai oleh pemerintah belanda bersifat netral. Pendidikan
diselenggarakan berdasarkan perbedaan kelompok elit yang bisa dipergunakan untuk mempertahankan
politik dan ekonomi Belanda di negeri jajahannya.

b.      Pendidikan di madrasah dan pondok pesantren tidak  terlalu memikirkan bagaimana cara hidup
harmonis di dunia, tetapi menekankan pada bagaimana memperoleh penghidupan.

Dengan didirikannya lembaga pendidikan atau sekolah yang diperuntukkan sebagian bangsa indonesia
tersebut, semenjak itulah terjadi persaingan antara lembaga pendidikan pesantren dan lembaga
pendidikan pemerintah. Persaingan yang terjadi tersebut bukan hanya dalam segi ideologis dan cita-cita
pendidikan saja, melainkan juga dalam bentuk perlawanan politis dan bahkan fisik (peperangan).
Perlawanan melawan pemerintah kolonoal Belanda pada abad ke-19 mendapatkan dukungan
sepenuhnya dari pesantren. Perang-perang besar seperti Perang Diponegoro, Perang Paderi, Perang
Banjar, sampai perlawanan-perlawanan rakyat yang bersifat lokal yang tersebar di mana-mana didukung
sepenuhnya oleh tokoh-tokoh pesantren dan alumni-alumninya. Merekalah yang memegang peranan
utama.

Pada tahun 1882 didirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) pleh pemerintah kolonial. Tugas-tugasnya


adalah mengadakan pengawasan terhadap pendidikan pesantren. Tidak lama setelah itu, dikeluarkan
ordonasi tahun 1905 yang berisi ketentuan-ketentuan pengawasan terhadap perguruan yang hanya
mengajarkan agama (pesantren) dan guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari
pemerintah setempat.[8][8]

Semenjak itulah muncul berbagai usaha pembaharuan dalam berbagai aspek kehidupan sosial, budaya
dan peradaban umat Islam, termasuk usaha pembaharuan pendidikan Islam.

Pada garis besarnya, ide pembaharuan dalam bidang pendidikan yang berkembang di dunia Islam bisa
digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu:

a.       Pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada pola pendidikan modern di barat, yakni
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebudayaan.

b.      Pola pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada pemurnian kembali ajaran Islam.
c.       Pola pembaharuan yang berorientasi pada kekuatan-kekuatan dan latar belakang historis atau
pengembangan sumber daya nasional atau bangsa masing-masing.

Tampaknya, ketiga pandangan tersebut mempunyai pengaruh terhadap perkembangan dan


pembaharuan dan sistem pendidikan Islam di Indonesia menjelang dan awal abad ke-20. Beberapa
pesantren mulai memperkenalkan sistem madrasah, sebagaimana sistem yang berlaku di sekolah-
sekolah umum, kendati pelajarannya masih ditekankan pada pelajaran agama saja. Pada perkembangan
berikutnya, madrasah-madrasah mengajarkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan umum.

3.      Pertumbuhan dan perkembangan pesantren di zaman kemerdekaan

Setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya, pesantren mendapatkan  tempat di hati masyarakat


Indonesia. Ki Hajar Dewantara, yang dikenal sebagai tokoh pendidikan nasional dan sekaligus sebagai
Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan RI yang pertama menyatakan bahwa pondok pesantren
merupakan dasar pendidikan nasional karena sesuai dan selaras dengan jiwa dan kepribadian bangsa
Indonesia.[9][9]

Penyelenggaraan pendidikan agama mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik di sekolah negeri
maupun swasta. Pesantren pada hakikatnya adalah salah satu alat dan sumber pendidikan dan
pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya,
hendaklah mendapat perhatian dan bantuan material dari pemerintah.[10][10]

Pemerintah RI pun mengakui bahwa pesantren dan madrasah merupakan dasar dan sumber pendidikan
nasional sehingga harus dikembangkan, diberi bimbingan dan bantuan. Wewenang dan pengembangan
tersebut berada di bawah wewenang kementerian agama.

Meskipun demikian, pesantren juga tidak luput dari berbagai kritik. Hal ini terutama terjadi di saat-saat
menjelang kemerdekaan, ketika kondisi pondok pesantren telah mencapai titik kritis sebagai lembaga
pendidikan tradisional yang tertutup dan statis. Islam yang diajarkan pondok pesantren pada umumnya
adalah Islam yang telah mengalami teror dan intimidasi musuh islam, yakni Islam yang ritualistik dan
sufistik, bahkan mengarah pada feodalisme.

Akhir-akhir ini, pondok pesantren mempunyai kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap
sistem yang selama ini dipergunakan, yaitu:

a.       Mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern

b.      Semakin berorientasi pada pendidikan dan fungsional

c.       Diversivikasi progam dan kegiatan makin terbuka.

d.      Berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat. [11][11]

Meskipun demikian, pesantren masih tetap mempertahankan sistem pengajaran tradisional yang
menjadi ciri khasnya. Sistem sorogan tampak dalam berbagai bentuk bimbingan individual, sedangkan
cara bandongan tampak dalam kegiatan ceramah-ceramah umum, yang sekarang lebih dikenal dengan
majelis taklim.

Secara garis besar, pesantren sekarang dapat dibedakan atas dua macam, yaitu:

a.       Pesantren tradisional
Pesantren tradisional yaitu pesantren yang masih mempertahankan sistem pengajaran tradisional
dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik yang sering disebut kitab kuning.

b.      Pesantren modern

Pesantren modern yaitu pesantren yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem klasikal dan
sekolah ke dalam pondok pesantren.[12][12]

Dalam rangka menjaga kelangsungan hidup pesantren, pemerintah telah memberikan bimbingan dan
bantuan sebagai motivasi agar tetap berkembang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat
dan pembangunan. Arah perkembangan pesantren dititik beratkan pada:

a.       Peningkatan tujuan institusional pondok pesantren dalam kerangka pendidikan nasional dan
pengembangan potensinya sebagai lembaga sosial di pedesaan.

b.      Peningkatan kurikulum dengan metode pendidikan agar efisiensi dan efektivitas pengembangan
pondok pesantren terarah.

c.       Menggalakkan pendidikan ketrampilan di lingkungan pondok pesantren untuk mengembangkan


potensi pondok pesantren dalam bidang prasarana sosial dan taraf hidup masyarakat.

d.      Menyempurnakan bentuk pesantren dengan madrasah menurut SKB 3 Menteri Tahun 1975 tentang
peningkatan mutu pendidikan pada madrsah.[13][13]

Di antara kelebihan pesantren adalah lebih bersikap hidup mandiri dengan tidak menggantungkan diri
kepada sesorang dan lembaga masyarakat apapun. Sementara itu, kekurangannya adalah tidak adanya
planning yang terperinci dan rasional atas jalannya pendidikan dan pengajaran yang dilaksanakan, tidak
adanya keharusan membuat kurikulum dalam susunan yang lebih mudah dicerna dan dikuasai oleh
santri. Di samping itu, sistem pemberian materi masih tradidional, hampir tidak ada prioritas antara
materi yang satu dengan materi yang lainnya.

Pergeseran-pergeseran nilai yang terjadi menuntut pesantren untuk melakukan reorientasi tata nilai
bentuk baru yang relevan dengan tantangan zamannya, tanpa kehilangan identitasnya sebagai lembaga
pendidikan Islam.[14][14]

DAFTAR PUSTAKA

Rukiati, Enung K., Fenti Hikmawati. 2006. Sejarah Pendidikan Islam di indonesia Bandung: Pustaka Setia
Sejarah Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran dan pejuangan pesantren. Sejak masa awal
kedatangan Islam, terutama pada masa walisongo hingga masa penjajahan belanda,masa kemerdekan
hingga kini, persantren telah menyumbang sejuta jasa yg tak ternilai harganya bagi Indonesia terutama
kepada pengembangan agama Islam.

Sebut saja Raden Fatah raja pertama demak adalah santri pesantren Sunan Ampel.

Begitu pula Sunan Giri,Sunan  Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kudus yg merupakan panglima perang
kerajaan Demak adalah generasi awal santri pesantren yg perannya dalam penyebaran agama Islam
sangatlah besar.

Dalam masa penjajahan, dijawa ada nama Pangeran Diponegoro, di sumatra ada tuanku Imam Bonjol yg
dijuluki harimau nan salapan, di Aceh ada Teuku Umar dan Teuku Ciktidiro, di Makasar ada Syeh Yusuf  yg
kesemuanya berjuang mengorbankan jiwa dan raga menentang penjajah Belanda.

Pada kurun waktu tahun 1900san,  muncul pula nama-nama besar seperti KH Hasyim Asyari, Hos
Cokroaminoto pendiri SI (sarekat islam), KH  Ahmad Dahlan, dan lain sebagainya.

Pada masa kemerdekaan, muncul nama-nama seperti KH Wahab Hasbullah, M. Natsir, KH Wahid Hasyim,
Buya Hamka, KH Saifuddin Zuhri. Dan pada masa sekarang terdapat KH Maemun Zubair dimana bisa kita
lihat perannya dalam dunia politik maupun pengembangan agama islam. Ada pula Gus Dur yg suka
kontroversi, Hidayat Nur Wahid, Din Syamsyuddin, KH Hasyim Muzadi dan banyak lagi.

Maka dari itu, dalam hal ini kami akan membagi pesantren menjadi empat periode; periode masa awal
islam di Indonesia, periode penjajahan, periode kemerdekaan, periode reformasi sampai sekarang.

Pendahuluan

Pesantren atau pondok pesantren adalah sekolah Islam berasrama. Para pelajar pesantren disebut santri.
Kata santri menurut profesor Johns berasal dari bahasa Tamil yg berarti guru mengaji. Sedang kata
pondok berasal dari bahasa arab funduq yg berarti hotel atau asrama.

Dalam bukunya “Tradisi Pesantren” Zamakhsyari Dhofier menyatakan; “pondok, masjid, santri,
pengajaran kitab-kitab islam klasik dan kyai merupakan lima elemen dasar dari tradisi pesantren”. Jadi
bisa dibilang kelima hal tersebut adalah syarat atupun rukun berdirinya pondok pesantren.

KH Maemoen Zubair bersama presiden SBY


Satu hal yg menarik adalah disebutkanya masjid. Ya sejak zaman Nabi masjid memang menjadi pusat
pendidikan islam dan kedudukan ulama yg menjadi pewaris para nabi menuntut mereka untuk mewarisi
sunnah nabi tersebut.Dan sejarah pun membuktikan bahwa pembangunan pondok selalu didahului
dengan pembangunan masjid dimana sang kyai mengajar. Kemudian ketika santri sudah cukup banyak
sehingga memerlukan tempat penginapan barulah dibangun pondok, seperti halnya yg terjadi pada
pesantren tebu ireng dan juga pesantren al-anwar kita ini.

Tujuan didirikannya pesantren -menurut yg disebutkan Wiki Pedia- adalah untuk memperdalam
pengetahuan tentang Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, dengan mempelajari bahasa Arab dan kaidah-kaidah
tata bahasa bahasa Arab. Hal tersebut memang benar adanya, namun disamping itu menurut kami,
tujuan didirikannya pesantren adalah sebagai pusat dakwah islamiyyah dalam rangka menyebarluaskan
ajaran agama Islam dan meningkatkan iman dan ketakwaan kaum muslim.

Pesantren Dimasa Awal Islam

Terdapat kesepakatan diantara ahli sejarah Islam  yg menyatakan bahwa  pendiri pesantren pertama
adalah dari kalangan Walisongo, namun terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa dari mereka yg
pertama kali mendirikannya. Ada yg mengganggap bahwa Maulana Malik Ibrahim-lah pendiri pesantren
pertama, adapula yg menganggap Sunan Ampel, bahkan ada pula yg menyatakan pendiri pesantren
pertama adalah Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah. Akan tetapi pendapat terkuat adalah pendapat
pertama.

Sedang mengenai pendapat yg menyatakan pesantren paling tua adalah pesantren Tegalsari Ponorogo
maka hal tersebut tidak sampai menafikan hal yg kami sebutkan diatas. Karena yg dimaksud adalah
pendirian dan pelembagaan pesantren pertama kali.

Wali Songo

Peran dan pengaruh pesantren pada masa ini sangatlah kuat. Dimulai dengan Maulana Malik ibrahim,
beliau mendirikan pesantren guna mempersiapkan kader-kader terdidik untuk melanjutkan perjuangan
menyebarkan agama islam.

Kemudian datang Sunan Ampel atau Raden Rahmat ia mendirikan pesantren di daerah rawa-rawa
pemberian Majapahit. Pesantren tersebut merupakan sentra pendidikan yg sangat berpengaruh di
nusantara bahkan mancanegara. Diantara murid-murid beliau adalah Sunan Giri yg mendirikan
pesantren Giri Kedaton, beliau juga merupakan penasehat dan panglima militer ketika Raden Patah 
melepaskan diri dari Majapahit. Keahlian beliau dalam fiqh menyebabkan beliau diangkat menjadi mufti
setanah jawa.

Diantara murid beliau adalah Raden Patah raja pertama kerajaan demak yg juga putra raja terakhir
Majapahit Prabu Brawijaya v. Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa yg dibimbing
oleh para Walisongo. Pada masa Raden Patah pula kerajaan Demak mengirimkan ekspedisi ke Malaka yg
dipimpim Adipati Unus untuk merebut selat Malaka dari tangan Belanda.

Dan jika kita teliti tentang sisilsilah ilmu para Walisongo, kita akan menemukan bahwa kebanyakan
sisilsilahnya akan sampai pada Sunan Ampel. Sebut saja Sunan Kalijaga, belia adalah murid Sunan
Bonang yg merupakan Putra Sunan Ampel. Begitu pula Sunan Kudus yg banyak menuntut ilmu dari
Sunan Kalijaga. Mereka semua ini punya jasa yg sangat dalam penyebaran agama islam.

Begitulah  pesantren pada masa Walisongo, ia digunakan sebagai tempat menimba ilmu sekaligus untuk
menempa para santri guna menyebarluaskan ajaran agama Islam, mendidik kader-kader pendakwah
guna disebarkan keseluruh nusantara. Dan hasilnya bisa kita lihat sendiri, Islam menjadi agama
mayoritas di Indonesia dan bahkan bukan hanya itu jumlah pengikutnya adalah yg terbanyak di dunia.

Setelah itu muncul pula pesantren-pesantren lain yg mengajarkan ilmu agama  diberbagai bidang
berdasarkan kitab-kitab salaf.

Pesantren Dimasa Penjajahan

Pada masa penjajan belanda pesantren mengalami ujian dan cobaan dari Allah, pesantren harus
berhadapan dengan dengan Belanda yg sangat membatasi ruang gerak pesantren dikarenakan
kekuatiran Belanda akan hilangnya kekuasaan mereka.

Sejak perjanjian Giyanti, pendidikan dan perkembangan pesantren dibatasi oleh Belanda. Belanda
bahkan menetapkan resolusi pada tahun 1825 yg membatasi jumlah jamaah haji. Selain itu belanda juga
membatasi kontak atau hubungan orang islam indonesia dengan negara-negara islam yg lain. Hal-hal ini
akhirnya membuat pertumbuhan dan pekembangan Islam menjadi tersendat.

Perlu diketahui, bahwa walaupun Walisongo berhasil mengislamisai sebagian besar wilayah nusantara,
namun banyak atau bahkan sebagian besar dari mereka keislamannya belum sempurna. Hal ini dapat
dibuktikan dalam masa sekarangpun terdapat masyarakat yg rajin sholat puasa dan sebagainya akan
tetapi mereka masih mempercayai kepercayaan mistik animisme warisan nenek moyang mereka.
Sebagian lagi dari mereka cuma mengenal islam melalui sholat puasa, larangan memakan daging babi,
tradisi sunat saja tanpa mengenal yg lainnya. Dan pada masa penjajahan belanda proses kelanjutan dari
pengislaman ini terhambat dan tersendat oleh ulah penjajah Belanda.

Sebagai respon atas penindasan belanda, kaum santri pun mengadakan perlawanan. Menurut Clifford
Geertz, antara 1820-1880, telah terjadi pemberontakan besar kaum santri di indonesia yaitu :

1. Pemberontakan kaum padri di sumatra dipimpin oleh Imam Bonjol

2. Pemberontakan Diponegoro di Jawa

3. Pemberontakan Banten akibat aksi tanam paksa yg dilakukan belanda

4. Pemberontakan di Aceh yg dipimpin antara lain oleh Teuku Umar dan Teuku Ciktidiro

Pada akhir abad ke19 segera setelah Belanda mencabut resolusi yg membatasi jamaah haji, jumlah
peserta jamaah haji pun membludak. Hal ini menyebabkan tersedianya guru-guru pengajar islam dalam
jumlah yg berlipat-lipat yg dengan demikian ikut meningkatkan jumlah pesantren. Karena seperti hal yg
kita ketahui, para jamaah haji pada waktu itu selain berniat untuk haji mereka juga sekalian untuk
menuntut ilmu, dan ketika mereka kembali ke Indonesia mereka mengembangkan ilmunya dan
menyebarkuaskanya.
Pada masa inilah banyak muncul ulama-ulama indonesia yg berkualitas internasional seperti Syekh
Ahmad Khatib Assambasi, Syekh Nawawi Albantani, Syeh Mahfudz At-Tarmisi, Syeh Abdul Karim dll. Yang
kepada mereka lah intisab keilmuan kyai-kyai Indonesia bertemu.

Snouck Hurgronje

Awal abad 20 atas usul Snouck Hurgronje Belanda membuka sekolah-sekolah bersistem pendidikan barat
guna menyaingi pesantren. Tujuannya adalah untuk memperluas pengaruh pemerintahan Belanda
dengan asumsi masa depan penjajahan Belanda bergantung pada penyatuan wilayah tersebut dengan
kebudayaan Belanda. Sekolah-sekolah ini hanya diperuntukkan bagi kalangan ningrat dan priyayi saja
dengan tujuan westernisasi kalangan ningrat dan priyayi secara umum. Kelak sebagai akibat dari sekolah
model belanda ini adalah munculnya golongan nasionalis sekuler yg kebanyakan bersal dari kalangan
priyayi.

Sebagai respon atas usaha Belanda tersebut para kyai pun mendirikan sistem madrasah yg diadopsi dari
madrasah-madrasah yg mereka temukan ketika menuntut ilmu di makkah. Selain itu pesantren juga
mulai mengajarkan ilmu-ilmu umum seperti matematika, ilmu bumi, bahasa Indonesia, bahkan bahasa
Belanda, yg dipelopori oleh pesantren Tebu Ireng pada tahun 1920. Selain itu para kyai juga mulai
membuka pesantren-pesantren khusus bagi kaum wanita.

Hasilnya sungguh memuaskan pondok pesantren semakin diminati. Dalam tahun 1920-1930
jumlahpesantren dan santri-santrinya melonjak berlipat ganda dari ratusan menjadi ribuan santri.

Pada kurun waktu awal 1900-san inilah lahir organisasi-organisasi islam yg didirikan kalangan santri.
Sebut saja SI yg didirikan Hos Cokroaminoto dan H Samanhudi, NU yg didirikan KH Hasyim Asy’ari,
Muhammadiyyah yg dirikan KH Ahmad Dahlan, PERSIS (persatuan islam) dll. Yg kesemuanya berjuang
menegakkan agama Islam dan berusaha membebaskan Indonesia dari cengkeraman Belanda.

KH Wahab Chasbullah dan KH Bisri Syamsuri

Pada masa penjajahan Jepang untuk menyatukan langkah, visi dan misi demi meraih tujuan, organisasi-
organisasi terse

but melebur menjadi satu dengan nama Masyumi (majlis syuro muslimin indonesia).

Pada masa Jepang ini pula kita saksikan perjuangan KH Hasyim Asy’ari beserta kalangan santri
menentang kebijakan kufur Jepang yg memerintahkan setiap orang pada jam 07:00 untuk menghadap
arah Tokyo menghormati kaisar Jepang yg dianggap keturunan dewa matahari sehingga beliau ditangkap
dan dipenjara 8 bulan.

Menjelang kemerdekaan kaum santri pun terlibat dalam penyusunan  undang-undang dan anggaran
dasar relublik Indonesia yg diantaranya melahirkan piagam Jakarta. Namun oleh golongan nasioalis
sekuler piagam jakarta tersebut dihilangkan sehingga kandaslah impian mendirikan negara Islam
Indonesia.

Periode kemerdekaan
Pada masa awal-awal kemerdekaan kalangan santri turut berjuang mempertahankan kemerdekaan
Indonesia. KH Hasyim Asyari waktu itu mengeluarkan fatwa wajib hukumnya mempertahankan
kemerdekaan

Fatwa tersebut disambut positif  oleh umat islam sehingga membuat arek-arek Surabaya dengan
dikomandoi Bung Tomo dengan semboyan “Allahhu akbar!! Merdeka atau mati” tidak gentar
menghadapi Inggris dengan segala persenjataanya pada tanggal 10 November. Deperkirakan 10000
orang tewas pada waktu itu namun hasilnya, Inggris gagal menduduki Surabaya.

KH. Hasyim Asy'ari

Setelah perang kemerdekaan pesantren mengalami ujian kembali dikarenakan pemerintahan sekuler
Soekarno melakukan penyeragaman atau pemusatan pendidikan nasional yg tentu saja masih menganut
sistem barat ala Snouck Hurgronje.

Akibatnya pengaruh pesantren pun mulai menurun, jumlah pesantren berkurang, hanya pesantren besar
yg mampu bertahan. Hal ini dikarenakan pemerintah mengembangkan sekolah umum sebanyak-
banyaknya. Berbeda pada masa Belanda yg terkhusus untuk kalangan tertentu saja dan disamping itu
jabatan-jabatan dalam administrasi modern hanya terbuka luas bagi orang-orang bersekolah disekolah
tersebut.

Pada pada Soekarno pula pesantren harus berhadapan dengan kaum komunis. Banyak sekali pertikain
ditingkat bawah yg melibatkan kalangan santri dan kaum komunis. Sampai pada puncaknya setelah
peristiwa G30s PKI, kalangan santri bersama TNI dan segenap komponen yg menentang komunisme
memberangus habis komunisme di indonesia. Diperkirakan  500000rb nyawa komunis melayang akibat
peristiwa ini, kepala seorang komunis dipajang disepanjang rel kereta api malang. Peristiwa ini bisa
dibilang merupakan chaos paling berdarah di replubik ini namun hasilnya komunisme akhirnya lenyap
dari Indonesia.

Biarpun  demikian dengan jasa yg demikian besarnya pemerintahan Soeharto seolah tidak mengakui jasa
pesantren. Soeharto masih meneruskan lakon pendahulunya yg tidak mengakui pendidikan ala
pesantren. Kalangan santri dianggap manusia kelas dua yg tidak dapat melanjutkan pendidikannya
keperguruan tinggi dan tidak bisa diterima menjadi pegawai-pegawai pemerintah. Agaknya hal ini
memang sengaja direncanakan secara sistematis untuk menjauhkan orang-orang islam dari struktur
pemerintahan guna melanggengkan ideologi sekuler.

Namun demikian pesantren pada kedua orde tersebut tetap mampu menelorkan orang-orang hebat  yg
menjadi orang-orang penting di negara kita seperti KH Wahid Hasyim, M Nastir, Buya Hamka, Mukti Ali,
KH Saifuddin Zuhri dll.

Periode Reformasi Sampai Sekarang

Akibat kebijakan rusak Soeharto pemerintahan pun dipenuhi orang-orang abangan yg tak tahu agama
sehingga terjadilah korupsi, kolusi, dan berbagai macam bentuk kerusakan lainnya. Selain itu politik
“keseimbangan” yg diterapkannya menyebabkan pesantren yg kebanyakan milik NU kehilangan perannya
di lingkungan pemerintahan. Pemerintah lebih suka memilih Muhammdiyyah yg merupakan rival NU
untuk menempati beberapa pos penting pemerintahan.
Partai-partai peserta pemilu 2009

Pada era reformasi yg diantara diprakarsai oleh Gus Dur dan Amien Rais dari kalangan NU dan
Muhammdiyyah, kaum santri mulai bangkit. Partai-partai yg berbasis santri pun bermunculan. NU yg
tidak puas atas hegemoni orang luar NU di PPP mendirikan PKB. Kalangan yg tidak puas dengan PKB
mendirikan PKU, PNU sampai yg terakhir PKNU. Dari muhammdiyyah lahir PAN dan PBB. Muncul pula
PKS yg banyak terinspirasi gerakan dakwah Ikhwanul Muslimin yg belakangan mencuri perhatian. Namun
sayangnya mengapa umat islam bisa dengan mudahnya terpecah belah.Pada masa ini pula muncul untuk
pertama kalinya presiden dari alumni pesantren yakni Gus Dur. Namun karena kesekuleranya yg tak jauh
beda dari pendahulunya serta sikapnya yg kontroversial menyebabkan ia ditinggalkan kyai-kyai yg
mendukungnya. Mulai banyak muncul pula dari alumni pesantren yg mempunyai posisi penting seperti
Saefullah Yusuf, Hidayat Nur Wahid, Said Agil Siraj, dan tak lupa syaikhuna KH Maemun Zubair.

Pada masa ini pesantren kembali mengalami ujian berat. Ketika merebak isu terorisme, pesantren
mendapat tuduhan sebagai sarang teroris. Pemerintah pun mulai menekan dan mengawasi pesantren
dengan menyebar agen intelejennya. Seiring berlalunya waktu tuduhan itu pun mulai menguap lenyap.
Namun ujian yg paling berat dan berbahaya adalah dengan menjamurnya virus sipilis (sekulerisme,
pluralisme, dan liberalisme) yg justru diusung dan digembar-gemborkan orang-orang dari pesantren
sendiri. Akibatnya banyak pondok pesantren yg mulai tertular virus tersebut. Semoga allah melindungi
kita dari paham-paham sesat tersebut!

Kemudian pada masa ini pula pemerintah mulai mengakui keberadaan pesantren.  Terbitnya Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) telah menghapus
diskriminasi terhadap pendidikan keagamaan yang berlangsung selama ini.

Generasi penerus tradisi pesantren

Namun sayangnya ini semua sepertinya cuma akal-akalan pemerintah yg notabene anak buah Amerika
untuk menyetel dan mengendalikan pesantren. Demi mendapat pengakuan pemerintah, pesantren
diharuskan terikat dengan berbagai regulasi teknis dan ketentuan administratif. Seperti misalnya,
pesantren diharuskan mengikuti SNP (standar nasional pendidikan) yg meliputi; standar isi, standar
proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan
prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Begitu juga
mengenai kurikulum dimana pesantren diwajibkan memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan,
bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan alam, ditambah pendidikan seni dan budaya.
Sebenarnya tidak ada masalah dengan mata pelajaran tersebut namun yg jadi masalah adalah mereka
mencekokkan mata pelajaran tersebut dengan tujuan sedikit-demi sedikit menggeser dan membelokkan
pesantren dari pelajaran-pelajaran agama bermaterikan kitab-kitab salaf.

Walhasil kalangan pesantren diharapkan  waspada akan gejala ini, karena seperti halnya Amerika
berusaha mengintervensi kurikulum Al-Azhar Mesir, begitu pula yg terjadi disini. Selamanya
pemerintahan yg sekuler tidak akan tulus membantu mengembangkan ajaran islam. “Fa anta ta’rifu
kaidal khoshmi wal-hakami” engkau mengetahui tipu daya musuh dan pemerintah, begitulah bunyi
penggalan bait nadzom Burdah.
Penutup

Setelah melihat dengan seksama perjuangan pesantren mulai dari zaman awal masa-masa islam di
Indonesia hingga sekarang, kita pun tau betapa besar peran, perjuangan dan eksintensi pesantren dalam
mengembangkan agama islam, melawan penjajahan, dan sebagainya dengan mengorbankan jiwa, raga,
dan air mata. Sebuah perjuangan yg tidak dapat dinilai dengan kata-kata.

Namun, dengan segala jasanya tersebut, selama lebih dari 60 tahun pemerintah yg dikuasai kalangan
nasionalis sekuler malah mengkadali kita. Mereka dengan segenap usaha menjauhkan kaum santri dari
struktur pemerintahan. Bahkan mereka berusaha menjauhkan kaum santri dari peran serta pengaruhnya
di masyarakat.

Maka sebagai generasi penerus wajib bagi kita untuk meneruskan perjuangan para pendahulu kita.
Meneruskan kembali proses islamisasi mesyarakat indonesia yg belum sempurna sehingga tegaklah
syari’at islam di Indonesia. Bangkit dan lawan kedzoliman pemerintahan sekuler terhadap kita! Jangan
biarkan apa yg telah dirintis oleh para pendahulu kita dengan pengorbanan yg demikian besarnya hancur
diobo-obok orang-orang kafir misionaris, orang-orang sekuler, plural maupun liberal!

[1][1] Enung K. Rukiati, Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam di indonesia (Bandung: Pustaka Setia,


2006) Hlm hlm 103

[2][2] Ibid, hlm 103

[3][3] Ibid, hlm 98

[4][4] Ibid, hlm104

[5][5] Ibid

[6][6] Ibid, hlm 106

[7][7] Enung K. Rukiati, Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam di indonesia (Bandung: Pustaka Setia,


2006)  hlm 107
[8][8] Enung K. Rukiati, Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam di indonesia (Bandung: Pustaka Setia,
2006)  hlm 108

[9][9] Enung K. Rukiati, Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam di indonesia (Bandung: Pustaka Setia,


2006)  hlm 110

[10][10] Ibid, hlm 65

[11][11] Enung K. Rukiati, Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam di indonesia (Bandung: Pustaka


Setia, 2006)  hlm 111

[12][12] Enung K. Rukiati, Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam di indonesia (Bandung: Pustaka


Setia, 2006)  hlm 111

[13][13] Enung K. Rukiati, Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam di indonesia (Bandung: Pustaka


Setia, 2006)  hlm 112

[14][14] Ibid, hlm 113


Sebagai lembaga pendidikan, peran utama pesantren tentu saja menyelenggarakan pendidikan
keislaman kepada para santri. Namun, dari masa ke masa, pesantren tidak hanya berperan dalam soal
pendidikan, tetapi juga peran-peran sosial bagi masyarakat di sekitarnya.

Salah satu peran penting pesantren dalam sejarah perjalanan bangsa ini adalah keterlibatannya dalam
perjuangan melawan penjajah. Ketika Jepang memobilisir tentara PETA (Pembela Tanah Air) guna
melawan Belanda, para kiai dan santri mendirikan tentara Hizbullah. Bambu Runcing yang terkenal
sebagai senjata para pejuang kemerdekaan adalah inisiatif dari Kiai Subeki atau Mbah Subki yang
kemudian diabadikan sebagai nama pesantren, yakni Pondok Pesantren Kyai Parak Bambu Runcing,
Parakan, Temanggung, Jawa Tengah.

Dalam autobiografinya, Berangkat dari Pesantren (Gunung Agung, 1984), mantan Menteri Agama K.H.
Saifudin Zuhri antara lain menulis, di antara pasukan yang singgah ke Parakan terdapat anggota Tentara
Keamanan Rakyat dari Banyumas pimpinan Kolonel Soedirman ,yang belakangan menjadi panglima
besar. Mereka membawa peralatan tempur lengkap. Ketika itu mereka dalam perjalanan ke medan
perang Ambarawa.

Menurut Wahjoetomo dalam Perguruan Tinggi Pesantren: Pendidikan Alternatif Masa Depan (Gema
Insani Press, 1997) seperti dikutip Asyuri (2004), masyarakat pesantren mengadakan aksi terhadap
Belanda dengan tiga macam. Pertama,uzlah (mengasingkan diri). Mereka menyingkir ke desa-desa dan
tempat terpencil yang jauh dari jangakauan kolonial.Maka tidak aneh bila pesantren mayoritas berada di
desa-desa yang bebas dari polusi dan kontaminasi oleh budaya hedonisme, kepalsuan, dan keserakahan.

Kedua, bersikap nonkooperatif dan melakukan perlawanan secara diam-diam. Selain mengaji atau
menelaah kitab kuning, para kyai menumbuhkan semangat jihad santri-santrinya untuk membela Islam
dan menentang penjajah. Bahkan saat itu para kyai melarang santrinya untuk memakai pakaian yang
berbau Barat atau penjajah seperti santri dilarang memakai celana panjang, dasi, sepatu dan sebagainya.

Ketiga, memberontak dan mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Dalam perspektif sejarah,
pesantren sering mengadakan perlawanan secara silih berganti selama berabad-abad, untuk mengusir
Belanda dari bumi Indonesia. Seperti kita kenal nama Pangeran Antasari, Sultan Hasanudin, Sultan
Agung, Pattimura dan sebagainya. Beberapa pemberontakan yang dipelopori oleh kaum santri antara
lain adalah pemberontakan kaum Padri di Sumatara Barat (1821–1828) yang  dipelopori kaum santri di
bawah pimpinan tuanku Imam Bonjol;  pemberontakan Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah (1828-
1830); Pemberontakan Banten yang merupakan respon umat Islam di daerah itu untuk melepaskan diri
dari penindasan dalam wujud pemberlakuan tanam paksa pada tahun 1836, 1842, 1849, 1880, dan 1888
yang dikenal dengan pemberontakan petani; dan pemberontakan di Aceh ( 1873-1903) yang dipimpin
antara lain oleh Teuku Umar dan Teuku Cik Ditiro yang membuat Belanda kesulitan masuk ke Aceh.

Peristiwa 10 November 1945


Pada awalnya kalangan pesantren melalui kiai dan para santrinya berjuang sendiri-sendiri dalam
melawan penjajah. Perjuangan kalangan pesantren mulai terkoordinir melalui peristiwa 10 November
1945 yang kemudian diabadikan sebagai Hari Pahlawan. Meski bangsa Indonesia telah
memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, tidak semua negara di dunia mengakui
kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia. Belanda dan sekutunya termasuk yang belum mengakui

kemerdekaan Indonesia. Belum genap satu bulan sejak diproklamirkan, terdengar berita bahwa
Indonesia sudah mulai diserang kembali oleh Belanda dan Sekutunya. Pada 10 Oktober 1945 Belanda
dan Sekutunya telah menduduki Medan, Padang, Palembang, Semarang dan Bandung setelah melalui
pertempuran sengit.

Menghadapi kenyataan ini, kalangan kiai pesantren segera merencanakan pertemuan diantara para
pimpinan pesantren. Sebagaimana diceritakan K.H. Saifuddin Zuhri dalam Sejarah Kebangkitan Islam dan
Perkembangannya di Indonesia (Al-Ma’arif, Bandung 1981), KH Hasyim Asy’ari memanggil Kiai Wahab
Chasbullah, Kiai Bisri Syamsuri dan para kiai lainnya lainnya untuk mengumpulkan para kiai se-Jawa dan
Madura atau utusan cabang NU untuk berkumpul di Surabaya, tepatnya di kantor PB Ansor Nahdlatoel
Oelama (ANO) di Jl. Bubutan VI/2. Namun pada 21 Oktober para kiai baru dapat berkumpul semua.
Setelah semua kiai berkumpul, segera diadakan rapat darurat yang dipimpin oleh Kiai Wahab Chasbullah.
Pada 23 Oktober Mbah Hasyim atas nama HB. (Pengurus Besar) organisasi NU mendeklarasikan sebuah
seruan Jihad fi Sabilillah yang belakangan terkenal dengan istilah Resolusi Jihad.

Ada tiga poin penting dalam Resolusi Jihad itu, yakni sebagaiberikut :
Pertama, setiap muslim – tua, muda, dan miskin sekalipun- wajib memerangi orang kafir yang merintangi
kemerdekaan Indonesia.
Kedua, pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada.
Ketiga, warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional,
maka harus dihukum mati. Bahkan, haram hukumnya mundur ketika kita berhadapan dengan penjajah
dalam radius 94 km (jarak ini disesuaikan dengan dibolehkannya qashar salat). Di luar radius itu dianggap
fardu kifayah (kewajiban kolektif, bukan fardu ain, kewajiban individu).

Pekik Bung Tomo: Allohu Akbar…Allohu Akbar…Allohu Akbar…


Fatwa jihad itu kemudian digelorakan Bung Tomo lewat radio disertai dengan teriakan Allahu Akbar
sehingga berhasil membangkitkan semangat juang kalangan santri untuk melawan penjajah.

Para kiai dan santrinya kemudian banyak yang bergabung ke pasukan nonreguler Sabilillah dan Hizbullah
yang terbentuk sebagai respon langsung atas Resolusi Jihad tersebut. Kelompok ini kemudian banyak
berperan penting dalam peristiwa 10 Nopember. Komandan tertinggi Sabilillah sendiri adalah K.H.
Masykur dan Komandan Tertinggi Hizbullah adalah Zainul Arifin. Diperkuat juga oleh Barisan Mujahidin
yang dipimpinan langsung oleh Kiai Wahab Hasbullah.

Segera setelah itu, pesantren-pesantren di Jawa dan Madura menjadi markas pasukan non regular
Hizbullah dan Sabilillah dan tinggal menunggu komando. Pengajian-pengajian telah berubah menjadi
pelatihan menggunakan senjata. Pada detik-detik ini pesantren-pesantren juga didatangi oleh para
pejuang dari berbagai kalangan untuk minta kesakten
kepada para kiai. Tanpa itu para pejuang merasa tidak akan mampu menghadapi pasukan Belanda dan
Sekutu dengan senjata-senjata berat mereka.
Seperti ditulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Serambi, Jakarta, 2005), seruan
jihad itu berhasil menggugah dan membangkitkan semangat juang kaum santri. Ribuan kiai dan santri
dari berbagai daerah  mengalir ke Surabaya. Perang yang menewaskan Jenderal Mallaby itu dikenang
sebagai salah satu momentum dari perjuangan kaum santri melawan penjajah.

Santri yang tergabung dalam Hizbullah.

Refleksi Keindonesiaan

Peran besar kalangan pesantren dalam perjuangan kemerdekaan tentu patut menjadi refleksi bagi kita
semua. Refleksi ini penting karena di tengah gegap gempita perayaan proklamasi kemerdekaan 17
Agustus, kiprah pesantren bagi kemerdekaan Indonesia makin hari makin dilupakan orang, bahkan oleh
kalangan pesantren sendiri. Ini tentu menyedihkan karena perjuangan kalangan pesantren terhadap
eksistensi Negara Republik Indonesia tidak hanya berhenti setelah proklamasi, tetapi terus dilanjutkan di
masa-masa kemudian.

Dalam pemberontakan DI/TII misalnya, kalangan pesantren tidak memberikan dukungan meskipun yang
pemberontakan itu dilakukan oleh orang Islam dan ditujukan untuk mendirikan negara Islam. Pondok
Pesantren Cipasung misalnya, yang didirikan tahun 1931 oleh KH Ruhiat, beberapa kali bentrok dengan
kelompok DI/TII karena menolak mendukung dan bergabung dengan pemberontak tersebut. Padahal
DI/TII lahir di wilayah yang sama dengan Pesantren Cipasung. Begitu pun Pesantren Suryalaya ,Godebag
Tasikmalaya yang dipimpin oleh kyai karismatik KH.Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin. Pesantren
Suryalaya Beberapakali terlibat bentrok dengan pembrontak DI/TII dan tercatat beberapa orang
santrinya yang menjadi korban pertempuran. Pesantren Suryalaya mendapat penghargaan dan simpati
yang mendalam dari Panglima Daerah Militer RI kala itu (red). Sebagai organisasi yang memayungi
kalangan pesantren, NU juga dengan gigih menolak pemberontakan DI/TII, PRRI dan Permesta, karena
NKRI sudah dianggap final.

Kesetiaan kalangan pesantren terhadap visi kebangsaan Indonesia mulai mendapat tantangan serius
ketika muncul kalangan Islam garis keras yang mencoba menawarkan Islam sebagai solusi bagi
penyelesaian berbagai krisis di Indonesia. Sebagian pesantren sudah mulai tergoda oleh gerakan yang
antara membawa gagasan formalisasi syariat Islam. Ini menjadi persoalan karena kalangan pesantren
sangat kental dengan ciri moderat, menghargai keberagaman,
memandang wahyu dan akal sebagai acuan kebenaran yang saling membutuhkan serta menghagai nilai-
nilai tradisi dan  budaya lokal. Sementara Islam garis keras cenderung menolak prinsip-prinsip ini.  Pasca
reformasi, eksistensi keindonesiaan memang menghadapi banyak tantangan serius. Dengan modal
sejarah yang gemilang dalam memperjuangkan kemerdekaan, pesantren mestinya bisa berbuat banyak
untuk turut membantu penyelesaian berbagai masalah kebangsaan. Sayangnya, para pemimpin
pesantren yang belakangan marak terlibat dalam politik praktis tidak banyak yang memiliki visi
kebangsaan seperti para pendahulu mereka. Kita berharap, pesantren melalui para kiai, santri dan
alumninya di masa-masa mendatang dapat memainkan lagi peran kebangsaan seperti yang dilakukan
oleh para pendahulu mereka.

Akhirulkalam mari kita berdoa bagi semua para kyai dan santri  serta pahlawan-pahlawan muslim yang
sudah berjuang dalam kemerdekaan dan mempertahankannya…
ALFATIHAH….
Peran Umat Islam dalam Kemerdekaan
Bangsa Indonesia
gomuslim.co.id – Bangsa Indonesia sudah memasuki usia ke-75 tahun
merdeka sejak The Founding Father, Ir Soerkarno membacakan teks proklamasi
pada tahun 1945 silam sebagai tanda berakhirnya penjajahan di tanah air.

Perjuangan untuk memperolah kemerdekaan Indonesia tidaklah muncul begitu


saja. Namun melalui proses perjuangan panjang yang telah mendahuluinya.

Perjuangan umat Islam melawan penjajahan kolonial Portugis, Belanda, dan


Inggris dimulai dari kerajaan-kerajaan. Kemudian diteruskan oleh perjuangan
rakyat semesta yang dipimpin sebagian besar oleh para ulama.

Jadi, perjuangan ini dirintis sejak dari perlawanan kerajaan-kerajaan


Islam. Kemudian diteruskan dengan munculnya pergerakan sosial di daerah-
daerah, yaitu perlawanan rakyat terhadap kolonial/penjajahan dan para agen-
agennya, sampai dengan munculnya kesadaran bernegara yang merdeka.

Dalam perjuangan di kawasan nusantara, khususnya Indonesia yang mayoritas


penduduknya muslim, maka peranan ajaran Islam dan sekaligus umat Islamnya
punya arti yang sangat penting dan tidak dapat dihapus dalam panggung sejarah
Indonesia.

Ajaran Islam untuk Melawan Penjajahan

Ajaran Islam yang dipeluk oleh sebagaian besar rakyat Indonesia telah
memberikan kontribusi besar, serta dorongan semangat, dan sikap mental dalam
perjuangan kemerdekaan. Tertanamnya “ruhul Islam” yang di dalamnya memuat
antara lain:

Pertama, jihad fi sabilillah, telah memperkuat semangat rakyat untuk berjuang


melawan penjajah ( sartono kartodirdjo, 1982). Dengan semangat jihad, umat
akan melawan penjajah yang dlolim, termasuk perang suci, bila wafat syahid,
sorga imbalannya.
Kedua, ijin berperang dari Allah SWT sebagaimana dalam Alquran surat Al-Hajj:
39. “Telah diijinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, sesungguhnya
mereka itu dijajah/ditindas, maka allah akan membela mereka (yang diperangi
dan ditindas)”.

Ketiga, symbolbegrijpen (simbol kalimat yang dapat menggerakkan rakyat), yaitu


“takbir” Allahu Akbar, selalu berkumandang dalam era perjuangan umat Islam di
Indonesia.

Keempat, hubul wathon minal iman”, cinta tanah air sebagian dari iman,
menjadikan semangat partiotik bagi umat Islam dalam melawan penjajahan.

Pada kesimpulannya, dr. Douwwes Dekker (Setyabudi Danudirdja) menyatakan


bahwa 'Apabila tidak ada semangat Islam di Indonesia, sudah lama kebangsaan
yang sebenarnya lenyap dari Indonesia” (dalam Aboebakar Atjeh: 1957,
hlm.729).

Dengan demikian, ajaran Islam yang sudah merakyat di Indonesia ini punya
peranan yang sangat penting, berjasa, dan tidak dapat diabaikan dalam
perjuangan di Indonesia.

Peranan Umat Islam

Umat Islam Indonesia punya peranan yang menentukan dalam dinamika


perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan. Perjuangan ini dapat dibagi
menjadi beberapa bagian. 

Pertama, perjuangan kerajaan-kerajaan Islam melawan kolonial

Dimulai sejak awal masuknya bangsa barat dengan pendekatan kekuatan yang
represif (bersenjata), maka dilawan oleh karajaan-kerajaan Islam di kawasan
nusantara ini.

Perjuangan ini antara lain, Malaka melawan serangan Portugis (1511) diteruskan
oleh Ternate di Maluku (Portugis berhasil dihalau sampai Timor
Timur). Kemudian Makasar melawan serangan Belanda (VOC), Banten melawan
serangan Belanda (VOC), dan Mataram Islam juga melawan pusat kekuasaan
Belanda di Batavia (1628-1629) dan masih banyak lagi. 

Mereka gigih, dan Belanda pun kalangkabut. Namun setelah ada politik “Devide
et Impera” (pecah belah), satu persatu kerajaan ini dapat dikuasai.

Meskipun demikian, semangat rakyat tidak pudar melawan penjajahan


kolonial. Maka selanjutnya perjuangan melawan penjajahan diteruskan oleh
rakyat dipimpin ulama.

Kedua, perjuangan rakyat dipimpin oleh para ulama

Setelah kaum kolonial berhasil menguasai kerajaan-kerajaan di Indonesia,


namun umat Islam bersama para ulamanya tidak berhenti melawan penjajahan.
Munculah era gerakan sosial merata di seluruh pelosok tanah air. 

Ulama sebagai elite agama Islam memimpin umat melawan penindasan


kedzaliman penjajah. Sejak dari Aceh muncul perlawanan rakyat dipimpin oleh
Teungku Cik di Tiro, Teuku Umar, Cut Nyak Dhien. 

Di Sumatera Barat muncul Perang Paderi dipimpin oleh Imam


Bonjol. Perlawanan KH Hasan dari Luwu, Gerakan r. Gunawan dari Muara
Tembesi Jambi, gerakan 3 haji di Dena Lombok, gerakan H Aling Kuning di
Sambiliung Kalimantan Timur, gerakan muning di Banjarmasin; gerakan Rifa’iyah
di Pekalongan; gerakan KH Wasit dari Cilegon; perlawanan KH. Jenal Ngarib
dari Kudus; perlawanan KH Ahmad Darwis dari Kedu, perlawanan Kyai
Dermojoyo dari Nganjuk; dan masih banyak lagi.

Dari perlawanan itu, sesungguhnya pihak Belanda sudah goyah


kekuasaaanya. Sebagai bukti tiga perlawanan, rakyat Aceh, Sumatera Barat, dan
Java Oorlog (Diponegoro) telah mengorbankan 8.000 tentara Belanda mati dan
20.000.000 gulden kas kolonial habis. Oleh karena itu, mereka kemudian
mencari jalan lain, yaitu mengubah politik kolonialnya dengan pendekatan
“welfere politiek” (politik kemakmuran) untuk menarik simpati rakyat jajahan. 
Namun, pada kenyataannya politik itu dijalankan dengan perang kebudayaan
dan idiologi. Terutama untuk memecah dan melemahkan potensi umat Islam
Indonesia yang dianggapnya musuh utama pemerintah kolonial.

Ketiga, pergerakan nasional di Indonesia

Sebelum memesuki era pergerakan nasional, pihak kolonial mencoba politik


kemakmuran dan balas budi. Munculah politik 'etische' oleh Van Deventer; politik
assosiasi oleh Ch. Snouck Hurgronje; dan politik De Islamisasi (Dutch Islamic
Polecy) oleh Christiaan Snouck Hurgronje. 

Kelihatannya politik itu humanis untuk kesejahteraan rakyat. Namun karena


landasannya tetap kolonialisme, maka jadinya tetap eksploitatif dan menindas
rakyat. Khusus politik De Islamisasai sangat merugikan umat Islam. 

Itu karena memecah umat Islam jadi dua dikotomi abangan dan putihan.
Membenturkan ulama dengan pemuka adat. Memperbanyak sekolah untuk
mendidik anak-anak umat Islam agar terpisah dari kepercayaan pada agama
Islamnya. Menindas segenap gerakan politik yang berdasar Islam.

Membangun masjid dan memberangkatkan haji gratis untuk meredam gerakan


Islam. (Snouck Hurgronje, Islam in De Nederlansch Indie).

Akibat dari politik kolonial di atas, maka perjuangan melawan kolonial menjadi


terpecah. Menurut thesis Endang Syaifuddin Anshari, perjuangan di Indonesia
terpecah jadi dua kelompok besar yaitu Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler.
Kondisi inilah sampai sekarang masih tampak dalam dinamika perpolitikan kita.

Sebagai salah satu yang penting pelopor awal pergerakan nasional di Indonesia
ialah umat Islam, yaitu pada tanggal 16 oktober 1905, lahir Sarekat Dagang
Islam (SDI) (baca wawancara Tamardjaja dengan H. Samanhudi, 1955, di
majalah Syiyasyah 1974), yang kemudian tahun 1912 menjadi Sarekat Islam
(SI), sebagai gerakan ekonomi dan politik.

Keempat, peran umat Islam dalam perjuangan mempertahankan


kemerdekaan
Dalam perjuangan mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), umat Islam punya peranan penting. Pertama, secara fisik
umat Islam dengan Laskar Hisbullah-Sabilillah, kemudian diteruskan Asykar
Perang Sabil (APS) dan laskar Islam lainnya di daerah, gigih berjuang membantu
TKR (TNI) untuk mempertahankan NKRI dengan perang gerilanya melawan
sekutu-NICA (Netherland Indie Civil Administration, Belanda) yang akan kembali
berkuasa di Indonesia.

Secara fisik pula Laskar Hisbullah-Sabilillah yang kemudian diteruskan oleh


markas ulama APS bersama pasukan TNI dari Siliwangi melawan
pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) 18 september 1948 (dipimpin
oleh Muso dan Amir Syarifuddin), yang akan menghancurkan NKRI dan akan
membentuk pemerintahan komunis Indonesia, menjadi bagian atau satelit
dari commitern komunis internasional yang berpusat di Moskow, Rusia.

Pemberontakan PKI 1948 ini berjalan secara biadab, membantai para ulama dan
santri, membantai kaum nasionalis, membantai pamong praja. Dapat
digambarkan ada suatu gedung untuk pembantaian yang darahnya menggenang
sampai satu kilan. 

Dengan adanya kerjasama antara kelaskaran umat Islam, kelaskaran kaum


nasionalis, dengan TNI berhasil menghancurkan kekejaman dan kebiadaban
pemberontakan PKI 1948.

Setelah kemerdekaan dan adanya maklumat wakil presiden X/1946, bangsa


Indonesia dipersilakan mendirikan partai politik. Dalam hal ini pada awalnya
aspirasi politik umat Islam ditampung dalam satu wadah, meneruskan namanya
yaitu Majelis Syurau Muslimin Indonesia (Masyumi), dalam ikrar Persatuan Umat
Islam ”Panca Cita”.

Nah, demikian setengah perjalanan peranan Islam dan umat muslim dalam
kemerdekaan republik Indonesia. Semoga kita selalu mensyukuri berkah
kemerdekaan bangsa kita. Aamiin. (mga)

Sumber: Adaby Darban

Anda mungkin juga menyukai