Anda di halaman 1dari 22

TUGAS MAKALAH AIK III

PEMBAHARUAN DUNIA ISLAM


PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH
Dosen Pengampu: Agus Miswanto, S.Ag. M.A

Disusun oleh:

Nama
Maya Guita Mawar
Ayu Chusni Mustanna
Diah Linda Cahyani
Ranie Marcellia

NIM
15.0305.0155
15.0305.0156
15.0305.0158
15.0305.0159

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
2016

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................3
A.

Latar Belakang.......................................................................................................3

B.

Rumusan Masalah..................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................5
A.

Biografi Muhammad Abduh...................................................................................5

B.

Pemikiran Muhammad Abduh dan pandangannya tentang kitab tafsir dan penafsiran para

ulama sebelumnya..........................................................................................................7
C.

Pemikiran dan pandangan Muhammad Abduh tentang kedudukan akal dalam Islam dan

keutamaannya dalam menafsirkan Al-Quran................................................................10


D.

Prinsip-prinsip dasar pemikiran Muhammad Abduh dalam menafsirkan Al-Qur'an12

E.

Tiga pranata yang menjadi sasaran pembaharuan.................................................18

BAB III PENUTUP.........................................................................................................21


A.

Kesimpulan......................................................................................................21

B.

Saran................................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................23

BAB I PENDAHULUAN
A; Latar Belakang
Pembaharuan di dunia Islam memiliki beberapa tokoh yang mendukung,
diantaranya adalah Ibnu Taimiyah, Muhammad Ibn Abdul Wahhab, Jamaluddin alAfghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridho. Kata pembaharuan dalam bahasa
Arab dikenal dengan istilah tajdid. Tajdid adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk
memperbaharui kehidupan keagamaan, baik berbentuk pemikiran maupun gerakan,
sebagai reaksi atau tanggapan terhadap tantangan internal maupun eksternal yang
menyangkut keyakinan dan urusan sosial umat Islam. Terdapat dua pembaharuan yang
sering digunakan dalam konteks gerakan Islam yaitu: kecenderungan salafi dan
reformis.1
Kecenderungan gerakan salafi lebih mengutamakan upaya pemurnian akidah
Islam dari bahaya tahyul dan khurafat (pemurnian ibadah dari bahaya bidah). Gerakan
ini tidak melihat kebutuhan untuk mereinterprestasi Islam agar sesuai dengan
kehidupan modern dalam buku studi kemuhammdiyahan menurut (ibid., hlm. 432).
Gerakan reformis ini cenderung memandang masyarakat muslim gagal menangkap
spirit kemajuan dan perkembangan dalam seluruh aspek kehidupan yang telah dicapai
eropa. Para reformis justru mengkritik kebutaan dunia muslim dalam melihat cara-cara
barat memperoleh kemajuan, mereka berusaha memperbaiki martabat kebesaran
muslim, dan Arab melalui peremajaan pemikiran dan praktek Islam dalam buku
sejarah Islam kemuhammadiyahan

menurut (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,

1993:42).
Makalah ini akan membahas tentang salah satu tokoh pembaharuan gerakan
Islam yaitu Muhammad Abduh. Pembaharuan yang dikemukaan oleh Muhammad
Abduh meliputi bidang pendidikan, bidang hukum, dan bidang Wakaf.

1 Zakiyudin baidhawi dkk, Kemuhammadiyahan, (Surakarta: LSI, 2005), hlm. 10


3

B; Rumusan Masalah
1;
2;
3;

Siapakah Muhammad Abduh itu?


Bagaimana pemikiran-pemikiran yang dihasilkan oleh Muhammad Abduh?
Apa saja yang menjadi sasaran pembaharuannya?

BAB II PEMBAHASAN
A; Biografi Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah,
Mesir pada 1848 M. Ayahnya bernama Abduh Ibn Hasan Khair Allah. Nama
lengkapnya Muhammad Abduh Ibn Hasan Khair Allah. Abduh berasal dari keluarga
petani yang sederhana, taat dan cinta ilmu. Dalam waktu dua tahun beliau telah
mampu menghafal seluruh isi Al-Quran. Pendidikan selanjutnya ia tempuh di Thanta.
Namun beliau tidak puas karena metode pengajaran di Thanta mengutamakan hafalan
tanpa pengertian, sama halnya dengan metode pengajaran yang umum diterpkan di
dunia Islam ketika itu, kemudian beliau memutuskan untuk kembali ke kampungnya.
Berbicara tentang pendidikan Muhammad Abduh, beliau mengawali
pendidikan pertama kali dengan belajar ilmu tajwid al-quran selama dua tahun di
Masjid al-Ahmadi. Setelah itu di tahun 1864, beliau kembali lagi ke desanya untuk
bercocok tani

seperti saudara-saudaranya yang lain. Ketika Muhammad Abduh

berusia 16 tahun, beliau dinikahkan oleh orangtuanya. Setelah Muhammad Abduh


menikah, Ayahnya bertakad agar Muhammad Abduh dapat kembali menuntut ilmu
pengetahuan. Namun ia menolaknya, dan memilih melarikan diri ke desa Syibril Khit
tempat paman dari Ayahnya tinggal. Disana lah Muhammad Abduh bertemu dengan
Syaikh Darwisy Khidr, pamannya. Disinilah Muhammad Abduh berubah yang tadinya
membenci menjadi sangat mencintai ilmu pengetahuan berkat Syaikh Darwisy Khidr.
Tahun 1866 Muhammad Abduh kembali ke masjid, disitulah awal dari beliau mencari
ilmu, lalu lanjut ke Kairo untuk belajar di Universitas Al-Azhar. Di kampus tersebut
beliau banyak mengenal dosen-dosen hebat, diantaranya ada Syaikh Hasan ath-Thawi
yang mengajarkan kitab-kitab filsafat karangan Ibnu Sina, logika karangan Aristoteles,
dan lain sebagainya. Padahal, kitab-kitab tersebut tidak diajarkan di al-Azhar pada
waktu itu. Lalu, Muhammad al-Basyuni, seorang ilmuan yang banyak mencurahkan

perhatian dalam bidang sastra bahasa, bukan melalui pengajaran tata bahasa melainkan
melalui kehalusan rasa dan kemampuan mempraktekkannya.
Abduh lebih banyak menulis dan menerjemahkan kitab-kitab kedalam bahasa
Arab di Beirut. Di kota inilah beliau menyelesaikan Risalah al-Tauhid. Adapaun karya
lainya dari Syaikh Muhammad Abduh adalah Risalah al-Aridat (1837), disusul
kemudian dengan Hasyiah Syarah al-Jalal advert-Diwani Lil Aqaid adh-Adhudhiyah
(1875). Dalam karangannya ini, Abduh yang ketika itu baru berumur 26 tahun telah
menulis dengan mendalam tentang aliran-aliran filsafat, ilmu kalam (teologi), dan
tasawwuf, serta mengkritik pendapat-pendapat yang dianggapnya salah. Selain itu
Muhammad Abduh juga menulis artikel-artikel pembaruan di surat kabar Al-Ahram,
Kairo. Melalui media ini gema tulisan tersebut sampai ke telinga para pengajar di alAzhar yang sebagian di antaranya menimbulkan kontroversi serta pembelaan dari
Syaikh Muhammad al-Mahdi al-Abbasi, di mana ketika beliau menduduki jabatan
Syaikh al-Azhar, Muhammad Abduh dinyatakan lulus dengan mencapai tingkat
tertinggi di al-Azhar, dalam usia 28 tahun (1877 M). Setelah mendapatk gelar Lc,
Muhammad Abduh mengabdikan dirinya dengan mengajar Manthiq (Logika) dan Ilmu
Kalam (Teologi), sedangkan di rumahnya beliau mengajar pula kitab Tahdzib alAkhlaq karangan Ibnu Maskawaih dan Sejarah Peradaban Kerajaan-kerajaan Eropa.
Kemudian setelah beliau diampuni oleh pemerintahan Mesir pada tahun 1889,
ia kembali ke Mesir dan diangkat menjadi hakim. Dua tahun kemudian diangkat
sebagai penasihat pada Mahkamah banding. Lalu pada tahun 1899 ia diangkat
sebagai Mufti Mesir, dan jabatan ini didudukinya sampai ia wafat. Selama akhir masa
inilah Muhammad Abduh mengajarkan kuliah-kuliah tafsirnya di al-Azhar, Kairo, dari
ayat pertama dari surat al-Fatihah sampai firman Allah: wa kaana Allahu bi kulli
syaiin muhiithaa, ayat 125 dari surat an-Nisa.

B; Metode Muhammad Abduh dalam Pembaharuan.


Dalam melakukan perbaikan Muhammad Abduh memandang bahwa suatu
perbaikan tidaklah selamanya datang melalui revolusi atau cara serupa. Seperti halnya
perubahan sesuatu secara cepat dan drastis. Akan tetapi juga dilakukan melalui
perbaikan metode pemikiran pada umat islam. Melaui pendidikan, pembelajaran, dan
perbaikan akhlaq. Juga dengan pembentukan masyarakat yang berbudaya dan berfikir
yang bisa melakukan pembaharuan dalam agamanya. Sehingga akan tercipta rasa
aman dan keteguhan dalam menjalankan agama Islam. Muhammad Abduh menilai
bahwa cara ini akan membutuhkan waktu lebih panjang dan lebih rumit. Akan tetapi
memberikan dampak perbaikan yang lebih besar dibanding melalui politik dan
perubahan secara besar-besaran dalam mewujudkan suatu kebangkitan dan kemajuan.
Pembaruan pemikiran yang dilakukan Muhammad Abduh bukanlah hanya
sebuah penolakan secara satu persatu atau secara global terhadap pemikiranpemikaran yang telah ada, yang terdahulu. Pembaruannya juga bukan hanya sebuah
pemeliharaan terhadap pemikiran-pemikiran yang telah ada tersebut. Akan tetapi
pembaruan yang dilakukannya merupakan usaha untuk memperbaiki,
mengembangkan, dan menjadikan intisari pemikiran-pemikiran yang telah ada
tersebut agar sesuai dengan tuntutan zaman.
Kita telah mengetahui, banyak kalangan pemikir dan pengamat, di antaranya
Muhammad Abduh, yang berusaha untuk mewujudkan sebuah keadaan yang baik,
sebuah kondisi yang sesuai dengan tuntunan Islam dan dapat menghadapi tuntutan
zaman. Muhammad Abduh dengan pemikirannya berusaha untuk memperbaiki
pemikiran-pemikiran yang telah ada,yang terdahulu. Kesalahan-kesalahan tidak
terletak pada pemikiran-pemikiran yang telah ada, tetapi terletak dalam sudut pandang
pemahaman yang dilakukan terhadap pemikiran-pemikiran tersebut, tidak terlepas dari
pandangan yang jumud, taqkid, dan tidak berkembang sesuai dengan tuntutan zaman.
Berbagai macam cara dan jalan yang dilakukan Muhammad Abduh untuk memerangi
hal tersebut, antara lain dengan cara melawan keras opini kejumudan dan stagnasi
masyarakat melalui pendekata-pendekatan sastra, pembahasan-pembahasan linguistik,
agar masyarakat memahami dan mengerti kalimat dan makna kata yang tersirat dari
sebuah pemikiran. Terkadang dengan melalui pendekatan yang lebih moderat,
membina masyarakat agar lebih mengerti dan memahami, dan terlepas dari
kejumudannya. Tujuan Muhammad Abduh merupakan tujuan yang mulia,

memperbaiki sesuatu yang telah usang dan rusak dengan sesuatu yang baru.
Muhammad abduh berusaha keras untuk mengambil jalan dan cara yang lebih bijak
untuk menengahi semua opini yang hidup di kalangan masyarakat. Dia tidak langsung
menolak mentah-mentah dan menentang opini yang salah, dan tidak langsung
menerima terhadap opini yang dianggapnya benar. Ia menyaring semuanya dan
mencernanya dengan baik melalui pemikirannya, agar semuanya sesuai dengan
tantangan zaman. Hal inilah yang membedakan dengan pemikir lainnya.

C; Pemikiran Muhammad Abduh dan Pandangannya Tentang Kitab Tafsir


dan Penafsiran Para Ulama Sebelumnya.
Muhammad Abduh melihat bahwa tafsir yang baik adalah tafsir yang tidak
keluar dari maksud dan tujuan al-Quran itu sendiri, yaitu yang disandarkan kepada
pemahaman Kitab Ilahi dengan menempatkannya sebagai sandaran agama dan
hidayah (petunjuk) dari Allah swt kepada seluruh alam, yang didalamnya terkumpul
penjelasan-penjelasan tentang apa-apa yang baik dan bermanfaat bagi manusia di
dunia dan yang membawa keselamatan di akhirat.
Karena al-Quran diturunkan untuk kebaikan manusia, maka tidak perlu
melarang

manusia

untuk

mempelajari

dan

mendalaminya

sesuai

dengan

kemampuannya. Dan Allah swt tidak mengkhususkan al-Quran untuk dipahami hanya
oleh orang-orang tertentu saja, akan tetapi diperuntukan bagi setiap individu manusia.
Lebih lanjut Muhammad Abduh menegaskan bahwa Allah swt berfirman: Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu. Apakah bisa masuk akal, apabila
setiap dari kita tidak memahami firman-Nya ini dan mencukupkan diri dengan
mengambil pemahaman orang lain terhadap firman-Nya tersebut, Allah akan meridhai
kita? Sungguh tidak masuk akal. Oleh karena itu setiap manusia wajib memahami
ayat-ayat

al-Quran

sesuai

dengan

kemampuannya

sendiri,

baik

dia

itu aalim ataupun jaahil.


Sehingga ia melihat bahwa tafsir terbagi ke dalam beberapa tingkatan.
Tingkatan paling bawah, yaitu tafsir yang menjelaskan dengan cecara global (ijmali)
apa-apa yang membangkitkan hati untuk mengakui atau memuji kebesaran Allah
SWT, mensucilan-Nya, dan yang mendorong jiwa untuk berpaling dari perbuatanperbuatan keji, serta membawanya kepada perbuatan baik.
8

Sedangkan tingkatan paling atas adalah tafsir yang di dalamnya mencakup


hal-hal sebagai berikut:
1; Pemahaman terhadap kebenaran-kebenaran lafadz al-mufradat (kosa kata) yang sesuai
dengan yang sering dipergunakan oleh para ahli bahasa Arab.
2; Mempergunakan

ilmu asalib (ilmu

maani

dan

ilmu

bayan)

dan

dengan

memperhatikan ilmu al-irab(kaedah-kaedah tata bahasa Arab).


3; Memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan manusia mulai dari kondisinya,
perkembangannya, tabia-tabiatnya, sejarahnya, perbedan-perbedaannya: pintar dan bodoh,
kuat dan lemah, beriman dan

tidak beriman, dsb. Begitu juga memperhatikan

pengetahuan sekitar kosmos dsb. Untuk itu diperlukan berbagai disiplin ilmu, khususnya
ilmu sejarah.
4; Menjelaskan bahwa al-Quran merupakan hidayah dan petunjuk bagi manusia. Dalam hal
ini seorang mufassir harus mengetahui bagaimana keadaan masyarakat (Arab dan nonArab) pada masa kenabian, sewaktu manusia keluar dari alam kegelapan dengan hidayah
al-Quran ke alam terang benderang.
5; Menguraikan secara benar hal-hal yang berhubungan dengan sirah Rasulullah SAW.
Untuk itu seorang mufassir harus mengetahui sirahnya dan para sahabatnya.

Dengan pandangannya ini, Muhammad Abduh telah menjadikan tafsirnya, alManar, sebuah tafsir yang bercorak adabi ijtima'i (budaya kemasyarakatan), yaitu
yang menitikberatkan penjelasan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur'an yang
berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, dimana hampir dari setiap ayat-ayat
al-Quran yang ditafsirkan oleh Muhammad Abduh mengandung usaha-usaha untuk
menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan ayatayat Al-Qur'an. Atau dengan kata lain beliau berusaha merangkaikan pengertbeliaun
ayat-ayat Al-Qur'an dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan
kemajuan peradaban manusia. Disamping itu, beliau sangat memperhatikan segi-segi
ketelitian redaksinya, dengan penyusunan kandungan ayat-ayatnya dalam suatu
redaksi yang indah.
Corak ini merupakan corak baru yang tidak ada sebelumnya. Sehingga dalam
penafsirannya Muhammad Abduh tidak banyak mempergunakan referensi ulama9

ulama sebelumnya, karena menurutnya hal ini merupakan jalan strategis untuk
menjadikan Al-Quran sebagai petunjuk (hudan)bagi manusia tersebut. Menurutnya
juga bahwa karya tafsir sebelumnya cendrung menjaga jarak dengan realitas sosial
masyarakat dan berteduh di balik paparan perbedaan ulama ketika menafsirkan ayat
Al-Quran, karena penafsirannya hanya mengarahkan perhatian kepada pengertian
mufradhatnyaatau kedudukan kalimatnya dari segi irab dan penjelasan lain
menyangkut segi teknis kebahasaan yang dikandung oleh redaksi ayat-ayat al-Quran.
Oleh karena itu, kitab-kitab tafsir tersebut menurutnya tak lebih hanya sekedar latihan
praktis dalam bidang bahasa.

D; Pemikiran dan pandangan Muhammad Abduh tentang kedudukan akal


dalam Islam dan keutamaannya dalam menafsirkan Al-Quran
Muhammad Abduh adalah satu-satunya ulama dari sekian para ulama alAzhar pada masa itu yang berdakwah tentang pembaharuan dan pembebasan dari
ikatan taklid buta. Sehingga beliau mempergunakan kemampuan akalnya dengan
bebas didalam tulisan-tulisannya, dengan tidak mengikuti pemikiran-pemikiran dan
perkataan-perkataan para ulama generasi terdahulu. Oleh karena itu, pemikiran dan
pandangannya jauh berbeda dengan generasi sebelumnya. Dan hal ini menjadi
perbincangan para ulama, antara yang pro dan kontra. Kebebasan berfikir dan
penentangannya terhadap taklid buta ini sangat mendominasi sekali terhadap
metodologi yang dipakai olehnya, termasuk dalam tafsirnya.
Maka berijtihad dengan menggunakan akal, menurut Muhammad Abduh,
merupakan jawaban yang tepat untuk mendakwahkan agama itu sendiri, karena agama
telah memerintahkan kepada pemeluknya untuk mempergunakan akal dalam
mentadaburi jagat raya beserta isinya. Dan karena dengan mempergunakan akal
manusia bisa sampai kepada sebuah keyakinan, yaitu keyakinan yang tidak bisa
dicapai hanya dengan membaca atau mempelajari dalil-dalil kemudian menyimpannya
didalam otak, akan tetapi sebuah keyakinan yang bisa dicapai dengan melihat dalildalil yang benar dan dengan mempergunakan kemampuan akal bagi terbentuknya
sebuah petunjuk (dalalah) darinya, dengan tidak bertaklid. Namun Muhammad Abduh

10

menyadari bahwa ada ajaran-ajaran agama yang sukar di fahami oleh akal namun tidak
bertentangan dengan akal, sebagaimana ia menyadari juga keterbatasan akal dan
kebutuhan manusia akan bimbingan Nabi SAW khususnya dalam banyak persoalan
metafisika atau dalam beberapa masalah ibadah[20]. Oleh karena itu antara naqli
wahyu (naqli) dan akal (aqli) menurutnya tidak mungkin bertentangan. Adapun apabila
terdapat pertentangan antara wahyu dan akal maka diambil apa yang benar menurut
akal, sehingga tampak dihadapannya dua jalan: tunduk kepada kebenaran wahyu
dengan mengakui ketidakmampuan dalam memahaminya dan menyerahkan perkara
tersebut kepada Allah SWT, atau menawilkan wahyu dengan memperhatikan kaedahkaedah bahasa sehingga ada persesuian antara maknanya dengan apa yang telah
ditetapkan oleh akal.
Akhirnya Muhammad Abduh berkesimpulan bahwa dasar-dasar Islam
mencakupi hal-hal sebagai berikut:
1; Memandang akal sebagai wasilah (wahana) untuk sampai kepada iman yang benar.
2; Mendahulukan akal atas wahyu atau zhahir asy-syari ketika ada pertentangan,
3; Bertadabur (mengambil pelajaran) atas sunnatullah

(ketetapan Allah) dalam

penciptaan.
4; Memelihara dakwah dari rongrongan fitnah.
5; Bersikap bijak terhadap sesuatu yang menyalahi atau tidak sama dalam akidah.
6; Menggabungkan antara maslahat dunia dan akhirat.
7; Taat kepada sultah (pemimpin) agama atau pemerintahan Islam, selama dia

mengikuti al-Quran dan sunnah.


Dengan dasar-dasar itulah, Muhammad Abduh mengutamakan penggunaan
akal secara luas untuk memahami ayat-ayat al-Qur'an, baik yang menyangkut akidah
maupun syariah. Hal ini dilatari kegemarannya pada filsafat Yunani yang menuntut
kebenaran ilmiah. Sehingga tidak heran kalau ia kurang menghiraukan segisegi ma'tsur (periwayatan) walaupun tidak secara mutlak, dalam memahami ayatayat al-Qur'an tersebut dan tidak memperhatikan cara pentakhrijan serta sejarah yang
menyangkut ayat-ayat al-Qur'an[23]. Dengan pandangannya terhadap keutamaan akal
dalam Islam dan dalam memahami Al-Qur'am tersebut, beliau telah memilih metode
11

tawil[24] dalam menafsikan al-Quran, karena menurutnya metode ini merupakan


metode yang paling tepat dalam memberikan ruang untuk memperluas makna ayat dan
dalam menyajikan ajaran-ajaran dasar Islam dalam suatu kerangka intelektual yang
dapat diterima oleh pikiran modern atau para rasionalis modern yang tidak dapat
menerima sesuatu yang tidak rasional dan tidak memiliki metode ilmiah, serta yang
sekaligus disatu pihak memungkinkan pembaharuan terus menerus dan dilain pihak
memberi ruang bagi tuntutan ilmu pengetahuan baru.

E; Prinsip-prinsip dasar pemikiran Muhammad Abduh dalam menafsirkan


Al-Qur'an
Dalam menafsirkan Al-Qur'an, Muhammad Abduh memiliki beberapa prinsip
dasar pemikiran. Diantara beberapa prinsip dasar tersebut, yang paling utamanya
adalah sebagai berikut:
1;

Memandang setiap surat dalam Al-Qur'an sebagai satu kesatuan ayat-ayat


yang serasi.
Prinsip ini di jadikan Muhammad Abduh untuk menjalin hubungan
yang serasi antara satu ayat dengan ayat lain dalam satu surat dan sebagai
dasar dalam memahami arti ayat-ayat Al-Qur'an. Menurut Abduh, pengertian
satu kata atau kalimat harus berkaitan erat dengan tujuan surat tadi secara
keseluruhan. Dengan prinsip ini ia berusaha merubah cara penafsiran yang
ditempuh beberapa mufassir terdahulu yang memisahkan antara satu ayat
dengan ayat lainnya. Disamping itu juga ia bermaksud untuk membantah
kritikan-kritikan para orientalis yang mencela susunan ayat-ayat Al-Qur'an
yang mereka anggap bercampur baur.
Sebagai contoh adalah ayat yang berbunyi: .( Demi
fajar. Dan malam yang sepuluh)[27]. Dalam hal ini Ibnu Katsir menafsirkan
kata dengan ( waktu subuh) dan kata dengan
( sepuluh dzulhijjah). Sedangkan Muhammad Abduh memandang bahwa
kata di sini bersifat umum di setiap masa, karena tidak di barengi dengan
sifat atau ciri tertentu seperti kata , . Maka tersebut adalah
fajar ketika cahaya siang menjelma di tengah-tengah kegelapan malam,
cahaya yang kemudian mengusik kegelapan malam. Kemudian demi
keserasian ayat pertama dan kedua, maka kata harus ditafsirkan

12

2;

3;

dengan malam-malam yang serasi keadaannya dengan pengertian yang


dikandung oleh kata , yakni malam-malam dimana cahaya bulan
mengusik kegelapan malam-malam berikutnya yang terjadi pada sepuluh
malam tertentu dari setiap bulannya. Dan keserasian antara kedua kata dari
dua ayat tersebut terletak pada masing-masing keduanya mengusik kegelapan,
walaupun yang pertama mengusiknya hingga terjadi terang yang merata dan
yang kedua mengusiknya namun akhirnya dikalahkan oleh kegelapan tersebut
sehingga terjadi kegelapan yang merata.
Memandang ayat-ayat Al-Qur'an bersifat umum
Maksud dari prinsip ini adalah bahwa kandungan dan petunjuk AlQur'an bersifat umum dan berkelanjutan, tidak di batasi oleh suatu masa.
Maka ajaran-ajarannya, janji dan ancamannya, serta berita baik dan buruknya
tidak di tujukan kepada orang-orang tertentu pada masa-masa tertentu, tetapi
kepada semua orang pada semua masa sampai hari akhir. Walaupun prinsip
ini sejalan dengan kaidah ilmu tafsir yang berbunyi:
( Pemahaman arti suatu ayat berdasarkan pada redaksinya yang umum,
bukan pada sebab turunnya yang khusus), tetapi Muhammad Abduh
memperluas pengertiannya sehingga selama satu ayat dinilainya dapat
bersifat umum, maka keumuman itu dinyatakannya walaupun terkadang
bertentangan dengan kaidah bahasa.
Sebagai contoh adalah ayat 15 dan 17 dari surat al-lail yang
berbunyi: (17) ,(15) ( Tidak ada yang masuk ke
dalamnya kecuali orang yang paling celaka (15), Dan kelak akan dijauhkan
orang yang paling takwa dari neraka itu). Kata dan dalam kedua
ayat tersebut sebagaimana dijelaskan di dalam asbab an-nuzul yang di
riwayatkan oleh beberapa ulama di tujukan kepada dua orang: yang pertama
di tujukan kepada Umayah bin Khalaf, sedangkan yang kedua kepada Abu
Bakar As-Sidik. Namun Muhammad Abduh memandang bahwa
kata bukan di tujukan kepada Umayah bin Khalaf, tetapi ditujukan
kepada setiap orang yang berdosa walaupun berpredikat mukmin. Dan
kata tidak hanya ditujukan kepada Abu Bakar saja, tetapi ditujukan
kepada setiap mukmin yang memiliki keistiqamahan, bahkan juga mereka
yang pernah melakukan dosa tertentu lalu bertaubat.
Menjadikan Al-Qur'an sebagai sumber aqidah dan hukum

13

Dalam hal ini, Muhammad Abduh menginginkan Al-Quran menjadi


sumber sandaran segala madzhab dan pandangan keagamaan; bukannya
madzhab tersebut dijadikan sebagai pokok, dan Al-Quran dijadikan
pendukung untuk madzhab-madzhab tersebut. Disamping itu ia mengkritik
pendapat-pendapat sebagian mufassirin yang memandang bahwa di dalam AlQur'an ada ayat-ayat musykil dan sukar di fahami, hanya karena ayat-ayat
tersebut tidak sejalan dengan dengan pandangan madzhab mereka.
Sebagai contoh adalah ayat 43 dari surat an-nisa tentang tayamum
yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat,
sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang
kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan
junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu

4;

sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau
kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan
tanganmu.
Sesungguhnya
Allah
Maha
Pema'af
lagi
Maha
Pengampun". Muhammad Abduh memandang bahwa tayamum itu
dibolehkan bagi orang yang sedang dalam musafir dengan tanpa ada syarat
ketiadaan air atau ketidakmampuan ia menggunakan air, juga bagi orang yang
berhadas besar dan kecil dengan syarat ketiadaan air. Pandangan ini
bertentangan dengan pendapat ulama-ulama madzhab lain yang hanya
membolehkan tayamum bagi orang yang ada dalam keadaan tidak
mendapatkan air atau tidak mampu menggunakan air karena halangan tertentu
seperti sakit.
Menggunakan pendekatan simbolistik dalam memahami beberapa ayat AlQur'an.
Maksud dari prinsip ini adalah bahwa Muhammad Abduh melihat
dan memahami pertanyaan-pertanyaan serta redaksi-redaksi ayat sebagai
kata-kata yang harus difahami secara allegoris.
Sebagai contoh adalah ayat 30 dari surat al-baqarah tentang kisah
penciptaan Adam sebagai khalifah di muka bumi yang artinya: "Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:"Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa

14

bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan


berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui". Dalam menjelaskan ayat ini Muhammad Abduh mengatakan:
a;
Pemberian Tuhan tentang rencana menjadikan khalifah di bumi,
mengandung arti bahwa bumi dengan hukum-hukum alamnya telah
di siapkan Tuhan untuk menerima suatu makhluk yang sanggup
mengolahnya sehingga tercapai kesempurnaan hidup di atasnya.
b;
Pertanyaan malaikat tentang sifat khalifah yang akan merusak dan
menumpahkan darah, adalah sebagai gambaran mengenai adanya
potensi manusia untuk melakukan perbuatan seperti itu, dan hal
tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan makna kekhalifahan
di atas bumi.
c;

d;

e;

f;

g;

h;

Pengajaran Tuhan tentang nama-nama semua benda, menunjukan


adanya potensi manusia untuk mengetahui segala sesuatu yang ada
di bumi, serta adanya kemampuan untuk mengolah dan
memanfaatkannya.
Ketidakmampuan malaikat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan kepadanya, menggambarkan betapa terbatasnya ruh-ruh
yang mengatur alam ini.
Sujudnya malaikat pada Adam, menggambarkan kemampuan
manusia untuk memanfaatkan hukum-hukum alam untuk
pengembangan alam ini.
Keengganan Iblis untuk sujud, menggambarkan kelemahan manusia
untuk menundukkan jiwa kejahatan atau menghalau bisikan-bisikan
kotor yang membawa kepada perselisihan, perpecahanm agresi dan
pengrusakan di atas bumi.
Al-jannah (surga) adalah symbol dari kenikmatan dan kenyamanan,
sedangkan asy-syajarah(pohon)
adalah
symbol
dari asysyar (kejahatan) dan al-mukhalafah (penentangan).
Peristiwa penciptaan Adam yang bertentangan, mulai dari memakan
buah khuldi lalu diikuti dengan tobat dan penyesalan adalah
gambaran tentang adanya tiga periode perkembangan fitrah manusia,
yitu: (1) Periode kanak-kanak sebagai masa yang diliputi oleh
kesenggangan keceriahan, (2) periode dimana manusia di kuasai oleh
kecendrungan-kecendrungan negatif yang pada gilirannya

15

5;

6;

menimbulkan perpecahan dan pertentangan antara sesame, (3)


periode kematangan akal dan memantapkan berbuat; dimana setiap
gerakan langkah dipertimbangkan baik buruk dan untung ruginya.
Menjadikan ilmu pengetahuan dan penelitian ilmiah sebagai dasar argumen
dalam mena'wilkan beberapa ayat Al-Qur'an
Dalam hal ini Muhammad Abduh nampaknya ingin mempertemukan
antara teori-teori dan penemuan-penemuan ilmiah atupun ilmu pengetahuan
dengan Al-Qur'an. Disamping itu ia ingin mendorong penelitian ilmiah dan
penalaran serta menerapkan method-methode ilmiah di kalangan umat Islam,
yang sekaligus ingin menjelaskan ke dunia barat bahwa Al-Qur'an sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan atu dengan kata lain ia ingin
menjastifikasi Al-Qur'an dengan teori-teori ilmiah tersebut.
Sebagai contoh adalah ayat pertama dari surat al-Insyiqaq yang
berbunyi:( Apabila langit terbelah). Ibnu Kastir menafsirkan ayat
ini hanya dengan menyebutkan ( itu adalah hari kiamat).
Sedangkan Muhammad Abduh memandang bahwa insyiqaaq assamaamaknanya bisa berupa satu kejadian besar dari sekian kejadiankejadian yang berhubungan dengan tata surya, seperti kejadian lewatnya
sebuah bintang dekat dengan bintang lainnya yang menimbulkan gaya tarik
menarik dan menyebabkan terjadinya benturan antara keduanya. Karena
benturan tersebut, maka tata surya mengalami goncangan yang kuat.
Sehingga munculah di langit awan dan kabut yang datang dari berbagai arah.
Maka langitpun terbelah oleh awan dan kabut tersebut. Hal ini kemudian
mengakibatkan rusaknya peredaran tata surya.
Tidak merinci persoalan-persoalan yang disinggung secara mubham (tidak
jelas) atau sepintas lalu oleh Al-Qur'an
Muhammad Abduh ketika menemukan persoalan-persoalan yang
disinggung secara mubhamtidak memperpanjang bahasannya, sebagaimana
yang biasa dilakukan oleh ulama-ulama tafsir lainnya, seperti: An-Naisaburi,
Ats-Tsa'labi, Al-Baghawi dll, yang berusaha memberikan identifikasi dan
uraian mengenai hakikat dari persoaln-persoalan seperti ini meski dengan
sumber yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kesahihannya. Muhammad
Abduh menganggap bahwa mengurai persoalan-persoalan seperti ini secara
terperinci tidaklah banyak gunanya; karena dengan tanpa harus merinci dan

16

menjelaskan persoalan-persoalan seperti itu, tujuan utama dari persoalanpersoalan seperti itu dapat dicapai.
Contoh
dari
persoalan-persoalan
yang
disinggung
secara mubham tersebut adalah "sapi" yang disebutkan di dalam surat albaqarah ayat 58, dan "anjing" yang menyertai Ashabu Al-Kahfi yang terdapat
di dalam surat al-kahfi ayat 18, dsb.
7;

8;

Sangat kritis dalam menerima hadits-hadits Nabi SAW dan menolak israiliyat
Sikap kritis Muhammad Abduh dalam menerima hadits-hadits Nabi
SAW tersebut adalah karena menurutnya bahwa sanad (rangkaian perawi
yang meriwayatkan teks hadits) itu belum tentu dapat di pertanggung
jawabkan kesahihannya. Maka dari itu banyak hadits yang ditetapkan oleh
ulama sebagai hadits sahih ditolak atau diabaikan olehnya karena dinilainya
tidak sesuai dengan pemikiran logis atau tidak sejalan dengan redaksi ayat AlQur'an; sebaliknya ada hadits yang di tetapkan oleh ulama sebagai hadits
dha'if justru dikukuhkan oleh Muhammad Abduh karena kandungannya
dinilai sejalan dengan pemikiran logis.
Sebagai contoh adalah pengabaian Muhammad Abduh terhadap
hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang membahas masalah wahyu pertama
turun ( )dan pengukuhannya terhadap riwayat-riwayat dha'if yang
dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib yang menyatakan bahwa Al-Fatihah
adalah wahyu pertama.
Sangat kritis terhadap pendapat-pendapat para sahabat
Muhammad Abduh sangat berhati-hati dalam menerima pendapatpendapat para sahabat,apalagi jika pendapat para sahabat itu berbeda satu
dengan yang lain. Tapi dengan kehati-hatiannya tersebut bukan berarti ia
menolak semua pendapat-pendapat para sahabat, karena apabila pendapatpendapat tersebut ada yang dianggapnya sejalan dengan pemikiran logis,
maka ia mengambilnya.

F; Tiga Pranata yang Menjadi Sasaran Pembaharuan


Tiga pranata sasaran yang menjadi pembaharuannya adalah sebagai berikut:
1;
Bidang Pendidikan

17

Pembaharuan yang dilakukan Abduh menyangkut sistem pengajaran,


seperti metode kurikulum administrasi dan kesejahteraan para guru, bahkan juga
mencakup sarana fisik seperti asrama mahasiswa, perpustakaan dan peningkatan
pelayanan kesehatan bagi mahasiswa. Dampak positif dari pembaharuannya
antar lain tampak pada jumlah murid yang diuji setiap tahun.
Seperti dikutip Fazlur Rahman, Abduh menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan modern banyak berdasar pada hukum alam (sunnatullah, yang
tidak bertentangan dengan Islam yang sebenarnya). Sunnatullah adalah ciptaan
Allah SWT. Wahyu juga berasal dari Allah. Jadi, karena keduanya datang dari
Allah, tidak dapat bertentangan satu dengan yang lainnya. Islam mesti sesuai
dengan ilmu pengetahuan modern dan, yang modern mesti sesuai dengan Islam,
sebagaimana zaman keemasan Islam yang melindungi ilmu pengetahuan.
Dengan penuh semangat, Abduh menyuarakan penggalian sains dan penanaman
semangat ilmiah Barat. Kemajuan Eropa ia tegaskan karena belahan dunia ini
telah mengambil yang terbaik dari ajaran Islam. Ia membantah bahwa Islam
tidak mampu beradaptasi dengan dunia modern. Ia ingin membuktikan bahwa
Islam adalah agama rasional yang dapat menjadi basis kehidupan modern.
Sebagai konsekuensi dari pendapatnya, Abduh berupaya untuk
memperbarui pendidikan dan pelajaran modern, yang dimaksudkan agar para
ulama kelak tahu kebudayaan modern dan mampu menyelesaikan persoalan
modern. Pendidikan adalah hal terpenting dalam kehidupan manusia dan dapat
merubah segala sesuatu.
2;

Bidang Hukum
Ide pembaharuan Muhaammad Abduh dalam bidang hukum adalah
mengeluarkan fatwa-fatwa keagamaan dengan tidak terikat pada pendapat
ulama-ulama masa lampau atau tidak terikat pada satu madzhab sebab
menjadikan pendapat para imam sebagai sesuatu yang mutlak bertentangan
dengan ajaran Islam. Hukum menurutnya ada dua macam, yang pertama, hukum
yang bersifat absolut yang teksnya terdapat dalam Al-Quran dan perinciannya
terdapat dalam hadist, yang kedua, hukum yang tidak bersifat absolut dan tidak
terikat pada konsensus ulama.
18

3;

Bidang Wakaf
Wakaf merupakan sumber dana yang sangat berarti pada masa itu.
Abduh berhasil memasukkan perbaikan masjid sebagai salah satu sasaran rutin
penggunaan dana wakaf, maka mulailah memperbaiki sarana masjid, pegawai
masjid sampai kepada para imam dan khatib. Yang dilatar belakangi oleh situasi
masjid-masjid di Mesir.

19

BAB III PENUTUP


A; Kesimpulan

Muhammad Abduh merupakan tokoh abad ke-19 yang berusaha membuka


pemikiran umat Islam dari kejumudan berfikir dan taklid buta, dan mengarahkan
mereka untuk kembali kepada pemahaman secara langsung kepada al-Quran dan
bersikap kritis terhadap hadits Nabi SAW dan pendapat-pendapat para sahabat, serta
menolah riwayat-riwayat israiliyat.
Pegambilan metode penafsiran al-Quran dengan tidak banyak merujuk
kepada para ulama sebelumnya, merupakan salah satu cara yang beliau lakukan dalam
merealisasikan keinginannya tersebut di atas. Oleh karena itu metodologi yang beliau
pergunakan dalam menafsirkan al-Quran tersebut, memiliki banyak perbedaan dengan
metodologi-metodologi sebelumnya.
Muhammad Abduh lebih mengedepankan hal-hal yang berkaitan dengan
budaya kemasyarakatan dan problematika umat Islam pada masa sekarang, seperti
sebab-sebab keterbelakangan mereka dan cara-cara penangulangannya, serta kiat-kiat
dalam membangun masyarakat yang kuat. Abduh berusaha mengaitkan penafsiranpenafsirannya dengan teori-teori dan penemuan-penemuan ilmiah baru (modern),
sehingga metode penawilan dengan lebih mengutamakan penggunaan akal secara luas
merupakan salah satu metode yang beliau pergunakan, dengan sedikit memperhatikan
segi-segi ma'tsur (periwayatan).
Di sisi lain, ia sangat memperhatikan segi bahasa yang mudah dimengerti dan
lugas, dengan gaya yang menakjubkan dan mengesankan, dan dengan menekankan
ketelitian dan keindahan redaksi, begitu juga dengan menitikberatkan penjelasan akan
hikmah-hikmah sunatullah dalam

penciptaan,

serta

eksistensi

al-Quran

sebagai hudan (petunjuk) bagi umat manusia.


Wallahu alam bi as-shawab.

20

B; Saran

Sebaiknya pemikiran Muhammad Abduh tentang pembaharuan islam


dapat kita jadikan sebagai tauladan untuk mewujudkan perubahan yang lebih baik
bagi agama sesuai dengan kemajuan zaman, namun tetap berpedoman pada AlQuran dan Hadist.

21

DAFTAR PUSTAKA

Agus Miswanto dan M Zuhron Arofi, 2015. Sejarah Islam dan Kemuhammadiyahan,
Magelang: P3SI UMM
Muhammad Ammarah, Al-Imam Muhammad Abduh, Op.Cit. hlm. 207.
2012

Muhammad
Abduh
dan
Pemikirannya
Tokoh
Pembaharuan,
https://hikmawansp.wordpress.com/2012/01/03/muhammad-abduh-danpemikirannya-tokoh-pembaharuan/ diunduh: 24 Oktober 2016 pukul 22.20 WIB

22

Anda mungkin juga menyukai