Anda di halaman 1dari 15

ISTI’ARAH DALAM AL-QUR’AN

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Balaghah Al-Qur’an

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Muhammad, M.Ag

Disusun oleh:
Kelompok III

Leni Duwitasari 18105030128

Ro’isul Abidah 18105030130

Wani Atiqah Binti


18105030133
Razemi

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA


2021
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Telah kita ketahui bahwa Al-Quran memiliki bahasa yang indah, yang mana dengan
keindahan tersebut membuktikan Al-Qur’an adalah wahyu murni dari Allah sebagai
mukjizat nabi. Maka untuk menikmati keindahan tersebut rasanya tidak lengkap jika
tidak mengetahui ilmu/ seluk-beluk sastra itu sendiri, sehingga tidak mengetaui makna
dan rahasia yang tersimpan dari penggunaan kalimat-kalimat puitis itu. Dengan
demikian, dengan mengetahui, sekaligus memahami sastra yang terkandung dalam ayat
Al-Qur’an pembaca akan dapat memahami kalam Allah yang agung itu sekaligus
dengan menikmati keindahan rasa (dzauq) yang terbangun ketika mentadaburinya.
Bahwa dengan sastra kita dapat mengetahui, merasakan keindaan kalam-Nya yang tidak
hanya berkutat pada hukum normatif yang terasa mengikat.

Pembahasan kedua dari ilmu bayan, dari ilmu balaghah adalah majaz. Majaz
sendiri ialah kalimat yang menggunakan lafadz yang makna aslinya tidak digunakan,
dan justru menggunakan makna yang lain1. Sedangkan majaz sendiri memiliki beberapa
pembagian lagi, yang diantaranya adalah istiarah atau dapat kita sebut sebagai metafora.
Berikut ini kami bahas sedikit mengenai istiarah.

Tujuan Makalah

1. Mengetahui dan memahami definisi tema Isti’arah


2. Mengetahui dan memahami tujuan Isti’arah
3. Mengetahui dan memahami makna dari contoh ayat Al-Qur’an

Rumusan Masalah

1. Apa definisi/makna Isti’arah itu?


1
Ali Al-Jarimi, dan Musthafa Amin, Al-Balaghah Al-Wadhihah, (Beirut: Daarul Maarif, 1965), hhlam. 71
2. Apa tujuan dari Isti’arah
3. Apasaja contoh Isti’arah dalam Al-Qur’an?

BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Isti'arah

Secara harfiah isti'arah merupakan bentuk isim masdar dari ista'ara-yasta'iru yang
berarti meminjam. Isti'arah secara bahasa artinya "meminjam", maksudnya meminjam
suatu kata untuk mengungkapkan suatu makna.2 Dapat dikatakan bahwa isti'arah adalah
peminjaman kata yang digunakan untuk suatu makna atau majaz yang 'alaqahnya
(hubungan antara makna asal dan makna yang dimaksud adalah musyabahah
(keserupaan). Isti'arah menurut ulama bayan yaitu melakukan suatu lafazh pada selain
makna asli cetaknya, karena ada hubungan yang berupa keserupaan antara makna yang
dipindah dan lafazh yang digunakan. Isti'arah adalah satu bagian dari majaz lughawi.
Isti'arah adalah tasybih yang dibuang salah satu tharafnya. Oleh karena itu hubungan
antara makna hakiki dengan makna majazi adalah musyabah selamanya.3

Secara istilah ada beberapa pendapat ulama mengenai isti'arah, diantaraya:

1. Menurut al-Hasimy isti'arah adalah menggunakan lafadz tidak pada tempatnya


dikarenakan ada hubungan persamaan antara makna yang dipindah dan makna yang
digunakan serta adanya indikasi-indikasi yang mengalihkan terhadap makna asli.
2. Menurut Abd al-Rahman al-Ahdory, isti'arah adalah menyebutkan salah satu bentuk
penyerupaan dan menghendaki bentuk yang lain dengan memasukan lafadz yang
diserupakan terhadap jenis lafadz yang diserupai untuk mengistimewakan lafadz yang
diserupai.

2
Hidayat, al-Balaghah lil-Jami' wasy-Syawahid min Kalamil Badi', 119
3
Ali al-Jarim dan Mustafa Amin, al-Balaghatu, hal 102
Jadi, isti'arah adalah memindahkan kata dari asal pemakaiannya karena ada
hubungan keserupaan dan ada beberapa maksud tertentu diantaranya untuk menjelaskan
makna, menambah kekuatan makna yang terkandung dalam kalimat.

Tujuan dari Istiarah

Gaya bahasa ataupun fokusnya dalam makalah ini, bab Istiarah banyak ditemukan
dalam al-Qur’an. Dengan adanya pelbagai gaya bahasa yang bermacam-macam pastinya
mempunyai tujuan dan faidah yang tersendiri. Dari itu, pelbagai kesan dan mesej juga
yang bisa ditafsirkan jika menggunakan metode tafsir yang fokus kepada gaya
kebahasaan sebuah ayat dalam al-Qur’an. Isti’arah, seperti makna dari nama gaya bahasa
itu sendiri adalah suatu peminjaman yang membuat suatu ayat menjadi lebih
mengamgumkan dan tampak lebih tegas dalam mengumpamakan suatu hal. Tujuan
dasar adanya Isti’arah adalah untuk menyampaikan mesej dari sebuah pernyataan
kepada para pembaca atau suatu audiens yang hendak ditujukan kepadanya. Selain itu
juga untuk memberitahu kepada audiens bahwa penulis atau mutakallim dalam
ungkapan tersebut sudah tahu akan pernyataan yang disampaikan.

Tujuan lainnya yang seperti lazimnya gaya bahasa lain adalah untuk
mengekspresikan suatu keadaan perasaan dengan perumpamaan yang dilakukan dalam
penggunaan gaya bahasa Isti’arah ini:

Isti’arah sebagai ‘Ijaz dan Mukjizat al-Qur’an

Ekspresi yang mungkin disampaikan akan lebih fokus kepada objektifnya seperti
menunjukkan kebanggaan, penyesalan atau bisa juga permohonan dll. Dengan ungkapan
bergaya bahasa Isti’arah ini juga kita bisa menghalusi pemaknaan mesej yang hendak
disampaikan sebuah ayat al-Qur’an, hal ini karena al-Qur’an simbolik mukjizat yang
masih hidup dari zaman mula pewahyuan kepada Rasulullah Saw sehinggalah hari
kiamat kelak. Oleh itu, mesej yang dibawa oleh al-Qur’an pastinya membawa banyak
makna sehingga bukan sahaja mesej yang tersurat malah mesej yang tersirat juga
mampu digali darinya. Nyatanya, dari al-Qur’an yang mempunyai bahasa yang tiada
tandingan ini muncul banyak istilah dan cabang-cabang dari keilmuan kebahasaan dalam
kesusasteraan Bahasa Arab; yang menjadi sebagian besar dari ‘Ijaz al-Qur’an.4

Penjelasan Rahsia-rahsia Balaghah dan Penyampaian Mesej Yang Lebih Berkesan

Perumpamaan yang dilakukan pula akan lebih mesra dengan pemahaman umat
Islam pada zaman Rasulullah yang masih asing dengan penulisan, keilmuwan bahkan
juga kepercayaan selain penyembahan berhala.5 Seperti ayat hukum yang biasanya
disampaikan dengan bahasa yang lugas dan denotative, namun pada beberapa ayat
hukum disampaikan dengan perumpamaan yang akan cenderung membuat audiens
berpikir dan memproses ayat hukum dengan fikiran yang terbuka.6

Seterusnya, ayat al-Qur’an yang menjawab pertanyaan ayat al-Qur’an yang


lainnya adalah karena untuk menunjukkan kepada audiens bahwa pertanyaan tersebut
bisa ditanyakan atau dicari tahu tentangnya dengan cakupan lebih luas lagi seperti ayat
yang menjawab tentang fasa-fasa perubahan bulan dalam berlaku dalam waku sebulan.
Namun begitu, bisa dikatakan bahwa gaya bahasa ini menunjukkan bahwa kayanya
bahasa al-Qur’an sehingga mampu memberi kesan yang mendalam di dalam jiwa dan
sesuai dengan situasi dan kondisi orang-orang yang meneliti bait-bait ayat-Nya.7
Walaupun ayat dengan gaya bahasa Istia’rah menjadi lebih jelas dan terang namun pada
sisi lainnya masih juga terdapat ayat yang mengumpamakan dengan yang tampak namun
masih belum dijelaskan seperti ayat dengan musyabbah bih isytarau maksud membeli
dngan musyabbah ikhtarau yang bermaksud memilih.

4
Ab Rahman, Keindahan Gaya Bahasa al-Qur’an, Ulum Islamiyyah Jurnal, Vol. 9, USIM, Desember, 2012
5
Memaksudkan agama Hanif yang telah terpesong sehingga menyembah berhala meskipun hanya sebagai
perantaraan kepada tuhan yang Maha Esa.
6
Komarudin, Istiarah dan Efek yang Ditimbulkannya, Jurnal Tsaqafa, Vol.14, No.1, Januari 2017, hlm.
7
Nurul ‘Aini Pakaya, Fenomena Uslub Isti’arah Dalam Al-Qur’an, al-Ajami, Jurnal Bahasa dan Sastra Arab, Vol. 5,
No.1 Juni 2016, hlm. 55
Contoh Isti’arah Dalam Al-Qur’an

1. Isti’arah Tashrihiyyah
Isti’arah Tashrihiyyah adalah kalimat majaz yang menampakkan musta’ar minhu
(musyabbah bih)-nya dan melemparkan musyabbah/mustaar lahu nya.

‫ط ِز ْي ح ِم ْي ِۙد‬
‫ِ ٰل ص‬ ‫ال ن‬ ُ‫س ظل‬ ‫ۗ لك ٰت ٰنُه اَِل ْي ك خ ج‬
ْ
‫ّ ْو ِر ەۙ ت ذن ب ِه ى َرا ا ْل ِز ا ْل‬ ‫ ْن َز ْل لت ِر النَّا من ال ٰم‬mَ‫ب ا‬ ‫ٰر‬
‫ِا‬
‫ْم‬ ‫لَى‬
‫ر‬

“Alif Lam Ra. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu (Muhammad) agar
engkau mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya terang-benderang
dengan izin Tuhan, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Mahaperkasa, Maha Terpuji”
(QS. Ibrahim [14]: 1)

Pada ayat diatas, yaitu kata


‫ت‬ ‫ ال ظُل‬dan ْ‫ ور الُّن‬kedudukannya sebagai mustaar
‫ٰم‬
minhu, yaitu lafadz yang dipinjam untuk menggantikan makna asalnya, yaitu ‫الكفر‬

dan
‫ الهداية‬. Lafadz ‫ الكفر‬diserupakan dengan ‫ ال ظُل ت‬karena sama-sama memiliki
‫ٰم‬
sifat/suasana yang gelap-gulita, dimana ketika seseorang berjalan dalam kegelapan, ia
tidak bisa berjalan dengan benar/tersesat, bahkan benar-benar tidak bisa
berjalan/celaka. Lafadz ‫ الهداية‬diserupakan dengan kata ْ‫ ور الُّن‬karena mamiliki
kesamaan suasana, yaitu terang benderang, yang mengakibatkan seseorang dapat
berjalan dengan benar, jelas, dan cepat sampai. Dengan demikian seseorang yang
perpegang teguh kepada Al-Qur’an akan cepat sampai kepada surga dan melalui jalan
yang jelas dan benar.8

ۗ ‫هن‬
‫ل َبا ٌس ْ وَا َ س‬ ‫ِن ث ۤ ا ْم‬ ‫ِم ال‬ َ‫اُ ِحل ْ ْيلَة‬
‫ ْم با ل‬mُ‫لَّ هن م ْنت‬ ‫ِا ٰلىى س ۗ ك‬ ‫ال َّرَف ص‬ ‫م‬
‫ل‬ ‫ك‬ ‫َي ا‬ ‫ك‬
“Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka
adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka.” (QS. Al-Baqarah
[2]: 187)
‫َا ْنع َفَاذَاَق َها‬ َ‫كل ن كف‬ ‫ْزقُ رغ‬ ‫ر‬ ‫ِت ْ ي‬ ً‫ِمَنة تَم ِٕىنَّة‬ َ ‫كا‬
‫ِّلال‬ ‫ِم ت‬ ‫مكا ف َر‬ ‫دًا م‬ ‫َها‬ ْ‫ا مط َها أ‬ ‫ن‬
‫ن‬
‫ًل َق ْر َيًة مَث‬ ‫ّل ُال‬ ‫َرب ضو‬
‫ص نَ عُ ْون‬ ُ‫كان‬ ‫و خ ف‬ ‫ّ لال َ س ْو‬
‫ْوا‬ ‫َما‬ ‫ا‬ ْ
ِ ‫با ا ل‬
‫ع‬
‫ْل ْو‬ ‫ل‬
‫ج‬
“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang
dahulunya aman lagi tenteram, rezeki datang kepadanya melimpah ruah dari
segenap tempat, tetapi (pen-duduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu
Allah

8
Mubaidillah, Memahami Isti’arah dalam Al-Qur’an, Jurnal Nur El-Islam, Vol. 4 No. 2, 2017, hlm. 137.
menimpakan kepada mereka bencana kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang
mereka perbuat” (QS. An-Nahl [16]: 112)

2. Isti’arah Makniyyah
Isti’arah makniyyah adalah kalimat majaz yang hanya menampakkan/menyebutkan
sifat/tanda/ciri dari musyabbah bih (mustaar minhu)-nya, jadi musyabbah bih nya
tidak diperlihatkan/dilempar.

‫ص ِغ ْي ًر ۗا‬ ‫َ ِني‬ ‫ر ح‬ ‫وق‬ َ ‫من ال‬ ‫ه َما َج َنا َح‬ ‫واخ ِف‬
‫ما‬
‫ِب ا َ ما ر َّب ٰي‬ ‫ل‬ ‫َّر م‬ ‫الذُّل ض‬
‫ْر ْم ه ك‬ ‫ِة‬
‫ح‬

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan
ucapkanlah, “Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua
telah mendidik aku pada waktu kecil.” (QS. Al-Isra’ [17]:24)9

Pada ayat diatas, lafadz


‫ ج‬yang berarti sayap merupakan ciri dari burung/ayam, jadi
‫ح‬ ‫َنا‬
disitu lafadz majaznya adalah ‫( طائر‬burung) tapi kemudian dilempar. Dr. Quraish
Shihab menjelaskan bahwa burung akan merendahkan sayapnya ketika ia akan
melindungi anak-anaknya dan pasangannya, jika merasa terancam induk ayam akan
‘menyembunyikan’ anaknya dibawah sayapnya yang lebar. Beliau juga menjelaskan
bahwa dengan adalnya afadz ُّ‫ الذ‬sebagai sandaran sehingga membentuk frasa ‘sayap
‫ل‬
kerendahan’ dalam tema interaksi kepadda orang tua memiliki arti bahwa anak harus
menunjukkan sikap yang tawadlu’ karena hormat dan sayang kepada orang tua.10

3. Isti’arah Ashliyyah
Istiarah Ashliyyah adalah kalimat majaz yang jenis lafadz majaznya berupa isim
jamid/kata dasar. Dalam referensi lain juga dijelaskan lafadz yang dimajazkan itu
berkedudukan mustaar dalam susunan kalimat isti’arah.11

‫ا ْل عُ ْر َو‬ ْۢ
َ‫ ْن ِبا فََق ِد ا ست‬mْ ‫َمن َّي ْكف طا ِم‬ ِ ‫تَّ َب ال ش من‬
‫ي‬ ‫َٓل ْك ِد ْي‬
‫ِة سك‬ ‫ِّلل ْم‬ ‫ْر ال غ ت وُي ْؤ‬ ‫َّي ْد ُّر د ا ْل‬ ‫ن ى ال‬mِۗ ‫َرا َه‬
‫ْو‬ ‫ن‬
‫س ِم ع ِل ْي ٌم‬ ‫َل َها ۗ ّل ُال‬ ‫صا َم‬
‫ْيع‬ ‫َو‬
‫ا ْن ِف َل‬ ُ ‫وثْ ٰقى ا‬ ‫ْل‬
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas
(perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar

9
Hifni Bik Nashif, Al-Qawaid Al-Lughah Al-Arabiyah, (Surabaya: Wizaratul Maarif, 2008), hlm. 123.
10
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah VII, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hlm. 444
11
Hifni Bik Nashif, Al-Qawaid Al-Lughah Al-Arabiyah, (Surabaya: Wizaratul Maarif, 2008), hlm. 124.
kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh)
pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha
Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 256)

‫َا ْنع َفَاذَاَق َها‬ َ‫كل ن كف‬ ‫وض َرب ّ مثَ ْر ك ت ا َم ِٕىَّنةً ِت ْي ْزقُ رغ‬
‫ِّلال‬ ‫ِم ت‬ ‫مكا ف َر‬ ‫دًا م‬ ‫لُا ًل َية ان ِمَنة مط َها أْ َها‬
‫ن‬ ‫ر‬
‫ص نَ عُ ْون‬ ُ‫كان‬ ‫و خ ف‬ ‫ّ لال َ س ْو‬
‫ْوا‬ ‫َما‬ ‫ا‬ ْ
ِ ‫با ا ل‬
‫ع‬
‫ْل ْو‬ ‫ل‬
‫ج‬
“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang
dahulunya aman lagi tenteram, rezeki datang kepadanya melimpah ruah dari
segenap tempat, tetapi (pen-duduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu
Allah menimpakan kepada mereka bencana kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa
yang mereka perbuat” (QS. An-Nahl [16]: 112)

4. Isti’arah Tabaiyyah
Isti’arah tabaiyyah adalah kalimat majaz yang lafadznya berupa isim
musytaq/fiil/huruf.
ۗ ‫س هن‬
َ َ‫ل َبا ٌس ْ وا‬ ‫ِن ث ۤ ا ْم‬ ‫ِم ال‬ ‫اُ ِحل ْ ْيَلَة‬
‫ ْم با ل‬mُ‫لَّ هن م ْنت‬ ‫ِا ٰلىى س ۗ ك‬ ‫ال َّرَف ص‬ ‫م‬
‫ل‬ ‫ك‬ ‫َي ا‬ ‫ك‬
“Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka
adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka.” (QS. Al-Baqarah
[2]: 187)
Ayat diatas ini dari sisi kehadiran tharaf/ rukunnya adalah isti’arah tashrihiyyah,
namun dari segi jenis lafadznya, ayat diatas adalah isti’arah taba’iyyah, dimana
kata َ

ٌ‫ س َبا ل‬adalah kata benda yang memiliki kata dasar/akar kata, yaitu ‫لبس‬-‫يلبس‬
yang
berarti memakai (kata kerja). Kata tersebut kedudukannya seperti wajah syabah dalam
pembahasan tasybih, yaitu arah/poin kesamaannya. Dalam contoh: : ‫النور العلم‬m ‫ة في ك‬mm‫الهداي‬
(ilmu bagaikan cahaya dalam memberi petunjuk) kata ‫( الهداية‬memberi petunjuk)
adalah wajah syabahnya. Sehingga kata ٌ‫ س َبا ل‬/pakaian memberikan arti sifat pada
‫هن‬
xzyaitu kedekatan yang dapat memberikan perlindungan, menutupi kekurangan suami
oleh istri.
‫شُع ُر ْون‬
‫ ْنفُ َّ َٓل س و‬mَ‫ُي ٰخ ِد ْ ّ وال َمُن ْوا و خ ْ ا‬
‫ن اِ ه َما‬ ‫ون لاَ ّ ِذ ْي ۚ ن ا َما َد و‬
‫ْم‬ ‫ع‬ ‫َي‬ ‫ع‬
Jangan, menipu diri sendiri tanpa mereka sadari” (QS. Al-Baqarah [2]: 9)

‫عظ ْي ٌم‬
‫ع ذ َا‬ ٌ َ ْ ‫ ْب وع ص‬mَ‫ َم ّل ُال قُلُ ْو ِب ِه ْم وع ٰلى ِه ْم ۗ ا‬mَ‫خت‬
‫وة و‬
‫ب‬ ْ ‫ٰلٓى ا م غشا ل‬ ‫س ْم‬ ‫ع ٰل ى‬
‫م‬ ‫ِر‬ ‫ِع‬
‫ه‬
‫ه‬

“Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah
tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat.” (QS. Al-Baqarah [2]: 7)12

5. Isti’arah Murasysyahah
Istiarah murasyahah adalah kalimat majaz yang didalamnya menyebutkan kata yang
menjadi musyabbah bih nya, dan sekaligus ciri dari musyabbah bih itu.
‫ ِد ْي ن‬mَ‫كاُن م ْهت‬ ‫َرتُ و‬ ‫ر‬ َ ‫َر ض ٰ َلة اه ٰدى‬ ‫ِٕى‬
‫ْوا‬ ‫ُه ْم َما‬ ‫ما ِبحت‬ ‫ْل‬ ‫ال ُوا ال‬ ۤ
‫و ٰل‬mُ‫ا‬
‫جا‬ ‫شَت‬ ‫ّ ِذ ْين ا‬
‫ك‬
“Mereka itulah yang membeli kesesatan dengan petunjuk. Maka perdagangan
mereka itu tidak beruntung dan mereka tidak mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah
[2]: 16)

‫ َر ُوا‬mَ‫ = ا شت‬musyabbah bih/mustaar minhu, dan makna yang dipinjam adalah


‘memilih’/ ‫اختر‬, karena kegelapan/kesesatn tidak dapat dibeli melainkan dipilih
‫ر‬ = ciri/tanda/sifat musyabbah bih.
‫ِبحت‬

6. Isti’arah Mujarradah
Isti’arah mujarradah adalah kalimat majaz yang didalamnya tidak menyebutkan
musyabbah sekaligus ciri-ciri musyabbah nya

‫اَ ْنع َفَاذَاَق َها‬ َ‫كل ن كف‬ ‫وض َرب ّ مثَ ْر َ ت ا َم ِٕىنَّةً ِت ْي ْزقُ رغ‬
‫ِّلال‬ ‫ِم ت‬ ‫مكا ف َر‬ ‫دًا م‬ ‫لُا ًل َية ن ِم نَ ة مط َها أْ َها‬
‫ن‬ ‫كا‬
‫ر‬
‫صَنُع ْون‬ ُ‫كان‬ ‫و خ ف‬ ‫ّ لال َ س ْو‬
‫ْوا‬ ‫َما‬ ‫ا‬ ْ
ِ ‫با ا ل‬
‫ع‬
‫ْل ْو‬ ‫ل‬
‫ج‬
“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang
dahulunya aman lagi tenteram, rezeki datang kepadanya melimpah ruah dari
segenap tempat, tetapi (pen-duduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu
Allah menimpakan kepada mereka bencana kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa
yang mereka perbuat” (QS. An-Nahl [16]: 112)

7. Isti’arah Muthlaqah
Istiarah muthlaqah adalah istiarah yang dalam kalimat majaznya tidak disebutkan
tanda musyabbah dan tanda musyabbah bihnya.

12
Mubaidillah, Memahami Isti’arah Dalam Al-Qur’an, Jurnal Nur El-Islam, Vol.4 No 2, 2017, hlm. 140

‫ه ْم‬
‫ْكتُ ْو ْ التَّ ْو ٰرى ِة ه وا ج أْ ُم‬ ‫ال َن ٗه‬ ِ ُ‫ا َْل‬ ْ ‫ل تَّ ِبعُ ال‬
‫ْم ِفى َِل ْن ْيل ُر‬ ‫ًبا م ن‬ ‫ّ ِذ ْين ْو َّر و الن م ي ّ ِذي جدُ ْو‬
‫َد‬ ‫ي‬ ‫ن س ّ ِب ل‬
‫ع‬
‫ع ْنه م ا ص َره ْم‬ ‫ِٕىث و َي ْي ِه‬ ‫ا ْل ُم ْنك ويُ ِ ي ٰبت وُي ه ِ ر‬ ‫ا ْل َم ُ ْن ٰهىه‬
ِ ْ
‫ضع‬ ‫ُم ا ْلخ ٰۤب عل‬ ‫ُم الط ُم‬ ‫ِر عن ِحل‬ ‫ر ْم ف و َي‬
‫ح‬ ‫ْو‬
‫ع‬
ۤ
‫ُا ْن ِٕىك ٰل ۙاُو‬ mَ‫َّز ُر َنص ُر الُّن ْو َر اَّل ِذ وات‬ ‫وا ََْل الَّ ِتي غ كان ِه ال ا َمُن ْوا ٖه‬
‫ِزل ٗ ٓه م‬ ‫َبُعوا‬ ‫وه و‬
ُ ْ ‫وه وع‬
ُ ْ ‫ن‬ ‫م ّ ِذ‬mْۗ ‫ٰلل ت‬
‫علَ ْي ْي‬

ࣖ ‫ه م ا ْل م ح ْون‬
ُ ُ
‫ْف ِل‬
“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis)
yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada
mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang makruf dan mencegah dari yang
mungkar, dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan
segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban dan belenggu-
belenggu yang ada pada mereka. Adapun orang-orang yang beriman kepadanya,
memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan
kepadanya (Al-Qur'an), mereka itulah orang-orang beruntung.” (QS.Al-A’raf [7]:
157)
Maksud kata َ‫ ر ْو الُّن‬disini bukanlah cahaya melainkan Al-Qur’an

8. Isti’arah Tamtsiliyah
ُ‫ م ّ لال‬mُ‫ه‬mَ‫ مات‬m‫َاٰنى ُيحي ِ ذ ّلال َ ۚ َف َا‬
َ ُ ‫َقا ۚا‬ ‫كال َّ ر ع ٰلى ْر وه َية ع ٰلى ُ ر‬ ‫ ْو‬mَ‫ا‬
‫ْو ِت َها‬ ‫د‬ ‫ل ِه‬ ‫ش‬ ‫ْو‬ ‫َي ي خاو‬ ‫ّ ِذي م‬
‫ع‬ ‫ه‬ ‫َه‬ ‫ع‬ ‫ة‬
‫م فَا ظ ْر ِا ٰلى‬ َ‫ة‬mَ‫ض ْو ۗم ل مائ‬ ‫ ْو‬mَ‫ة م ث ۗ ال ث لَ ِبثْ ۗ قَا لَ ِبث ْو ًما ا‬mَ‫مائ‬
‫ِبث ت ْن عا‬ ‫ال‬ ‫َبع ت َي‬ ‫ٗه ك ْم ت ل‬ ‫َّم عا‬
‫ا ل نل َّاس و ظ ا ْل ِع ظ ْ ف ش ُزها‬ ‫ۚ و ظ ٰل َما و ج‬ ‫َل‬ ‫ط ا ِمك وش‬
‫ل َى ا ي ُن ْن‬ ‫ا ْن‬ ً‫ى ِر َك ِل َن َل َي ة‬ ‫ت َ سن ا ْن‬ ‫َرا ِب ْم‬
‫ِم ك‬ ‫ْر‬ ‫ك‬ ‫ح‬ ‫ْر‬ ‫ّه‬ ‫ك‬
‫ َب َّي ل ۙ َقا ل ع َ ُلم ّل َال كل ع شي ء َق ِد ْي ٌر‬mَ‫ثُ َّم ْك ْ ها ۗ ت‬
‫ٰل ى‬ ‫ن َل ٗه ا اَن‬ ‫و ل ح‬
‫ّما‬ ‫س ًما‬

“Atau seperti orang yang melewati suatu negeri yang (bangunan-bangunannya) telah
roboh hingga menutupi (reruntuhan) atap-atapnya, dia berkata, “Bagaimana Allah
menghidupkan kembali (negeri) ini setelah hancur?” Lalu Allah mematikannya
(orang itu) selama seratus tahun, kemudian membangkitkannya (menghidupkannya)
kembali. Dan (Allah) bertanya, “Berapa lama engkau tinggal (di sini)?” Dia (orang
itu) menjawab, “Aku tinggal (di sini) sehari atau setengah hari.” Allah berfirman,
“Tidak! Engkau telah tinggal seratus tahun. Lihatlah makanan dan minumanmu yang
belum berubah, tetapi lihatlah keledaimu (yang telah menjadi tulang belulang). Dan
agar Kami jadikan engkau tanda kekuasaan Kami bagi manusia. Lihatlah tulang
belulang (keledai itu), bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami
membalutnya dengan daging.” Maka ketika telah nyata baginya, dia pun berkata,
“Saya mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah
[2]: 259)

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Secara terminologi isti'arah adalah melakukan suatu lafazh pada selain makna
asli karena ada hubungan yang berupa keserupaan antara makna yang dipindah dan
lafazh yang digunakan. Terdapat tiga rukun isti'arah yaitu: Musta'sar
Minhu/Musyabbah bihi (kata yang diberi pinjaman), Muta’sar Lahu/Musyabbah
(makna), Muta'sar /Al-Lafdu (sifat yang dipinjamkan). Dua ragam isti'arah yaitu
isti’arah tasrihiyyah, isti’arah makniyyah. Lengkap dengan dua pembentukan isti’arah
ashlihiyyah, isti’arah taba'iyyah, isti’arah murosyahah, istiarah mujaroddah, isti’arah
muthollaqoh dan juga isti’arah tamsiliyah.

Kesimpulannya, masih banyak juga ruang penelitian dalam hal ini menimbang
banyaknya cabang dari Istia’rah dan ayat al-Qur’an yang harus ditelusuri satu persatu
untuk mencari gaya bahasa ini. Bahkan peneltian yang dilakukan pula bisa lebih
menjurus dengan metodologi yang lebih khusus ataupun meluas pada sudut lain yang
belum dilakukan penelitian ini dengannya.
Daftar Pustaka

Memahami Isti’arah Dalam Al-Qur’an, Mubaidillah, Jurnal Nur El-Islam,


Vol.4 No 2, 2017

Al-Qawaid Al-Lughah Al-Arabiyah, Hifni Bin Nashif, (Surabaya: Wizaratul


Maarif, 2008)

Tafsir Al-Misbah VII, M. Quraish Shihab, (Jakarta: Lentera Hati, 2007)

Al-Balaghah Al-Wadhihah, Ali Al-Jarimi, dan Musthafa Amin, (Beirut: Daarul


Maarif, 1965)

al-Balaghah lil-Jami' wasy-Syawahid min Kalamil Badi', Hidayat

Fenomena Uslub Isti’arah Dalam Al-Qur’an, al-Ajami, Nurul ‘Aini Pakaya,


Jurnal Bahasa dan Sastra Arab, Vol. 5, No.1 Juni 2016

Istiarah dan Efek yang Ditimbulkannya,Edi M. Komarudin, Jurnal Tsaqafa,


Vol.14, No.1, Januari 2017

Anda mungkin juga menyukai