Anda di halaman 1dari 6

SHEIKH ABDUR RAUF SINGKEL

Syekh Abdurrauf Singkil (Singkil, Aceh 1024 H/1615 M - Kuala Aceh,


Aceh 1105 H/1693 M) adalah seorang ulama besar Aceh yang terkenal. Ia
memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatera
dan Nusantara pada umumnya. Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah
Teungku Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syekh Ulama di Kuala).
Nama lengkapnya ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal
Fansuri As-Singkili. Menurut riwayat masyarakat, keluarganya berasal dari
Persia atau Arabia, yang datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir
abad ke-13. Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar pada ayahnya
sendiri. Ia kemudian juga belajar pada ulama-ulama di Fansur dan Banda
Aceh. Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses
pelawatannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur Tengah untuk
mendalami agama Islam.
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, syaikh untuk Tarekat
Syattariyah Ahmad al-Qusyasyi adalah salah satu gurunya. Nama Abdurrauf
muncul dalam silsilah tarekat dan ia menjadi orang pertama yang
memperkenalkan Syattariyah di Indonesia. Namanya juga dihubungkan
dengan terjemahan dan tafsir Al-Quran bahasa Melayu atas karya AlBaidhawi berjudul Anwar at-Tanzil Wa Asrar at-Ta'wil, yang pertama kali
diterbitkan di Istanbul tahun 1884.
Sepanjang hidupnya, tercatat Singkel sudah mengggarap sekitar 21
karya tulis, terdiri dari 1 kitab tafsir, 2 kitab hadits, 3 kitab fiqih dan
selebihnya kitab ilmu tasawuf. Bahkan tercatat kitab tafsirnya berjudul
Turjuman al-Mustafid (Terjemah Pemberi Faedah) adalah kitab tafsir pertama
yang dihasilkan di Indonesia dan berbahasa Melayu.
Namun, di antara sekian banyak karyanya, terdapat salah satu yang
dianggap penting bagi kemajuan Islam di nusantara yaitu kitab tafsir
berjudul Tarjuman al-Mustafid. Ditulis ketika Singkel masih berada di Aceh,
kitab ini telah beredar luas di kawasan Melayu-Indonesia bahkan hingga ke
luar negeri. Diyakini oleh banyak kalangan, tafsir ini telah banyak
memberikan petunjuk sejarah keilmuan Islam di Melayu. Di samping pula
kitab tersebut berhasil memberikan sumbangan berharga bagi telaah tafsir
al-quran dan memajukan pemahaman lebih baik terhadap ajaran-ajaran
Islam.

MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI


Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, tulis situs wikipedia, adalah pelopor pengajaran
Hukum Islam di Kalimantan Selatan. Ia sempat menuntut ilmu-ilmu agama Islam di Mekkah.
Sekembalinya ke kampung halaman, hal pertama yang dikerjakannya adalah membuka tempat
pengajian (semacam pesantren) bernama Dalam Pagar.
Sejak itu, kampung yang baru dibuka tersebut didatangi oleh para santri dari berbagai
pelosok daerah. Kampung baru ini kemudian dikenal dengan nama kampung Dalam Pagar. Di
situlah diselenggarakan sebuah model pendidikan yang mengintegrasikan sarana dan prasarana
belajar dalam satu tempat yang mirip dengan model pesantren. Gagasan Syekh Muhammad
Arsyad ini merupakan model baru yang belum ada sebelumnya dalam sejarah Islam di Kalimatan
masa itu.
Pesantren yang dibangun di luar kota Martapura ini bertujuan untuk menciptakan
lingkungan yang kondusif bagi proses belajar mengajar para santri. Selain berfungsi sebagai
pusat keagamaan, di tempat ini juga dijadikan pusat pertanian. Syekh Muhammad Arsyad
bersama beberapa guru dan muridnya mengolah tanah di lingkungan itu menjadi sawah yang
produktif dan kebun sayur, serta membangun sistem irigasi untuk mengairi lahan pertanian.
Tidak sebatas membangun sistem pendidikan model pesantren, Syekh Muhammad Arsyad
juga aktif berdakwah kepada masyarakat umum, dari perkotaan hingga daerah terpencil.
Kegiatan itu pada akhirnya membentuk perilaku religi masyarakat. Kondisi ini menumbuhkan
kesadaran untuk menambah pengetahuan agama dalam masyarakat.
Dalam menyampaikan ilmunya, Syekh Muhammad Arsyad sedikitnya punya tiga metode.
Ketiga metode itu satu sama lain saling menunjang. Selain dengan cara bil hal, yakni keteladanan
yang direfleksikan dalam tingkah laku, gerak gerik, dan tutur kata sehari-hari yang disaksikan
langsung oleh murid-muridnya, Syekh Muhammad Arsyad juga memberikan pengajaran dengan
cara bil lisan dan bil kitabah. Metode bil lisan dengan mengadakan pengajaran dan pengajian
yang bisa disaksikan diikuti siapa saja, baik keluarga, kerabat, sahabat, maupun handai taulan,
sedangkan metode bil kithabah menggunakan bakatnya di bidang tulis menulis.
Dari bakat tulis menulisnya, lahir kitab-kitab yang menjadi pegangan umat. Kitab-kitab
itulah yang ia tinggal setelah Syekh Muhammad Arsyad utup usia pada 1812 M, di usia 105
tahun. Karya-karyanya antara lain, Sabilal Muhtadin, Tuhfatur Raghibiin, Al Qaulul Mukhtashar,
di samping kitab Ushuluddin, kitab Tasauf, kitab Nikah, kitab Faraidh, dan kitab Hasyiyah Fathul
Jawad. Karyanya paling monumental adalah kitab Sabilal Muhtadin yang kemasyhurannya tidak
sebatas di daerah Kalimantan dan Nusantara, tapi juga sampai ke Malaysia, Brunei, dan Pattani
(Thailand Selatan).

Profil Singkat KH. Ahmad Dahlan


Lahir
Meninggal
Pasangan
Orang tua
Organisasi Yang Didirikan
Penghargaan

:
:
:
:
:
:

1 Agustus 1868, Yogyakarta, Indonesia


23 Februari 1923, Yogyakarta, Indonesia
Siti Walidah - Nyai Ahmad Dahlan
KH Abu Bakr (Ayah) dan Nyai Abu Bakr (Ibu)
Muhammadiyah, 'Aisyiyah
Pahlawan Nasional

KH. Ahmad Dahlan merupakan putra keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu
Bakar, ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta saat itu. Ibunya
adalah putri H. Ibrahim, yang juga bekerja sebagai penghulu Kasultanan Yogyakarta. Sejak kecil,
pendidikan agama Islam sudah ditanamkan oleh sang ayah kepada Ahmad Dahlan yang terlahir
dengan nama Muhammad Darwisy. Karena itulah, Ahmad Dahlan kemudian pergi ke Mekkah
untuk menunaikan ibadah haji sebagai pengabdiannya pada agama Islam.
Usai menjalankan ibadah haji, Ahmad Dahlan menetap di Mekkah selama 5 tahun untuk
memperdalam ilmu agamanya. Ia berguru ilmu agama kepada siapa saja karena bagi beliau, ilmu
bisa didapatkan dari siapa pun. Di antara gurunya terdapat Muhammad Abduh Al-Afghani,
Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah. Tidak lama setelah kembali ke tanah air, Muhammad
Darwis mengganti namanya menjadi Ahmad Dahlan dan juga menikah dengan Siti Walidah
(sepupu beliau). Siti Walidah kemudian dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan yang juga
merupakan seorang Pahlawan Nasional.
Ahmad Dahlan pernah menjadi anggota Budi Utomo dan Sarikat Islam (SI) sebelum akhirnya
Ahmad Dahlan membentuk organisasi bernapaskan Islam bernama Muhammadiyah pada 18
November 1912 di Kampung Kauman, Yogyakarta. Namun, Ahmad Dahlan menegaskan bahwa
organisasi yang dibentuknya ini bukan bersifat politik, melainkan organisasi yang bersifat sosial
dan bergerak di bidang pendidikan. Ahmad Dahlan mencoba menerapkan Muhammadiyah untuk
aktif melakukan dakwah dan pendidikan yang disemangati oleh nilai-nilai pembaruan dalam
Islam.
Pada awalnya, Muhammadiyah banyak ditentang dan dianggap menyalahi agama Islam. Bahkan
KH. Ahmad Dahlan difitnah sebagai Kyai Palsu dan Kyai Kafir. Namun, berkat usaha dan kerja
keras Ahmad Dahlan yang dibantu oleh kawan-kawannya, Muhammadiyah tetap berdiri tegar
dan membantu perjuangan kemerdekaan.
Karena pengikut Muhammadiyah terus berkembang pesat maka KH. Ahmad Dahlan memohon
izin badan hukum untuk Muhammadiyah kepada pemerintah Hindia Belanda pada 20 Desember
1912, sayang permohonan tersebut ditolak. Dengan semangat dan kegigihan beliau, pada 22
Agustus 1914 turunlah izin dari Belanda, namun khusus untuk wilayah Yogyakarta saja. Hal ini
dikarenakan ada kekhawatiran dari pihak Belanda bahwa Muhammadiyah berkembang sangat
pesat. Benar saja, sekitar tahun 1921 Muhammadiyah sudah berkembang hampir di seluruh
Indonesia. Dengan adanya Muhammdiyah, kehidupan masyarakat Indonesia, terutama di
Yogyakarta sudah lebih maju dalam hal pemikiran, maupun kehidupan sosialnya.

BIOGRAFI SINGKAT KH HASYIM ASY'ARI


Nama Lengkap
Tanggal Lahir
Tempat Lahir
Wafat
Ayah
Ibu
Istri

:
:
:
:
:
:
:

KH Hasyim Asy'ari
10 April 1875 (24 Dzulqaidah 1287H)
Demak, Jawa Tengah
Jombang, Jawa Timur, 7 September 1947
Kyai Asyari
Halimah
Nyai Nafiqoh
Nyai Masruroh

KH Hasyim Asy'ari lahir pada tanggal 10 April 1875 di Demak, Jawa Tengah. Beliau merupakan
pendiri pondok pesantren Tebu Ireng dan juga perintas salah satu organisasi kemasyarakatan
terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Beliau juga dikenal sebagai tokoh pendidikan
pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri
membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
Semenjak kecil hingga berusia empat belas tahun, KH Hasyim Asy'ari mendapat pendidikan
langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Asyari dan Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk
menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Hasilnya, ia diberi kesempatan oleh
ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren karena kepandaian yang dimilikinya.
Karena Hasrat tak puas akan ilmu yang dimilikinya, Beliaupun belajar dari pesantren ke
pesantren lain. Mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan
(Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo). Di pesantren
Siwalan ia belajar pada Kyai Jakub yang kemudian mengambilnya sebagai menantu.
Di tahun 1892, KH Hasyim Asy'ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di Mekah. Di
sana ia berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang
hadis. Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana.
Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy'ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang
kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai
Hasyim Asy'ari memosisikan Pesantren Tebu Ireng, menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran
Islam tradisional.
Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana.
Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy'ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang
kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kyai
Hasyim Asy'ari memosisikan Pesantren Tebu Ireng, menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran
Islam tradisional.
Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum.
Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi
pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato. Cara yang dilakukannya itu mendapat reaksi
masyarakat sebab dianggap bidat. Ia dikecam, tetapi tidak mundur dari pendiriannya. Baginya,
mengajarkan agama berarti memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan menyiapkan mereka
untuk terjun ke masyarakat, adalah salah satu tujuan utama perjuangan Kiai Hasyim Asy'ari.
Meski mendapat kecaman, pesantren Tebuireng menjadi masyur ketika para santri angkatan
pertamanya berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah dan juga menjadi besar.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional lainnya, Kiai Hasyim
Asyari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun
berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kyai Hasyim Asy'ari pun semakin besar dengan
mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari
ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat
menyegani kewibawaan Kyai Hasyim. Kini, NU pun berkembang makin pesat. Organisasi ini

telah menjadi penyalur bagi pengembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa.
Meski sudah menjadi tokoh penting dalam NU, ia tetap bersikap toleran terhadap aliran lain.
Yang paling dibencinya ialah perpecahan di kalangan umat Islam. Pemerintah Belanda bersedia
mengangkatnya menjadi pegawai negeri dengan gaji yang cukup besar asalkan mau bekerja
sama, tetapi ditolaknya.
Dengan alasan yang tidak diketahui, pada masa awal pendudukan Jepang, KH Hasyim Asy'ari
ditangkap. Berkat bantuan anaknya, KH Wahid Hasyim, beberapa bulan kemudian ia dibebaskan
dan sesudah itu diangkat menjadi Kepala Urusan Agama. Jabatan itu diterimanya karena
terpaksa, tetapi ia tetap mengasuh pesantrennya di Tebuireng.
Setelah Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya K.H. Hasyim Asyari membakar semangat
para pemuda supaya mereka berani berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan. Ia
meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 karena pendarahan otak dan dimakamkan di
Tebuireng.

Anda mungkin juga menyukai