:
:
:
:
:
:
KH. Ahmad Dahlan merupakan putra keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu
Bakar, ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta saat itu. Ibunya
adalah putri H. Ibrahim, yang juga bekerja sebagai penghulu Kasultanan Yogyakarta. Sejak kecil,
pendidikan agama Islam sudah ditanamkan oleh sang ayah kepada Ahmad Dahlan yang terlahir
dengan nama Muhammad Darwisy. Karena itulah, Ahmad Dahlan kemudian pergi ke Mekkah
untuk menunaikan ibadah haji sebagai pengabdiannya pada agama Islam.
Usai menjalankan ibadah haji, Ahmad Dahlan menetap di Mekkah selama 5 tahun untuk
memperdalam ilmu agamanya. Ia berguru ilmu agama kepada siapa saja karena bagi beliau, ilmu
bisa didapatkan dari siapa pun. Di antara gurunya terdapat Muhammad Abduh Al-Afghani,
Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah. Tidak lama setelah kembali ke tanah air, Muhammad
Darwis mengganti namanya menjadi Ahmad Dahlan dan juga menikah dengan Siti Walidah
(sepupu beliau). Siti Walidah kemudian dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan yang juga
merupakan seorang Pahlawan Nasional.
Ahmad Dahlan pernah menjadi anggota Budi Utomo dan Sarikat Islam (SI) sebelum akhirnya
Ahmad Dahlan membentuk organisasi bernapaskan Islam bernama Muhammadiyah pada 18
November 1912 di Kampung Kauman, Yogyakarta. Namun, Ahmad Dahlan menegaskan bahwa
organisasi yang dibentuknya ini bukan bersifat politik, melainkan organisasi yang bersifat sosial
dan bergerak di bidang pendidikan. Ahmad Dahlan mencoba menerapkan Muhammadiyah untuk
aktif melakukan dakwah dan pendidikan yang disemangati oleh nilai-nilai pembaruan dalam
Islam.
Pada awalnya, Muhammadiyah banyak ditentang dan dianggap menyalahi agama Islam. Bahkan
KH. Ahmad Dahlan difitnah sebagai Kyai Palsu dan Kyai Kafir. Namun, berkat usaha dan kerja
keras Ahmad Dahlan yang dibantu oleh kawan-kawannya, Muhammadiyah tetap berdiri tegar
dan membantu perjuangan kemerdekaan.
Karena pengikut Muhammadiyah terus berkembang pesat maka KH. Ahmad Dahlan memohon
izin badan hukum untuk Muhammadiyah kepada pemerintah Hindia Belanda pada 20 Desember
1912, sayang permohonan tersebut ditolak. Dengan semangat dan kegigihan beliau, pada 22
Agustus 1914 turunlah izin dari Belanda, namun khusus untuk wilayah Yogyakarta saja. Hal ini
dikarenakan ada kekhawatiran dari pihak Belanda bahwa Muhammadiyah berkembang sangat
pesat. Benar saja, sekitar tahun 1921 Muhammadiyah sudah berkembang hampir di seluruh
Indonesia. Dengan adanya Muhammdiyah, kehidupan masyarakat Indonesia, terutama di
Yogyakarta sudah lebih maju dalam hal pemikiran, maupun kehidupan sosialnya.
:
:
:
:
:
:
:
KH Hasyim Asy'ari
10 April 1875 (24 Dzulqaidah 1287H)
Demak, Jawa Tengah
Jombang, Jawa Timur, 7 September 1947
Kyai Asyari
Halimah
Nyai Nafiqoh
Nyai Masruroh
KH Hasyim Asy'ari lahir pada tanggal 10 April 1875 di Demak, Jawa Tengah. Beliau merupakan
pendiri pondok pesantren Tebu Ireng dan juga perintas salah satu organisasi kemasyarakatan
terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Beliau juga dikenal sebagai tokoh pendidikan
pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri
membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
Semenjak kecil hingga berusia empat belas tahun, KH Hasyim Asy'ari mendapat pendidikan
langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Asyari dan Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk
menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Hasilnya, ia diberi kesempatan oleh
ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren karena kepandaian yang dimilikinya.
Karena Hasrat tak puas akan ilmu yang dimilikinya, Beliaupun belajar dari pesantren ke
pesantren lain. Mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan
(Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo). Di pesantren
Siwalan ia belajar pada Kyai Jakub yang kemudian mengambilnya sebagai menantu.
Di tahun 1892, KH Hasyim Asy'ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di Mekah. Di
sana ia berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang
hadis. Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana.
Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy'ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang
kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai
Hasyim Asy'ari memosisikan Pesantren Tebu Ireng, menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran
Islam tradisional.
Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana.
Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy'ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang
kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kyai
Hasyim Asy'ari memosisikan Pesantren Tebu Ireng, menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran
Islam tradisional.
Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum.
Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi
pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato. Cara yang dilakukannya itu mendapat reaksi
masyarakat sebab dianggap bidat. Ia dikecam, tetapi tidak mundur dari pendiriannya. Baginya,
mengajarkan agama berarti memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan menyiapkan mereka
untuk terjun ke masyarakat, adalah salah satu tujuan utama perjuangan Kiai Hasyim Asy'ari.
Meski mendapat kecaman, pesantren Tebuireng menjadi masyur ketika para santri angkatan
pertamanya berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah dan juga menjadi besar.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional lainnya, Kiai Hasyim
Asyari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun
berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kyai Hasyim Asy'ari pun semakin besar dengan
mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari
ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat
menyegani kewibawaan Kyai Hasyim. Kini, NU pun berkembang makin pesat. Organisasi ini
telah menjadi penyalur bagi pengembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa.
Meski sudah menjadi tokoh penting dalam NU, ia tetap bersikap toleran terhadap aliran lain.
Yang paling dibencinya ialah perpecahan di kalangan umat Islam. Pemerintah Belanda bersedia
mengangkatnya menjadi pegawai negeri dengan gaji yang cukup besar asalkan mau bekerja
sama, tetapi ditolaknya.
Dengan alasan yang tidak diketahui, pada masa awal pendudukan Jepang, KH Hasyim Asy'ari
ditangkap. Berkat bantuan anaknya, KH Wahid Hasyim, beberapa bulan kemudian ia dibebaskan
dan sesudah itu diangkat menjadi Kepala Urusan Agama. Jabatan itu diterimanya karena
terpaksa, tetapi ia tetap mengasuh pesantrennya di Tebuireng.
Setelah Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya K.H. Hasyim Asyari membakar semangat
para pemuda supaya mereka berani berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan. Ia
meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 karena pendarahan otak dan dimakamkan di
Tebuireng.