Anda di halaman 1dari 9

BIOGRAFI KH. AHMAD DAHLAN & KH.

HASYIM ASHARI

NAMA : GENTA MAHARDIKA B


KELAS : XI MIPA 3

SMAN 5 TAMBUN SELATAN


KH. AHMAD DAHLAN

LATAR BELAKANG DAN PENDIDIKAN.


Nama K.H. Ahmad Dahlan kecil adalah Muhammad Darwisy, Ia adalah anak ke 4 dari 7
bersaudara. Ahmad Dahlan merupakan keturunan ke 12 dari Maulana Malik Ibrahim atau
Sunan Gresik. Berikut adalah Silsilah tersebut Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana
‘Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig
(Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai
Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).
Pada saat Ahmad Dahlan berumur 15 tahun, Ia pergi melaksanakan ibadah haji lalu selama 5
tahun ia menetap di Mekkah. Masa ini, K.H. Ahmad Dahlan memulai interaksi dengan pemikiran
pembaharu Islam, seperti Al-Afghani, Muhammad Abduh, Ibnu Taimiyah, dan Rasyid Ridha.
Pada tahun 1888, Ahmad Dahlan kembali ke kampung halamannya dan Ia yang bernama asli
Muhammad Darwisy berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Ia kembali lagi ke Mekkah pada
tahun 1903 dan Ia tinggal selama 2 tahun, masa ini Oa sempat berguru pada Syeh Ahmad
Khatib yang juga merupakan guru dari K.H. Hasyim Asyari yaitu pendiri NU.
Setelah pulang dari Mekkah, Ahmad Dahlan Menikah dengan sepupunya bernama Siti Walidah
(Nyi Ahmad Dahlan) yaitu putri dari Kyai Penghulu Haji Fadhil. Dari pernikahan ini, mereka
dianugrahi 6 orang anak yakni Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, dan
Siti Zaharah.
Selain dengan Siti Walidah, Ahmad Dahlan juga pernah menikah dengan Nyai Abdullah yaitu
janda H. Abdullah, Nyai Rum yang merupakan adik dari Kyai Munawwir Krapyak, Nyai Aisyah
yang merupakan adik Adjengan Penghulu Cianjur dan dari pernikahan ini Ahmad dahlan
memiliki putra Dandanah. Serta Ahmad Dahlan juga pernah menikah dengan Nyai Yasin
Pakualaman Yogyakarta.

PENGALAMAN BEROGANISASI
Pada tahun 1909, K.H. Ahmad Dahlan bergabung dengan organisasi Budi Utomo dan disana Ia
mengajarkan agama dan pelajaran yang diperlukan anggota. Pelajaran yang diberikan K.H.
Ahmad Dahlan dirasa sangat berguna bagi para anggota Budi Utomo, lalu mereka menyarankan
agar Ahmad Dahlan membuka sekolah yang ditata rapi serta didukung organisasi permanen.
Pada 18 November 1912 (8 Djulhijah 1330), K.H Ahmad Dahlan mendirikan organisasi bernama
Muhammadiyah yang bergerak dibidang kemasyarakatan dan pendidikan. Dengan mendirikan
Organisasi ini, Ia berharap dapat memajukan pendidikan dan membangun masyarakat islam.
Ahmad Dahlan mengajarkan Al-Qur’an dengan terjemah juga tafsirnya agar masyarakat
memahami makna yang ada dalam Al-Qur’an dan tidak hanya pandai membaca dan
melagukannya saja.
Pada bidang pendidikan, Dahlan mengubah sistem pendidikan pesantren pada masa itu. Ia
mendirikan sekolah-sekolah agama yang juga mengajarkan pelajaran umum dan juga bahasa
belanda. Bahkan ada Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S met de Qur’an. Ia memasukan
pelajaran agama di sekolah umum pula. Ahmad Dahlan terus mengembangkan dan
membangun sekolah-sekolah. Selain sekolah semasa hidupnya Ia juga mendirikan masjid,
langgar, rumah sakit, poliklinik, dan juga rumah yatim piatu.
Pada bidang organisasi, tahun 1918 Ia mendirikan organisasi Aisyiyah untuk para kaum wanita.
untuk para pemuda, Ahmad Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu (sekarang Pramuka)
bernama Hizbul Wathan. Pada organisasi tersebut para pemuda belajar baris-berbaris dengan
genderang, memakai celana pendek, bertopi, berdasi, untuk seragam yang mereka pakai mirip
dengan seragam pramuka sekarang.
PERJUANGAN
Pada saat itu, karena semua pembaharuan yang diajarkan oleh K.H. Ahmad Dahlan agak
menyimpang dengan tradisi, Ahmad dahlan sering diteror seperti rumah yang dilempari batu
dan kotoran binatang bahkan pada saat dahwah di Banyuwangi, Ahmad dahlan dituduh sebagai
kyai palsu dan Ia diancam akan dibunuh. Namun dengan penuh kesabaran, masyarakat
perlahan mulai menerima perubahan yang diajarjan oleh Ahmad Dahlan.
Semua yang di lakukan oleh K.H.Ahmad Dahlan bertujuan untuk membuktikan bahwa Islam
adalah agama kemajuan yang dapat mengangkat derajat umat ke taraf yang lebih tinggi dan itu
terbuti membawa dampak positif bagi Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Pemuda dan
golongan Intelektual banyak yang tertarik dengan metode yang diajarkan oleh K.H. Ahmad
Dahlan sehingga mereka banyak yang bergabung dengan organisasi Muhammadiyah.
Muhammadiyah yang merupakan organisasi beramal dan menjalankan ide pembaharuan K.H.
Ahmad Dahlan sanga menarik perhatian para pengamat islam dunia. Bahkan para pengarang
dan sarjana dari timur memusatkan perhatian pada Muhammadiyah.
K.H Ahmad Dahlan banyak mendapatkan ilmu dari banyak kyai di berbagai bidang ilmu seperti
K.H Muhsin di bidang ilmu tata bahasa (Nahwu-Sharaf), K.H. Muhammad Shaleh di bidang ilmu
fikih, Kyai Mahfud dan Syekh K.H. Ayyat di bidang Ilmu Hadist, K.H. Raden Dahlan di bidang ilmu
falak atau astronomi, Syekh Hasan di bidang pengobatan dan racun binatang, serta Syekh Amin
dan sayid Bakri Satock di bidang ilmu Al-Qur’an.

WAFATNYA KH.AHMAD DAHLAN

Pada 23 Februari 1923, pada usia 54 tahun K.H. Ahmad Dahlan wafat di Yogyakarta. Kemudian
beliau dimakamkan di kampung Karangkajen, Brontokusuman, Mergangsan,Yogyakarta. Pada
27 Desember 1961, berdasarkan SK Presiden RI No.657 Tahun 1961 atas jasanya negara
memberi beliau gelar kehormatan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia.
LATAR BELAKANG
Muhammad Hasyim, lahir pada hari Selasa Tanggal 24 Dzulqo’dah 1287 H, bertepatan dengan
tanggal 14 Pebruari 1871 M. Masa dalam kandungan dan kelahiran KH.M. Hasyim Asy’ari,
nampak adanya sebuah isyarat yang menunjukkan kebesarannya. diantaranya, ketika dalam
kandungan Nyai Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh kedalam kandungannya,
begitu pula ketika melahirkan Nyai Halimah tidak merasakan sakit seperti apa yang dirasakan
wanita ketika melahirkan.
Di masa kecil beliau hidup bersama kakek dan neneknya di Desa Ngedang, ini berlangsung
selama enam tahun. Setelah itu beliau mengikuti kedua orang tuanya yang pindah ke Desa
Keras terletak di selatan kota Jombang dan di desa tersebut Kiai Asy’ari mendirikan pondok
pesantren yang bernama Asy’ariyah.
Principle of early learning, mungkin teori ini layak disandang oleh beliau, berdasarkan
kehidupan beliau yang mendukung yaitu hidup dilingkungan pesantren, sehingga wajar kalau
nilai-nilai pesantren sangat meresap pada dirinya, begitu pula nilai-nilai pesantren dapat dilihat
bagaimana ayahanda dan bundanya memberikan bimbingan kepada santri, dan bagaimana
para santri hidup dengan sederhana penuh dengan keakraban dan saling membantu.
Perjalanan keluarga beliau pulalah yang memulai pertama kali belajar ilmu-ilmu agama baik dari
kakek dan neneknya. Desa Keras membawa perubahan hidup yang pertama kali baginya, disini
mula-mula ia menerima pelajaran agama yang luas dari ayahnya yang pada saat itu pendiri dan
pengasuh Pondok Pesantren Asy’ariyah. Dengan modal kecerdasan yang dimiliki dan dorongan
lingkungan yang kondusif, dalam usia yang cukup muda, beliau sudah dapat memahami ilmu-
ilmu agama, baik bimbingan keluarga, guru, atau belajar secara autodidak. Ketidakpuasannya
terhadap apa yang sudah dipelajari, dan kehausan akan mutiara ilmu, membuatnya tidak cukup
hanya belajar pada lingkungan keluarganya. Setelah sekitar sembilan tahun di Desa Keras (umur
15 tahun) yakni belajar pada keluarganya, beliau mulai melakukan pengembaraanya menuntut
ilmu.
RIWAYAT PENDIDIKAN
Karena berlatar belakang keluarga pesantren, Kiai Hasyim secara serius di didik dan dibimbing
mendalami pengetahuan islam oleh ayahnya sendiri dalam jangka yang cukup lama mulai dari
anak-anak hingga berumur lima belas tahun. Melalu ayahnya, Kiai Hasyim mulai mengenal dan
mendalami Tauhid, Tafsir, Hadith, Bahasa Arab dan bidang kajian islam lainnya. Dalam
bimbingan ayahnya, kecerdasan Kiai Hasyim cukup menonjol. Belum genap berumur 13 tahun,
Kiai Hasyim telah mampu menguasai berbagai bidang kajian islam dan dipercaya membantu
ayahnya mengajar santri yang lebih senior.
Belum puas atas pengetahuan yang didapatkan dari ayahnya, Kiai Hasyim mulai menjelajahi
beberapa pesantren. Mula-mula, Kiai Hasyim belajar di pesantren Wonokoyo (Probolinggo), lalu
berpindah ke pesantren Langitan (Tuban). Merasa belum cukup, Kiai Hasyim melanjutkan
pengembaraan intelektualnya ke Pesantren Tenggilis (Surabaya), dan kemudian berpindah ke
Pesantren Kademangan (Bangkalan), yang saat itu diasuh oleh Kiai Kholil. Setelah dari
pesantren Kiai Kholil, Kiai Hasyim melanjutkan di pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo) yang diasuh
oleh Kiai Ya’kub dipandang sebagai dua tokoh penting yang berkontribusi membentuk kapasitas
intelektual Kiai Hasyim. Selama tiga tahun Kiai Hasyim mendalami berbagai bidang kajian islam,
terutama tata bahasa arab, sastra, fiqh dan tasawuf kepada KiaivKholil. Sementara, di bawah
bimbingan Kiai Ya’kub, Kiai Hasyim berhasil mendalami Tauhid, fiqh, Adab, Tafsie dan Hadith.
Atas nasihat Kiai Ya’kub, Kiai Hasyim akhirnya meninggalkan tanah air untuk berguru pada
ulama-ulama terkenal di Makkah sambal menunaikan ibadah haji untuk kali kedua. Di Makkah,
Kiai Hasyim berguru pada syaikh Ahmad Amin al-Attar, Sayyid Sultan bin Hashim, Sayyid Ahmad
bin Hasan al-Attas, Syaikh Sa’id al-Yamani, Sayyid Alawi bin Ahmad al-Saqqaf, Sayyid Abbas
Maliki, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Syaikh Salih Bafadal, dan Syaikh Sultan Hasim Dagastana,
Syaikh Shuayb bin Abd al-Rahman, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Rahmatullah, Sayyid Alwi al-
Saqqaf, Sayyid Abu Bakr Shata al-Dimyati, dan Sayyid Husayn al-Habshi yang saat itu menjadi
multi di Makkah. Selain itu, Kiai Hasyim juga menimba pengetahuan dari Syaikh Ahmad Khatib
Minankabawi, Syaikh Nawawi al-Bnatani dan Syaikh Mahfuz al-Tirmisi. Tiga nama yang disebut
terakhir (Khatib, Nawawi dan Mahfuz) adalah guru besar di Makkah saat itu yang juga
memberikan pengaruh signifikan dalam pembentukan intelektual Kiai Hasyim di masa
selanjutnya.
Presatasi belajar Kiai Hasyim yang menonjol, membuatnya kemudian juga memperoleh
kepercaaan untuk mengajar di Masjid al-Haram. Beberapa ulama terkenal dari berbagai negara
tercatat pernah belajar kepadanya. Di antaranya ialah Syaikh Sa’d Allah al-Maymani (mufti di
Bombay, India), Syaikh Umar Hamdan (ahli hadith di Makkah), al-Shihan Ahmad bin Abdullah
(Syiria), KH. Abdul Wahhanb Chasbullah (Tambakberas, Jombang), K. H. R Asnawi (Kudus), KH.
Dahlan (Kudus), KH. Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan KH. Saleh (Tayu).
Seperti disinggung di atas, Kiai Hasyim pernah mendapatkan bimbingan langsung dari Syaikh
Khatib al-Minankabawi dan mengikuti halaqah-halaqah yang di gelar oleh gurunya tersebut.
Beberapa sisi tertentu dari pandangan Kiai Hasyim, khususnya mengenai tarekat, diduga kuat
juga dipengaruhi oleh pemikiran kritisnya gurunya itu, meskipun pada sisi yang lain Kiai Hasyim
berbeda dengannya. Dialektika intelektual antara guru dan murid (Syaikh Khatib Kiai Hasyim) ini
sangat menarik.
Sejak masih di Makkah, Kiai Hasyim sudah memiliki ketertarikan tersendiri dengan tarekat.
Bahkan , Kiai Hasyim juga sempat mempelajari dan mendapat ijazah tarekat Qadiriyah wa
Naqshabandiyah melalui salah melalui salah satu gurunya (Syaikh Mahfuz).

PERJUANGAN
Peran KH. M. Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan dan keagamaan,
melainkan juga dalam bidang sosial dan kebangsaan, beliau terlibat secara aktif dalam
perjuangan membebaskan bangsa dari penjajah belanda.
Pada tahun 1937 beliau didatangi pimpinan pemerintah belanda dengan memberikan bintang
mas dan perak tanda kehormatan tetapi beliau menolaknya. Kemudian pada malam harinya
beliau memberikan nasehat kepada santri-santrinya tentang kejadian tersebut dan
menganalogkan dengan kejadian yang dialami Nabi Muhammad SAW yang ketika itu kaum
Jahiliyah menawarinya dengan tiga hal, yaitu:

 Kursi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan


 Harta benda yang berlimpah-limpah
 Gadis-gadis tercantik
Akan tetapi Nabi SAW menolaknya bahkan berkata: “Demi Allah, jika mereka kuasa meletakkan
matahari ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku dengan tujuan agar aku berhenti dalam
berjuang, aku tidak akan mau menerimanya bahkan nyawa taruhannya”. Akhir KH.M. Hasyim
Asy’ari mengakhiri nasehat kepada santri-santrinya untuk selalu mengikuti dan menjadikan
tauladan dari perbuat Nabi SAW.
Masa-masa revolusi fisik di Tahun 1940, barang kali memang merupakan kurun waktu terberat
bagi beliau. Pada masa penjajahan Jepang, beliau sempat ditahan oleh pemerintah fasisme
Jepang. Dalam tahanan itu beliau mengalami penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangan
beliau menjadi cacat. Tetapi justru pada kurun waktu itulah beliau menorehkan lembaran
dalam tinta emas pada lembaran perjuangan bangsa dan Negara republik Indonesia, yaitu
dengan diserukan resolusi jihad yang beliau memfatwakan pada tanggal 22 Oktober 1945, di
Surabaya yang lebih dikenal dengan hari pahlawan nasional.
Begitu pula masa penjajah Jepang, pada tahun 1942 Kiai Hasyim dipenjara (Jombang) dan
dipindahkan penjara Mojokerto kemudian ditawan di Surabaya. Beliau dianggap sebagai
penghalang pergerakan Jepang.

Setelah Indonesia merdeka Pada tahun 1945 KH. M. Hasyim Asy’ari terpilih sebagai ketua
umum dewan partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) jabatan itu dipangkunya
namun tetap mengajar di pesantren hingga beliau meninggal dunia pada tahun 1947.

WAFATNYA KH.HASYIM ASHARI


Pada Tanggal 7 Ramadhan 1366 M. jam 9 malam, beliau setelah mengimami Shalat Tarawih,
sebagaimana biasanya duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada ibu-ibu muslimat.
Tak lama kemudian, tiba-tiba datanglah seorang tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung
Tomo. Sang Kiai menemui utusan tersebut dengan didampingi Kiai Ghufron, kemudian tamu itu
menyampaikan pesan berupa surat. Entah apa isi surat itu, yang jelas Kiai Hasyim meminta
waktu semalam untuk berfikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya.
Namun kemudian, Kiai Ghufron melaporkan situasi pertempuran dan kondisi pejuang yang
semakin tersudut, serta korban rakyat sipil yang kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai
Hasyim berkata, “Masya Allah, Masya Allah…” kemudian beliau memegang kepalanya dan
ditafsirkan oleh Kiai Ghufron bahwa beliau sedang mengantuk. Sehingga para tamu pamit
keluar. Akan tetapi, beliau tidak menjawab, sehingga Kiai Ghufron mendekat dan kemudian
meminta kedua tamu tersebut untuk meninggalkan tempat, sedangkan dia sendiri tetap berada
di samping Kiai Hasyim Asy’ari. Tak lama kemudian, Kiai Ghufron baru menyadari bahwa Kiai
Hasiyim tidak sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh, ia memanggil keluarga dan
membujurkan tubuh Kiai Hasyim. Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada di tempat,
misalnya Kiai Yusuf Hasyim yang pada saat itu sedang berada di markas tentara pejuang,
walaupun kemudian dapat hadir dan dokter didatangkan (Dokter Angka Nitisastro).
Tak lama kemudian baru diketahui bahwa Kiai Hasyim terkena pendarahan otak. Walaupun
dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Tuhan berkehendak lain pada
kekasihnya itu. KH.M. Hasyim Asy’ari wafat pada pukul 03.00 pagi, Tanggal 25 Juli 1947,
bertepatan dengan Tanggal 07 Ramadhan 1366 H. Inna LiLlahi wa Inna Ilaihi Raji’un.
Kepergian belaiu ketempat peristirahatan terakhir, diantarkan bela sungkawa yang amat dalam
dari hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para pejabat sipil maupun militer, kawan
seperjuangan, para ulama, warga NU, dan khususnya para santri Tebuireng. Umat Islam telah
kehilangan pemimpin besarnya yang kini berbaring di pusara beliau di tenggah Pesantrn
Tebuireng. Pada saat mengantar kepergianya, shahabat dan saudara beliau, KH. Wahab
hazbulloh, sempat mengemukakan kata sambutan yang pada intinya menjelaskan prinsip hidup
belaiu, yakni, “berjuang terus dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu zonder istirahat”.

Anda mungkin juga menyukai