Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

TEORI BELAJAR KH.AHMAD DAHLAN

Dosen pengampu:
AWAL KURNIA PUTRA NASUTION, M.TPd
Disusun oleh:
★ HALIZA

★RIMA FITRI

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TAKENGON

TARBIYAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM 2021


Pembahasan

★ Teori Belajar K.H. Ahmad Dahlan

 A.Riwayat Hidup K.H. Ahmad Dahlan

Nama kecil Kyai Haji Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis. Beliau dilahirkan
di Kauman Yogyakarta dari pernikahan Kyai Haji Abu Bakar dengan Siti Aminah
pada tahun 1285 H (1868 M). Kyai Haji Abu Bakar adalah Khatib di Masjid Agung
Kesultanan Yogyakarta, sedangkan ibunya Siti Aminah adalah puteri dari H.
Ibrahim yang merupakan penghulu Kesultanan Yogyakarta pada masa itu.
Kampung Kauman sebagai tempat kelahiran dan tempat Muhammad Darwis
dibesarkan merupakan lingkungan keagamaan yang sangat kuat, yang berpengaruh
besar dalam perjalanan hidup Muhammad Darwis di kemudian hari. K.H Ahmad
Dahlan belajar mengaji sekitar tahun 1875 dan masuk pondok pesantren. Sejak
kanak-kanak Muhammad Darwis kecil sudah diberikan pelajaran dan pendidikan
agama oleh orang tuanya, oleh para guru (ulama) yang ada di dalam masyarakat
lingkungannya. Pengetahuan yang dimiliki sebagian besar merupakan hasil
otodidaknya, kemampuan membaca dan menulisnya diperoleh dari belajar kepada
ayahnya, sahabatnya dan saudara-saudaranya. Ia di didik sendiri melalui cara
pengajian yaitu dengan menirukan kalimat-kalimat atau bacaan yang diajarkan oleh
ayahnya (Asrofie M. Yusron; 1983, 21).

Ketika masih muda, K.H Ahmad Dahlan terkenal memiliki pikiran yang cerdas dan
memiliki akal budi yang bersih dan baik. Pendidikan agama yang diterima dipilih
secara selektif tidak hanya itu tetapi sesudah dipikirkan di bawa dalam perenungan-
perenungan, ingin dilaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Waktu menjelang
dewasa K.H Ahmad Dahlan belajar Ilmu Fiqih kepada KH Muhammad Shaleh,
belajar Ilmu Nahwu kepada K.H Muhsin, kemudian gurunya yang lain ialah KH
Abdul Hamid. Keahlian dalam Ilmu Falaq, diperoleh dari belajar dan berguru
kepada K.H Raden Dahlan salah seorang putra Kyai Termas dan yang terakhir Ilmu
Hadits dipelajarinya dari Kyai Mahfud dan Syekh Khayyat.
Pada usia 22 tahun (1890) dengan bantuan kakaknya (Nyai Hajah Sholeh) beliau
berangkat ke Makkah, dan belajar disana selama satu tahun untuk memperdalam
ilmu pengetahuan tentang Islam. Setelah kembali ke Yogyakarta K.H Ahmad
Dahlan membantu ayahnya mengajar pengajian anak-anak namun pada
kesempatan-kesempatan yang memungkinkan sering pula K.H Ahmad Dahlan
mewakili ayahnya memberikan pelajaran keagamaan kepada orang-orang yang
usianya lebih tua dari dirinya sendiri. Keadaan itu telah menyebabkan pengaruhnya
dalam masyarakat semakin luas karena masyarakat semakin yakin bahwa K.H
Ahmad Dahlan adalah seorang yang memiliki ketaatan beragama yang baik serta
mempunyai pengetahuan yang luas, baik dalam ilmu maupun dalam penalangan
akal budi. Oleh sebab itu, K.H Ahmad Dahlan diberikan gelar “Kyai”. Menurut
catatan Junus Salam, beberapa buku yang pernah dibaca oleh K.H Ahmad Dahlan
diantaranya adalah; Kitab Tauhid, Tafsir Juz’Amma, ai-Islam wa an-Nashraniyyah
(ketiganya karya Muhammad Abduh), Kanzul Ulum, Dairatul Ma’arif (karya Farid
Wajdi), at-Tawassul wa al-Washilah (karya Ibnu Taimiyah), Izharul Haq (karya
Rahmatullah al-Hindi), Tafsir al-Manar (karya Rasyid Ridha), Matan al-Hikam
(karya Ibn Athaillah), al-Qashaid ath-Tahsiyah (karya Abdullah Al-Attas), Tafsilu
an-Nasyatain Tafsilu asy-Syahadatain, kitab-kitab hadis karangan ulama mazhab
Hambali, majalah al-Urwatu al-Wustaqa, dan lain-lain (Mu’arif; 2014, 136).

Dalam silsilah keluarga, beliau termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana
Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka di antara Wali
Songo (wali Sembilan), yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan
pengembangan Islam di tanah Jawa.

 B.Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan

Menurut K.H. Ahmad Dahlan, pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha
membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas
pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk
kemajuan masyarakatnya. Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan
dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan
pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren
hanya bertujuan utnuk menciptakan individu yang salih dan mendalami ilmu
agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan
sekuler yang didalamnya tidak diajarkan agama sama sekali.

Melihat ketimpangan tersebut K.H Ahamd Dahlan berpendapat bahwa tujuan


pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu
agama dan ilmu umum, material dan spritual serta dunia dan akhirat. Bagi K.H.
Ahmad Dahlan kedua hal tersebut (agama-umum, material-spritual dan dunia-
akhirat) merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah yang
menjadi alasan mengapa KH. Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama dan
ilmu umum sekaligus di Madrasah Muhammadiyah. Bagi K.H Ahmad Dahlan,
kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi tiga hal, yaitu; 1) Pendidikan
moral, akhlaq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik
berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, 2) Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha
untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan antara
perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelek serta antara dunia
dengan akhirat, dan 3) Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk
menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.

Pada masa sebelum kemerdekaan, ada dua sistem pendidikan yang berkembang di
Indonesia, yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan barat. Pendidikan pesantren
lebih banyak dikembangkan oleh para pemuka Agama khususnya yang berafiliasi
dengan Nahdatul Ulama (NU), sedangkan pendidikan barat adalah yang
dikembangkan oleh Belanda. K.H Ahmad Dahlan berpandangan bahwa, ada
problem mendasar berkaitan dengan lembaga pendidikan di kalangan umat Islam,
khususnya lembaga pendidikan pesantren. Menurut Syamsul Nizar, dalam bukunya
Filsafat Pendidikan Islam, menerangkan bahwa problem tersebut berkaitan dengan
proses belajar-mengajar, kurikulum, dan materi pendidikan. Berdasarkan realitas
pendidikan tersebut, K.H. Ahmad Dahlan menawarkan sebuah metode sintesis
antara metode pendidikan modern Barat dengan metode pendidikan pesantren. Dari
sini tampak bahwa lembaga pendidikan yang dikembangkan oleh K.H. Ahmad
Dahlan berbeda dengan lembaga pendidikan Pondok Pesantren dan lembaga
Pendidikan Barat. Metode pembelajaran yang dikembangkan K.H. Ahmad Dahlan
bercorak kontekstual melalui proses dialogis dan penyadaran. Dengan demikian,
penekanan materi pelajaran tidak dipahami secara dogmatis, tetapi dipahami secara
dialektis. Contoh klasik adalah ketika beliau menjelaskan surat al-Ma’un kepada
santri-santrinya secara berulang-ulang sampai santri itu menyadari bahwa surat itu
menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong fakir-miskin, dan harus
mengamalkan isinya. Bagi K.H Ahmad Dahlan, pelajaran agama tidak cukup hanya
dihafalkan atau dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan
kondisi. Pada konteks ini, Ahmad Dahlan menekankan pentingnya kontekstualisasi
pemahaman Agama. Artinya, pemahaman agama tidak cukup pada tingkatan
tekstual, tetapi harus dapat diaplikasikan secara kontekstual. Beberapa perbedaan
model belajar yang digunakan pada pendidikan di pesantren dengan pendidikan
yang diajarkan oleh Ahmad Dahlan adalah sebagai berikut:

Cara belajar-mengajar di pesantren menggunakan sistem Weton dan Sorogal,


sedangkan pada Madrasah yang dibangun Ahmad Dahlan menggunakan sistem
masihal seperti yang diterapkan pada sekolah Belanda.

Bahan pelajaran di pesantren mengambil kitab-kitab agama (klasik). Sedangkan


pada madrasah yang dibangun Ahmad Dahlan bahan pelajarannya diambil dari
buku-buku umum.

Hubungan antara guru-murid, di pesantren hubungan guru-murid biasanya


terkesan otoriter karena para kiai memiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral.
Sedangkan pada madrasah yang dibangun oleh K.H Ahmad Dahlan mulai
mengembangkan hubungan guru-murid yang akrab.

Muhammadiyah menanamkan keyakinan paham tentang Islam dalam sistem


pendidikan dan pengajaran. Penerapan sistem pendidikan Muhammadiyah ini
ternyata membawa hasil yang tidak ternilai harganya bagi kemajuan, bangsa
Indonesia pada umumnya dan khususnya umat Islam di Indonesia. Pada pendidikan
Muhammadiyah, posisi guru memegang peranan yang sangat penting di sekolah
dalam upaya menciptakan peserta didik seperti yang dicita-citakan oleh
Muhammadiyah. Peranan Guru memahami dan menghayati serta ikut beramal
dalam Muhammadiyah dengan senantiasa berpegang teguh pada misi pendirian
Muhammadiyah yaitu amar ma’ruf nahi munkar. Dengan memahami dan
menghayati serta ikut beramal dalam Muhammadiyah, para guru dapat
menjalankan fungsinya sesuai dengan apa yang dicita-citakan Muhammadiyah,
yaitu menyerukan pada kebajikan dan mencegah pada kemungkaran.
Muhammadiyah berusaha mengembalikan ajaran islam pada sumbernya yaitu Al-
Qur’an dan Hadis. Muhammadiyah bertujuan meluaskan dan mempertinggi
pendidikan agama Islam, sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenarnya.
Untuk mencapai tujuan itu, Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah yang
tersebar di seluruh Indonesia.

Dalam dunia pendidikan dan pengajaran Muhammadiyah telah mengadakan


pembaruan Pendidikan Agama. Modernisasi dalam sistem pendidikan dijalankan
dengan menukar sistem pondok pesantren dengan pendidikan modern sesuai
dengan tuntutan dan kehendak zaman. Pengajaran agama Islam diberikan di
sekolah-sekolah umum baik negeri maupun swasta. Muhammadiyah telah
mendirikan sekolah-sekolah baik yang khas agama maupun yang bersifat umum.

Selain memahami pemikiran pendidikan K.H Ahmad Dahlan sebagai uraian


tersebut, secara spesifik pemikiran dapat dipahami pada tiga aspek, yaitu;

1. Tujuan dan Model Pendidikan

Setelah berdirinya Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912, rintisan


sekolah K.H Ahmad Dahlan dikelola dibawah manajemen Hoofdbestuur
Muhammadiyah bagian Sekolahan (Departemen van Onderwijs). Amal usaha
pendidikan Muhammadiyah merupakan alat untuk mencapai Persyarikatan
Muhammadiyah. Dalam statuta Muhammadiyah tahun 1912, tujuan persyarikatan
Muhammadiyah adalah sebagai berikut: “(a) menyebarkan pengajaran agama
Kanjeng Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam kepada penduduk
bumiputera di dalam residensi Yogyakarta, dan (b) memajukan hal agama kepada
angggota-anggotanya.” Untuk mencapai tujuan tersebut, Muhammadiyah
mendirikan berbagai amal usaha, diantaranya adalah sekolah-sekolah.

Model pendidikan yang pertama kali dirintis oleh K.H Ahmad Dahlan adalah
Madrasah. Model pendidikan ini sebenarnya bukan hal baru karena sudah pernah
berkembang dan mencapai puncak kejayaan pada masa Nizamul Mulk. Sistem
Madrasah pada abad pertengahan yang tergolong modern. Akan tetapi berdasarkan
sumber Mehdi Nakosteen, sistem madrasah pada abad pertengahan masih
sepenuhnya hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama. Sebab, penyelenggaraan
madrasah pada waktu itu memang bersinggungan dengan gesekan politik antara
kaum Sunni dan Syi’ah (Mu’arif;2014, 142).

Di Tanah Air, model madrasah pertama kali dirintis di Padang Panjang pada tahun
1907. Madrasah tersebut bernama Adabiyah School, pendirinya adalah Haji
Abdullah Ahmad. Hanya saja, sistem baru ini tidak diterima dengan baik oleh
masyarakat setempat. Pada kenyataannya, Adabiyah School di Padang Panjang tidak
bertahan lama karena belum genap satu tahun sudah ditutup. Sumber-sumber yang
dapat memberikan informasi tentang pengaruh pemikiran Haji Abdullah Ahmad
terhadap pemikiran K.H Ahmad Dahlan memang belum ditemukan hingga kini.
Dengan demikian, model madrasah dengan sisten kurikulum integral dapat
dikatakan sebagai gagasan murni K.H Ahmad Dahlan. Akan tetapi, apabila
dikemudian hari ditemukan sumber-sumber yang dapat memberikan informasi
tentang pengaruh pemikiran Haji Abdullah Ahmad kepada K.H Ahmad Dahlan,
model Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah hanya sebatas adopsi gagasan tokoh
pendiri Adabiyah School tersebut (Ibid, 142-143).

2. Peran Guru dan Murid

K.H Ahmad Dahlan, selain dipandang sebagai seorang ulama, juga berperan
sebagai guru bagi para pengikutnya. Sebagai ulama dan guru sekaligus tentu
mempunyai cara pandang tersendiri bagaimana membangun interaksi dengan
murid-muridnya sehingga tercipta suasana yang edukatif. Salah seorang murid K.H
Ahmad Dahlan yang bernama Badilah Zuber menguraikan bahwa peran K.H
Ahmad Dahlan dalam kegiatan pembelajaran adalah sebagai pemandu atau
pembimbing belajar. Dalam proses membimbing peserta didik, guru dituntut
bersabar ketika menghadapi berbagai kelakuan para murid.

Cara pandang K.H Ahmad Dahlan dalam menghadapi murid muridnya yang
nakal termasuk unik. Menurutnya, murid-murid yang nakal justru dipahami sebagai
manifestasi kehendak dan kebebasan yang akan menentukan dalam proses
pembentukan karakter. Murid-murid yang nakal (mbeling) diartikan sebagai ekspresi
kreatif yang butuh bimbingan. Dalam membimbing murid-murid, Kyai Dahlan
berpesan agar ikhlas dan senang belajar menuntut ilmu. Apabila berhadapan dengan
murid yang enggan belajar, tetapi selalu mengharapkan cepat lulus, K.H Ahmad
Dahlan akan memberi peringatan. Sebaliknya, apabila terdapat murid yang serius
belajar, tetapi prestasi di kelas tidak pernah bertambah, maka akan diberinya
semangat atau support.

Sebagai seorang guru, K.H Ahmad Dahlan selalu kreatif dalam menyampaikan
pelajaran. Metode yang digunakan cenderung variatif sehingga tidak membosankan.
Metode yang paling sering digunakan adalah metode dialog. Dalam proses
mengajar, K.H Ahmad Dahlan tidak keberatan menjawab semua pertanyaan peserta
didi secara tuntas sehingga secara psikologis membekas pada peserta didik. Salah
satu bukti kreativitas K.H. Ahmad Dahlan dalam mengajar adalah ketika murid-
muridnya diajak tamasya ke Taman Sriwedari di Solo. Surat kabar Bromartani edisi
15 September 1915 memberitakan peristiwa ketika murid-murid K.H Ahmad Dahlan
yang sedang bertamasya dibuntuti pencopet. K.H Ahmad Dahlan sebagai seorang
guru harus bersabar menghadapi musibah tersebut (Ibid; 143-144).

3. Kurikulum dan Pembelajaran

Wujud kecerdasan K.H. Ahmad Dahlan dalam bidang pemikiran pendidikan


adalah ketika mampu mengembangkan pendekatan yang memadukan pengetahuan
umum dan pengetahuan agama melalui madrasah. Tidak seperti madrasah pada
umumnya yang hanya mengajarkan pengetahuan agama, madrasah yang
dikembangkan oleh K.H Ahmad Dahlan, selain mengajarkan pengetahuan agama
juga mengajarkan pengetahuan umum. Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah hasil
eksperimen K.H Ahmad Dahlan dapat dikatakan berhasil dalam integrasi keilmuan.
Karena, selain mengajarkan ilmu-ilmu agama, juga mengajarkan ilmu-ilmu umum.
Dalam perspektif pendidikan Islam, dapat dikatakan sebagai madrasah plus,
sedangkan dalam perspektif sekolah umum dapat dikatakan sebagai sekolah berciri
khas.

Setelah perkembangan sekolah-sekolah Muhamadiyah cukup pesat, pada tahun


1919, K.H Ahmad Dahlan mendirikan Al-Qismul Arqa yang pada dasarnya jenis
pendidikan Islam tradisional. Al-Qismul Arqa hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama
karena memang tujuan praktisnya adalah untuk menyediakan para tenaga guru
agama di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Perkembangan Al-Qismul Arqa pada
tahun 1921 cukup menarik karena sistem yang digunakan tidak lagi murni pondok
pesantren. Seiring perubahan nama lembaga pendidikan menjadi Pondok
Muhammadiyah, K.H Ahmad Dahlan berusaha memadukan model dan sistem
pondok pesantren dan sekolah umum. Di Pondok Muhammadiyah berlaku sistem
pesantren, yang mana para santri harus tinggal diasrama. Pelajaran agama tidak
hanya disampaikan secara formal lewat proses pembelajaran di kelas, tetapi juga
lewat asrama yang dijaga oleh guru. Ilmu-ilmu umum disampaikan di kelas dengan
metode pembelajaran modern. Walhasil, Pondok Muhammadiyah menjadi satu-
satunya lembaga pendidikan Islam modern pertama di Yogyakarta (Wirjosukarto;
1962, 120).

Memasuki tahun 1922, Pondok Muhammadiyah diproses menjadi sebuah institusi


pendidikan modern dengan nama Kweekschool Islam. Kweekschool Islam yang
dikemudian hari dikenal dengan nama Kweekschool Moehammadijah berubah
menjadi sekolah modern dengan ciri khas keislaman ala Muhammadiyah.
Kweekschool Moehammadijah inilah yang hingga saat ini bertahan menjadi
Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta (Mu’arif: 2014, 145).

Rencana pengajaran yang dimaksud bukan rencana pelaksanaan pengajaran (RPP)


dalam konteks sekarang, tetapi yang dimaksud adalah struktur kurikulum atau uraian
jumlah mata pelajaran yang diajarkan pada Kweekschool Moehammadijah pada
tahun 1922. Struktur pengajaran tersebut tidak hanya menguraikan nama-nama mata
pelajaran yang akan diajarkan pada setiap level kelas, tetapi juga menerangkan
beban jam setiap mata pelajaran. Ada mata pelajaran yang diajarkan pada setiap
kelas da nada yang tidak, demikian juga ada mata pelajaran yang beban jamnya
sama pada setiap level kelas, ada juga yang berbeda. Hal ini menjunjukkan bahwa
pemahaman K.H Ahmad Dahlan tentang kurikulum dan pembelajaran secara khusus
dan pendidikan secara umum sangat komprehensif. Berdasarkan struktur rencana
pengajaran tersebut juga nampak bahwa sistem pembelajaran yang diberlakukan
pada Kweekschool Moehammadijah adalah sistem pembelajaran modern yang
memadukan pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Dalam istilah yang lebih
modern, model kurikulum yang digunakan adalah kurikulum terpadu, sedangkan
model sekolah yang dikembangkan adalah sekolah terpadu.

 C.Dimensi Humanis Religius

Dalam mindset barat, dimensi humanis dan dimensi religius adalah dua persoalan
yang berbeda, antara keduanya tidak dapat disatukan. Dimensi humanis
berhubungan erat denga persoalan-persoalan sosial kemasyarakat dan karenanya
bersifat umum. Sedangkan dimensi religius adalah persoalan yang hanya menjadi
ranah pribadi. Asumsi dasar yang melandasi pola pikir ini adalah sekularisme, yaitu
sebuah paham yang senantiasa memisahkan antara urusan dunia yang sifatnya
komunal dan urusan agama yang bersifat personal. Implikasi dari mindset ini adalah
urusan negara juga harus dipisahkan dari urusan agama. Tetapi dalam dunia Islam,
hubungan antara dimensi humanis dan dimensi religius adalah persoalan yang tidak
bisa dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang nampaknya berbeda
tetapi sesungguhnya adalah sama. Dalam hal urusan kenegaraan misalnya, ada
sebagian kalangan yang memandang hubungan negara dengan agama sebagai “ad-
Diynu wa ad-Dawlah”. Artinya, ketika berbicara tentang Islam, maka berarti
berbicara tentang sesuatu yang sangat komprehensif, termasuk urusan politik dan
negara. Sehingga negara tidak bisa dipisahkan dari agama, demikian pula
sebaliknya.

Azyumardi Azra (2015; 115), setidaknya melihat ada tiga bentuk posisi hubungan
antara Islam dan negara dalam masa modern-kontemporer. Pertama, pemisahan
antara agama dan politik yang bahkan disertai ideologi politik sekuler yang tidak
bersahabat dengan agama (religiously unfriendly-secularism) seperti Turki; kedua,
pemisahan disertai dengan ideologi yang bersahabat dengan agama (religiously
friendly ideology) seperti Indonesia. Bentuk kedua ini juga dapat disebut sebagai
akomodasi antara negara dan agama; ketiga, penyatuan agama dengan negara
seperti Arab Saudi, yang juga disebut sebagai teokrasi.
Memahami dimensi humanis religious pemikiran pendidikan K.H Ahmad Dahlan,
nampaknya tidak bisa dipisahkan dari pengaruh pola ketiga dalam pola hubungan
agama dengan negara. Paling tidak, ada beberapa argumentasi yang melandasi
pemikiran tersebut, antara lain;

1. K.H Ahmad Dahlan menempuh studi di Arab Saudi. Diseritakan bahwa, pada
usia 22 tahun (1890) dengan bantuan kakaknya (Nyai Hajah Sholeh) beliau pergi ke
Mekkah, dan belajar disana selama satu tahun untuk memperdalam ilmu
pengetahuan tentang Islam. Dengan demikian, pemikiran dan pengetahuan yang
diperoleh dan dikembangkan oleh K.H Ahmad Dahlan tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan Ilmu pengetahuan yang berkembang di dunia Arab pada saat itu.

2. Dari sejumlah buku referensi yang menjadi acuan K.H Ahmad Dahlan
diketahui bahwa buku-buku tersebut adalah karangan Muhammad Abduh, Farid
Wajdi, Ibnu Taimiyah, Rahmatullah al-Hindi, Rasyid Ridha, Ibn Athaillah, dan
Abdullah Al-Attas. Pemikir-pemikir tersebut memiliki cara pandang yang tidak
memisahkan antara agama dan negara tetapi melihatnya sebagai bagian yang
integral.

3. Situasi Indonesia pada saat itu masih sedang dalam masa penjajahan, sehingga
belum mempunyai format kenegaraan yang baku dan jelas. Sistem kenegaraan
masih dikendalikan oleh kaum penjajah, sehingga sesungguhnya Indonesia belum
menjadi negara yang sebenar-benarnya (the truely of state).

Namun demikian, memahami dimensi humanis religius pemikiran pendidikan K.H


Ahmad Dahlan tidaklah cukup hanya dengan berdasar pada ketiga asumsi tersebut.
Perlu dilakukan kajian mendalam untuk dapat mengungkap berbagai hal yang
memiliki relevansi dengan persoalan kemanusiaan (humanis) dan persoalan
keagamaan (religius) melalui pemikiran dan praktek pendidikan selama masa
perjuangan beliau bersama organisasi yang beliau dirikan yaitu Muhammadiyah.
Organisasi Muhammadiyah adalah wadah pergerakan K.H Ahmad Dahlan,
sekaligus sebagai pengejawantahan dari ide-ide brilian beliau terkait dengan urusan
pendidikan, sosial, dan keagamaan. Dengan demikian, antara K.H Ahmad Dahlan
sebagai individu dan Muhammadiyah sebagai lembaga tidak bisa dipisahkan, tetapi
harus dipandang sebagai sesuatu yang integratif untuk melihat perspektif humanis
religius dari pemikiran-pemikirannya dalam bidang pendidikan.

Berdasarkan uraian yang telah diketengahkan sebelumnya, mulai dari biografi


singkat beliau terutama masa kelahiran, Orang tua, kultur keluarga, tempat
mengenyam pendidikan, buku-buku serta pengarang yang menjadi rujukan,
pemikiran-pemikirannya dalam pendidikan, sampai dengan masa pendirian
Muhammadiyah, dapat diketengahkan perspektif humanis religius pemikiran
pendidikan K.H Ahmad Dahlan adalah sebagai berikut:

1. Misi dakwah yang menjadi acuan adalah “amar Ma’ruf nahi mungkar,” yaitu
ajakan pada kebajikan dan mencegah kemungkaran. Misi ini didasarkan pada
perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 104 yang artinya adalah
“dan hendaknya ada diantara kamu yang menyeru (berdakwah) kepada kebajikan
(mengembangkan Islam) dan mencegah kepada kemungkaran (buruk dan keji).
Secara literal, ayat ini mengandung ajak untuk berbuat baik sekaligus mencegah
perbuaan yang tidak baik. Tetapi kandungan makna ayat ini sangat mendalam,
karena menyangkut urusan dunia dan akhirat, urusan ibadah dan muamalah, serta
urusan pribadi dan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa perspektif humanis dan
religius dalam misi dakwah Muhammadiyah adalah berjalan secara bersamaan.
Tentu hal ini, tidak bisa dipisahkan dari K.H Ahmad Dahlan sendiri sebagai pendiri
sekaligus sebagai perumus misi dakwah Muhammadiyah.

2. Integrasi pengetahuan agama dan pengetahuan umum dalam sekolah


Muhammadiyah. Jika kita asumsikan bahwa pengetahuan agama adalah untuk
urusan pribadi dan akhirat, sedangkan pengetahuan umum adalah untuk urusan
umum dan dunia, maka berarti harus ada pemilahan. Inilah yang terjadi di sekolah-
sekolah barat. Tetapi di sekolah-sekolah Muhammadiyah, kedua pengetahuan
tersebut di integrasikan dan diajarkan secara bersamaan. Hal ini dapat menjadi bukti
bahwa K.H Ahmad Dahlan memandang pengetahuan umum sama pentingnya
dengan pengetahuan agama, atau sebaliknya.

3. Tujuan pendidikan Muhamadiyah menekankan pada usaha menanamkan


karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam kapasitas
peserta didik sebagai individu dan sebagai masyarakat. Sebagai individu, pendidikan
dipandang sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang
berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan
intelek serta antara dunia dengan akhirat. Sedangkan sebagai bagian dari
masyarakat, pendidikan dianggap sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan
keinginan hidup bermasyarakat.

4. Teori dan praktek berjalan secara bersamaan. Pada sekolah-sekolah


Muhammadiyah, peserta didik tidak hanya belajar tentang teori, tetapi juga belajar
bagaimana teori dipraktekan. Jauh sebelum isu Home Schooling dikembangkan di
Indonesia, Muhammadiyah justru telah menerapkannya melalui model sekolah
berasrama yang saat ini bernama Madrasah Al-Muallimin Muhammadiyah.

5. Keseimbangan antara amal ibadah dan amal usaha. Dalam statuta


Muhammadiyah tahun 1912, salah satu tujuan persyarikatan Muhammadiyah adalah
menyebarkan pengajaran agama Kanjeng Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi
Wasallam kepada penduduk bumiputera di dalam residensi Yogyakarta. Hal ini
menegaskan bahwa prioritas dari dakwah Muhammadiyah adalah ibadah. Semua
warga Muhammadiyah harus taat beribadah, selaksanakan semua ajaran agama yang
dibawa oleh Muhammad SAW. Tetapi untuk mendukung langkah tersebut harus ada
amal usaha. Maka dibangunlah sekolah-sekolah, lalu dikembangkan ke Rumah
Sakit, Rumah bersalin, Panti Asuhan, dan Perguruan Tinggi. Jika amal ibadah
adalah dimensi religiusnya, maka amal usaha adalah dimensi humanisnya. Dalam
perspektif humanis religius, apa yang ingin diwujudkan oleh K.H Ahmad Dahlan
adalah mewujudkan kesalehan sosial (humanis) dan kesalehan individu (religius)
pada seluruh warga Muhammadiyah.

Nampaknya kelima hal tersebut dapat menjadi poin-poin penting untuk melihat
pemikiran pendidikan K.H Ahmad Dahlan dalam perspektif humanis religius.
Memang secara sengaja, perspektif humanis dan perspektif religius tidak dipisahkan
untuk melihat pemikiran pendidikan K.H Ahmad Dahlan. Karena persoalan
kemanusiaan (humanis) dan persoalan keagamaan (religius) dalam misi dakwah
K.H Ahmad Dahlan adalah hal yang terpadu. Demikian juga K.H Ahmad Dahlan
tidak dipisahkan secara personal dengan Muhammadiyah secara kelembagaan.
Mengapa? Karena Muhammadiyah itu sendiri adalah “buah” pemikiran pendidikan
K.H Ahmad Dahlan.

Kesimpulan

Memahami pemikiran pendidikan K.H Ahmad Dahlan, ibarat menyelami samudra luas
dan dalam, semakin luas kita menyelam semakin luas pula butiran-butiran hikmah yang
kita temukan, dan semakin dalam kita menyelam, maka semakin dalam pula
pengetahuan yang kita peroleh. Kita memang patut bersyukur pernah memiliki tokoh
sekaliber K.H Ahmad Dahlan, karena pemikiran-pemikirannya dalam bidang
pendidikan telah ikut mencerdaskan banyak generasi, sejak zaman sebelum
kemerdekaan, zaman kemerdekaan, hingga saat ini bahkan sampai masa depan.

Mencoba memahami pemikiran pendidikan K.H Ahmad Dahlan dalam perspektif


humanis religius memang bukan persoalan gampang. Dua dimensi kehidupan yang
betul-betul menjadi konsen dakwah K.H Ahmad Dahlan, dan memiliki cakupan yang
sangat kompleks. Namun demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa memahami
pemikiran pendidikan K.H Ahmad Dahlan dalam perspektif humanis religius dapat
dilihat dari; (1) misi dakwah yang senantiasa menyerukan pada kebajikan dan mencegah
kemungkaran. Misi ini didasarkan pada Surat Ali Imran ayat 104, yang kandungannya
tidak hanya menyangkut urusan akhirat, tapi juga urusan dunia, bukan hanya urusan
pribadi tapi juga urusan sosial; (2) model pendidikan yang senantiasa mengintegrasikan
pengetahuan umum dan pengetahuan agama, serta menekankan pada perkembangan
peserta didik sebagai individu dan sosial; dan (3) keseimbangan antara kesalehan
individu (taqwa) dan kesalehan sosial (peduli).

Anda mungkin juga menyukai