Dosen pengampu:
AWAL KURNIA PUTRA NASUTION, M.TPd
Disusun oleh:
★ HALIZA
★RIMA FITRI
TARBIYAH
Nama kecil Kyai Haji Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis. Beliau dilahirkan
di Kauman Yogyakarta dari pernikahan Kyai Haji Abu Bakar dengan Siti Aminah
pada tahun 1285 H (1868 M). Kyai Haji Abu Bakar adalah Khatib di Masjid Agung
Kesultanan Yogyakarta, sedangkan ibunya Siti Aminah adalah puteri dari H.
Ibrahim yang merupakan penghulu Kesultanan Yogyakarta pada masa itu.
Kampung Kauman sebagai tempat kelahiran dan tempat Muhammad Darwis
dibesarkan merupakan lingkungan keagamaan yang sangat kuat, yang berpengaruh
besar dalam perjalanan hidup Muhammad Darwis di kemudian hari. K.H Ahmad
Dahlan belajar mengaji sekitar tahun 1875 dan masuk pondok pesantren. Sejak
kanak-kanak Muhammad Darwis kecil sudah diberikan pelajaran dan pendidikan
agama oleh orang tuanya, oleh para guru (ulama) yang ada di dalam masyarakat
lingkungannya. Pengetahuan yang dimiliki sebagian besar merupakan hasil
otodidaknya, kemampuan membaca dan menulisnya diperoleh dari belajar kepada
ayahnya, sahabatnya dan saudara-saudaranya. Ia di didik sendiri melalui cara
pengajian yaitu dengan menirukan kalimat-kalimat atau bacaan yang diajarkan oleh
ayahnya (Asrofie M. Yusron; 1983, 21).
Ketika masih muda, K.H Ahmad Dahlan terkenal memiliki pikiran yang cerdas dan
memiliki akal budi yang bersih dan baik. Pendidikan agama yang diterima dipilih
secara selektif tidak hanya itu tetapi sesudah dipikirkan di bawa dalam perenungan-
perenungan, ingin dilaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Waktu menjelang
dewasa K.H Ahmad Dahlan belajar Ilmu Fiqih kepada KH Muhammad Shaleh,
belajar Ilmu Nahwu kepada K.H Muhsin, kemudian gurunya yang lain ialah KH
Abdul Hamid. Keahlian dalam Ilmu Falaq, diperoleh dari belajar dan berguru
kepada K.H Raden Dahlan salah seorang putra Kyai Termas dan yang terakhir Ilmu
Hadits dipelajarinya dari Kyai Mahfud dan Syekh Khayyat.
Pada usia 22 tahun (1890) dengan bantuan kakaknya (Nyai Hajah Sholeh) beliau
berangkat ke Makkah, dan belajar disana selama satu tahun untuk memperdalam
ilmu pengetahuan tentang Islam. Setelah kembali ke Yogyakarta K.H Ahmad
Dahlan membantu ayahnya mengajar pengajian anak-anak namun pada
kesempatan-kesempatan yang memungkinkan sering pula K.H Ahmad Dahlan
mewakili ayahnya memberikan pelajaran keagamaan kepada orang-orang yang
usianya lebih tua dari dirinya sendiri. Keadaan itu telah menyebabkan pengaruhnya
dalam masyarakat semakin luas karena masyarakat semakin yakin bahwa K.H
Ahmad Dahlan adalah seorang yang memiliki ketaatan beragama yang baik serta
mempunyai pengetahuan yang luas, baik dalam ilmu maupun dalam penalangan
akal budi. Oleh sebab itu, K.H Ahmad Dahlan diberikan gelar “Kyai”. Menurut
catatan Junus Salam, beberapa buku yang pernah dibaca oleh K.H Ahmad Dahlan
diantaranya adalah; Kitab Tauhid, Tafsir Juz’Amma, ai-Islam wa an-Nashraniyyah
(ketiganya karya Muhammad Abduh), Kanzul Ulum, Dairatul Ma’arif (karya Farid
Wajdi), at-Tawassul wa al-Washilah (karya Ibnu Taimiyah), Izharul Haq (karya
Rahmatullah al-Hindi), Tafsir al-Manar (karya Rasyid Ridha), Matan al-Hikam
(karya Ibn Athaillah), al-Qashaid ath-Tahsiyah (karya Abdullah Al-Attas), Tafsilu
an-Nasyatain Tafsilu asy-Syahadatain, kitab-kitab hadis karangan ulama mazhab
Hambali, majalah al-Urwatu al-Wustaqa, dan lain-lain (Mu’arif; 2014, 136).
Dalam silsilah keluarga, beliau termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana
Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka di antara Wali
Songo (wali Sembilan), yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan
pengembangan Islam di tanah Jawa.
Menurut K.H. Ahmad Dahlan, pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha
membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas
pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk
kemajuan masyarakatnya. Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan
dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan
pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren
hanya bertujuan utnuk menciptakan individu yang salih dan mendalami ilmu
agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan
sekuler yang didalamnya tidak diajarkan agama sama sekali.
Pada masa sebelum kemerdekaan, ada dua sistem pendidikan yang berkembang di
Indonesia, yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan barat. Pendidikan pesantren
lebih banyak dikembangkan oleh para pemuka Agama khususnya yang berafiliasi
dengan Nahdatul Ulama (NU), sedangkan pendidikan barat adalah yang
dikembangkan oleh Belanda. K.H Ahmad Dahlan berpandangan bahwa, ada
problem mendasar berkaitan dengan lembaga pendidikan di kalangan umat Islam,
khususnya lembaga pendidikan pesantren. Menurut Syamsul Nizar, dalam bukunya
Filsafat Pendidikan Islam, menerangkan bahwa problem tersebut berkaitan dengan
proses belajar-mengajar, kurikulum, dan materi pendidikan. Berdasarkan realitas
pendidikan tersebut, K.H. Ahmad Dahlan menawarkan sebuah metode sintesis
antara metode pendidikan modern Barat dengan metode pendidikan pesantren. Dari
sini tampak bahwa lembaga pendidikan yang dikembangkan oleh K.H. Ahmad
Dahlan berbeda dengan lembaga pendidikan Pondok Pesantren dan lembaga
Pendidikan Barat. Metode pembelajaran yang dikembangkan K.H. Ahmad Dahlan
bercorak kontekstual melalui proses dialogis dan penyadaran. Dengan demikian,
penekanan materi pelajaran tidak dipahami secara dogmatis, tetapi dipahami secara
dialektis. Contoh klasik adalah ketika beliau menjelaskan surat al-Ma’un kepada
santri-santrinya secara berulang-ulang sampai santri itu menyadari bahwa surat itu
menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong fakir-miskin, dan harus
mengamalkan isinya. Bagi K.H Ahmad Dahlan, pelajaran agama tidak cukup hanya
dihafalkan atau dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan
kondisi. Pada konteks ini, Ahmad Dahlan menekankan pentingnya kontekstualisasi
pemahaman Agama. Artinya, pemahaman agama tidak cukup pada tingkatan
tekstual, tetapi harus dapat diaplikasikan secara kontekstual. Beberapa perbedaan
model belajar yang digunakan pada pendidikan di pesantren dengan pendidikan
yang diajarkan oleh Ahmad Dahlan adalah sebagai berikut:
Model pendidikan yang pertama kali dirintis oleh K.H Ahmad Dahlan adalah
Madrasah. Model pendidikan ini sebenarnya bukan hal baru karena sudah pernah
berkembang dan mencapai puncak kejayaan pada masa Nizamul Mulk. Sistem
Madrasah pada abad pertengahan yang tergolong modern. Akan tetapi berdasarkan
sumber Mehdi Nakosteen, sistem madrasah pada abad pertengahan masih
sepenuhnya hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama. Sebab, penyelenggaraan
madrasah pada waktu itu memang bersinggungan dengan gesekan politik antara
kaum Sunni dan Syi’ah (Mu’arif;2014, 142).
Di Tanah Air, model madrasah pertama kali dirintis di Padang Panjang pada tahun
1907. Madrasah tersebut bernama Adabiyah School, pendirinya adalah Haji
Abdullah Ahmad. Hanya saja, sistem baru ini tidak diterima dengan baik oleh
masyarakat setempat. Pada kenyataannya, Adabiyah School di Padang Panjang tidak
bertahan lama karena belum genap satu tahun sudah ditutup. Sumber-sumber yang
dapat memberikan informasi tentang pengaruh pemikiran Haji Abdullah Ahmad
terhadap pemikiran K.H Ahmad Dahlan memang belum ditemukan hingga kini.
Dengan demikian, model madrasah dengan sisten kurikulum integral dapat
dikatakan sebagai gagasan murni K.H Ahmad Dahlan. Akan tetapi, apabila
dikemudian hari ditemukan sumber-sumber yang dapat memberikan informasi
tentang pengaruh pemikiran Haji Abdullah Ahmad kepada K.H Ahmad Dahlan,
model Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah hanya sebatas adopsi gagasan tokoh
pendiri Adabiyah School tersebut (Ibid, 142-143).
K.H Ahmad Dahlan, selain dipandang sebagai seorang ulama, juga berperan
sebagai guru bagi para pengikutnya. Sebagai ulama dan guru sekaligus tentu
mempunyai cara pandang tersendiri bagaimana membangun interaksi dengan
murid-muridnya sehingga tercipta suasana yang edukatif. Salah seorang murid K.H
Ahmad Dahlan yang bernama Badilah Zuber menguraikan bahwa peran K.H
Ahmad Dahlan dalam kegiatan pembelajaran adalah sebagai pemandu atau
pembimbing belajar. Dalam proses membimbing peserta didik, guru dituntut
bersabar ketika menghadapi berbagai kelakuan para murid.
Cara pandang K.H Ahmad Dahlan dalam menghadapi murid muridnya yang
nakal termasuk unik. Menurutnya, murid-murid yang nakal justru dipahami sebagai
manifestasi kehendak dan kebebasan yang akan menentukan dalam proses
pembentukan karakter. Murid-murid yang nakal (mbeling) diartikan sebagai ekspresi
kreatif yang butuh bimbingan. Dalam membimbing murid-murid, Kyai Dahlan
berpesan agar ikhlas dan senang belajar menuntut ilmu. Apabila berhadapan dengan
murid yang enggan belajar, tetapi selalu mengharapkan cepat lulus, K.H Ahmad
Dahlan akan memberi peringatan. Sebaliknya, apabila terdapat murid yang serius
belajar, tetapi prestasi di kelas tidak pernah bertambah, maka akan diberinya
semangat atau support.
Sebagai seorang guru, K.H Ahmad Dahlan selalu kreatif dalam menyampaikan
pelajaran. Metode yang digunakan cenderung variatif sehingga tidak membosankan.
Metode yang paling sering digunakan adalah metode dialog. Dalam proses
mengajar, K.H Ahmad Dahlan tidak keberatan menjawab semua pertanyaan peserta
didi secara tuntas sehingga secara psikologis membekas pada peserta didik. Salah
satu bukti kreativitas K.H. Ahmad Dahlan dalam mengajar adalah ketika murid-
muridnya diajak tamasya ke Taman Sriwedari di Solo. Surat kabar Bromartani edisi
15 September 1915 memberitakan peristiwa ketika murid-murid K.H Ahmad Dahlan
yang sedang bertamasya dibuntuti pencopet. K.H Ahmad Dahlan sebagai seorang
guru harus bersabar menghadapi musibah tersebut (Ibid; 143-144).
Dalam mindset barat, dimensi humanis dan dimensi religius adalah dua persoalan
yang berbeda, antara keduanya tidak dapat disatukan. Dimensi humanis
berhubungan erat denga persoalan-persoalan sosial kemasyarakat dan karenanya
bersifat umum. Sedangkan dimensi religius adalah persoalan yang hanya menjadi
ranah pribadi. Asumsi dasar yang melandasi pola pikir ini adalah sekularisme, yaitu
sebuah paham yang senantiasa memisahkan antara urusan dunia yang sifatnya
komunal dan urusan agama yang bersifat personal. Implikasi dari mindset ini adalah
urusan negara juga harus dipisahkan dari urusan agama. Tetapi dalam dunia Islam,
hubungan antara dimensi humanis dan dimensi religius adalah persoalan yang tidak
bisa dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang nampaknya berbeda
tetapi sesungguhnya adalah sama. Dalam hal urusan kenegaraan misalnya, ada
sebagian kalangan yang memandang hubungan negara dengan agama sebagai “ad-
Diynu wa ad-Dawlah”. Artinya, ketika berbicara tentang Islam, maka berarti
berbicara tentang sesuatu yang sangat komprehensif, termasuk urusan politik dan
negara. Sehingga negara tidak bisa dipisahkan dari agama, demikian pula
sebaliknya.
Azyumardi Azra (2015; 115), setidaknya melihat ada tiga bentuk posisi hubungan
antara Islam dan negara dalam masa modern-kontemporer. Pertama, pemisahan
antara agama dan politik yang bahkan disertai ideologi politik sekuler yang tidak
bersahabat dengan agama (religiously unfriendly-secularism) seperti Turki; kedua,
pemisahan disertai dengan ideologi yang bersahabat dengan agama (religiously
friendly ideology) seperti Indonesia. Bentuk kedua ini juga dapat disebut sebagai
akomodasi antara negara dan agama; ketiga, penyatuan agama dengan negara
seperti Arab Saudi, yang juga disebut sebagai teokrasi.
Memahami dimensi humanis religious pemikiran pendidikan K.H Ahmad Dahlan,
nampaknya tidak bisa dipisahkan dari pengaruh pola ketiga dalam pola hubungan
agama dengan negara. Paling tidak, ada beberapa argumentasi yang melandasi
pemikiran tersebut, antara lain;
1. K.H Ahmad Dahlan menempuh studi di Arab Saudi. Diseritakan bahwa, pada
usia 22 tahun (1890) dengan bantuan kakaknya (Nyai Hajah Sholeh) beliau pergi ke
Mekkah, dan belajar disana selama satu tahun untuk memperdalam ilmu
pengetahuan tentang Islam. Dengan demikian, pemikiran dan pengetahuan yang
diperoleh dan dikembangkan oleh K.H Ahmad Dahlan tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan Ilmu pengetahuan yang berkembang di dunia Arab pada saat itu.
2. Dari sejumlah buku referensi yang menjadi acuan K.H Ahmad Dahlan
diketahui bahwa buku-buku tersebut adalah karangan Muhammad Abduh, Farid
Wajdi, Ibnu Taimiyah, Rahmatullah al-Hindi, Rasyid Ridha, Ibn Athaillah, dan
Abdullah Al-Attas. Pemikir-pemikir tersebut memiliki cara pandang yang tidak
memisahkan antara agama dan negara tetapi melihatnya sebagai bagian yang
integral.
3. Situasi Indonesia pada saat itu masih sedang dalam masa penjajahan, sehingga
belum mempunyai format kenegaraan yang baku dan jelas. Sistem kenegaraan
masih dikendalikan oleh kaum penjajah, sehingga sesungguhnya Indonesia belum
menjadi negara yang sebenar-benarnya (the truely of state).
1. Misi dakwah yang menjadi acuan adalah “amar Ma’ruf nahi mungkar,” yaitu
ajakan pada kebajikan dan mencegah kemungkaran. Misi ini didasarkan pada
perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 104 yang artinya adalah
“dan hendaknya ada diantara kamu yang menyeru (berdakwah) kepada kebajikan
(mengembangkan Islam) dan mencegah kepada kemungkaran (buruk dan keji).
Secara literal, ayat ini mengandung ajak untuk berbuat baik sekaligus mencegah
perbuaan yang tidak baik. Tetapi kandungan makna ayat ini sangat mendalam,
karena menyangkut urusan dunia dan akhirat, urusan ibadah dan muamalah, serta
urusan pribadi dan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa perspektif humanis dan
religius dalam misi dakwah Muhammadiyah adalah berjalan secara bersamaan.
Tentu hal ini, tidak bisa dipisahkan dari K.H Ahmad Dahlan sendiri sebagai pendiri
sekaligus sebagai perumus misi dakwah Muhammadiyah.
Nampaknya kelima hal tersebut dapat menjadi poin-poin penting untuk melihat
pemikiran pendidikan K.H Ahmad Dahlan dalam perspektif humanis religius.
Memang secara sengaja, perspektif humanis dan perspektif religius tidak dipisahkan
untuk melihat pemikiran pendidikan K.H Ahmad Dahlan. Karena persoalan
kemanusiaan (humanis) dan persoalan keagamaan (religius) dalam misi dakwah
K.H Ahmad Dahlan adalah hal yang terpadu. Demikian juga K.H Ahmad Dahlan
tidak dipisahkan secara personal dengan Muhammadiyah secara kelembagaan.
Mengapa? Karena Muhammadiyah itu sendiri adalah “buah” pemikiran pendidikan
K.H Ahmad Dahlan.
Kesimpulan
Memahami pemikiran pendidikan K.H Ahmad Dahlan, ibarat menyelami samudra luas
dan dalam, semakin luas kita menyelam semakin luas pula butiran-butiran hikmah yang
kita temukan, dan semakin dalam kita menyelam, maka semakin dalam pula
pengetahuan yang kita peroleh. Kita memang patut bersyukur pernah memiliki tokoh
sekaliber K.H Ahmad Dahlan, karena pemikiran-pemikirannya dalam bidang
pendidikan telah ikut mencerdaskan banyak generasi, sejak zaman sebelum
kemerdekaan, zaman kemerdekaan, hingga saat ini bahkan sampai masa depan.