Anda di halaman 1dari 20

TUGAS KELOMPOK

AL ISLAM DAN KEMUHAMMADIYAAN


(Sejarah Muhammadiyah)

Dosen Pengampu :
H. Ismail, S.Pd., M.Pd
DISUSUN OLEH :
Sawariah (202102033)
Nurhidayah H (202102029)
Aco Risal
Nur Idawati
Prodi Bisnis Digital

Institut Teknologi dan Bisnis Muhammadiyah


Polewali Mandar 2022/2023
KATA PENGANTAR

                Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas yang diberikan bapak
dosen kepada kami tepat pada waktunya. Paper ini kami susun untuk memenuhi tugas yang di berikan
oleh dosen mata kuliah “ AL-ISLAM DAN KEMUHAMMADIYAAN “.
                 Pada kesempatan ini, izinkanlah kami menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih
kepada semua pihak yang dengan tulus dan ikhlas telah memberikan bantuan dan dorongan kepada kami
dalam menyelesaikan paper ini.
                  Kami menyadari bahwa paper ini masih jauh dari kesempurnaan baik bentuk,isi,maupun
teknik penyajiannya.Oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun dari berbagai pihak kami
terima dengan tangan terbuka serta sangat di harapkan.

                                                                                                         Wonomulyo, 25 juni 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suatu hal yang menarik bagi penelitian dan pengembangan agama adalah proses
interaksi antara keagamaan dengan kebudayaan lokal, bahkan dewasa ini juga dengan
kebudayaan nasional Indonesia. Interaksi antara dua lingkungan budaya tentu menimbulkan
proses saling mempengaruhi dan saling menyerap atau disebut akulturasi. Sebagaimana
sebelum agama-agama datang, penduduk Nusantara mempunyai kepercayaan bahwa
bukan hanya manusia yang berjiwa, tumbuh-tumbuhan dan hewan pun berjiwa. Mereka juga
mempercayai dan menyembah arwah orang yang sudah meninggal karena ada anggapan
bahwa orang yang sudah meninggal mempunyai pengaruh yang kuat dan langsung terhadap
orang-orang yang masih hidup.
Gerakan pembaharuan (modernisme) yang terjadi di Indonesia, lahir akibat kondisi
umat Islam Indonesia mengalami kemunduran secara sistematis, yang di tandai dengan
hilangnya semangat untuk menangani permasalahan yang terjadi dalam hidup keseharian,
seperti kebodohan, kemiskinan, ketertindasan, dan keterbelakangan.Untuk mengatasi
fenomena tersebut terbentuklah Persyarikatan Muhammadiyah yang bergerak di bidang
sosial-keagamaan pada tanggal 18 November 1912 M di Yogyakarta.
Persyarikatan ini didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan sebagai respon terhadap
kenyataan sosial-budaya dan sosial-keagamaan bangsa Indonesia saat itu. Penghayatan
yang mendalam terhadap sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an, telah memberikan inspirasi
dan juga semangat baginya untuk  berdakwah.
Ada dua faktor yang melatarbelakangi lahirnya gerakan ini, yaitu faktor eksternal dan
faktor internal. Faktor eksternal, gagasan pembaharuan islam Timur Tengah yang
dikembangkan oleh Jamaludin al-Afghani, Syeikh M. Abduh dan penerusnya Rasyid Ridha
berkaitan dengan aliran “skrituralisme” yaitu aliran yang menyerukan kembali kepada al-
Qur’an dan Sunnah dalam menentukan hal yang merupakan ajaran dan praktik Islam yang
sesungguhnya.
Sedangkan faktor internal, berkaitan dengan kondisi kehidupan keagamaan kaum
Muslim Indonesia, yaitu Pertama, umat Islam tidak memegang teguh al-Qur’an dan Sunnah,
kultur setempat yang bertentangan dengan agama, yaitu mencampuradukkan antara tradisi
dan hukum agama, akibatnya banyak yang percaya tahayul, kufarat, dan bid’ah. Kedua,
kondisi politik bisa menjadi pemicu berdirinya Muhammadiyah. Pada saat itu PKI berusaha
merebut pengaruh dalam kehidupn masyarakat, buruh-buruh dan pedagang, karena itu
masyarakat Islam Jakarta Timur mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Ketiga,
kemiskinan menimpa rakyat Indonesia.Keempat, pendidikan juga menjadi pemicu lahirnya
Muhammadiyah di wilayah ini. Sekolah swasta Islam yang ada pada waktu itu cukup minim
jumlahnya, sedangkan kondisi masyarakat membutuhkan sekolah yang memuat jam
pelajaran agama Islam yang lebih banyak.
Melalui tulisan ini, penulis ingin mengetahui lebih jauh eksistensi Muhammadiyah,
berawal dari sejarah terbentuknya, pengaruh keberadaannya terhadap masyarakat, kegiatan
Muhammadiyah, serta peran Muhammadiyah bagi masyarakat Islam.
BAB II
BIOGRAFI KH. AHMAD DAHLAN

A. Profil KH. Ahmad Dahlan


Kiyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis lahir di Yogyakarta, pada tanggal 1
Agustus 1868, meninggal di Yogykarta pada tanggal 23 Februari 1923 pada usia 54 tahun
dan dimakamkan di KarangKajen. Ia adalah seorang pahlawan Nasional Indonesia. KH.
Ahmad Dahlan adalah putra keempat dari tujuh bersaudara yang keseluruhan saudaranya
perempuan, kecuali adik bungsunya. dari keluarga KH. Abu Bakar yang seorang ulama dan
khatib terkemuka di Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari KH.
Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat sebagai penghulu
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu pula.
Ketika lahir, KH. Abu Bakar memberi nama si anak dengan Muhammad Darwis yang
kemudian menjadi Ahmad Dahlan setelah ia kembali dari Mekah. Diusia balita, Darwis sudah
diperkenalkan dengan pendidikan agama. Yang pertama kali menggemblengnya adalah
ayahnya sendiri, lalu para kiyai di sekitar Yogyakarta.
KH. Ahmad Dahlan termasuk keturunan yang ke-12 dari Maulana Malik Ibrahim, salah
seorang yang terkemuka diantara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran islam di jawa.
Silsilahnya ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishq, Maulana ‘Ainul Yaqin, Maulana
Muhammad Fadlullah (sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (djatinom),
Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djuru Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla,
KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).
Sebagaimana umumnya anak-anak kyai, KH. Ahmad Dahlan belajar ilmu-ilmu agama
dan bahasa arab. Dengan bekal bahasa arab dan ilmu-ilmu agama yang diperolehnya di
Yogyakarta itu, pada usia 15 tahun ia menunaikan ibadah haji pada tahun 1888 dan tinggal
di Mekkah selama 5 tahun.
Keinginannya yang dalam untuk memajukan Islam, membuat Ahmad Dahlan aktif
mencari ilmu diberbagai jamiah dan organisasi. Seperti di jamiah Khoir (kumpulan keturunan
Arab), Budi Utomo, dan Serikat Islam.
Di bumi Mekah inilah ia memperdalam ilmu-ilmu keislamannya seperti ilmu qiraat, fiqih,
tasawuf, ilmu mantiq, ilmu falaq, aqidah dan tafsir. Pada periode ini KH. Ahmad Dahlan mulai
berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam islam, seperti Muhammad
Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibn Taimiyah. Pada tahun 1902 ia kembali ke kampung
halamannya.
Sepulang dari Mekah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai
Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawan
Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan
memiliki enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti
Aisyah, Siti Zaharah.
Disamping itu, KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H.
Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. Kemudian ia
juga pernah menikah dengan Nyai Aisyah Cianjur, yaitu adik Adjengan Penghulu, ia
mempunyai seorang putera dari perkawinannya ini yang bernama Dandanah. Ia pernah pula
menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.
Terlihat bahwa KH. Ahmad Dahlan beristrikan lebih dari satu, tentu ini menimbulkan
tanda tanya. Namun pada kenyataannya, pada masa KH. Ahmad Dahlan hidup, banyak para
lelaki yang beristrikan lebih dari satu dan hal ini bukan merupakan suatu kejanggalan, tetapi
hal yang lumrah sering terjadi. Kini konteks dan cara pikirnya berbeda, sehingga poligami
dapat menjadi kontroversi di sebahagian kalangan kaum muslim. Bahkan di kecamatan
Tanggulangin, kabupaten Siduarjo, Jawa Timur ada sebuah jalan yang bernama Jalan
Wayoh yang berarti Jalan Poligami. Jalan ini sebelumnya bernama Jalan KH. Ahmad Dahlan
yang kemudian di ubah oleh warga menjadi Jalan Wayoh.

B. Profesi dan Perjuangan


Sepulang belajar dari Mekah, Ahmad Dahlan menjadi staf pengajar agama di
kampungnya, Kauman. Ia juga mengajar di sekolah negeri, seperti Kweek School (Sekolah
Raja) di Jetis (Yogyakarta) danOpleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA),
sekolah pendidikan untuk pegawai pribumi di Megelang.
Profesi Ahmad Dahlan selain mengajar ia juga bertabligh dan berdagang. Ia
berdakwah dari suatu tempat ke tempat lain. Ia juga seorang pedagang yang pernah berniga
di Jakarta dan Surabaya, bahkan sampai ke Medan. Ia juga tetap menambah ilmu dengan
mendatangi ulama. Mula-mula ia menjabat sebagai pegawai mesjid Sultan, kemudian ia
mengajar di pesantrennya sendiri. Ilmu dan ketokohannya menjadikan pesantrennya
dikunjungi oleh pelajar-pelajar dari berbagai tempat.
Nama KH. Ahmad Dahlan cukup termahsyur sebagai tokoh pendiri Muhammadiyah,
sehingga organisasi ini menjadi organisasi kemasyarakatan kedua setelah NU. Organisasi
yang dipimpinnya ini kemudian lebih banyak mengembangkan sektor pendidikan modern di
seluruh Indonesia.
C. Pahlawan Nasional
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa
Indonesia melalui pembaharuan islam dan pendidikan, maka pemerintah Republik Indonesia
menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657
tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut:
1. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan umat islam untuk menyadari
nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat
2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran
islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan
beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan islam
3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha social dan
pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa
ajaran islam
4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori
kebangkitan wanita indonesi untuk mengecap pendidikan dan berfungsi social, setingkat
dengan kaum pria.

D. Film
Kisah kehidupan dan perjuangan KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah
diangkat ke layar lebar dengan judul Sang Pencerah. Tidak hanya menceritakan tentang
sejarah kisah Ahmad Dahlan, film ini juga bercerita tentang perjuangan dan semangat
patriotism anak muda dalam mempresentasikan pemikiran-pemikirannya yang dianggap
bertentangan dengan pemahaman agama dan budaya pada masa itu, dengan latar belakang
suasana Kebangkitan Nasional.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Lahirnya Muhammadiyah


Nama Muhammadiyah secara etimologi, berasal dari bahasa Arab  Muhammad,
yakni Nabi dan Rasul Allah yang terakhir, mendapatkan ya nasabiyah berati menjeniskan.
Muhammadiyah berarti umat Muhammad SAW atau pengikut Nabi Muhammad. Semua
orang Islam yang mengakui dan meyakini bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan
Allah SWT yang terakhir. Dengan demikian, siapapun yang mengaku beragama Islam
maka mereka orang Muhammadiyah, tanpa harus dilihat adanya perbedaan organisasi,
golongan, bangsa, geografis, etnis dan sebagainya.
Secara terminologi, Muhammadiyah merupakan gerakan Islam,dakwah amar ma’ruf
nahi munkar, didirikan oleh KH Amad Dahlan 18 November 1912 di Yogyakarta,
berazaskan Islam, bersumber pada Al Qur’an dan Sunah. Pemberian nama
Muhammadiyah dengan maksud berpengharapan baik (bertafa’ul), mencontoh dan
menteladani jejak perjuangan Nabi Muhammad SAW. Semua ditujukan demi terwujudnya
kejayaan Islam, sebagai idealitas dan kemuliaan hidup umat Islam sebagai realitas.[15]
Ditinjau dari faktor-faktor yang melatar belakangi lahirnya Muhammadiyah, secara
garis besar dapat dibedakan menjadi dua :
Pertama, faktor subyektif. Yaitu pendalaman Ahmad Dahlan menelaah, membahas
dan mengkaji kandungan isi Al Qur’an. Dahlan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan
firman Allah sebagaimana tersimpul dalam surat An-Nisa ayat 82 dan surat Muhammad
ayat 24, yakni melakukan taddabur atau memperhatikan, mencermati dengan penuh
ketelitian terhadap apa yang tersirat dalam setiap ayat. Sikap ini sama ketika Ahmad
Dahlan mengkaji surat Ali Imran ayat 104:
Artinya: “dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah
orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali Imran: 104)
Kedua, faktor obyektif. Faktor ini diklasifikasikan menjadi faktor internal, faktor-
faktor penyebab yang muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat Islam Indonesia dan
faktor eksternal, faktor-faktor penyebab yang ada di luar tubuh masyarakat Indonesia.
Faktor obyektif bersifat internal disebabkan oleh dua hal,pertama, ketidakmurnian
amalan Islam akibat tidak dijadikannya Al Qur’an dan Sunah sebagai satu-satunya rujukan
oleh sebagian umat Islam Indonesia. Tidak dipungkiri masuknya Islam di Indonesia sudah
didahului berbagai aliran dan agama lain, baik  Hindu maupun Budha. Sehingga, seringkali
ajaran-ajaran tersebut tidak sengaja menempel pada tubuh ajaran Islam. Dalam kehidupan
beraqidah (keyakinan hidup), agama Islam mengajarkan untuk memilih tauhid yang murni,
bersih dari bermacam syirik, bid’ah dan khurofah.
Namun dalam prakteknya banyak orang Islam percaya pada benda-benda keramat,
sesajian, meminta berkah di kuburan, ramalan dukun, bintang serta berbagai ritual yang
tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam urusan doa, banyak umat Islam yang
menggunakan perantara (washilah) yang menghubungkan dirinya dengan Allah SWT,
seperti bertawasul pada Syaikh Abdul Qodir Jaelani, Nabi, Malaikat, Wali dan lainnya.
Padahal ini tidak ada dalam ajaran Islam, lihat Qur’an Surat Az Zumar, ayat 3.
Artinya: “Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-
orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka
melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya".
Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka
berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan
sangat ingkar”.
Kedua, lembaga pendidikan Islam belum mampu menyiapkan generasi yang siap
mengemban misi selaku “Khalifah  di muka bumi “. Ahmad Dahlan memandang Pondok
Pesantren sebagai satu lembaga pendidikan khas umat Islam Indonesia masih ada
kekurangan. Kalau pada awalnya sistem pondok pesantren hanya membekali para
santrinya dengan ilmu-ilmu agama, maka penyempurnaannya dengan memberikan ilmu-
ilmu pengetahuan umum. Dengan  demikian akan lahir dari lembaga pendidikan ini
manusia yang bertaqwa kepada Allah, cerdas dan terampil. Dalam  terminologi Al Qur’an
disebut “ Ulul Albab “.
Faktor obyektif yang bersifat eksternal diakibatkan oleh tiga hal, yaitu:
1. Semakin meningkatnya kristenisasi di tengah masyarakat Indonesia.[16] Masa
penjajahan baik, Spanyol, Portugal dan Belanda sama-sama mengibarkan panji-
panji gold, glory dangospel. Untuk gospel sendiri, misionaris Kristen yang disebar
bertujuan mengubah agama penduduk yang Islam ataupun yang bukan menjadi
Kristen. Tingginya arus kristenisasi terjadi pada pemerintahan Hindia Belanda,
Gubernur Jenderal A.W.F Idenburg, (1909-1916), Idenburg melancarkan program yang
lebih popular dengan sebutan “Kristenisasi Politik”.
2. Penetrasi bangsa-bangsa Eropa, terutama bangsa Belanda di Indonesia. Masuknya
kebudayaan, peradaban dan keagamaan Eropa setidaknya berpengaruh buruk pada
bangsa Indonesia. Lahirnya sifat Individualistik, diskriminatif dan dasar-dasar agama
yang sekuler menjadikan generasi baru bangsa Indonesia yang acuh tak acuh pada
ajaran Islam. Simbol ke-Islaman yang mereka pakai dirasa sebagai sesuatu yang tidak
modern.
3. Pengaruh dari gerakan pembaharuan dalam dunia Islam. Muhammadiyah dibangun
dari mata rantai yang panjang dari gerakan pembaharuan Islam. Dimulai dari Ibnu
Taimiyah, Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, Muhammad Abdul, Jamaludin Al Afghani
dan Rasyid Ridha. Lewat merekalah dan tokoh-tokoh lainnya yang sepaham, Ahmad
Dahlan mendapatkan arah pembaharuan dan pemurnian ajaran Islam.
Syaifullah mengklasifikasikan latar belakang lahirnya Muhammadiyah menjadi
empat. Pertama, aspirasi Islam Ahmad Dahlan. Untuk mengetahui hal ini bisa dilihat dalam
dua fase. (a).setelah Ahmad Dahlan menunaikan ibadah haji yang pertama (1889).(b).
setelah menunaikan haji yang kedua (1903).  Kedua, realitas sosial-agama di Indonesia.
Munculnya kepercayan dan agama-agama sebelum Islam di Indonesia menyebabkan
proses masuknya Islam melalui akulturasi dan sinkretisme. Ketiga, realitas sosio-
pendidikan. Muhammadiyah lahir sebagai penengah antara pendidikan pesantren dan
pendidikan sekelur. Keempat, realitas politik Islam Hindia Belanda. Belanda menghadapi
kenyataan bahwa sebagian besar pribumi beragama Islam, sehingga perlawanan
penduduk yang timbul, seperti perang Diponegoro, Padri, Aceh dan lain-lain, tidak lepas
dari ajaran Islam.
Perjalanan dakwah Muhammadiyah, dalam pasang surut sejarah Indonesia dari
tahun 1912 (setelah Ahmad Dahlan) sampai sekarang, telah melalui dua belas kali
pergantian pucuk pimpinan. Untuk menggambarkan perkembangan dan prestasi dakwah
mereka dalam Muhammadiyah bisa dilihat sebagai berikut.
1. Periode K.H Ahmad Dahlan (1912-1923). Semasa menjadi pendiri dan ketua
Muhammadiyah prestasi-prestasi Dahlan antara lain, mendirikan macam-macam
sekolah-madrasah, meningkatkan derajat kaum wanita, mendirikan Hizbul Wathon,
menerbitkan majalah “Sworo Muhammadiyah”, menganjurkan kesederhanaan,
persatuan Islam Indonesia, dan kepekaan terhadap kehidupan sosial.
2. Periode KH. Ibrahim (1923-1932). Selama sembilan tahun memimpin Ibrahim telah
menggalang “Fond Dahlan”, khitanan massal, badan perbaikan perkawinan, mengirim
putra-putri lulusan sekolah Muhammadiyah keseluruh pelosok tanah air. Seperti,
HAMKA ke Makasar (1928) R.Z. Fanani ke Sumatera Selatan, A.R. Fakhrudin ke
Medan, Badilah Zuber ke Palembang, dan meyelenggarakan konggres
Muhammadiyah ke XV sampai XX dan terakhir konggres XXI di Makassar 1932.
3. Periode KH. Hisyam (1932-1936). Ia telah mengadakan konggres Muhammadiyah ke
XXIII 1934, dan menghasilkan keputusan-keputusan diantaranya, pergantian nama-
nama Belanda menjadi nama Indonesia, konggres Muhammadiyah XXIV 1935 dan
XXV 1936, memutuskan berdirinya Perguruan Tinggi atau Sekolah Tinggi.
4. Periode Mas Mansur (1936-1942). Prestasi dakwah  Mas Mansur diantaranya,
pengaktifan majelis tarjih, sehingga mampu merumuskan masalah lima, (dunia,
agama, qiyas, sabilillah, dan ibadah). Kemudian lahirnya 12 langkah gerak
Muhammadiyah, mengadakan konggres XXVI-XXIX, dengan keputusan membentuk
Bank Muhammadiyah.
5. Periode Ki Bagus Hadi Kusuma (1942-1953). Beliau mampu menyusun muqodimah
AD Muhammadiyah dengan 7 pokok idiologi Muhammadiyah, mengadakan Muktamar
Darurat (1944), silaturrahmi cabang-cabang Muhammadiyah se-Jawa dan sidang
tanwir yang memutuskan diperbolehkannya anggota Muhammadiyah masuk partai
politik yang beridiologi Islam dan menjadi DPR untuk kepentingan Muhammadiyah.
6. Periode A.R.Sutan Mansur (1952-1959). Dakwah kepemimpinannya lebih menekankan
pada ruh tauhid yang ditanamkan kembali (Khittah Pelembang). Sidang tanwir 1955,
membicarakan pokok-pokok konsepsi negara Islam, dan penegasan kembali bahwa
Muhammadiyah bergerak dalam bidang kemasyarakatan, sedang masalah aspirasi
politik dianjurkan masuk Mashumi, sebagaimana hubungan baik Muhammadiyah dan
Mashumi.
7. Periode H.M. Yunus Anis (1959-1968). Sembilan tahun memimpin Yunus telah
merumuskan pedoman keputusan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar
ma’ruf nahi mungkar dalam bidang kemasyarakatan.
8. Periode KH. Ahmad Badawi (1962-1968). Fatwa dakwahnya yang terkenal,
membubarkan PKI merupakan ibadah karena menyelamatkan Muhammadiyah dari
kehancuran, akibat perkawinan PKI dan PNI pada Masyumi.
9. Periode kepemimpinan K.H Faqih Usman  dan H.A.R Fakhrudin (1968-1971). Faqih
Usman meninggal dunia setelah satu minggu diangkat menjadi ketua PP
Muhammadiyah, sehingga pejabat sementara dipegang A.R Fakhrudin. Selama
periode pertama Fakhrudin, melahirkan Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup
Muhammadiyah.
10. Periode A.R Fakhrudin (1971-1990). Bisa dikata Ia memimpin Muhammadiyah selama
dua periode dan paling lama. Prestasi dakwah A.R. Fakhrudin antara lain, melakukan
pendekatan denganpenguasa Orde Baru, membidani lahirnya Partai Muslimin
Indonesia, perubahan Anggaran Dasar Muhammadiyah dan terkonsolidasinya
berbagai majelis yang ada di tubuh Muhammadiyah.
11. Periode KH. Azhar Basyir, MA (1990-1995). Prestasi dakwah Azhar diantaranya,
perumusan tiga program persyarikatan jangka panjang (25 tahun) Muhammadiyah
yang meliputi, pertama, bidang konsolidasi gerakan, kedua, bidang pengkajian dan
pengembangan organisasi dan ketiga, bidang dakwah pendidikan dan pembinanan
kesejahteraan umat.
12. Periode Prof. Dr.Amin Rais (1995–2000). Prestasi dakwah yang dikembangkan dan
dihasilkan oleh Amin diantaranya, memajukan manajemen Muhammadiyah,
pendidikan, pengkaderan, dakwah masyarakat diberbagai bidang dan peningkatan
dana organisasi. Kepemimpinan  Amin Rais hanya tiga tahun, meski dulu beliau
pernah berkomitmen untuk membawa Muhammadiyah sampai tahun 2000. Namun
pada 23 Agustus 1998, sehari setelah Rapat Pleno PP Muhammadiyah, Amin Rais
diberi izin untuk memimpin Partai Amanat Nasional (PAN) dan melepaskan jabatan
Ketua PP Muhammadiyah.
13. Periode Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif. (2000-2005). Syafi’i tampil sebagai Pejabat Ketua PP
Muhammadiyah dari hasil Sidang Tanwir Muhammadiyah di Semarang tahun 1998,
setelah lengsernyaAmin Rais. Kemudian diangkat menjadi Ketua PP Muhammadiyah
pada periode lima tahun selanjutnya melalui Muktamar Muhammadiyah. Prestasi
dakwah beliau pada dasarnya melanjutkan program kerja periode sebelumnya. Iklim
reformasi dan euforia politik yang muncul di Indonesia, mengharuskan beliau
mengerem, agar anggota-anggota Muhammadiyah tidak terjebak pada demam partai,
tapi mengarahkan pada aturan main organisas.
Perjalanan panjang dakwah Muhammadiyah sebagaimana paparan di muka telah
melahirkan berbagai tanggapan dan komentar dari berbagai pihak. Pendeknya, gerakan
Muhammadiyah masuk kedalam kombinasi berbagai penamaan dan pensifatan.
Muhammadiyah sebagai gerakan puritan, modernis, salafi dan sosial–politik, yang  lebih
memfokuskan kepada berbagai aspek kehidupan di Indonesia. Ia tidak membatasi diri
kepada dakwah dalam pengertian sempit, tetapi mengambil peran dalam segala aspek
perkembangan masyarakat. Alfian memberi komentar, Muhammadiyah sedikitnya memiliki
peran dalam tiga dataran, sebagai gerakan pembaharuan, sebagai agen perubahan sosial
dan sebagai kekuatan politik.

B. Sejarah Singkat Dakwah Muhammadiyah


1. Alur Pertama
Gagasan dakwah Ahmad Dahlan muncul dan diilhami dari semangat pemurnian
(purifikasi) dan pembaharuan (reformasi) ajaran agama serta pemahaman yang
mendalam terhadap Al-Qur’an.
Semangat purifikasi Dahlan lahir setelah menunaikan haji yang pertama  (1889)
dan reaksi terhadap fenomena degredasi tauhid dan moral yang terjadi pada
masyarakat Islam, khususnya Jawa. Umat dilanda praktek-praktek keagamaan yang
mengarah pada syirik, khurafat, tahayul, dan bid’ah,seperti pergi kedukun, tempat
keramat, meramal bintang, memakai jimat, menyembah pepohonan dan lain-lain.
Gagasan pembaharuan Ahmad Dahlan meliputi lima hal.Pertama, pembetulan
arah kiblat, yang biasanya menghadap arah barat diubah menjadi arah barat laut
sesuai dengan perhitungan ilmu falaq. Kedua, penghitungan 1 Syawal atau hari raya
Idhul Fitri. Masyarakat sering menggunakan sistem ABOGE, yaitu sistem perhitungan
Jawa, yang menggabungkan tiga kata, A-alif (huruf pertama Hijaiyah) , BO-Rebo
(nama hari Jawa) GE-Wage (pasaran hari Jawa). Setelah itu Dahlan mengubahnya
berdasarkan perhitungan ilmu hisab dan disetujui oleh Sultan. Ketiga, penolakan
sagala praktek bid’ah dan khurafat. Keempat, mensintesiskan pendidikan Islam
dengan pendidikan Barat yang sesuai jiwa Islam. Kelima, peka terhadap kehidupan
masyarakat sebagaimana digariskan dalam surat Al Maun 1-7
2. Alur Kedua
Secara eksplisit maupun implisit, gagasan Dahlan kemudian diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari, baik sebagai khotib Masjid Kauman, guru di KweekSchool,
anggota jamiah Al Khoir, penasehat agama Budi Utama maupun  Serikat Islam.
Dari sini kemudian muncul reaksi dari berbagai pihak untuk menyatukan
gagasan-gagasan dakwah Dahlan yang tercecer dan belum terorganisir. Saran-saran
muncul paling banyak dari murid-muridnya di Kweek school Jetis,dari keluarga, rekan-
rekan sesama guru, seperti Sosro Sugondo dan Mas Raji dan beberapa anggota Budi
Utomo. Mereka berkeinginan  agar sekolah yang didirikan di rumah Ahmad Dahlan dan
ide-ide pembaharuannya bisa berkesinambungan di esok hari. Oleh karena itu perlu
adanya organisasi permanen yang menaungi semuanya, makaberdirilah
Muhammadiyah dan secara otomatis menyatulah gagasan-gagasan dakwah Ahmad
Dahlan dalam Muhammadiyah.
Rumusan awal organisasi, tujuan dan maksud berdirinya Muhammadiyah
mencakup dua hal. Pertama, menyebarkan pengajaran kanjeng Nabi Muhammad SAW
kepada penduduk Bumi Putera di dalam residen Yogyakarta. Kedua, memajukan hal-
hal agama Islam kepada Anggota-anggotanya. Uraian sejarah dakwah Muhammadiyah
di atas pada dasarnya tidak bisa lepas dari semangat purifikasi, pembaharuan  Islam
dan telaah normatif Ahmad Dahlan, sebagai pendirinya.

C. Corak Dakwah Muhammadiyah


Pengertian dakwah Islam Muhammadiyah sesuai dengan artian terminologi dan
etimologi dakwah itu sendiri. Da’a, yad’u, da’watanyang berarti seruan, ajakan atau
panggilan. Dalam mendiskripsikan terminologi dakwah, Muhammadiyah mempunyai
beberapa definisi yang telah dirumuskan.
1) Dakwah adalah segala aktifitas dan usaha untuk mengubah satu situasi tertentu kearah
situasi lain yang  lebih baik sesuai dengan ajaran Islam.
2) Dakwah merupakan usaha menyeru dan menyampaikan kepada perorangan dan
seluruh umat. Konsepsi Islam tentang pandangan dantujuan hidup di dunia yang
meliputi amar ma’ruf nahi munkar, dengan berbagai media dan cara yang diperbolehkan
Allah SWT. Membimbing, mengamalkan dalam peri kehidupan perorangan, rumah
tangga (urwah), masyarakat dan peri kehidupan bernegara.
3) Dakwah adalah mengajak dan menyeru manusia atau masyarakat kepada ajaran Islam,
dengan memberikan pengertian dan kesadaran akan kebenaran ajaran Islam, sehingga
manusia atau masyarakat dapat menginsyafi akan kebaikan, kelebihan dan keutaman
Islam bagi pembentukan pribadi utuh.
4) Perjalanan dakwah purifikasi Islam pertama kali dilakukan oleh Hanbali yang dipelopori
oleh Abu Muhammad Al Barbahari. Beberapa penyimpangan yang terjadi pada pada
masa itu antara lain : pertama, penyimpangan aqidah, akibat pengaruh filsafat Yunani,
sehingga muncul penyimpangan dalam masyarakat Islam dalam bentuk ilmu kalam dan
filsafat. Penyimpangan ini dilakukan oleh Mu’tazilah dan
Asy’ariyah. Kedua, menjamurnya bid’ah dan khurafat dalam ritual umat Islam.
Penyimpangan ini dilakukan oleh Syiah. Kedua tokoh abad 10 ini menyerukan untuk
melakukan perlawanan terhadap penyimpangan dan kembali pada aqidah salaf.
Tokoh purifikasi kedua adalah Ibnu Taimiyah. Dia memandang Islam telah
dikotori oleh tasawuf dan tarekat. Tarekat yang dimaksud mengetengahkan konsep wali,
wasilah, dan karamah yang mengandung unsur khurafat dan syirik. Oleh karena itu
Taimiyah mengajak umat menghilangkan penyimpangan-penyimpangan yang ada dan
kembali kepada tauhid.
Corak dakwah lebih diartikan sebagai keseluruhan pola, warna atau
kecenderungan dakwah Muhammadiyah. Adapun corak dakwah puritan 
Muhammadiyah diharapkan akan tampak dan mewarnai  berbagai pola dakwah yang
ada. Corak dakwah Muhammadiyah  meliputi aspek teologi, fiqh, gerakan sosialnya,
respon terhadap misionaris Kristen dan komparasi dakwah dengan organisasi Islam
Indonesia lainnya.
Awal pertumbuhan organisasi yang didirikan oleh Ahmad Dahlan lebih
berorientasi pada ulama salaf yang ortodok dengan gerakan purifikasinya.[25] Sejalan
kemudian Muhammadiyah tidak mengikatkan diri pada salah satu aliran yang ada, baik
Mu’tazilah, Asy’ariyah maupun Maturidiyah. Meski sebagian besar umat Islam Indonesia
secara teologis bermadzhab Asy’ariyah. Organisasi ini lebih memilih memotong garis
madzhab dan bebas untuk menentukan jalan pikirannya sendiri (berijtihad) sebagai
gerakan pemikiran yang dinamis.
Perbedaan dakwah Muhammadiyah dengan Serikat Islam (SI) terletak pada
bentuk dan cara berkompromi dengan Belanda. Kalau Muhammadiyah dengan cara
mendirikan sekolah-sekolah model Belanda, menerima bantuan dari pemerintah
Kolonial dan melakukan pendekatan budaya terhadap masyarakat. SI malah sebaliknya,
melakukan pendekatan politik, tidak kooperatif dengan Belanda dan lebih terfokus pada
masalah perdagangan dan perekonomian.
Muhammadiyah dengan NU sama-sama sebagai gerakan kelas menengah.
Dimana NU sebagai gerakan dan ortodok, yang menerima respons dari kalangan haji-
haji kaya di desa. Sedang Muhammadiyah sebagai gerakan puritan dan reformis,
mendapat respon dari kalangan pedagang dan pegawai.[28] Dalam dimensi keIslaman
Muhammadiyah tidak bermazhab, sedang NU mempertahankan salah satu dari empat
madzahab fiqh (Syafi’iyah). Untuk masalah I’tiqad NU berpegang pada Ahlus Sunah
Waljama’ah.
Sumatera Thawalib (ST) dan Muhammadiyah merupakan dua organisasi
berbasis pendidikan. Sumatera Thawalib lahir sebagai respon para santri madrasah,
surau Jembatan Besi Padang Panjang dan Surau Parabek Bukit Tinggi. ST bercorak
nasionalis dan radikal, karena berusaha meneruskan perjuangan Paderi yang
terbengkalai. Gerakan ini kemudian berpindah haluan menjadi partai politik, Partai
Muslim Indonesia (PERMI), yang bertujuan meciptakan kemerdekaan Indonesia dan
Islam jaya.
Persatuan Islam (PERSIS) lebih radikal dalam berdakwah daripada
Muhammadiyah. Dia menyerang kelompok tradisonalis, nasionalis dan sekuleris. Gaya
pemikirannya mirip dengan Ibnu Taimiyah. Dari sisi pemurnian tauhid dan fiqh, hampir
sama dengan Muhammadiyah.     
  
D. Cakupan Dakwah Muhammadiyah
Kajian cakupan dakwah Muhamadiyah bisa diklasifikasikan menjadi tiga bagian.
Pertama, doktrin Aqidah (teologi), kedua, Fiqh dan ketiga, sufisme-filsafat. Pembagian ini
dilakukan untuk mensamakan pokok-pokok ajaran yang ada pada Muhammad Ibnu Abdul
Wahhab.
1. Doktrin Aqidah
Secara total dakwah Muhammadiyah memerangi penyimpangan ajaran Islam
seperti, syirik, bid’ah khurafat dantaklid. Semua merupakan benalu yang dapat merusak
aqidah dan ibadah seseorang. Dalam hal lain dakwah purifikasi Muhammadiyah juga
mengalami perkembangan tidak hanya memurnikan ajaran Islam saja tetapi melakukan
pembaharuan diberbagai sektor kehidupan, semacam penyantunan fakir miskin,
pengelolaan Rumah Sakit, Qurban dan sebagainya.[32]
Adapun doktrin aqidah Muhammadiyah dibagi dalam tiga hal;
a) Membahas tentang perbuatan manusia
“Adapun segala yang dilakukan manusia itu segalanya atas qadla danqadarNya.
Sedang manusia sendiri hanya dapat berikhtiar. Dengandemikian segala ketentuan
adalah dari Allah dan usaha adalah bagianmanusia. Perbuatan manusia ditilik dari
segi kuasanya dinamakan hasilusaha sendiri. Tetapi dilihat dari segi kekuasaan
Allah perbuatan manusia itu adalah ciptaan Allah.”
b) Membahas tentang qadha dan qadhar
“Kita wajib percaya bahwa Allahlah yang telah menciptakan segalasesuatu dan Dia
telah menyuruh dan melarang. Dan perintah Allah adalah kepastian yang telah
ditentukan. Bahwasannya Allah telah menentukansesuatu sebelum Dia
menciptakan segala kejadian dan mengatur segala yang ada dengan pengetahuan,
ketentuan, kebijaksanaan dan kehendak. Adapun segala yang dilakukan manusia
itu semua atas Qadla dan Qadar-Nya.”
c) Membahas tentang sifat-sifat Tuhan
“Allah tidak menyuruh kita membicarakan hal-hal yang tidak tercapai akal dalam hal
kepercayaan. Sebab akal manusia tidak mungkin mencapai pengertian tentang zat
Allah dan hubungannya dengan sifat-sifat yang ada pada-Nya. Maka janganlah
engkau bicarakan hal itu. Tidak ada kesangsian tentang adanya. Adakah orang ragu
tentang Allah yang menciptakan langit dan bumi?”
2. Doktrin Fiqh
Muhammadiyah tidak bermazhab fiqh manapun meski umat muslim Indonesia
kebanyakkan Syafi’iyah. Arah bidikan fiqh Muhammadiyah tentu tidak bisa lepas dari
syariah (Al Syariat), yaitu peraturan-peraturan, hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah
dan terdapat dalam Al Qur’an serta Sunah. Untuk masalah syariah Muhammadiyah juga
menyerahkan fiqh pada ijtihad majelis tarjih. Berbagai masalah yang dikaji seputar
syariah dan fiqh sebagai produk antara lain masalah kedudukan hadits sebagai sumber
hukum Islam dan metode istinbath yang diterapkan.
Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang mutlak bagi Muhammadiyah.
Sedang dalam masalah hadits majelis tarjih Muhammadiyah bersifat selektif. Ia
mengambil hampir semua jenis hadits untuk dijadikan dalil, baik yang daif
mursal, mauquf dan sebagainya, meskipun dengan persyaratan tertentu.
Metode istinbath mencakup hukum antara lain qiyas, istihsan dan al maslahat
wal mursalat. Tiap-tiap madzhab mempunyai perbedaan tersendiriterhadap metode ini,
khususnya untuk mencari kepastian hukum. Muhammadiyah dalam masalah ini
menyerahkan sepenuhnya pada majelis tarjih dengan ijtihadnya.[34]
3. Doktrin Tasawuf dan Filsafat
Ahmad Dahlan tumbuh dalam lingkungan intelektual dan kultural yang berakar
pada tradisi sufi. Menurutnya, dalam tasawuf kita harus bisa membuat perbedaan tegas
antara ritual ekstatis, tarekat-tarekat, dan sufi popular. Pada sisi lain karakteristik
tasawuf yang sehat, lebih banyak dipraktekkan oleh beberapa kelompok dan elit
tertentu. Dari gambaran ini Dahlan lebih mencari jalan tengah dalam menyikapi masalah
tasawuf.
Untuk pandangan Muhammadiyah tentang tasawuf, bisa melihat pada pendapat 
DR. Simuh dan DR Amin Abdullah. Menurutnya ada tiga hal yang melandasi
Muhammadiyah cenderung menolak tasawuf.
Pertama, spiritualitas sufis memembawa ekstrimitas pada spiritualitas kasfyi,
yakni kontemplasi spiritual-religius yang seringkali berakhir pada wahdat alwujud.
Sedang spiritualitas Islam sejati berdasar pada syar’i.
Kedua, spiritualitas sufisme tidak bisa melepaskan diri dari ekstrimitas yang
berorientasi pada pemenuhan nafsu egosentris dalam melakukan hubungan dengan
Allah. Dalam spiritualitas Islam sejati ada keseimbangan antara hubungan dengan Allah
dan sesama manusia.
Ketiga, tasawuf dahulunya adalah praktek zuhud yang bersifat terbuka,
kemudian dilegalkan secara eksklusif menjadi lembaga dan tarekat. Muhammadiyah
melihat tasawuf bukanlah bentuk spiritualitas yang representatif dari ajaran Islam (Al
Qur’an dan sunah).

E. Visi dan Misi Muhammadiyah


Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang melaksanakan dakwah amar ma’ruf
nahi munkar dengan maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai
agama beserta masyarakat Islam yang sebenarnya. Hal itu dapat terlihat dari Visi
Muhammadiyah yang berbunyi;
“Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang berlandaskan l-Qur’an dan Hadis dengan
watak tajdid yang dimilikinya senantiasa istiqamah dan aktif dalam melaksanakan dakwah
Islam amar ma’ruf nahi munkar di segala bidang, sehingga menjadi rahmatan lil
‘alamin bagi umat, bangs dan dunia kemanusiaan menuju terciptanya masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya yang di-ridhai Allah SWT dalam kehidupan di dunia ini.”
Adapun yang menjadi Misi Muhammadiyah yaitu:
1) Menegakkan keyakinan tauhid yang murni sesuai dengan ajaran Allah SWT yang di
bawa oleh Rasulullah SAW yang di syariatkan sejak Nabi Nuh hingga Nabi Muhammad
SAW.
2) Memahami agama dengan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam untuk
menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan yang bersifat duniawi.
3) Menyebarluaskan ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur’an sebagai kitab Allah
yang terakhir untuk umt manusia sebagai penjelasannya.
4) Mewujudkan amalan-amalan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga dan
masyarakat.
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Amal Muhammadiyah yang dikomandoi oleh KH. Ahmad Dahlan, tak pernah lepas dari
tiga unsur, yaitu rumah yatim dan fakir miskin, rumah sakit, dan lembaga pendidikan. Dan ini
terus dilakukan oleh organisasi-organisasi penerus Muhammadiyah, sampai kini.
Usaha keras yang telah dirintis ini akhirnya berbuah jua,. Muhammadiyah menjadi
pelopor organisasi sosial kemasyarakatan yang berbasiskan agama, mempunyai corak
pembaruan yang dinamis. Sebelas tahun setelah Muhammadiyah berdiri, tepatnya pada 23
Februari 1923, KH. Ahmad Dahlan meninggal dunia di Kauman, Yogyakarta, tempat dimana ia
pernah dilahirkan pada tahun 1868.
Kehadiran KH. Ahmad Dahlan di pentas dakwah Indonesia memberi warisan tidak
hanya berupa bengunan-bangunan fisik seperti panti asuhan, rumah sakit, sekolah. Dalam
sejarah hidupnya kita bisa mengetahui bahwa KH. Ahmad Dahlan sangat terbuka untuk
menerima masukan, bahkan kritikan.
Gagasan pembaharuan Ahmad Dahlan meliputi lima hal.Pertama, pembetulan arah
kiblat, yang biasanya menghadap arah barat diubah menjadi arah barat laut sesuai dengan
perhitungan ilmu falaq.Kedua, penghitungan 1 Syawal atau hari raya Idhul Fitri. Masyarakat
sering menggunakan sistem ABOGE, yaitu sistem perhitungan Jawa, yang menggabungkan
tiga kata, A-alif (huruf pertama Hijaiyah) , BO-Rebo (nama hari Jawa) GE-Wage (pasaran hari
Jawa). Setelah itu Dahlan mengubahnya berdasarkan perhitungan ilmu hisab dan disetujui oleh
Sultan. Ketiga, penolakan sagala praktek bid’ah dan khurafat.Keempat, mensintesiskan
pendidikan Islam dengan pendidikan Barat yang sesuai jiwa Islam. Kelima, peka terhadap
kehidupan masyarakat sebagaimana digariskan dalam surat Al Maun 1-7.
Rumusan awal organisasi, tujuan dan maksud berdirinya Muhammadiyah mencakup
dua hal. Pertama, menyebarkan pengajaran kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada penduduk
Bumi Putera di dalam residen Yogyakarta. Kedua, memajukan hal-hal agama Islam kepada
Anggota-anggotanya.
Muhammadiyah adalah organisasi modern yang lahir untuk merespon dan menjawab
tantangan kemajuan zaman guna kemashlahatan umat Islam Indonesia. Ciri-ciri perjuangan
Muhammadiyah meliputi tiga aspek penting, yaitu: Pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan
Islam. Kedua, Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah. Ketiga, muhammadiyah sebagai
gerakan tajdid.
DAFTAR PUSTAKA

Alwi Shihab, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi


Kristen di Indonesia. Bandung : Mizan, 1998
Andi Wahyudi .1999.Muhammadiyah dalam Gonjang Ganjing Politik. Yogyakarta: Media
Presindo
Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh, Studi Perbandingan, Jakarta
: BulanBintang, 1993
Burhanuddin Daya. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Sumatera Thawalib. Yogyakarta :
Tiara Wacana, 1990
Deliar Noer. 1980. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942. Jakarta : Pustaka
Din Syamsuddin, Muhammadiyah Kini dan Esok, Jakarta; Pustaka Panjimas, 1990
Haedar Nasir, Revitalisasi Gerakan Muhammadiyah, Yogyakarta : Biograf, 2000
Herry Mohammad, dkk, TOKOH-TOKOH ISLAM yang Berpengaruh ABAD 20, Jakarta; Gem
Insani Press, 2006
Ismah Salman, Strategi dan Politik Dakwah Muhammadiyah (Suatu Pengajian Pengantar),
Mimbar Agama dan Budaya, Vol. XIX, No.1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002
Jazim Hamidi dan Husnu Abadi. Intervensi Negara terhadap Agama. Yogyakarta : UII Press,
2001
M. Rusli Karim, Muhammadiyah dalam Kritik dan Komentar, Jakarta; Rajawali 1986
Mustofa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhamadiyah sebagai Gerakan Islam
(dalam Perspektif Historis dan Idiologis). Yogyakarta : LPPI, 2000
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Profil Muhammadiyah 2000, Yogyakarta: Rajawali, 1986
Shalahuddin Hamid dan Iskandar Ahza, Seratus Tokoh Islam yang Paling Berpengaruh di
Indonesia, Jakarta; Intimedia Ciptanusantara, 2003
Sujarwanto & Haedar (Ed.). Muhammadiyah dan Tantangan Masa Depan: Dialog Intelektual.
Yogyakarta : Tiara Wacana, 1990
Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997
Syafiq. A Mughni. Nilai–Nilai  Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001
TPA dan Kemuhammadiyahan, Muhammadiyah Sejarah, Pemikiran dan Amal Usaha,
Yogyakarta :

Anda mungkin juga menyukai